Advertising

Wednesday 21 April 2010

[wanita-muslimah] Nasib Perempuan Indonesia

 



Oleh Saparinah Sadli
Lebih
dari seratus tahun lalu Kartini meninggal, empat hari sesudah
melahirkan anak pertamanya. Dokter Belanda sebelumnya mendiagnosis
tidak ada masalah pada kesehatan Kartini pasca-melahirkan. Namun,
beberapa jam setelah dokter pergi, Kartini menurun kondisinya lalu
meninggal.
Kartini bukan orang miskin. Sebagai istri bupati, ia
mendapat pelayanan kesehatan optimal. Dalam buku Door Duisternis tot
Licht, kematiannya direspons dengan pernyataan non-medis seperti:
"Kartini sudah mengisyaratkan meninggal pada usia 25 tahun. Kartini
minta adiknya (Rukmini) merawat bayinya andai kata ia meninggal".
Pada
catatan kesehatannya, tampak potret Kartini dengan kondisi fisik tidak
baik (sering sakit) setelah menjadi istri Bupati Rembang. Keputusan
Kartini memenuhi permintaan bapaknya untuk kawin menghancurkan hatinya.
Dia mengubur aspirasinya menjadi perempuan mandiri. Ia jelas menderita
secara psikologis dan memikulnya sendiri.
Sebagai Raden Ayu
(suaminya punya tiga istri), Kartini menderita secara fisik dan
psikologis. Selama hamil ia sakit-sakitan dan makin parah menjelang
melahirkan. Kartini meninggal pada usia 25 tahun (sepuluh bulan setelah
menikah).
Lalu, pembelajaran apakah yang dapat ditarik dari kematian Kartini
ini?
Belum di jalur tepat
Akhir
Maret 2010, pemerintah menyelenggarakan rapat koordinasi nasional.
Tujuannya, meningkatkan sinergi pusat-daerah untuk mencapai Millenium
Development Goals (MDGs) terutama poin 1 (kemiskinan), 4 (menurunkan
angka kematian bayi/AKB), 5 (meningkatkan kesehatan maternal). Menurut
Bappenas, target-target itu dapat dicapai Indonesia.
Namun,
Women's Research Center dalam penelitiannya menyebutkan: Menurunkan
angka kematian ibu sesuai target MDGs 2015 sulit dicapai. Jakarta Post
(5/3/10) memberitakan, pemerintah gagal memperbaiki kondisi kesehatan
ibu. Terbukti angka kematian ibu (AKI) masih 228 per 100.000 kelahiran
hidup. Angka ini diperdebatkan para ahli karena ada yang memperkirakan
AKI lebih tinggi dari pemerintah.
Kita tidak perlu larut dalam
kontroversi angka. Yang lebih penting adalah realitas di baliknya,
yaitu hak hidup ibu Indonesia yang bertahun-tahun dilanggar. Menurut
almarhum Prof dr Soedradji, ahli kebidanan, "Dengan kemajuan teknologi
kedokteran di Indonesia, ibu meninggal karena komplikasi melahirkan
seharusnya tidak terjadi."
Gubernur Bali dalam Rakornas Maret 2010 menyatakan, persoalan
melahirkan mendasari kualitas bangsa.
Arti
kedua pernyataan di atas adalah dengan kemajuan ilmu kedokteran ibu
meninggal karena komplikasi melahirkan tidak bisa ditoleransi lagi.
Kartini mungkin meninggal karena masalahnya tidak terdeteksi dengan
pengetahuan dokter pada zaman itu.
Namun, dengan AKI yang masih tinggi sekarang, adakah perubahan dalam
penanganan AKI dibanding pada zaman Kartini?
Dalam
paradigma baru, upaya penurunan AKI dikaitkan dengan kemiskinan global
dan jadi salah satu tujuan MDGs. Apa ciri-ciri ibu miskin di Indonesia?
Ia
miskin gizi, miskin pengetahuan kesehatan reproduksi, miskin waktu
memeriksakan kesehatan, miskin keterampilan meningkatkan status ekonomi
keluarga, miskin akses pelayanan kesehatan dan KB berkualitas, miskin
perhatian dari lingkungan sosial-budaya yang membiarkan terjadinya
perkawinan dan kehamilan usia dini dan menganggap biasa perempuan hamil
makan terakhir, tidur terakhir, dan bangun terpagi.
Pemerintah
memang tidak diam menghadapi AKI tinggi. Akan tetapi, program Make
Pregnancy Safer sampai Suami Siaga selama bertahun-tahun belum
signifikan menurunkan AKI. Perlu dicermati hasil pertemuan Bappenas,
Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Migrant Care dan donor yang
mengidentifikasi sulitnya mengintegrasikan perspektif jender dalam
proyek pembangunan (Kompas, 5/4/ 10).
Contohnya, Kementerian
Pekerjaan Umum belum melihat relevansi perspektif jender dalam
melaksanakan proyek-proyek besarnya. Padahal, KPI mengungkap desa yang
tidak mempunyai jalan mempunyai AKI relatif tinggi. Jadi, bisakah
disimpulkan target MDGs 5 tidak on track karena kebanyakan pejabat
tidak memiliki perspektif jender?
Pembelajaran apa yang bisa
ditarik dari bahasan di atas? Pertama, pentingnya mengintegrasikan
perspektif jender dalam semua program pembangunan berskala besar.
Kedua,
pengarusutamaan jender dilakukan serius dan memastikan setiap kebijakan
memuat perencanaan dan penyediaan anggaran yang "mempromosikan,
melindungi, dan memberdayakan perempuan" (Presiden pada Hari Ibu 2009).
Ketiga,
setiap pejabat berkesadaran AKI sebagai isu kesehatan reproduksi
perempuan secara kompleks dipengaruhi faktor medis dan non-medis.
Keempat, mengembangkan toleransi nol terhadap pelanggaran hak-hak
perempuan sebagai prioritas nasional.
Jangan diskriminatif
Meningkatkan
kesehatan maternal memerlukan nilai, sikap, dan perilaku yang tidak
mendiskriminasi hak-hak perempuan. Pada zaman Kartini diskriminasi
dilakukan keluarga, pejabat pribumi, dan politik Pemerintah Belanda.
Sekarang, diskriminasi dilakukan pejabat pusat dan daerah, tokoh
masyarakat, dan tokoh agama.
Peningkatan kesehatan ibu- ibu
miskin masih dihadang mitos "ibu meninggal karena melahirkan akan masuk
surga"; oleh suami yang menentukan apa yang boleh dilakukan terhadap
istri yang kehamilannya bermasalah dan bisa berakibat fatal; dan oleh
petugas kesehatan yang tidak berperspektif jender.
Melahirkan bayi sehat oleh ibu yang sehat fisik, mental, dan sosial
bukan isu perempuan, melainkan isu sosial-budaya-politik
bangsa. AKI tinggi selama bertahun-tahun adalah dam- pak
pembiaran pelanggaran hak-hak perempuan yang tergolong kejahatan
terhadap kemanusiaan.
Dari
perspektif jender Kartini yang tidak miskin sangat menderita akibat
nilai-nilai tradisi yang tidak menempatkan hak perempuan setara dengan
laki-laki, serta politik Belanda yang tidak mendukung pemikiran
progresif anak bangsa.
Perempuan Indonesia hari ini telah
mencapai berbagai kemajuan, tetapi masih banyak perempuan mengalami
penderitaan fisik, mental, dan sosial.
Dari perspektif HAM
resistensi memakai perspektif jender tidak boleh memengaruhi pencapaian
target MDGs. Apalagi karena semua tujuan MDGs berwajah perempuan.
Dengan demikian, pada hari Kartini 2011 kita bisa melihat target MDGs 5
telah di jalur yang tepat.
Saparinah Sadli Guru Besar
Psikologi UI; Pendiri Program Kajian Wanita UI; Pendiri
Komnas Perempuan

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/21/03141829/.nasib.perempuan.indonesia..

http://finance.groups.yahoo.com/group/media-soloku/

http://media-klaten.blogspot.com/

http://businessandfinance-bikini.blogspot.com/

http://groups.google.com/group/suara-indonesia/

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment