Advertising

Thursday 22 April 2010

[wanita-muslimah] tentang bahaya JIL lagi,waspadalah

 

"Islam Progresif" dan Seks Bebas

Friday, 08 January 2010 14:18

<http://www.hidayatullah.com/component/mailto/?tmpl=component&link=aHR0cDovL
3d3dy5oaWRheWF0dWxsYWguY29tL2tvbG9tL2FkaWFuLWh1c2FpbmkvMTAzMjktaXNsYW0tcHJvZ
3Jlc2lmLWRhbi1zZWtzLWJlYmFz> E-mail |
<http://www.hidayatullah.com/kolom/adian-husaini/10329-islam-progresif-dan-s
eks-bebas?tmpl=component&print=1&page=> Print | PDF
<http://www.hidayatullah.com/kolom/adian-husaini/10329-islam-progresif-dan-s
eks-bebas?format=pdf>

Akibat logis konsep dekonstruksi kitab suci, bukan aneh dukungan kaum
liberal terhadap praktik seks bebas. Baca CAP Adian ke-276

Oleh: Dr. Adian Husaini*

http://www.hidayatullah.com/images/foto/sex-bebas.jpgDi antara pegiat "Islam
Progresif", atau "Islam Liberal", nama Sumanto Al Qurtuby memang sudah bukan
asing lagi. Alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang ini terkenal dengan
ide-ide liberalnya yang sangat berani. Di sebuah Jurnal yang terbit di
Fakultas Syariah IAIN Semarang, Justisia, ia pernah mengusulkan agar
sejumlah ayat Al-Quran diamandemen. Belakangan, kaum liberal di Indonesia,
semakin terbuka melontarkan wacana perlunya proses "Desakralisasi Al-Quran".

Meskipun sudah terbiasa membaca berbagai pendapat liberal dan progresif yang
aneh-aneh, tetapi saya tetap terbelalak dan nyaris tak percaya, ada sebuah
tulisan yang secara terbuka mendukung praktik seks bebas, asal dilakukan
suka sama suka, tanpa paksaan. Tulisan Sumanto itu berjudul "Agama, Seks,
dan Moral", yang dimuat dalam sebuah buku berjudul Jihad Melawan Ekstrimis
Agama, Membangkitkan Islam Progresif (terbit pertama Oktober 2009). Kita
perlu "berterimakasih" kepada Sumanto yang secara jujur dan terbuka
melontarkan ide liberal dan progresif, sehingga lebih mudah dipahami.
Sebab, selama ini banyak yang mengemas ide "Islam progresif" dan "Islam
liberal" dengan berbagai kemasan indah dan menawan, sehingga berhasil
menyesatkan banyak orang.

Untuk lebih jelas menyimak persepsi "Islam Progresif" tentang seks bebas
ini, ada baiknya kita kutip agak panjang artikel dari penulis yang dalam
buku ini memperkenalkan dirinya sebagai kandidat doktor bidang antropologi
politik dan agama di Boston University. Kutipan ini ada di halaman 182-184:

"Apa yang diwartakan oleh agama (Islam, Kristen dan lainnya) hanyalah satu
sisi saja dari sekian banyak persepsi tentang seks itu atau katakanlah sex
among others. Bahkan jika kita kaji lebih jauh, ajaran Kristen atau Islam
yang begitu "konservatif" terhadap tafsir teks sebetulnya hanyalah reaksi
saja atas peradaban Yunani (Hellenisme) yang memandang seks secara wajar dan
natural. Kita tahu peradaban Yunani telah merasuk ke wilayah Eropa (lewat
Romawi) dan juga Timur Tengah di Abad Pertengahan yang kemudian menimbulkan
sejumlah ketegangan kebudayaan. Oleh karena itu tidak selayaknya jika
persepsi agama ini kemudian dijadikan sebagai parameter untuk menilai,
mengevaluasi dan bahkan menghakimi pandangan di luar agama tentang seks.

Apa yang kita saksikan dewasa ini adalah sebuah pemandangan keangkuhan oleh
kaum beragama (dan lembaga agama) terhadap fenomena seksualitas yang vulgar
sebagai haram, maksiat, tidak bermoral, dan seterusnya. Padahal moralitas
atau halal-haram bukanlah sesuatu yang given dari Tuhan, melainkan hasil
kesepakatan atau konsensus dari "tangan-tangan gaib" (invisible hand,
istilah Adam Smith) kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun otoritas agama.
Teks-teks keagamaan dalam banyak hal juga merupakan hasil "perselingkuhan"
antara ulama/pendeta dengan pemimpin politik dalam rangka menciptakan
stabilitas.

Saya rasa Tuhan tidak mempunyai urusan dengan seksualitas. Jangankan masalah
seksual, persoalan agama atau keyakinan saja yang sangat fundamental, Tuhan
- seperti secara eksplisit tertuang dalam Alqur'an - telah membebaskan
manusia untuk memilih: menjadi mukmin atau kafir. Maka, jika masalah
keyakinan saja Tuhan tidak perduli, apalagi masalah seks? Jika kita
mengandaikan Tuhan akan mengutuk sebuah praktik "seks bebas" atau praktik
seks yang tidak mengikuti aturan resmi seperti tercantum dalam diktum
keagamaan, maka sesungguhnya kita tanpa sadar telah merendahkan martabat
Tuhan itu sendiri. Jika agama masih mengurusi seksualitas dan alat kelamin,
itu menunjukkan rendahnya kualitas agama itu.

Demikian juga jika kita masih meributkan soal kelamin - seperti yang
dilakukan MUI yang ngotot memperjuangkan UU Pornografi dan Pornoaksi - itu
juga sebagai pertanda rendahnya kualitas keimanan kita, sekaligus rapuhnya
fondasi spiritual kita. Sebaliknya, jika roh dan spiritualitas kita tangguh,
maka apalah artinya segumpal daging bernama vagina dan penis itu. Apalah
bedanya vagina dan penis itu dengan kuping, ketiak, hidung, tangan, dan
organ tubuh yang lain. Agama semestinya "mengakomodasi" bukan
"mengeksekusi" fakta keberagaman ekspresi seksualitas masyarakat. Ingatlah
bahwa dosa bukan karena "daging yang kotor", tetapi lantaran otak dan ruh
kita yang penuh noda. Paul Evdokimov dalam The Struggle with God telah
menuturkan kata-kata yang indah dan menarik: "Sin never comes from below;
from the flesh, but from above, from the spirit. The first fall occurred in
the world of angels pure spirit."

Bahkan lebih jauh, ide tentang dosa sebetulnya adalah hal-hal yang terkait
dengan sosial-kemanusiaan, bukan ritual-ketuhanan. Dalam konteks ini maka
hubungan seks baru dikatakan "berdosa" jika dilakukan dengan pemaksaan dan
menyakiti (baik fisik atau non-fisik) atas pasangan kita. Seks jenis inilah
yang kemudian disebut "pemerkosaan". Kata ini tidak hanya mengacu pada
hubungan seks di luar rumah tangga, tetapi juga di dalam rumah tangga itu
sendiri. Seseorang (baik laki-laki maupun perempuan) dikatakan "memperkosa"
(baik dalam rumah tangga yang sudah diikat oleh akad-nikah maupun bukan)
jika ia ketika melakukan perbuatan seks ada pihak yang tertekan, tertindas
(karena mungkin diintimidasi) sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman.
Inilah tafsir pemerkosaan. Dalam konteks ini pula saya menolak sejumlah teks
keislaman (apapun bentuknya) yang berisi kutukan dan laknat Tuhan kepada
perempuan/istri jika tidak mau melayani birahi seks suami. Sungguh teks
demikian bukan hanya bias gender tetapi sangat tidak demokratis, dan karena
itu berlawanan dengan spirit keislaman dan nilai-nilai universal Islam.

Lalu bagaimana hukum hubungan seks yang dilakukan atas dasar suka sama suka,
"demokratis", tidak ada pihak yang "disubordinasi" dan "diintimidasi"? Atau
bagaimana hukum orang yang melakukan hubungan seks dengan pelacur (maaf
kalau kata ini kurang sopan), dengan escort lady, call girl, dan sejenisnya?
Atau hukum seorang perempuan, tante-tante, janda-janda, atau wanita kesepian
yang menyewa seorang gigolo untuk melampiaskan nafsu seks? Jika seorang
dosen atau penulis boleh "menjual" otaknya untuk mendapatkan honor, atau
seorang dai atau pengkhotbah yang "menjual" mulut untuk mencari nafkah, atau
penyanyi dangdut yang "menjual" pantat dan pinggul untuk mendapatkan uang,
atau seorang penjahit atau pengrajin yang "menjual" tangan untuk menghidupi
keluarga, apakah tidak boleh seorang laki-laki atau perempuan yang "menjual"
alat kelaminnya untuk menghidupi anak-istri/suami mereka?

Ada sebuah kisah dalam sejarah keislaman yang layak kita jadikan bahan
renungan: ada seorang pelacur kawakan yang sudah letih mencari pengampunan,
kemudian menyusuri padang pasir yang tandus. Ia hanya berbekal sebotol air
dan sepotong roti. Tapi di tengah perjalanan ia melihat seekor anjing yang
sedang kelaparan dan kehausan. Karena perasaan iba pada anjing tadi, si
pelacur kemudian memberikan air dan roti itu padanya. Berita ini sampai
kepada Nabi Muhammad yang mulia. Dengan bijak beliau mengatakan bahwa si
pelacur tadi kelak akan masuk surga!

Kisah ini menunjukkan bahwa Islam lebih mementingkan rasa sosial-kemanusiaan
ketimbang urusan perkelaminan." (***)

Demikianlah gagasan "Islam-progresif" dalam soal kebebasan seksual yang
diungkapkan Sumanto. Memang, sekarang, istilah "Islam progresif" sedang
digandrungi kalangan perguruan tinggi Islam. Pada Juli 2009, di UIN Jakarta
diadakan Konferensi 'Debating Progressive Islam: A Global Perspective'.
Tentu banyak tafsir dan penjelasan tentang makna "Islam Progresif". Salah
satunya adalah versi Sumanto.

Islam progresif biasanya dimaksudkan sebagai "Islam yang maju", sesuai
dengan asal kata dalam bahasa Latin "progredior". Sebagaimana banyak pemikir
yang mengaku progresif, mereka menempatkan Islam sebagai "evolving
religion", yakni agama yang selalu berkembang mengikuti zaman. Dalam
perspektif ini, Islam juga dipandang sebagai agama budaya. Karena itulah,
tidak mengherankan, jika mereka memandang tidak ada satu ajaran Islam yang
bersifat tetap. Semua harus tunduk dengan realitas zaman. Agama ditundukkan
oleh akal. Salah satu yang banyak dijadikan dasar pijakan adalah aspek
"kemaslahatan" dan sifat Islam sebagai "rahmatan lil-alamin". Dengan alasan
inilah, berbagai kemunkaran dan kejahatan bisa disahkan. Tentang keabsahan
praktik homoseksual, misalnya, ditulis dalam buku ini:

"Agama, apalagi Islam, yang mengusung jargon "rahmatan lil alamin" --
rahmat bagi sekalian alam ini-- harus memberi ruang kepada umat gay, lesbi,
atau waria untuk diposisikan secara equal dengan lainnya. Tuhan, saya yakin
tidak hanya milik laki-laki dan perempuan saja, tetapi juga "mereka" yang
terpinggirkan di lorong-lorong sepi kebudayaan." (hal. 176).

Karena berpijak pada realitas dan sejarah sebagai penentu kebenaran -- juga
syahwat atau hawa nafsu - maka teks-teks wahyu, sunnah Rasulullah saw, dan
tafsir wahyu yang otoritatif dikesampingkan. Cara berpikir seperti ini juga
sangat paradoks. Dengan berdalih sikap kritis kepada tafsir Al-Quran dari
para ulama yang otoritatif, banyak kaum yang mengaku liberal dan progresif
pada akhirnya tidak mampu bersikap kritis sama sekali pada sejumlah ilmuwan
Barat. Mereka sangat ta'dzim dalam mengutip pendapat-pendapat ilmuwan
non-Muslim. Ketika menyimpulkan bahwa dosa bukan karena "daging yang kotor"
tetapi lantaran otak dan ruh yang penuh noda, dikutiplah pendapat Paul
Evdokimov dengan penuh hormat dan takjub, bahwa si Evdokimov "telah
menuturkan kata-kata yang indah dan menarik."

Kita sudah sering membuktikan, sikap sok kritis yang diusung oleh kaum yang
menamakan diri liberal dan progresif ini biasanya hanya kritis terdapat
pendapat para ulama yang dianggapnya tidak sesuai dengan hawa nafsunya. Dan
Allah sudah mengingatkan dalam Al-Quran bahwa, jika seorang manusia sudah
menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya, maka akan tertutuplah hati,
telinga dan matanya untuk menerima kebenaran. (QS 45:23). Orang bisa
memiliki kepandaian yang tinggi, tetapi ilmunya tidak bermanfaat, bahkan
bisa merusak.

Karena itulah, untuk menjaga agar ilmu tidak merusak, para ulama selalu
menekankan pentingnya masalah adab dalam urusan keilmuan. Dalam kitabnya
yang berjudul Adabul 'Alim wal-Muta'allim, pendiri NU, Kyai Haji Hasyim
Asy'ari mengutip pendapat Ibn al-Mubarak yang menyatakan: "Nahnu iaa qalilin
minal adabi ahwaja minnaa ilaa katsirin mina 'ilmi." (Kami lebih
membutuhkan adab, meskipun sedikit, daripada banyaknya ilmu pengetahuan).

Demikian pendapat KH Hasyim Asy'ari. Orang yang beradab tahu meletakkan
dirinya sendiri di hadapan Allah, Rasulullah saw, para ulama pewaris Nabi,
dan juga tahu bagaimana menempatkan ilmu. Karena itulah, Al-Quran menekankan
pentingnya ada klasifikasi sumber informasi di antara manusia. Jika sumber
informasi berasal dari orang fasiq (orang jahat, seperti pelaku dosa besar),
maka jangan dipercaya begitu saja ucapannya. Ada unsur akhlak yang harus
dimasukkan dalam menilai kriteria sumber informasi yang patut dipercaya. (QS
49:6). Seorang yang tidak beradab (biadab) dalam keilmuan sudah tidak dapat
lagi membedakan mana sumber ilmu yang shahih dan mana yang bathil.

Soal zina, misalnya. Sebagai Muslim, tentu kita yakin benar bahwa zina itu
tindakan haram dan biadab. Keyakinan itu berdasarkan kepada penjelasan yang
sangat tegas dalam ayat-ayat Al-Quran, banyak hadits Rasulullah saw,
pendapat para sahabat Nabi, dan para ulama Islam terkemuka. Dalam soal zina
ini, kita lebih percaya kepada pendapat para ulama ketimbang pendapat Karl
Marx, Paul Evdokimov, Bill Clinton, atau Ernest Hemingway. Sebagai manusia
beradab kita bisa membedakan, mana sumber informasi yang layak dipakai dan
mana yang tidak. Sebab, Allah sendiri membedakan jenis-jenis manusia. Orang
mukmin disebut "khairul barriyyah" (sebaik-baik makhluk) dan orang kafir
disebut "syarrul barriyyah" (sejelek-jeleknya makhluk) (QS 98). Meskipun
sering mengkampanyekan "kesetaraan semua pemeluk agama", tetapi faktanya,
kaum yang menamakan diri mereka sebagai pengikut "Islam liberal", "Islam
pluralis" atau "Islam progresif" juga tetap menggunakan identitas Islam.
Tidak ada yang mau menyebut dirinya "kafir-liberal" atau "kafir-progresif".

Sebenarnya, jika kita menelaah pemikiran liberal, dukungan terhadap praktik
seks bebas bukanlah hal yang aneh. Ini adalah akibat logis dari sebuah
konsep dekonstruksi aqidah dan dekonstruksi kitab suci. Jika seorang sudah
tidak percaya bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan dan Nabi Muhammad saw
adalah utusannya, kemudian dia pun tidak percaya kepada otoritas ulama-ulama
Islam yang mu'tabarah - seperti Imam al-Syafii - maka yang dia jadikan
sebagai standar pengukur kebenaran adalah akalnya sendiri atau hawa nafsunya
sendiri. Kita paham, masyarakat Barat saat ini tidak memandang praktik seks
bebas sebagai suatu kejahatan. Homoseksual juga dipandang sebagai hal yang
normal. Sebaliknya, bagi mereka, praktik poligami dikutuk.

Nilai-nilai masyarakat Barat yang sekular - tidak berpijak pada ajaran agama
-- inilah yang sejatinya dianut juga oleh kaum yang mengaku liberal atau
progresif ini. Bagi mereka, seperti tergambar dalam pendapat Sumanto ini,
urusan seks dipandang sekedar urusan syahwat biologis semata, sebagaimana
layaknya praktik seksual para babi, kambing, monyet, ayam, dan sebagaimana.
Seks dianggap seperti soal buang hajat besar atau kecil, kapan mereka mau,
maka mereka akan salurkan begitu saja. Yang penting ada kerelaan; suka sama
suka. Tapi, bagi kita yang Muslim, dan juga pemeluk agama lain, jelas soal
seksual dipandang sebagai hal yang sakral. Karena itulah, agama-agama yang
hidup di Indonesia, sangat menghormati lembaga perkawinan.

Dalam pandangan Islam, jelas ada perbedaan nilai dan posisi antara penis
dengan pipi, meskipun keduanya sama-sama daging. Bagi seorang Muslim, yang
menjadikan "penis" dan "pipi" berbeda adalah nilai-nilai yang diajarkan oleh
Islam. Sebelum zaman Islam, banyak suku bangsa yang masih memandang sama
kedudukan daging wanita dengan daging kambing, sehingga mereka menjadikan
ritual korban dengan menyembelih wanita dan kemudian meminum darahnya.
Seorang Muslim memandang penting perbedaan antara "daging manusia" dengan
"daging ayam". Daging ayam halal hukumnya untuk dimakan. Jenazah manusia
harus dihormati. Jangankan dimakan dagingnya, jenazah manusia harus
dihormati dan diperlakukan dengan baik.

Jika kaum liberal melakukan dekonstruksi dalam aqidah dan nilai-nilai moral,
maka akibatnya, pornografi atau seks bebas pun kemudian didukung. Sebab,
dalam pikiran liberal, tidak ada aturan yang pasti, mana bagian tubuh yang
boleh dibuka dan mana yang harus ditutup. Yang menjadi standar baik buruk
adalah "kepantasan umum". Kalau memang bertelanjang atau beradegan porno
sesuai dengan tuntutan skenario dan dilakukan "pada tempatnya", maka itu
dianggap sebagai hal yang baik.

Kepastian akan kebenaran dan nilai itulah yang membedakan antara Muslim
dengan kaum liberal. Orang Muslim yakin dengan kebenaran imannya, dan yakin
ada kepastian dalam soal halal dan haram. Hukum tentang haramnya babi sudah
jelas dan tetap haram sampai kiamat. Begitu juga dengan haramnya zina, dan
haramnya perkawinan sesama jenis (homo dan lesbi). Tapi, dalam perspektif
liberal dan progresif, seperti dipaparkan oleh buku ini, larangan agama
terhadap perkawinan sesama jenis ini pun dianggapnya sudah tidak berlaku.
Tentang perlunya legalisasi perkawinan sesama jenis, ditulis dalam buku ini:

"Dan harap diingat, konsep perkawinan dalam suatu ikatan "sakral" bukan
melulu untuk mereproduksi keturunan melainkan juga untuk mewujudkan keluarga
sakinah (ketenteraman/kebahagiaan). Maka, dalam bingkai untuk mewujudkan
keluarga sakinah ini seorang gay atau lesbian harus menikahi sesama jenis.
Justru melapetaka yang terjadi jika kaum gay-lesbian dipaksa kawin dengan
lain jenis. Untuk mewujudkan gagasan perkawinan sejenis ini, maka paling
tidak ada dua hal yang harus ditempuh: pembongkaran di tingkat wacana
keagamaan, yakni teks-teks skriptural (dalam konteks Islam: teks tafsir dan
fiqih khususnya) yang masih terkesan diskriminatif dan kemudian pembongkaran
di tingkat struktur normatif masyarakat yang masih bias dalam memandang pola
relasi antar-manusia." (halaman 175).

Berulangkali kita menyerukan kepada kaum yang mengaku liberal, progresif dan
sejenisnya, agar mengimbangi sikap kritis dengan adab. Ada adab kepada
Al-Quran, adab kepada para Nabi, adab kepada ulama pewaris Nabi. Sayangnya,
buku yang memuat pendapat yang merusak - seperti dukungan terhadap praktik
seks bebas ini -- justru dipuji-puji dan didukung oleh orang yang seharusnya
justru bersikap kritis dan mendidik masyarakat dengan akhlak yang mulia.

Di sampul buku bagian belakang, dicantumkan sejumlah pujian. Djohan Effendi,
pendiri Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), menyebut buku
ini: "sangat inspiratif untuk melakukan refleksi atas perjalanan umat Islam
selama ini. Pendapatan dan sikap kritis yang ia lakukan merupakan sumbangan
yang sangat berarti untuk mendorong pemikiran progresif di kalangan generasi
baru umat Islam yang menginginkan kemajuan bersama dengan orang dan umat
lain."

Di tengah upaya kita mendidik anak-anak kita dengan akhlak mulia dan
menjauhkan mereka dari praktik pergaulan bebas, kita tentu patut berduka
dengan sikap sebagian kalangan yang mengusung jargon "Islam progresif"
tetapi justru memberikan dukungan terhadap praktik seks bebas semacam ini.
Bagi kita, ini suatu ujian iman. Kita tidak bertanggung jawab atas amal
mereka. Mudah-mudahan, dengan bimbingan dan lindungan Allah SWT, kita
selamat dalam meniti kehidupan dan mengakhiri hidup kita dengan husnul
khatimah. Amin. [Solo, 22 Muharram 1431 H/8 Januari 2010/
<http://www.hidayatullah.com> www.hidayatullah.com]

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment