Advertising

Tuesday 11 May 2010

[wanita-muslimah] Kiat Mengatasi Terorisme Di Tengah Kaum Muslimin

 



Oleh
Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin

Ada beberapa cara yang secara teoritis dapat ditempuh oleh kaum Muslimin dan
pihak - pihak berkepentingan untuk mengatasi dan memutuskan berlangsungnya
kegiatan teror. Namun, secara praktis memerlukan kesungguhan dan keikhlasan
kerja dari berbagai pihak. Motivasi yang mendorong kerja keras ini, yang paling
pokok adalah keimanan kepada Allah Azza wa Jalla, dengan maksud mencari ridha
serta pahala-Nya. 

 

Sehingga
yang diutamakan adalah kemaslahatan dan kepentingan umum, bukan kemaslahatan
dan kepentingan pribadi. Dengan demikian, akan tercipta upaya penanggulangan
bersama, dalam lingkup ta'âwun 'alal al-Birri wat-Taqwa (tolong menolong serta
kerjasama berdasarkan kebaikan dan ketakwaan), bukan atas dasar berebut
kepentingan duniawi yang memicu persaingan tidak sehat dan saling mencurigai.

 

Akar
radikalisme yang memicu tindakan kekerasan dan terorisme sebenarnya sudah
muncul semenjak zaman Sahabat masih hidup. Terutama mulai mencuat pada zaman
pemerintahan Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu 'anhu. Oleh sebab itu, beberapa
kiat yang akan dipaparkan di bawah ini di dasarkan pada langkah-langkah yang
pernah dilakukan oleh para Sahabat dan para Ulama salaf dalam mengatasi
berkembangnya akar radikalisme pada waktu itu.

 

Sebelum
menyimpulkan kiat-kiat dimaksud, alangkah baiknya dikemukakan terlebih dahulu
beberapa riwayat shahîh yang akan dijadikan landasan dalam megambil kesimpulan.

 

Riwayat-riwayat
itu antara lain :

A.        Dialog Ibnu Abbâs Radhiyallahu
'anhu dengan orang-orang khawarij.

Beliau bercerita, "Ketika orang-orang Haruriyah [1]
melakukan pembangkangan terhadap pemerintahan Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu
'anhu, mereka mengisolir diri di sebuah camp. Jumlah mereka pada waktu itu
sekitar 6000 orang. Mereka bersepakat untuk melakukan pemberontakan kepada Ali
bin Abi Thâlib. Dan sudah seringkali orang datang kepada Ali Radhiyallahu 'anhu
dan mengingatkannya seraya berkata, "Wahai Amirul Mu'minin, sesungguhnya
orang-orang Harûriyah itu akan memberontak kepada engkau". Setiap kali itu
pula Ali Radhiyallahu 'anhu menjawab, "Biarkan mereka. Saya tidak akan
memerangi mereka sampai mereka memerangi saya. Dan mereka pasti akan
melakukannya!"

Pada suatu hari, sebelum shalat Zhuhur, aku datang menemui Ali Radhiyallahu
'anhu. Aku berkata kepadanya, "Wahai Amirul Mu'minin, tundalah shalat Zhuhur
sampai waktu tidak terlalu panas, karena aku ingin berbicara sebentar dengan
orang-orang Harûriyah itu.

Ali Radhiyallahu 'anhu menjawab, "Aku mengkhawatirkan
engkau."

Aku menjawab, "Jangan khawatir !" Aku dikenal (di masyarakat) sebagai orang
yang memiliki akhlak baik, aku tidak pernah menyakiti siapapun.

Akhirnya Ali Radhiyallahu 'anhu mengizinkan aku untuk pergi mendatangi mereka.
Lalu kukenakan pakaian paling indah yang berasal dari Yaman dan ku sisir
rambutku. Selanjutnya aku datangi mereka di suatu perkampungan pada tengah hari
saat mereka sedang bersantap siang. Ternyata, aku dapati bahwa mereka itu
adalah sekelompok orang yang aku lihat, sebelumnya tidak pernah ada seorang pun
yang yang lebih bersemangat dalam beribadah selain mereka. Dahi-dahi mereka
hitam menebal karena banyak bersujud. Telapak-telapak tangan mereka seolah-olah
seperti lutut onta (karena sering digunakan untuk menopang tubuh saat
bersujud). Mereka mengenakan pakaian yang sudah usang, sedangkan wajah-wajah
mereka pucat (karena banyak shalat malam).

Aku ucapkan salam kepada mereka. Tetapi jawaban mereka adalah, "Selamat
datang wahai Ibnu Abbâs Radhiyallahu 'anhu ! Mewah sekali pakaian yang engkau
kenakan !"

Aku menjawab, " Mengapa kalian mencela aku ? Padahal aku pernah melihat
Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenakan pakain dari Yaman yang jauh
lebih indah daripada yang aku kenakan ini. Kemudian aku bacakan sebuah ayat
al-Qur'ân kepada mereka :

"Katakanlah,"Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari
Allah yang telah di keluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezeki yang baik"? [QS. Al-A'raaf (7) : 32]

Mereka lalu bertanya kepadaku, "Ada perlu apa engkau datang kemari?"

Aku menjawab, "Aku datang sebagai utusan para Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam yaitu para Muhajirin dan Anshar. Juga sebagai utusan dari anak paman
Nabi dan sekaligus menantu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Orang-orang yang kepada merekalah al-Qur'ân turun
langsung, sehingga mereka pasti lebih memahami tafsir al-Qur'ân dibanding
kalian. Sementara itu, tidak ada seorang Sahabat Nabi-pun yang berada di
tengah-tengah kalian. Sekarang aku siap (menjadi jembatan) untuk menyampaikan
kepada kalian apa yang mereka katakan, dan siap menyampaikan kepada mereka apa
yang kalian katakan.

Tiba-tiba sebagian mereka berkata kepada kawan-kawannya, "Kalian jangan
melayani pertengkaran dengan orang Quraisy, karena Allah Azza wa Jalla telah
berfirman:

"Sebenarnya
mereka adalah kaum yang suka bertengkar". [QS. Az-Zukhruf (43) : 58]

Tetapi, kemudian ada seorang yang datang menuju kepadaku. Orang ini berkata
(kepada mereka), "Ada dua atau tiga orang yang akan berbicara kepadanya
(maksudnya Ibnu Abbâs Radhiyallahu 'anhu)

Maka aku berkata, "Silakan! Apa (sebab) penolakan kalian kepada para Sahabat
Nabi dan kepada anak paman beliau?"

Mereka menjawab, "Ada tiga hal."

Aku berkata, "Apa saja ketiga hal itu?"

 

Mereka berkata, "Pertama, karena sesungguhnya Ali
Radhiyallahu 'anhu telah menjadikan manusia sebagai penentu hukum dalam urusan
(agama) Allah Azza wa Jalla. Padahal Allah Azza wa Jalla telah berfirman :

"Tidak
lain hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah". [QS. Al-An' âm
(6) : 57, juga QS. Yusuf (12) : 40 dan 67]

Aku berkata, "Ini yang pertama."

Mereka melanjutkan, "Adapun yang kedua, karena Ali Radhiyallahu 'anhu telah
memerangi (Aisyah Radhiyallahu 'anhuma, begitu juga Mu'âwiyah Radhiyallahu
'anhu), tetapi ia tidak melakukan penawanan perang dan tidak mengambil
ghanîmah. Jika yang diperangi Ali Radhiyallahu 'anhu adalah orang-orang kafir,
berarti tawanannya adalah halal. Tetapi kalau yang diperangi Ali Radhiyallahu
'anhu adalah orang-orang Mukmin, berarti tidak halal mengadakan tawanan perang
dan tidak halal pula memerangi mereka.

Aku berkata, "Ini yang nomor dua, lalu apa yang ketiga?"

Mereka berkata, "Ia telah menghapus kedudukan Amirul Mukminin dari dirinya.
Dengan demikian, kalau ia bukan Amirul Mukminin, berarti ia adalah Amirul
Kafirin (amirnya orang-orang kafir).

Aku berkata, "Apakah masih ada sesuatu yang lain selain yang tiga itu?"

Mereka menjawab, "Cukup itu saja."

Selanjutnya, akupun berkata kepada mereka, "Bagaimana pendapat kalian, jika aku
bacakan ayat-ayat dari Kitabullâh (al-Qur'ân) dan Sunnah Nabi-Nya yang dapat
membatalkan perkatakaan kalian, apakah kalian mau rujuk (kembali kepada
kebenaran)?

Mereka menjawab, "Ya."

Aku berkata, "Adapun perkataan kalian bahwa Ali
Radhiyallahu 'anhu telah menjadikan manusia sebagai penentu hukum dalam urusan
agama Allah Azza wa Jalla, maka akan aku bacakan kepada kalian ayat al-Qur'ân
yang menjelaskan bahwa Allah Azza wa Jalla telah menyerahkan hukum-Nya kepada
manusia dalam masalah yang nilainya hanya seperempat dirham. Allah Azza wa
Jalla telah memerintahkan manusia untuk menetapkan hukum dalam hal ini.

Bukankah kalian membaca firman Allah Azza wa Jalla :

 

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu
membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang
ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan hukum dua orang
yang adil di antara kamu".
[QS. Al-Ma'idah (5) : 95]

Dalam ayat ini, ketetapan hukum Allah Azza wa Jalla ialah menyerahkan keputusan
hukum kepada manusia agar memutuskan hukum tentang pembunuhan terhadap hewan
buruan yang dilakukan oleh orang yang sedang berihrâm. Padahal, jika Allah Azza
wa Jalla menghendaki, Dia akan menghukuminya sendiri. Jadi, diperbolehkan
putusan hukum manusia.

Demi Allah Azza wa Jalla, aku minta kalian bersumpah; apakah putusan hukum yang
dibuat manusia dengan tujuan mendamaikan hubungan kaum Muslimin dan mencegah
tertumpahnya darah mereka itu lebih baik ataukah urusan darah kelinci (yang
lebih baik)?

Mereka menjawab, "Tentu ini lebih baik."

Aku melanjutkan, Begitu juga tentang seorang perempuan dengan suaminya, Allah
Azza wa Jalla berfirman :

"Dan
jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang
hakam (pemutus hukum) dari keluarga laki-laki dan seorang hakim (pemutus hukum)
dari keluarga perempuan". [an-Nisa'/4:35]

Aku minta kalian bersumpah, apakah ketetapan hukum manusia dalam rangka
perdamaian hubungan sesama kaum Muslimin dan dalam rangka pencegahan bagi
tertumpahnya darah mereka, itu lebih baik ataukah ketetapan hukum manusia
tentang kemaluan seorang perempuan?

Sudahkah jawabanku menjadikan kalian puas?

Mereka menjawab, "Ya."

Selanjutnya aku berkata, "Adapun perkataan kalian (yang kedua) bahwa Ali
Radhiyallahu 'anhu memerangi (Aisyah Radhiyallahu 'anhuma), tetapi tidak
melakukan penawanan dan tidak mengambil ghanîmah. Maka (aku katakan,) "Apakah
kalian akan menawan ibu kalian; Aisyah Radhiyallahu 'anha ?, Apakah kalian akan
menghalalkannya sebagaimana kalian menghalalkan wanita lain sedangkan beliau
adalah ibu kalian? Jika kalian menjawab bahwa kami menghalalkannya sebagaimana
kami menghalalkan wanita lain yang menjadi tawanan, berarti kalian telah kafir.
Sebaliknya jika kalian mengatakan bahwa Aisyah Radhiyallahu 'anha bukan ibu
kami, kalianpun telah menjadi kafir. Sebab Allah Azza wa Jalla telah berfirman:

"Nabi
itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri
dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka". [QS. Al-Ahzab ( 33) :
6]

Dengan demikian, kalian berada pada salah satu di antara dua kesesatan,
silahkan coba cari jalan keluarnya.

Jadi apakah jawaban dapat memuaskan kalian?

Mereka menjawab, "Ya."

Aku melanjutkan, "Adapun (perkataan kalian yang ketiga) bahwa Ali Radhiyallahu
'anhu telah menghapuskan kedudukan sebagai Amirul Mukminin dari dirinya; maka
akan aku datangkan jawaban yang memuaskan bagi kalian. Yaitu, bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika membuat perjanjian damai di Hudaibiyah
dengan orang-orang kafir Mekah, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
kepada Ali Radhiyallahu 'anhu, "Hapuslah wahai Ali (kata Rasul Allah Azza
wa Jalla ). Allâhumma, sesungguhnya engkau mengetahui (wahai Ali Radhiyallahu
'anhu ) bahwa aku adalah Rasul Allah Azza wa Jalla. Tulislah kata-kata, "Ini
adalah perjanjian damai yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdullâh'."[2]

(Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu selanjutnya berkata:) Demi Allah, sesungguhnya
Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam pasti lebih baik dari Ali Radhiyallahu
'anhu, ternyata beliau telah menghapus kata 'Rasul Allah' dari dirinya, dan
ternyata hal itu tidak berarti bahwa beliau menghapus kenabian dari dirinya.

Sudahkah aku dapat keluar (dari perkataan kalian) hingga menjadikan kalian
puas?

Mereka menjawab, "Ya."

Akhirnya, ada dua ribu orang di antara mereka yang rujuk (kembali kepada
kebenaran), sedangkan sisanya tetap melakukan pembangkangan dan pemberontakan.
Akhirnya, dalam kesesatan mereka, mereka semua dibunuh oleh para Sahabat
Muhajirin dan Anshar dalam peperangan".[3]

Dari riwayat ini dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain :

1.         Khawârij
  adalah   pencetus   lahirnya   gerakan   radikal   kaum

Muslimin, yang intinya adalah takfîr (pengkafiran)
terhadap umat Islam, khususnya para penguasa.

 

2.         Upaya
pembinaan dilakukan dengan cara dialog oleh orang yang ahli dan menguasai
dalil.

3.         Pelaku   pembinaan,  di samping  harus   menguasai
  dalil   dan

bermanhaj salaf, juga harus dikenal sebagai orang
yang berakhlak mulia, sehingga memperkecil kemungkinan mendapat perlakuan yang
berbahaya.

 

4.         Pembinaan
  dilakukan   dengan  penuh hikmah. Yang dimaksud

penuh hikmah adalah ilmiah berdasarkan kekuatan
hujjah dan tidak berbentuk tekanan berupa penghinaan. Sebab, hal itu akan dapat
menghambat keterbukaan.

5.         Radikalisme   dan   kegiatan
  peledakan   pada   akhir
- akhir ini

dimotori oleh orang-orang yang memiliki kemampuan
mengemukakan dalil-dalil untuk membenarkan tindakannya meskipun salah. Mereka
juga menguasai serta menghafalkan dalil-dalil, beberapa kaidah penting dan
penafsiran para Ulama terkenal yang mereka fahami menurut kemauan mereka.
Sehingga apabila pembinaan dilakukan oleh orang-orang yang tidak menguasai
ajaran Islam dengan benar, maka argumentasinya akan dianggap angin lalu,
meskipun untuk sementara waktu mungkin ditanggapi diam. Tetapi sebanarnya
sedang menimbun api dalam sekam.

6.         Mereka  tentu  terdiri
dari kelompok-kelompok yang berjengjang.

Karena itu memerlukan penanganan terpisah menurut
bobot masing-masing.

7.         Intisari   dari   kesimpulan
  ini    adalah    kembali   pada manhaj

Sahabat. Sebab al-Qur'ân turun langsung kepada para
Sahabat, sehingga merekalah yang paling memahami makna-makna dan maksud-maksud
al-Qur'ân dengan bimbingan langsung dari Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Cara inilah yang ditempuh oleh Ibnu Abbâs Radhiyallahu 'anhuma, dan
beliau adalah seorang Sahabat.

 

B.        Riwayat  yang kedua adalah tentang kasus Yazîd bin
Shuhaib al-Faqîr.

Seorang tabi'in yang berdomisili di Kufah Irak,
negeri yang waktu itu banyak didominasi oleh berbagai aliran menyimpang, di
antaranya orang-orang khawârij. Semula, ia termakan oleh pemikiran sesat
khawarij, dan bahkan menjadi tokoh. Namun, akhirnya Yazîd terselamatkan dari
kesesatan pemikirannya setelah bertemu dengan seorang Sahabat Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam dan mengkonsultasikan pemahamannya tentang al-Qur'ân kepada
Sahabat Nabi tersebut.

Riwayat ini terdapat dalam Kitab Shahîh Muslim. Kisahnya adalah sebagai
berikut:[4]

Yazid al-Faqîr berkata, "Aku sangat tergiur dengan pemikiran khawârij. Suatu
ketika kami keluar bersama sekelompok orang (khawârij) dalam jumlah besar untuk
pergi haji, kemudian kami melakukan penentangan kepada umat (dengan kekuatan
bersenjata). Kami melewati kota Madinah dan ternyata ada Jâbir bin `Abdillâh z
yang duduk sambil bersandar pada salah satu tiang masjid, sedang membawakan
hadits-hadits Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Selanjutkan Yazîd mengatakan, "Tiba-tiba Jâbir bin `Abdillâh (seorang Sahabat Nabi)
menyebut-nyebut tentang Jahannamiyun (orang-orang yang dibakar di dalam neraka
Jahanam, namun kemudian dimasukkan ke dalam surga). Aku bertanya kepadanya,
"Wahai Sahabat Nabi! Apa yang sedang engkau ceritakan ini?! Bukankah Allah
Azza wa Jalla berfirman :

"Ya
Rabb kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka
sungguh Engkau pasti hinakan ia (maksudnya pasti kekal dalam neraka)".
[QS. Ali Imrân (3) : 192]

Dan Allah Azza wa Jalla juga berfirman :

"Setiap
kali mereka hendak keluar dari neraka, mereka dikembalikan (lagi) ke
dalamnya". [QS. As-Sajdah (32) : 20].

Jadi, apa maksud ucapanmu ini?!"

Syaikh Masyhûr bin Hasan Alu Salmân, seorang Ulama Yordania, sampai pada
penggalan hadits di atas memberikan penjalasan berikut [5]: "Tabi'in
(Yazid al-Faqîr) ini berhujjah berdasarkan ayat-ayat al-Qur'ân yang difahami
menurut pemikirannya. Ia telah didoktrin dengan ayat-ayat semacam ini bahwa
ayat-ayat itu menegaskan pengertian-pengertian yang difahami secara terpisah
tanpa melihat hubungannya dengan nash-nash lainnya. Maka, Sahabat Nabi yang
mulia, Jâbir bin `Abdillâh Radhiyallahu 'anhu mengingatkan akan kesalahan
manhaji (kesalahan dalam metodologi pemahaman) yang dilakukan Yazîd ini."
Karena itulah, Jâbir bin `Abdillâh berkata kepada Yazîd al-Faqîr:

"Apakah engkau membaca al-Qur'ân?" Aku (Yazîd) menjawab,
"Ya".

 

Jâbir Radhiyallahu 'anhu berkata lagi, "Apakah
engkau pernah mendengar tentang kedudukan terpuji Nabi (al-Maqam al-Mahmûd)
yang ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla ?"

Aku menjawab: "Ya".

Jabir berkata, "Itulah kedudukan terpuji Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam yang karena kedudukan itu Allah Azza wa Jalla mengeluarkan orang-orang
yang dikehendaki-Nya dari neraka.

Selanjutnya Yazîd menceritakan, "Kemudian Jâbir Radhiyallahu 'anhu menjelaskan
sifat pemasangan jembatan shirâth di atas Jahanam dan menceritakan pula sifat
lewatnya manusia pada jembatan shirâth ini. Yazîd melajutkan, "Dan masih banyak
lagi yang diceritakan Jâbir Radhiyallahu 'anhu, yang mungkin sebagian aku lupa.
Tetapi yang jelas Jâbir z menyatakan tentang kepastiannya bahwa ada sekelompok
orang yang akan keluar dari neraka sesudah mereka di azab di dalamnya…dst."

Setelah Jâbir Radhiyallahu 'anhu memaparkan hadits itu kepada Yazîd, akhirnya
Allah memberikan hidayah petunjuk kepadanya berupa pemahaman yang benar
terhadap ayat-ayat yang dikemukakannya di atas. Yazîd mengatakan, "Kami
kembali (ke Kufah), dan kamipun berkata kepada sesama orang yang bersama kami,
'Aduhai betapa celaka kalian! apa mungkin Syaikh (Jâbir) berdusta atas nama
Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam ?' Akhirnya, kamipun rujuk (dari
pendapat yang salah). Demi Allah Azza wa Jalla, setelah itu, tidak ada seorang
pun dari kami yang keluar untuk melakukan pemberontakan kecuali hanya satu orang
saja."

Dari riwayat yang kedua dapat disimpulkan beberapa hal berikut :

1.         Melalui     keyakinan     terhadap     kebenaran     Sahabat   Nabi

Shallallahu 'alaihi wa sallam, akhirnya Allah Azza wa
Jalla membukakan pintu hati Yazîd bin Shuhaib al-Faqîr, sehingga dia selamat
dari pemahaman sesat yang hampir menjerumaskannya ke dalam tindakan
pemberontakan. Keyakinan semacam ini, bagi para Ulama Rabbani, merupakan salah
satu syarat bagi seseorang yang ingin mendapat manfaat dari bimbingan para
Ulama, sehingga langkahnya menjadi benar, dalam kondisi apapun pada umumnya,
maupun dalam kondisi kacau pada khususnya [6].

 

2.         Pembinaan
untuk menyadarkan kaum radikal akan sangat bermanfaat bila menggunakan
hujjah-hujjah yang dikemukakan para Ulama berdasarkan hujjah para Sahabat.
Sehingga syubhat (keracuan faham) yang menyelimuti pemikiran mereka akan
tersingkirkan. Itulah jalan satu-satunya untuk memperbaiki pemahaman serta
langkah-langkah mereka [7].

 

3.         Dialog-dialog
pembinaan harus dilakukan oleh orang-orang yang manhajnya lurus dan menguasai
dalil.

 

4.         Kisah
ini membuktikan perlunya semua Muslim memahami nash-nash Al-Qur'ân dan Sunnah
dengan mengikuti pemahaman para Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Secara keseluruhan, melalui dua riwayat di atas dapat disimpulkan
langkah-langkah berikut:

1.         Mengembalikan umat Islam pada
pemahaman Islam yang benar

sebagaimana pemahaman para Sahabat Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam.

2.         Pembinaan  yang  benar
 kepada  umat Islam terutama generasi

mudanya. Pembinaan ini harus melibatkan para tokoh
yang betul-betul memahami Islam, dalil-dalil serta istidlâl (penggunaan dan
penerapan dalil)nya.

3.         Bimbingan  serta  penyuluhan
 dari pihak - pihak berkepentingan

berdasarkan dalil-dalil serta argumentasi-argumentasi
yang kuat yang bisa diterima sebagai kebenaran oleh semua kalangan meskipun
tidak sependapat.

4.         Tidak  semua orang diperkenankan ikut bersuara dan
berbicara,

apalagi tanpa dalil. Sebab, hal ini tidak
menyelesaikan masalah, justru menambah ketidakpercayaan banyak kalangan umat
Islam. Dan ini berarti menimbun api dalam sekam. Apalagi sindiran-sindiran
keras melalui forum-forum resmi yang tidak berdasarkan dalil.

Allah Azza wa Jalla berfirman :

 

"Dan
apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).
Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu
mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu)". [QS. An-Nisâ'
(4) : 83]

5.         Memutuskan   mata   rantai
  tumbuh   kembangnya  pembinaan

radikal ala takfîri. Tokoh-tokohnya dipisahkan secara
bijaksana dengan para obyek binaan. Masing-masing ditangani secara terpisah
dalam wadah pembinaan tersendiri, sesuai dengan bobot masing-masing.

6.         Menjelaskan perbedaan makna
antara jihad syar'i dengan jihad-

jihad lain yang revolusioner dan tidak syar'i.

 

 

Wallâhu
A'lam, wa 'alaihi at-Tuklân.

Marâji':

1. Fathul Bâri, Jâmi'atul Imam, Riyâdh, KSA.

2. Shahîh Muslim Syarh an-Nawawi, tahqîq: Khalîl Ma'mûn Syiha, Dârul-Ma'rifah,
Beirut, cet. III, 1417 H/1996 M.

3. Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafiy, Syaikh Sâlim bin 'Id al-Hilâliy,
ad-Durarr al-Atsariyah, Amman, Yordania, cet. I, 1420 H/1999 M.

4. Al-Mustadrak 'Ala ash-Shahîhain, Imam al-Hâkim, Dârul-Ma'rifah, Beirut, cet.
II, 1427 H/2006 M

5. Al-'Irâq Fî Ahâdîts wa Atsar al-Fitan, Syaikh Abu Ubaidah Mashûr bin Hasan
Alu-Salmân, Maktabah al-Furqân, Dubai, Emirat, cet. I, th. 1425 H/2004 M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10//Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo
Solo 57183 Telp. 0271-761016]

________

Footnote

[1]. Orang-orang Harûriyah adalah orang-orang khawârij. Dinamakan harûriyah
karena mereka awalnya mengkonsentrasikan diri di daerah Harûra', sebuah desa
yang terletak kurang lebih dua mil dari Kûfah.

[2]. Kisah yang senada dengan ini banyak diriwayatkan dalam hadits shahîh, di
antaranya oleh Imam al-Bukhâri dalam kitab Shahîhnya. Lihat Fathul Bâri 5/303,
Kitab Ash-Shulhi , no. 2698 dan 2699, dan Imam Muslim dalam Shahîhnya, lihat
Shahîh Syarh an-Nawawi, tahqîq: Khalîl Ma'mûn Syiha, Dârul Ma'rifah, Beirut,
cet. III, 1417 H/1996 M, 12/348-349, dari hadits al-Barrâ' bin 'Azib, no. 4605
dan 3/351, dari Anas, no. 4608.

[3]. Riwayat ini dinukil dari Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafiy, Syaikh
Sâlim bin 'Id al-Hilâliy, ad-Durarr al-Atsariyah, Ammân, Yordania, cet. I, 1420
H/1999 M, hlm. 101-104, no. 3 di bawah sub judul: Ihtijâj ash-Shahâbah dst.
Riwayat senada banyak dikemukakan oleh para Imam. Di antaranya terdapat dalam
kitab Al-Mustadrak 'Ala ash-Shahîhain, Imam al-Hâkim, Dârul-Ma'rifah, Beirut,
cet. II, 1427 H/2006 M, 2/494-496, no. 2703, Kitab Qitâl Ahli al-Baghiy, Bab
Munâzharah Ibnu Abbâs Ma'al-Harûriyyah. Imam Hâkim mengatakan, "Riwayat ini
shahîh sesuai dengan syarat dua orang Syaikh; Imam al-Bukhâri dan Muslim,
tetapi keduanya tidak mengeluarkan hadits ini. Syaikh Sâlim al-Hilâliy juga
mengatakan, "Atsar ini shahîh.

[4]. HR. Muslim, Lihat Syarh Shahîh Muslim, an-Nawawi, 3/50 no. 472

[5]. Lihat Abu Ubaidah, Syaikh Mashûr bin Hasan Alu-Salmân, al-'Irâq Fî Ahadits
wa Atsarul-Fitan, Maktabah al-Furqân, Dubai, Emirat, cet. I, th. 1425 H/2004 M.
1/110-111.

[6]. Syaikh Masyhûr, al-'Irâq, Ibid

[7]. Ibid, dengan bahasa bebas.

 

 

www.almanhaj.or.id\content\2688\slash\0.html

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.


Get great advice about dogs and cats. Visit the Dog & Cat Answers Center.


Hobbies & Activities Zone: Find others who share your passions! Explore new interests.

.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment