Advertising

Friday 14 May 2010

[wanita-muslimah] Tumpukan Kasus di Negeri Lupa

 


http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/tumpukan-kasus-di-negeri-lupa/

Jumat, 14 Mei 2010 14:08
Tumpukan Kasus di Negeri Lupa
OLEH: VICTOR SILAEN

Di bulan Mei, 12 tahun silam, ada beberapa hari yang ditandai dengan dua peristiwa penting yang saling terkait dan berkumulasi hingga akhirnya menimbulkan energi besar bagi rakyat untuk bersatu menuntut Soeharto turun sebagai presiden.

Pertama, peristiwa penembakan di Universitas Trisakti, 12 Mei, yang menewaskan empat mahasiswa. Kedua, peristiwa 13-15 Mei yang dikenang sebagai Tragedi Mei, dengan aksi pembakaran, perusakan, dan penjarahan di sana-sini disertai pemerkosaan terhadap sejumlah perempuan Tionghoa.

Meski bukan merupakan faktor utama yang membuka jalan bagi reformasi, tapi tak dapat disangkal bahwa oleh kedua peristiwa itulah yang memicu Indonesia membuka pintu bagi demokratisasi dan penghormatan atas hak asasi manusia (HAM). Tak dapat disangkal juga bahwa banyak elite politik maupun pemimpin dari berbagai kalangan yang menikmati perubahan itu, karena seiring waktu mereka terangkat ke pentas kekuasaan. Tetapi, terpanggilkah mereka untuk secara serius melakukan hal-hal yang sekiranya dapat menuntaskan penyelesaian atas kasus-kasus kejahatan kemanusiaan itu?

Faktanya, pasca-Soeharto, dari BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, sampai jabatan presiden kini dipegang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kedua kasus itu tak kunjung terselesaikan. Buktinya, masih ada keluarga korban yang berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, 11 Mei lalu, demi menuntut ketegasan pemerintah. Mereka menilai, dalam upaya penegakan hukum, pemerintahan Presiden SBY tidak serius dan belum sepenuhnya menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Mungkinkah pemerintah sengaja melupakannya karena sudah terlalu banyak beban yang harus dipikul? Kalau begitu bagaimana dengan kasus-kasus lainnya, baik sebelum maupun sesudah Mei 1998?
Negeri ini bagaikan punya gudang khusus berisi tumpukan kasus. Ada yang tiba-tiba mencuat lalu lenyap dalam sekejap. Entah sengaja dipetieskan seraya berharap rakyat akan melupakannya, kita tak pernah benar-benar tahu. Begitu banyaknya, sampai-sampai kita pun bingung bagaimana pemerintah dan lembaga/instansi terkait penegakan hukum akan menanganinya satu per satu.

Terkait itu, Indonesia sebenarnya membutuhkan lembaga khusus semacam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Dengan dan di dalam KKR, konsep keadilan restoratif dioperasikan: keadilan dicapai dengan melibatkan si pelaku kejahatan/pelanggar HAM, si korban, dan komunitas yang dirugikan oleh perbuatan si pelaku tersebut. Yang terpenting dalam hal ini adalah kebenaran diungkapkan dan pihak yang bersalah dituntut meminta maaf secara terbuka. Namun, prosesnya tak berhenti sampai di situ. Harus dipegang teguh prinsip bahwa memaafkan bukanlah mengabaikan apa yang telah terjadi (to forgive is not to ignore). Di dalam hal inilah KKR berperan untuk menentukan langkah-langkah apa yang selanjutnya dilakukan.

KKR bukan merupakan jalan bagi para pelaku kejahatan/pelanggar HAM memperoleh pengampunan tanpa upaya mengungkap kebenaran di balik pelbagai peristiwa yang telah melahirkan tragedi kemanusiaan tersebut. Sebab, prinsip rekonsiliasi adalah pertautan dalam kesepakatan yang utuh antara pemerintah baru dan para korban, dan bukan antara pelaku dan rezim penguasa baru. Ini untuk menetapkan pertanggungjawaban terhadap para pelaku kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM tersebut (Munir, 2000).
Rekonsiliasi sebenarnya telah lazim ditempuh oleh masyarakat di negara-negara yang sedang bertransisi menuju demokrasi, untuk menghadapi masa silamnya yang tercabik-cabik oleh kekejaman represi politik pemerintah. Itulah sebabnya, selain bertujuan mewujudkan perdamaian di masa depan, rekonsiliasi juga bertujuan terungkapnya kebenaran dan tercapainya keadilan. Setelah itu, proses masih harus berlanjut ke arah terjadinya rekonstruksi dan rehabilitasi (fisik dan psikis).

Rakyat Berhak Tahu
Di sebuah negara yang sedang bertransisi, rakyat berhak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di masa silam, mengapa dan bagaimana peristiwa itu terjadi, siapa pelakunya, dan hal-hal lain yang terkait dengannya. Selain itu, pihak korban juga berhak tahu mengapa ia dijadikan korban. Ia pun berhak memberikan kesaksiannya ihwal siapa pelaku yang telah menjadikannya sebagai korban. Selanjutnya, sebagai pihak yang pernah menjadi korban di masa silam, ia harus dijamin haknya untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi (victim's rights for compensation, restitution, and rehabilitation), dan hak korban akan jaminan tidak terulangnya lagi kekerasan tersebut (victim's rights at guaranteeing non recurrence violation).

Indonesia pernah memiliki UU No 27 Tahun 2004 sebagai landasan pembentukan KKR. Itu berarti Indonesia sudah memutuskan untuk tidak terpenjara oleh masa silamnya yang kelam. Demi terwujudnya Indonesia Baru yang demokratis dan dipenuhi kedamaian, masa silam yang dipenuhi pelbagai kasus pelanggaran HAM itu harus diselesaikan. Namun, amat disayangkan, pada 7 Desember 2006, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No 27 Tahun 2004 tentang KKR, yang membuat lembaga ini harus mati sebelum lahir. Herannya, hingga kini tak terlihat kemauan politik dari pemerintah maupun wakil rakyat untuk mengajukan rancangan baru pengganti UU tersebut.

Inilah yang membuat kita prihatin. Di satu sisi, Indonesia dipuji sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia dan kekuatan utama di ASEAN, yang juga dinilai telah memainkan peran penting dalam mendorong pelaksanaan HAM di kawasan Asia-Pasifik. Demikian dikatakan Menteri Luar Negeri Norwegia Kjetil Skogrand dalam Dialog HAM ke-5 Indonesia-Norwegia, 27 April 2006. Peran Indonesia di bidang penegakan HAM juga diakui dunia, terbukti dengan terpilihnya negara ini menjadi anggota Dewan HAM PBB pada 9 Mei 2006 di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat. Namun, di sisi lain, mengapa fakta-fakta di dalam negeri sendiri menunjukkan banyak hal yang bertolak-belakang?

Suciwati dan Aksi Kamisan
Inilah salah satu masalah besar Indonesia sebagai negara yang sedang mereformasi dirinya. Indonesia ibarat sebuah "negeri lupa", tempat di mana pelbagai pelanggaran HAM di masa silam terlupakan begitu saja. Namun, kita bersyukur ada orang se­perti Suciwati, istri (almar­hum) Munir, yang tak kenal lelah berjuang menuntut keadilan dan kebenaran terkait terbunuhnya sang pejuang HAM itu.

"Yang kami lakukan ini adalah salah satu upaya melawan lupa," ujarnya tentang aksi-aksi yang kerap dilakukannya bersama Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, sebuah organisasi non-pemerintah yang didirikan di penghujung era Soeharto) dan para keluarga korban pelanggaran berat HAM di masa lalu.
"Korban dan keluarga korban sepertinya kehabisan energi secara psikologis, ekonomi, dan semuanya sepertinya tidak menghasilkan apa-apa. Tetapi, perjuangan tak boleh berhenti. Kalau korban diam, semuanya lewat dan peristiwa serupa terus terjadi. Kita juga tidak bisa menyandarkan perjuangan ini pada pihak lain. Kita harus berjuang sendiri" (Kompas, 20 Agustus 2007).

Sementara itu, seorang keluarga korban yang lain berkata begini: "Saya bilang, yang kita lakukan ini adalah kerja panjang yang mungkin baru berdampak pada generasi berikutnya. Tugas kita adalah menunjukkan pada anak-anak kita bahwa penguasa cenderung menutup telinga, mata, dan hatinya terhadap pelanggaran berat hak-hak asasi manusia; dan bahwa bangsa ini telah mengingkari sejarahnya sendiri."

Setiap Kamis, jika tak ada halangan, para keluarga korban pelanggaran HAM itu selalu melakukan aksi duduk-diam di depan Istana Merdeka, Jakarta, seraya membawa foto para korban dan tema tertulis yang hendak diangkat dalam setiap aksi. Perjuangan mereka tak mengenal batas waktu. Artinya, mereka bertekad tak akan berhenti beraksi sampai negara menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang pernah terjadi.

Aksi Kamisan itu diinspirasi oleh aksi serupa setiap Selasa di Plaza de Mayo, Buenos Aires, Argentina. Kegiatan itu dimulai tahun 1977, diprakarsai para ibu dari orang-orang muda korban penculikan aparat junta militer di negeri itu. Para ibu itu menggemakan suara yang tak pernah terdengar di ruang politik Argentina: meminta pertanggungjawaban negara. Mereka sebelumnya tak pernah ikut politik, bahkan tak pernah berpikir tentang politik. Nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan ditempa melalui pengalaman personalnya.

Mereka mengangkat nilai-nilai itu ke dalam sistem yang melakukan teror terhadap warganya sendiri selama The Dirty War (1976-1983) dan sesudahnya karena pemerintah baru tetap mempertahankan militerisme yang menolak bertanggung jawab atas kasus-kasus pelanggaran HAM di negara itu. Berdasarkan catatan resmi dari Argentina, lebih dari 1.500 orang muda dan mereka yang dianggap "berbahaya" dihilangkan selama era rezim junta militer Argentina yang dipimpin Jenderal Jorge Rafael Vadela (1976-1983).

Penulis adalah dosen di FISIP Universitas Pelita Harapan.

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.


Get great advice about dogs and cats. Visit the Dog & Cat Answers Center.


Hobbies & Activities Zone: Find others who share your passions! Explore new interests.

.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment