Advertising

Wednesday 21 July 2010

[wanita-muslimah] [Dokumen Tercecer]: Renungan Tentang G30s/PKI dan Orde Baru

 

Bibliography on the Events of 1965-66 in Indonesia, Please click:
http://www.sejarahsosial.org/2009/09/11/bibliography-on-the-events-of-1965-66-in-indonesia/

****

Sumber: http://pemudaindonesiabaru.blogspot.com/2009/09/renungan-tentang-g30spki-dan-orde-baru.html

Kamis, 10 September 2009

Renungan
Tentang G30s/PKI dan Orde Baru

Renungan Tentang G30s/PKI dan Orde Baru -
Rejim militer Orde Baru
yang dikepalai Suharto selama 32 tahun telah memerintah dengan
mentrapkan berbagai macam "peraturan perundang-undangan gila ", yang
ditujukan bagi para eks-tapol atau orang-orang yang pernah ditahan, yang
menurut Kopkamtib berjumlah 1.900 000 orang. Peraturan
perundang-undangan yang paling sedikitnya ada 30 macam ini, memang
terutama sekali berlaku bagi seluruh anggota PKI dan ormas-ormas yang bernaung di bawah PKI. Namun, dalam prakteknya
banyak sekali orang yang tidak ada sangkut-pautnya dengan PKI pun
ikut-ikut menderita kesulitan dengan adanya berbagai peraturan yang
aneh-aneh itu.

Seperti kita ingat atau kita ketahui ada
peraturan " Surat bebas G30S "bagi orang yang melamar pekerjaan.
Bahkan, ada yang untuk sekolah pun diharuskan punya surat ini. Ada pula
peraturan yang gila juga, yaitu apa yang dinamakan "bersih lingkungan "
Artinya, kalau ada orang yang salah satu saja di antara
sanak-saudaranya yang diduga atau dituduh dekat dengan PKI atau
organisasi-organisa si kiri maka ia akan mendapat berbagai kesulitan.

Istilah
« tidak terlibat baik langsung maupun tak langsung dalam gerakan kontra
revolusi G30S/PKI » merupakan momok yang mengancam banyak orang selama
puluhan tahun. Bahkan, yang lebih gila lagi, adalah bahwa ancaman ini
berlaku juga bagi anak-cucu mereka, walaupun mereka jelas-jelas sekali
tidak tahu menahu sama sekali dengan G30S.

Dengan membaca kembali
bahan dari LPR KROB (Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rejim Orde
Baru) di bawah ini kita melihat bahwa rejim militer Suharto sudah
melakukan kejahatan besar sekali, dengan membikin peraturan atau
perundang-undangan yang diskriminatif dan menyusahkan banyak orang, dan
selama puluhan tahun pula ! Dalam hal ini peran Golkar adalah sama saja
busuknya atau jahatnya dengan golongan militer. Dosa-dosa besar Golkar
tidak bisa dipisahkan dengan dosa para pimpinan militer pendukung
Suharto. Golkar dan kontra-revolusi yang dibenggoli oleh Suharto adalah
satu dan senyawa.

Silakan para pembaca menyimak kembali dan
merenungkan dalam-dalam berbagai hal yang diutarakan oleh dokumen LPR
KROB bulan September 2006, yang berikut di bawah ini.

Tragedi 65/66

Tragedi 65/66 terjadi 41 tahun yang lalu.
Rangkaian peristiwa yang saling berkaitan antara yang satu dengan
lainnya. Dilaksanakan tahap demi tahap untuk memuluskan tercapainya
tahapan terakhir. Terkenal dengan kudeta merangkak.G30S 1965. Dalam
peristiwa ini mengakibatkan korban dibunuh, 6 orang jenderal dan 1 orang
perwira.

Tragedi 65/66, Pembantaian Massal

Tanggal 17
Oktober 1965 pasukan elite RPKAD dipimpin Kolonel Sarwo Edhi Wibowo
menuju Jawa Tengah. Tanggal 22 Oktober 1965 terjadi pembantaian massal
selama dua minggu di Jawa Tengah; diteruskan di Jawa Timur selama satu
bulan dan kemudian beralih di Bali. Di Sumatera Utara pembantaian
dilaksanakan 1 Oktober 1965. Pembantaian yang sama terjadi di daerah
lain di Indonesia.

Penyalahgunaan SP (Surat Perintah) 11
Maret 1966

Penerima SP, Soeharto menyalahgunakan SP 11 Maret 1966
oleh pemberinya, Soekarno. SP 11 Maret 1966 adalah pendelegasian
kekuasaan (delegation of authority) tetapi ditafsirkan oleh penerimanya,
Soeharto, sebagai pemindahan kekuasaan (transfer of authority).
Beranjak dari pengertian yang salah ini, digunakan oleh Soeharto untuk
menangkap menteri, pembantu setia Bung Karno, dengan alasan diamankan.
Tidak hanya para menteri, tetapi pengikut Bung Karno dari partai-partai
nasional dan Islam, 125 ormas buruh, tani, wanita, pemuda,
pelajar/mahasiswa, seniman/sastrawan, guru, pamong desa, etnis Tionghoa,
semuanya dilibas.

Kudeta terhadap Presiden RI yang sah,
Soekarno Tahapan akhir rangkaian peristiwa ini adalah tujuan sebenarnya
yang dituju. Kudeta Presiden RI yang sah, Soekarno. Melalui MPRS yang
sudah dibongkar-pasang agar dianggap konstitusional, Soeharto diangkat
menjadi Presiden RI pada tahun 1967.Kudeta merangkak ini didukung
sepenuhnya oleh CIA (AS).

Sukses di Jakarta ada kemiripan dengan
kejadian di Cile 1970. Ketika itu CIA melaksanakan misi amat rahasia,
melakukan pembunuhan terhadap Jenderal Schneider, Kepala Staf AD Cile
yang telah menolak melakukan kudeta untuk menghalangi pemilihan Salvador
Allende sebagai presiden. Selanjutnya, CIA mendukung komplotan AD Cile
melakukan kudeta berdarah terhadap Presiden Allende yang telah terpilih
secara demokratis. Jenderal Pinochet naik tahta. Bandingkan nasib
Jenderal Schneider dan Jederal A Yani, Allende dengan Bung Karno. Salah
satu operasi penyesatan

CIA untuk meningkatkan suhu politik di
Cile dengan menyebarkan kartu-kartu kepada tokoh serikat buruh kiri
maupun para perwira militer kanan dengan tulisan Djakarta ce acerca
(Jakarta sedang mendekat).

Tap MPRS 25/1966 tentang
Pembubaran dan Pelarangan PKI merupakan instrumen politik bagi Soeharto
dan pendukungnya untuk "membersihkan " mereka yang loyal terhadap
Soekarno di kabinet Dwikora, MPRS, DPRGR. Kemudian melalui UU No 10/1966
tentang Kedudukan MPRS dan DPRGR, Soeharto mengangkat orang-orang
kepercayaannya untuk menduduki jabatan anggota MPRS, DPRGR dan kabinet
tandingan yang disebut kabinet Ampera terutama dari golongan militer.

Dalam
UU No 10/1966 untuk pertama kali muncul istilah tidak terlibat baik
langsung maupun tak langsung dalam gerakan kontra revolusi G30S/PKI dan
atau organisasi terlarang/terbubar lainnya, terutama menyangkut
persyaratan untuk menduduki jabatan politik atau publik.

Peristiwa
1965 merupakan tahun pembatas zaman. Zaman berubah antara sebelum 1965
dan sesudahnya. Perubahan itu terjadi dalam bidang ekonomi, politik dan
sosial budaya secara serentak. Ajaran Bung Karno untuk menentukan rah
revolusi Indonesia dihancurbinasakan.

Sesudah tahun
1965, politik luar negeri berubah total. Dari nonblok menjadi pro barat,
menjadi pengikut AS. Ekonomi Indonesia yang dulunya berdikari berubah
menjadi ekonomi yang tergantung pada modal asing. Dalam bidang
kebudayaan, sebelum 1965, bebas berpolemik; sesudah 1965 budaya
seolah-olah satu, menjadi monolitik. Tidak ada lagi perbedaan, semua
seragam.

Tindakan Keji

Tragedi 65/66,
kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan warga negara tak
bersalah menurut keterangan almarhum Jenderal Sarwo Edhi Wibowo Komandan
Resimen RPKAD kepada Permadi SH berjumlah 3 juta orang. Kuburan massal
berserakan di berbagai tempat di Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sumatera
Utara dan tempat-tempat lain. Belum lagi mayat-mayat yang dimasukkan
luweng dan dibuang di sungai-sungai.

Penahanan/pengasingan/dihukum berjumlah 1.900.000 orang menurut keterangan resmi Kopkamtib.
Penjara di seluruh Indonesia dijadikan tempat tahanan. Bila penjara
sudah penuh, gedung lainnya dipergunakan seperti Gudang Padi di
Bojonegoro (Jawa Timur).

Pulau Nusakambangan, Pulau Buru,
Plantungan, Pulau Kemarau (Sumatera Selatan) dijadikan tempat
pengasingan/ konsentrasi kam. Dengan mengerjapaksakan tapol didirikan
tempat-tempat isolasi di beberapa daerah seperti Argosari (Kalimantan
Timur), Loe Mojong (Sulawesi Selatan), Nanga-Nanga, Kendari (Sulawesi
Tenggara), Wadas Lintang, Brebes Jawa Tengah.

Penangkapan dan penahanan seringkali disertai dengan perampasan harta
benda seperti rumah, tanah, uang, perhiasan, surat-surat berharga.
Selama masa penahanan tapol mengalami interogasi yang disertai
penyiksaan, dipukuli dengan tangan kosong, atau dengan alat, digunduli,
disetrum dan dipaksa menyaksikan penyiksaan tahanan lainnya.

Bagi tapol perempuan mengalami pelecehan seksual bahkan ada yang
diperkosa berkali-kali. Ibu-ibu tapol yang mengandung terpaksa
melahirkan dalam tahanan/penjara. Isteri tapol laki-laki dijadikan
sasaran rayuan gombal aparat negara. Sebagian dari mereka yang ditahan
dalam usia sangat muda sehingga kehilangan kesempatan untuk menikmati
masa muda, terpaksa putus sekolah dan bereproduksi.

Setidaknya ada dua cara yang digunakan dalam proses "pembersihan "
terhadap mereka yang dituduh sebagai orang komunis.

Pertama: cara nonformal, yaitu operasi "pembersihan: tanpa proseduryang
oleh pihak militer dengan memobilisasi organisasi-organisa si
paramiliteryang bernaung di berbagai organisasi. Kelompok ini diberi
kewenangan untuk bertindak menjadi hukum dan hakim sekaligus.

Kedua: secara formal penangkapan dan pemeriksaan terhadap
orang-orang yang dituduh komunis dilakukan oleh sebuah sistem atau
lembaga di bawah Kopkamtib atau Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda). Di
tingkat pusat, disebut Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu); di daerah disebut
Tim Pemeriksa Daerah (Teperda). Tim diberi otoritas untuk melakukan
proses screening terhadap semua orang yang dituduh sebagai komunis,
kemudian membuat klasifikasi dan penggolongan. Setelah melalui screening
para tahanan dikirimkan ke kam-kam tahanan. Tidak ada jaminan kepastian
hukum terhadap jutaan tahanan yang dituduh komunis.

Dengan demikian "pembersihan" terhadap mereka yang dituduh komunis
dijalankan sangat sistematis dengan menggunakan hirarki kekuasaan,
melalui penerbitan peraturan maupun tindakan aparat; dan terjadi secara
meluas di seluruh wilayah RI. Kopkamtib tak lain seperti mesin penggilas
yang digunakan untuk melumatkan siapapun di persada tanah air Indonesia
tercinta yang hendak melawan kekuasaan Soeharto, kekuasaan Orde Baru.

Perlakuan Yang Diskriminatif

Sampai tahun
1979, datang tekanan dari dunia internasional, terutama dari Amnesti
Internasional dan negara-negara donor. Mereka mendesak Indonesia untuk
mengeluarkan para tahanan politik dari kam-kam tahanan sebagai prasyarat
untuk cairnya bantuan internasional bagi pemerintah Indonesia.

Tahun 1979, tapol secara formal dibebaskan. Dalam Surat
Pembebasan / Pelepasan dinyatakan bahwa mereka tidak terlibat dalam
peristiwa G30S/PKI. Dalam kenyataannya, pembebasan bukan berarti
kebebasan tanpa syarat bagi mantan tapol, mereka masih dikenakan « "
wajib lapor" kepada pejabat dan lembagakemiliteran yang ada di sekitar
tempat tinggalnya.

Tindakan demikian dianggap belum
cukup. Mantan tapol diberlakukan berdasarkan peraturan yang
diskriminatif. Tidak kurang dari 30 peraturan perundang-undangan yang
diskriminatif diterbitkan, antara lain:

Surat Edaran BAKN
No 02/SE/1975 tentang tidak diperlukan Surat Keterangan Tidak Terlibat
dalam G30S/PKI bagi pelamar calon pegawai negeri sipil yang pada tanggal
1 Oktober 1965 calon ybs masih belum mencapai 12 tahun penuh.

Keppres No 28/1975 tentang Perlakuan terhadap mereka yang terlibat PKI
Golongan C. Golongan C dibagi menjadi Golongan C1, C2, dan C3. Terhadap
pegawai tindakan administratif sbb: Golongan C1 diberhentikan tidak
dengan hormat sebagai pegawai negeri; Golongan C2 dan C3 dikenakan
tindakan administratif lainnya dengan memperhatikan berat ringannya
keterlibatan mereka.

SK No 32/ABRI/1977 tentang Pemecatan
sebagai Pegawai TNI karena dituduh

terlibat PKI. Inmendagri No
32/1981 tentang Pembinaan dan Pengawasan Bekas Tahanan dan Bekas
Narapidana G30S/PKI. Larangan menjadi pegawai negeri sipil, anggotan
TNI/Polri, guru, pendeta dan lain sebagainya bagi mereka yang tidak
bersih ingkungan. Pada KTP mantan tapol dicantumkan kode ET.

Keppres No 16/1990 tentang Penelitian Khusus bagi Pegawai Negeri RI.
Penelitian khusus bukan hanya ditujukan kepada korban langsung tetapi
berlaku uga bagi anak dan/atau cucu korban yang dituduh terlibat
G30S/PKI.

Kepmendagri No 24/1991 tentang Jangka Waktu
berlakunya KTP bagi penduduk berusia 60 tahun ke atas. KTP seumur hidup
tidak diberlakukan bagi warga negara Indonesia yang terlibat langsung
atau pun tidak langsung dengan Organisasi Terlarang (OT).

Permendagri No 1.A/1995 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk
dalam rangka Sistem Informasi Manajemen Kependudukan. KTP yang berlaku
seumur hidup hanya berlaku bagi WNI yang bertempat tinggal tetap dan
tidak terlibat langsung atau pun tidak langsung degnan Organisasi
Terlarang (OT).

Inmendagri No 10/1997 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana G30S/PKI. Inmendagri ini
sebagai pengganti Inmendagri No 32/1981. Ketentuan dan larangan masih
tetap sama seperti Inmendagri No 32/1981. Perubahannya adalah kode ET
tidak dicantumkan lagi pada KTP mantan tapol, tetapi pada KK (Kartu
Keluarga) tetap dicantumkan kode ET.

UU No 12/2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD

Provinsi/Kabupaten/ Kota.
Syarat anggota DPR, DPD, DPD Provinsi / Kabupaten/Kota bukan bekas
anggota organisasi terlarang PKI termasuk organisasi massanya atau bukan
orang yang terlibat langsung dalam G30S/PKI.

Kekerasan
struktural berupa peraturan yang diskriminatif tidak hanya tertuju
kepada mantan tapol korban Tragedi 65/66 tetapi juga terhadap anak dan
cucu mereka. Perlakuan demikian telah memporakporandakan harapan dan
masa depan jutaan warga negara Indonesia termasuk ribuan warga negara
Indonesia di luar negeri yang dicabut paspor mereka secara paksa oleh
KBRI setempat. Dampak peristiwa ini dirasakan oleh korban Tragedi 65/66
baik berupa stigmatisasi sebagai orang yang tidak "bersih lingkungan "
atau pun diskriminasi dalam hak politik, sosial dan ekonomi.

Secara umum proses diskriminasi terhadap korban Tragedi 65/66 dimulai
etika secara sepihak keputusan politik dikeluarkan oleh Jenderal
Soeharto yang ditunjuk sebagai Panglima Kopkamtib oleh Presiden
Soekarno. Keputusan politik dikeluarkan Jenderal Soeharto tanggal 12
Maret 1966 untuk membubarkan dan melarang PKI dan semua organisasi yang
dicurigai berasas/berlindung/ bernaung di awahnya dari pusat sampai di
seluruh wilayah Indonesia.

Pemerintahan Daerah melalui
Peraturan Daerah (Perda) membatasi hak politik mantan tapol dan
keluarganya terutama untuk partisipasi politik di tingkat lokal. Jabatan
Kepala Desa hingga anggota legislatif tingkat daerah mengharuskan
calonnya "bebas G30S/PKI"

Setelah rezim Soeharto tidak lagi
berkuasa beberapa peraturan dan kebijakan yang mendiskriminasikan mantan
tapol dan keluarganya dicabut. Badan Koordinasi Keamanan dan Stabilitas
Nasional (Bakorstanas) lembaga pengganti Kopkamtib pada pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid telah dibubarkan melalui Keppres No 38/2000.
Dinas Sosial Politik (Dissospol) lembaga sipil yang diberi otoritas
melakukan proses "penelitian khusus"(litsus) terhadap masyarakat sipil
telah dihapuskan. Tetapi pergantian rezim ternyata bukan jaminan bahwa
praktik diskriminasi tidak lagi diberlakukan.

Perjuangan
menuntut Rehabilitasi, Kompensasi, Restitusi, dan Penghapusan

Diskriminasi
Warga negara Indonesia korban Tragedi 65/66 tidak pernah dihukum
bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap. Setelah dibebaskan diperlakukan secara diskriminatif.

Rehabilitasi menjadi tuntutan utama bagi mantan tapol Tragedi
65/66 setelah beberapa tahun dibebaskan tanpa kebebasan. Setelah
terbentuknya lembaga yang menghimpun dan menyatukan korban Tragedi 65/66
perjuangan menuntut rehabilitasi, kompensasi, restitusi dan menghapus
diskriminasi berjalan lebih terorganisasi.

Berbagai jalan
dan cara telah ditempuh; 6 (enam) kali mengajukan

permohonan
kepada Presiden RI, menemui Ketua MA RI, mengajukan gugatan class action
kepada Pengadilan Negeri, mengajukan pengujian (judicial review)
terhadap Pasal-Pasal UU yang bertentangan dengan UUD Negara RI 1945,
membeberkan Tragedi 65/66 dalam sidang Komisi Tinggi HAM PBB, mengirim
surat kepada Sekjen PBB.

Hasil yang Bisa Dicapai

Perjuangan untuk menuntut rehabilitasi umum, kompensasi, restitusi
serta penghapusan diskriminasi cukup lama dan tak kenal lelah telah
dilakukan; baik melalui lembaga korban sendiri maupun dengan menggalang
kerja sama dengan LSM dan semua pihak yang sama-sama memperjuangkan
terwujudnya demokrasi, kebenaran, keadilan dan HAM. Dan jerih payah yang
sudah dilakukan hasil yang bisa dicapai tidak bisa dikatakan tidak ada
sama sekali. Tetapi memang masih belum memenuhi harapan.

Persyaratan Rehabilitasi Umum

Dan hasil pertemuan antara
delegasi mantan tapol Tragedi 65/66 yang dipimpin Sumaun Utomo, Ketua
Umum DPP LPR-KROB dengan Ketua MA RI (14/3/2003) maka Ketua MA RI
mengirim surat kepada Presiden RI tentang permohonan rehabilitasi Korban
Tragedi 65/66. Kemudian disusul surat Wakil Ketua DPR RI dan Ketua
Komnas HAM kepada Presiden RI tentang masalah yang sama. Dengan demikian
rehabilitasi umum dengan adanya pertimbangan tersebut dilihat dari
segi:

Hukum

Surat Ketua MA RI No KMA/403/VI/2003,
12/6/03, Perihal permohonan

rehabilitasi.

Politik

Surat Wakil Ketua DPR RI No KS.02/37.47/ DPR RI/2003
Sifat: Penting, Derajat:

Segera, 25/7/2003, Perihal Tindak Lanjut
surat MA RI.

Kemanusiaan

Surat
Komnas HAM No 147/TUA/VII/ 2003, 25/8/2003, Perihal Rehabilitasi

terhadap
para korban G30S/PKI 1965.

Surat Komnas HAM No
33/TUA/II/2005, 8/2/2005, Perihal Pemulihan mantan

tahanan
politik yang dikaitkan dengan Peristiwa G30S/PKI

Maka
tak ada alasan bagi Presiden RI untuk tidak menggunakan hak

prerogatifnya
menurut Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 mengeluarkan Keppres

Rehabilitasi
Umum terhadap korban Tragedi 65/66.

Penghapusan
Diskriminasi

Putusan MK RI, 24/2/2004

Permohonan pengujian (judicial review) Pasal 60 huruf (g) UU No 12/2003
yang diajukan oleh DPP LPR-KROB kepada MK RI (17/11/2003) yang
sebelumnya masalah yang sama diajukan oleh Deliar Noor dkk,
menghasilkan: Putusan Perkara No 011-017/PUU- I/2003, 24/2/2004 yang
menyatakan bahwa Pasal 60 huruf (g) UU No 12/2003 bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dengan putusan ini hak politik korban Tragedi 65/66 telah dipulihkan
dan hak kewarganegaraan korban Tragedi 65/66 telah dikembalikan, yang
selama 39 tahun telah dirampas secara sewenang-wenang tanpa dasar hukum.

Sebagai warga negara korban Tragedi 65/66 tidak hanya sebagai
pemilih aktif tetapi sekaligus pemilih pasif. Akses untuk dicalonkan
sebagai anggota badan legislatif baik di pusat maupun di daerah terbuka.
Putusan ini dinilai bersejarah, karena sebelum putusan diterbitkan
sebagai warga negara korban Tragedi 65/66 diperlakukan secara
diskriminatif dan dikucilkan. Dampak dari putusan MK RI ini beberapa
peraturan yang diskriminasi dicabut, peraturan baruditerbitkan.

Permendagri No 28/2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran
Penduduk

dan Pencatatan Sipil di Daerah

Pasal 16 ayat (5),
KTP untuk penduduk WNI yang berusia 60 tahun ke atas berlaku seumur
hidup.

Pasal 74, dengan berlakunya Peraturan ini Peraturan
Kepala Daerah mengenai penyelenggaraan pendaftaran penduduk dan
pencatatan sipil agar disesuaikan.
Pasal 77 ayat (3), Permendagri No
1.A/1995 dinyatakan tidak berlaku.

Sebelum berlakunya Kep
Mendagri No 24/1991 dan Permendagri No 1.A/1995. Mengenai Kepmendagri
No 24/1991 sesuai dengan surat jawaban Mendagri kepada DPP LPR-KROB
dinyatakan sudah diganti dengan Permendagri No 28/2005 (surat Mendagri
No 474.4/874/MD, 27/3/2006).

Sejak terbitnya Permendagri No
28/2005 maka status kewarganegaraan korban Tragedi 65/66 setara dengan
warga negara Indonesia lainnya. UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia Asas yang digunakan UU No 12/2006 menganut asas
persamaan dalam hukum dan asas nondiskriminatif yang berhubungan dengan
suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan jender.

Dengan
diterbitkannya UU No 12/2006, UU No 62/1985 tentang Kewarganegaraan
tidak berlaku dan tidak ada lagi warga negara keturunan karena semua
adalah WNI.

Penjelasan Pasal 2, bahwa yang dimaksud ?Bangsa
Indonesia Asli? adalah orang Indonesia yang menjadi WNI sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima ewarganegaraan lain atas kehendak
sendiri. UU No 12/2006 tidak mensyaratkan SBKRI (Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia) dan sejenisnya, cukup akta lahir.

Dengan demikian warganegara korban Tragedi 65/66 dari etnis apapun
termasuk etnis Tionghoa tidak didiskriminasikan. Pasal 42, warganegara
Indonesia yang bertempat tinggal di luar wilayah negara RI selama 5
(lima) tahun atau lebih tidak melaporkan diri kepada Perwakilan RI
sebelum UU ini diundangkan dapat memperoleh kembali kewarganegaraannya
dengan mendaftarkan diri di Perwakilan RI dalam waktu paling lambat 3
(tiga) tahun sejak UU ini diundangkan sepanjang tidak mengakibatkan
kewarganegaraan ganda.

Sejak Putusan MK RI bahwa Pasal
60 huruf (g) UU No 12/2003 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat (24/2/2004) maka terbit Permendagri No
28/2005 (5/7/2005) tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk
dan Pencatatan Sipil di Daerah dan UU No 12/2006 (1/8/2006) tentang
Kewarganegaraan RI.

Tetapi masih ada peraturan yang
diskriminatif belum dihapus seperti Keppres No 28/1975, Surat Edaran No
02/SE/1975, Inmendagri No 10/1997. Utamanya yang bersangkutan dengan
masalah pelanggaran HAM berat yang terjadi 41 tahun yang lalu, Tragedi
65/66 belum ada upaya untuk dituntaskan. Penghapusan diskriminasi hanya
sebagian dari keseluruhan penyelesaian masalah korban

Tragedi
65/66, belum merupakan pemecahan secara esensiil.

Penyelesaian masalah korban Tragedi 65/66 ialah:

Negara harus mengakui bahwa Tragedi 65/66 adalah pelanggaran HAM berat
oleh negara. Negara harus minta maaf pada korban dan rakyat Indonesia.
Penanggung jawab pertama dan utama harus diadili.

Negara
harus memenuhi hak korban seperti yang tertera dalam Konvenan PBB,yaitu
rehabilitasi, kompensasi, restitusi yang merupakan hak melekat pada
korban tanpa mempermasalahkan pelakunya teridentifikasi atau tidak.
Negara harus menjamin bahwa peristiwa serupa seperti itu tidak akan
terjadi lagi.

Peraturan perundang-udangan sebagai
landasan untuk menyelesaikan masalah korban Tragedi 65/66 sudah
tersedia. Yang pasti, peraturan itu bukan sekedar hiasan pada lembar
tumpukan kertas. Pemerintah harus berlapang dada, menunjukkan kemauan
baik dan niat yang sungguh-sungguh.

41 tahun telah
berlalu, nasib korban Tragedi 65/66 masih tak menentu. Teringat selalu
kata-kata mutiara Bung Karno (17 Agustus 1960), " Hak tak dapat
diperoleh dengan mengemis, hak hanya dapat diperoleh dengan perjuangan "
***
Sumber: http://sejarahsosial.org/ltp/2005/07/25/perempuan-korban-menggugat-senyap-sebuah-catatan-pandangan-mata/
Perempuan Korban Menggugat Senyap: Sebuah
Catatan Pandangan Mata


Posted on 07/25/2005
by issi


Pada 24 Juli 2005 Lingkar Tutur Perempuan mendapat
kehormatan menjadi saksi sejarah reuni para perempuan korban Tragedi
1965 di Yogyakarta. Acara yang diberi nama "Temu Rindu Menggugat Senyap"
ini berlangsung selama kurang lebih 5 jam tanpa ada gangguan yang
berarti dan membuka ruang pengungkapan kebenaran tentang salah satu
tragedi kekerasan paling berdarah di negeri ini. Di bawah ini adalah
catatan pengamatan kami selama acara berlangsung. Selamat membaca!

Membuka Ruang Jumpa dan
Mengungkap Rasa
Sekitar pukul 10.00 pagi, hari Minggu, 24 Juli 2005,
satu persatu hadirin memasuki pelataran SMKI (Sekolah Menengah Karawitan
Indonesia), Bugisan, Yogyakarta. Sebagian besar dari mereka adalah
perempuan lanjut usia yang berjalan perlahan dari pelataran parkir yang
cukup luas menuju meja penerima tamu. Mereka kemudian disambut oleh
sejumlah perempuan muda, petugas among tamu, dan dibimbing
memasuki pendopo berukuran sekitar 20×20 meter. Di pendopo sudah
tergelar tikar-tikar untuk duduk lesehan dan tersedia pula belasan kursi
untuk para perempuan yang tidak bisa lagi duduk lesehan.

Para perempuan lanjut usia itu adalah korban tragedi 1965 yang
berasal dari berbagai kota di Jawa, antara lain Yogyakarta, Solo,
Semarang, Purwokerto, Cilacap, Kebumen, Klaten, Boyolali, Blitar,
Surabaya, dan Jakarta. Mereka datang dengan bus-bus sewaan,
kendaraan-kendaraan pribadi, dan kereta api, ada yang dalam kelompok
kecil, ada pula yang diantar bapak-bapak korban dari daerah
masing-masing. Para ibu ini, yang tertua diantara mereka berusia 96
tahun, hadir tanpa embel-embel organisasi, baik organisasi di masa lalu
maupun di masa sekarang. Mereka hanya punya satu tujuan: berjumpa
teman-teman yang telah bertahun-tahun terpisah.
Begitu para ibu ini berjumpa dengan kawan-kawan lama,
untuk beberapa saat yang tampak dan terdengar hanyalah mereka yang
berpelukan erat, hamburan pertanyaan bercampur tangis, ujaran lega
bersahut-sahutan dalam bahasa Jawa pun Indonesia, dan sentuhan hangat di
wajah dan bagian tubuh masing-masing untuk memastikan bahwa kawan yang
dihadapi memang hadir dalam kenyataan.

Di tengah keriuhan ungkapan rasa rindu, puluhan perempuan muda
seperti terhenyak. Mereka yang bertugas sebagai among tamu
tidak tahu persis harus berbuat apa selain menyaksikan perjumpaan
bersejarah ini dengan rasa haru. Sehari sebelumnya kawan-kawan muda yang
berasal dari jaringan Syarikat Indonesia dan fakultas psikologi
beberapa universitas di Yogya mengikuti lokakarya Trauma Healing yang
diselenggarakan oleh Pusat Studi Sejarah dan Etika Politik (Pusdep) di
Universitas Sanata Darma. Beberapa dari mereka sudah pernah bertemu
dengan korban tragedi 1965 dalam kegiatan-kegiatan sosial Syarikat yang
bertujuan mewujudkan rekonsiliasi antara para korban dan pelaku,
khususnya dari kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU). Tapi ada juga yang
baru pertama kali bertemu muka dengan para korban. Tak terbayangkan
sebelumnya bahwa suasana pertemuan akan menjadi sedemikian cair dan
mengharukan!
Menjelang pukul 11.00, lebih dari 300 perempuan lanjut usia sudah
memenuhi pendopo, sedangkan di sisi-sisi pendopo berkumpul bapak-bapak
dan hadirin lain yang diundang panitia. Para eks-tapol LP Plantungan
segera saja berkumpul di sudut kanan belakang pendapa saling
berpeluk-cium, menitikkan air mata, sambil mensyukuri,"Oalah…kowe ki
isih urip to. Tak daraki wis mati!" (Oalah kamu ini masih hidup to. Aku
kira sudah mati!). Lalu, mereka saling bertukar kabar singkat tentang
kehidupan masing-masing selepas pengasingan. Sejak pembebasan massal
1978/79, ini adalah kali pertama mereka bisa berkumpul kembali. Seorang
perempuan eks-Plantungan memberi tahu rekan-rekannya, ia sekarang sudah
punya tiga anak. Rekan-rekannya terharu. Mereka tak menyangka si ibu
masih bisa melahirkan anak setelah mengalami penyerangan seksual selama
masa interogasi. Sementara itu, istri-istri dan anak-anak eks-tapol yang
tak punya teman khusus yang ingin mereka jumpai mendapat pengalaman
baru berjumpa langsung dengan perempuan-perempuan yang selama ini hanya
mereka dengar namanya lewat cerita. "Senang berjumpa banyak teman
senasib," kata seorang ibu.
Acara resmi dibuka dengan sepatah kata dari 2 pembawa acara, Bondan
Nusantara, seniman ketoprak dari Bantul yang juga anak korban, dan Ruth
Indiah Rahayu (Yuyud), salah satu aktifis Lingkar Tutur Perempuan dari
Jakarta. Mereka menjelaskan maksud diadakannya acara ini dan
mempersilakan panitia memberikan sambutan. Berturut-turut ketua panitia
acara, Ibu Sumarmiyati, eks-tapol dari Yogyakarta, dan Imam Aziz, ketua
Syarikat Indonesia, menyampaikan ucapan selamat datang singkat. Setelah
acara formal dibuka, ibu-ibu lansia secara bergantian membacakan puisi
dan menyanyi dengan iringan permainan organ tunggal bersama dengan
seorang penyanyi perempuan muda. Lagu-lagu yang didendangkan, keroncong
dan pop, kebanyakan berasal dari periode 60an. Ada pula seorang simbah
mempersembahkan tembang Jawa dengan suara yang masih merdu. Kami duga
dulu pastilah suaranya jauh lebih bagus. Mungkin ini untuk pertama
kalinya sejak puluhan tahun ia nembang lagi di depan umum.
Beberapa anak korban juga mendapat kesempatan membacakan puisi. Pada
saat makan siang kelompok ketoprak Mas Bondan menampilkan sebuah fragmen
tentang tragedi 1965. Sayang sound system kurang memadai untuk gedung
seluas pendopo itu sehingga ucapan-ucapan para pemain kurang terdengar.
Ditambah lagi dengan riuhnya suara ibu-ibu yang asyik ngobrol dengan
kawan-kawannya.

Yang paling menarik dari rangkaian acara kesenian ini adalah
ketika sang penyanyi profesional membawakan lagu Jawa yang cukup rancak
sehingga ibu-ibu tergerak untuk berjoget! Siapa anggota Gerwani atau
yang dicap Gerwani masih berani menari dan menyanyi di acara-acara
publik setelah geger 65? Ada seorang ibu pemeran Petruk di LP Bulu yang
'memprovokasi' ibu-ibu lain untuk joget. Lalu, muncul ibu pemeran Gareng
yang asyik dengan gaya jogetnya yang kocak. Tampak bagaimana beberapa
ibu yang memang penari masih lentur melenggak-lenggok gaya tradisional.
Spontan kawan-kawan muda dari pasukan among tamu bergabung
dengan para ibu yang sedang asyik berjoget. Sungguh suatu pemandangan
yang mengundang tawa sekaligus rasa lega!
Sambil menyaksikan ibu-ibu menari dan berjoget di pendapa SMKI kami
berusaha memahami bagaimana para perempuan ini merepresi ekspresi
seninya selama ini. Kami dengar banyak diantara para ibu yang hadir
dulunya adalah aktivis Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat) atau setidaknya
tidak pernah ketinggalan ikut dalam acara-acara kebudayaan di tingkat
kampung. Tapi, seperti diungkapkan seorang ibu: siapa yang bisa melarang
kecintaan pada seni? Di LP Bulu Semarang di mana ia pernah ditahan,
para tapol perempuan tetap ketoprakan, biarpun yang menonton
hanya warga LP. Karena tinggi tubuh dan mancung hidungnya, ia selalu
diposisikan sebagai Petruk. Carmel Budiardjo juga menceritakan dalam
bukunya bagaimana para tapol di LP Bukit Duri diam-diam menghibur diri
dengan ketoprak.
Acara tidak terpusat di pendopo saja. Para ibu tidak henti-hentinya
mencari kawan-kawan mereka, berjalan dari satu sisi pendopo ke sisi
lainnya, berbincang-bincang, berkelompok di bagian-bagian lain seluruh
areal SMKI. Ketika salah satu dari kami antre memakai kamar kecil,
seorang perempuan setengah baya menghampiri seorang perempuan tua
bertubuh pendek agak gemuk dengan rambut sudah memutih semua. Si
perempuan setengah baya memegangi pundak si ibu tua sambil berkata dalam
bahasa Jawa yang artinya kira-kira seperti ini, "Ibu masih ingat saya?
Saya……(menyebut namanya). Saat di Plantungan dulu saya masih semuda mbak
ini (sambil menunjuk ke arah penulis)". Si ibu tua langsung memegang
pipinya dan berusaha memastikan kebenaran ucapannya, "Apa iya kamu itu?
Kok beda sekali. Wah, kamu juga masih hidup ya?" Lalu si perempuan
setengah baya bercerita tentang perempuan lain yang menurutnya sudah
mati. Mereka berdua lantas berpelukan dan bertangisan.

Mereka juga berusaha mengenal kawan-kawan muda yang bukan korban
maupun anak korban dan menceritakan pengalaman mereka. Seorang ibu yang
berasal dari Semarang, bertanya kepada penulis, "Anak ini putra korban
yang tinggal di daerah mana?" Ketika penulis menjawab bukan anak korban,
ia berkata, "Oh…syukurlah kalau begitu". Lantas ia bercerita bahwa dia
adalah isteri tentara yang ditembak mati. Si ibu ini hidup bersama enam
anaknya. Saat suaminya ditangkap, anak terbesar masih kelas 4 SD
sementara anak terkecilnya berusia 1 bulan. Rumahnya hampir saja dibakar
massa yang juga tetangga-tetangga sekitarnya. Ia berusaha bertahan
bersama keenam anaknya, tidak keluar dari rumah tsb. Akhirnya, massa
tidak jadi membakar rumahnya. Ia berujar, "Pokoknya, peristiwa 1965 itu
kejam sekali, tentara itu kejam sekali, tidak punya perikemanusiaan".
Lalu ia menunjuk ke seorang ibu berkulit hitam, bertubuh pendek dengan
punggung tampak membungkuk, sambil berucap, "Ibu itu badannya habis
disiksa. Ya diperkosa berkali-kali dan punggungnya dipukuli dengan bambu
hingga hancur. Habis paling tidak satu bambu hancur untuk memukuli
punggung ibu itu". Lantas ia melanjutkan beberapa cerita yang cukup
menggetarkan hati. Ia pun menutup kisahnya dengan ungkapan, "Ibu ini
cukup beruntung karena tidak mengalami hal itu. Ibu hanya harus berusaha
apa saja agar anak-anak bisa hidup dan terus sekolah".
Acara kesenian yang berlangsung kurang lebih 2 jam diakhiri dengan
sambutan ibu-ibu mewakili delegasi dari kota masing-masing. Selain
memperkenalkan diri, ibu-ibu ini juga menyatakan keinginan mereka untuk
berkumpul lagi dan membicarakan soal-soal yang berkenaan dengan masalah
mereka sebagai korban. Kalau dalam bahasa ibu-ibu dari Solo, "Ini nanti
kesimpulannya apa, mbak?" Kami hanya bisa menyampaikan bahwa bukan kami
yang akan membuat 'kesimpulan' tetapi ibu-ibu korban sendiri. Diantara
ibu-ibu wakil daerah ini juga ada yang menyampaikan kesaksian agak
panjang tentang penderitaan yang dialaminya. Ibu-ibu memang masih butuh
banyak ruang untuk menuturkan pengalaman hidupnya.
Dua kawan dari kelompok non-korban, Ita F. Nadia dari Komnas
Perempuan dan Atnike Sigiro dari Lingkar Tutur Perempuan juga diminta
memberikan sambutan singkat sebagai wakil dari generasi muda. Tiga hal
yang ditekankan kedua kawan ini adalah: pertama, bahwa tragedi 1965
bukan hanya persoalan korban tragedi itu sendiri tetapi juga persoalan
kita semua sebagai bangsa. Kedua, pentingnya bagi generasi muda untuk
memahami pengalaman para pendahulunya baik sebagai korban maupun sebagai
orang-orang yang aktif dalam pergerakan supaya tumbuh suatu kesadaran
sejarah baru yang lebih sehat. Dan yang terakhir, perlunya korban dari
berbagai kasus dan periode untuk bertemu dan bertukar pikiran agar ada
pemahaman bersama tentang kejahatan yang dilakukan rejim Orde Baru
terhadap rakyatnya.
Kurang lebih pukul 2 siang pembawa acara memutuskan untuk menutup
acara. Ibu-ibu yang sudah sangat lanjut usianya mulai tampak kelelahan,
dan rombongan dari luar Yogyakarta harus segera pulang agar tidak
kemalaman di jalan. Ibu-ibu kemudian memimpin acara penutupan dengan
membentuk lingkaran yang terbentuk dari jajaran para korban dan
anak-anak muda yang saling bergandengan dan menyanyikan lagu-lagu
perpisahan. Sulit untuk sama sekali menghentikan acara karena ibu-ibu
dan kawan-kawan muda tak putus-putus berdendang. Nyanyian baru sama
sekali berhenti ketika seorang kawan muda dari jaringan Syarikat
tiba-tiba jatuh pingsan. Iin, begitu ia biasa dipanggil, adalah putri
seorang anggota Banser dari Kebumen yang pernah terlibat dalam
pembantaian orang-orang yang dianggap terlibat G30S. Sejak ia bergabung
dengan Syarikat ia ikut mendampingi para perempuan korban tragedi 1965.
Anak yang pada dasarnya penggembira dan ramah ini rupanya tak tahan
menanggung rasa bersalah setiap kali ia mendengarkan kisah-kisah korban
yang memang memilukan.
Segera para ibu yang asyik bernyanyi menghampiri Iin yang sudah
siuman dan menangis sesenggukan di pelukan Hersri Setiawan, sastrawan
dan eks-tapol Pulau Buru. Ibu-ibu ini menghibur Iin dengan mengatakan
bahwa bukan dia yang harus bertanggung jawab terhadap tragedi di masa
lalu itu. Seorang ibu dari Blitar mengatakan, "Sudah jangan menyalahkan
diri sendiri. Yang penting sekarang kamu tahu bahwa kami-kami ini bukan
pelacur, perempuan bejat yang membunuhi para jendral."
Kejadian ini membuat kami berpikir lebih jauh tentang peliknya soal
berbagai upaya pengungkapan kebenaran, rekonsiliasi dan pemulihan di
tingkat akar rumput. Dalam wacana pelanggaran HAM kita berpegang pada
kategori-kategori 'korban' dan 'pelaku' sementara di luar
kategori-kategori itu ada anggota keluarga, sanak saudara, yang mungkin
tidak tahu menahu atau tidak mau tahu tentang pengalaman 'korban' dan
'pelaku'. Seperti yang dialami kawan-kawan dari Syarikat, mereka pun
harus dipersiapkan untuk menghadapi kenyataan sejarah yang paling pahit
dalam kehidupan mereka agar ketika kita bicara tentang rekonsiliasi
menjadi jelas siapa yang sesungguhnya perlu berdamai dengan apa/siapa.
Kisah di Balik Ruang Jumpa
Gagasan acara "Temu Rindu Menggugat Senyap" muncul di kalangan para
ibu eks-tapol di Yogyakarta sejak beberapa bulan lalu. Mereka kemudian
membentuk panitia yang diketuai Ibu Sumarmiyati (Bu Mamiek) dengan
koordinator acara Bondan Nusantara. Kepanitiaan jadi meluas dengan
terlibatknya kawan-kawan dari kelompok Syarikat dan jaringannya, serta
para peneliti dari Pusdep Sanata Dharma. Sejak awal panitia ini sudah
sepakat bahwa acara akan dilangsungkan tanpa perlu mengatasnamakan satu
kelompok/organisasi korban atau kepentingan politik tertentu. Tujuan
pertemuan semata-mata membuka ruang bagi para ibu untuk saling melepas
kangen dan mengatasi ketakutan berbicara. Banyak perempuan korban yang
baru mulai bangkit dari kesenyapan panjang sehingga panitia tidak mau
membebani acara ini dengan terlalu banyak agenda.
Awalnya yang berniat untuk bertemu hanya perempuan-perempuan korban
dari Yogyakarta saja dan jumlah yang diperkirakan hadir 150 orang.
Ternyata, berita menyebar sampai ke daerah-daerah lain dan mendapat
sambutan luar biasa. Sampai satu hari sebelum acara diperoleh kabar akan
ada 300 orang yang hadir. Kenyataannya, jumlah ibu-ibu yang datang,
berikut para pengantar dan hadirin lainnya, mencapai 500 orang. Beberapa
petugas among tamu harus berbagi satu nasi bungkus dengan 2-3
kawan lain untuk menahan rasa lapar. Untunglah ibu-ibu yang mengurus
konsumsi cukup sigap bergerak sehingga baik peserta maupun panitia
akhirnya bisa menikmati hidangan makan siang dengan menu sederhana.
Menariknya, dalam mempersiapkan acara panitia tidak menghadapi
hambatan yang berarti dari pihak penguasa, tapi justru dari
kelompok-kelompok lain yang ingin menggunakan kesempatan ini untuk
agenda politik tertentu. Bahkan sempat beredar proposal acara dengan
nilai dana yang jauh berbeda dan menimbulkan kebingungan di kalangan
pihak-pihak yang sudah bersedia membantu kelangsungan acara ini. Dari
kedua pembawa acara, Bondan dan Yuyud, didapat juga cerita di balik
panggung. Ada tetamu tertentu yang hadir begitu terkesan melihat
besarnya jumlah perempuan yang hadir dan ingin 'memberi arahan politik'
versi masing-masing. Para tamu ini meminta waktu khusus dari MC tapi
setelah berkonsultasi dengan panitia diputuskan bahwa waktu diutamakan
untuk para ibu-ibu untuk mengungkapkan keinginan mereka, apa pun
bentuknya. Di sini lah kebijaksanaan Bu Mamiek sebagai ketua panitia,
dan Syarikat sebagai penyelenggara di lapangan patut diberi acungan
jempol sehingga tidak terjadi ketegangan yang merusak suasana.
Setelah acara usai, panitia berkumpul untuk membicarakan
kesan-kesan yang diperoleh dan merencanakan kegiatan selanjutnya. Dari
catatan kesan dan pesan yang ditulis di secarik kertas yang diedarkan
panitia disimpulkan bahwa para perempuan korban ingin agar acara seperti
ini diadakan kembali, paling tidak setahun sekali. Bagi mereka, acara
ini sangat berarti terutama bagi mereka yang sudah sakit-sakitan dan
berusia sangat lanjut. Bahkan, saat panitia mengontak beberapa perempuan
yang akan hadir di acara ini, ada sekitar 4 orang yang sudah meninggal
walaupun saat kontak pertama kali (hanya berselang 2 bulan sebelumnya)
mereka masih hidup.

Beberapa kawan yang baru pertama kali bertemu korban
mengungkapkan kelegaannya karena para ibu ternyata tidak mencurigai
mereka dan bersedia berbincang-bincang dengan hangat. Memang tidak semua
ibu dengan serta merta mau bercerita; banyak dari mereka yang hanya
ingin melepas rindu dengan kawan-kawan mereka di penjara dahulu. Tapi
paling tidak dengan bertemu kawan-kawan muda ini para ibu menjadi lebih
percaya diri bahwa kisah bohong tentang kejahatan mereka yang diciptakan
Orde Baru akan mendapat sanggahan justru dari generasi muda.

Kami juga membicarakan kemungkinan membuka ruang-ruang yang lebih
kecil di wilayah yang berbeda-beda dimana ibu-ibu bisa mencurahkan isi
hatinya, menuturkan pengalaman hidup yang selama ini mereka tutup rapat.
Kegiatan ini sebenarnya sudah dimulai oleh jaringan Syarikat dan
Lingkar Tutur Perempuan di berbagai kota. Tapi diperlukan lebih banyak
lagi ruang-ruang bercerita untuk perempuan korban. Selain untuk
keperluan pemulihan dan penguatan bagi korban, ruang-ruang seperti ini
akan membantu generasi muda merekonstruksi sejarah gerakan perempuan
yang digelapkan selama ini.
Dari acara di Yogya ini kami juga bisa melihat bagaimana kesenian
menjadi sangat penting bagi proses pemulihan dan penguatan. Sebagian
besar korban bercerita bahwa di masa sebelum tragedi 1965 terjadi mereka
terlibat dalam berbagai kegiatan kesenian di tingkal lokal sampai
nasional. Ketika mereka di penjara kegiatan kesenian pula yang membuat
hari-hari mereka terasa lebih ringan. Kiranya inilah tugas
organisasi-organisasi korban dan kemanusiaan untuk membayangkan
kegiatan-kegiatan kesenian serupa apa yang bisa menjadi medium pertemuan
berbagai kalangan untuk membicarakan tragedi ini.***

Yogyakarta, 25 Juli 2005
Tim Penulis Lingkar Tutur Perempuan
Ayu Ratih
B.I. Purwantari
Th. J. Erlijna


http://sastrapembebasan.wordpress.com/
http://tamanhaikumiryanti.blogspot.com/
Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/  

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.


Get great advice about dogs and cats. Visit the Dog & Cat Answers Center.


Hobbies & Activities Zone: Find others who share your passions! Explore new interests.

.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment