Advertising

Sunday 25 July 2010

[wanita-muslimah] Mengenal Pemikiran A. HASSAN

 

PEMIKIRAN HUKUM A. HASSAN

Oleh: Drs. Tatang Sutardi,
M.HI.

 

1.            Pendahuluan

 

A. Hassan merupakan
pemikir muda dengan gagasan segar yang tergolong kontroversial. Pemikiran A.
Hassan mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini bisa dilihat ketika
melihat latar belakang budaya dan pendidikannya ketika kecil di Singapura yang
lebih banyak bergelut dengan pemikiran Islam ortodoks. Kondisi tersebut berubah
drastis ketika A.Hassan berinteraksi dengan para pemikir muda, seperti Faqih
Hasyim dari Surabaya yang pola pikirannya bercorak salafi.

 

Bukan hanya
pergulatan pemikiran individu yang mempengaruhi pemikiran A. Hassan, melainkan
juga faktor lingkungan dan pergaulan, khususnya ketika beliau tinggal untuk
beberapa lama di Bandung. Di sana, beliau banyak berinteraksi dengan H. Zamzam
dan Mohammad Yunus yang memiliki organisasi bernama Persis. A.Hassan masuk
Persis terhitung tiga tahun setelah berdirinya Persis yaitu tahun 1926
sedangkan Persis lahir pada tanggal 11 September 1926. dalam organisasi
tersebut A.Hassan bukan hanya belajar, akan tetapi juga berusaha
mengaplikasikan pengalaman yang ia peroleh sebelumnya, maka terjadilah
konfigurasi kekuatan antara pemikiaran A.Hassan yang progresif dengan sifat
Persis yang waktu itu tergolong keras. Kekuatan tersebut berubah menjadi
gerakan pembaruan yang mudah meluas.

 

A. Hassan merupakan
tokoh yang amat gigih dalam mengembangkan ilmu-ilmu keislaman di masanya.
Gagasan dan pemikirannya banyak ditulis dalam karya-karyanya yang tidak kurang
dari delapan puluh judul. Beliau merupakan penulis tafsir pertama di Indonesia.

 

A. Hassan banyak
bergerak lewat media diskusi, mengadakan tabligh, mengadakan kursus pendidikan,
mendirikan pesantren, menerbitkan berbagai buku serta majalah. Distribusi
cetakan-cetakan Persis semakin membuat pemikiran A.Hassan begitu populis di
kalangan masyarakat. Selain bermain pada wilayah tulisan, A.Hassan juga banyak
bermain dalam lingkup diskusi atau perdebatan.

 

Dalam berdakwah, A.
Hassan seringkali menggunakan metode debat tentang segala sesuatu yang terkait
dengan problem keagamaan. Cara tersebut memberikan kepuasan tersendiri di
setiap kalangan masyarakat yang mengikuti acara tersebut. Akhirnya nama
A.Hassan populer dan tersiar ke berbagai peloksok dan memperkuat lembaga dan
organisasi Persis sebagai gerakan Islam progresif.

 

A. Hassan banyak
menelorkan tokoh kenamaan di Indonesia, khususnya di tubuh Persis. Tokoh-tokoh
Persis yang merupakan didikan A. Hassan, antara lain Muhammad Natsir, seorang
tokoh dan pemimpin Masyumi, M. Isa Ansyari, Endang Abdurahman dan Rusyad
Nurdin[1]

 

2.            Biografi A.Hassan

 

Ahmad Hassan lahir di
Singapura pada tahun 1887. Ayahnya bernama 
Sinna Vappu Maricar berasal dari India yang kemudian dikenal dengan nama
Islamnya Ahmad. Ibunya bernama Muznah berasal dari Palekat, Madras. Keduanya
menikah di Surabaya kemudian menetap di Singapura[2].  Ahmad Hassan merupakan nama yang dipengaruhi oleh budaya
Singapura. Nama aslinya adalah Hassan bin Ahmad, namun karena mengikuti
kelaziman budaya Melayu yang meletakkan nama keluarga atau orang tua di depan
nama asli, akhirnya nama Hassan bin Ahmad berubah menjadi Ahmad Hassan[3].

 

A. Hassan menikah
pada tahun 1911 M. dengan Maryam peranakan Melayu-Tamil di Singapura. Dari
pernikahannya ini ia dikaruniai tujuh orang putra-putri; (1) Abdul Qadir, (2)
Jamilah, (3) Abdul Hakim, (4) Zulaikha, (5) Ahmad, (6) Muhammad Sa'id, (7)
Manshur[4].

 

A. Hassan belajar
al-Qur'an pada umur sekitar tujuh tahun, kemudian masuk di Sekolah Melayu.
Ayahnya sangat menekankan agar Hassan mendalami bahasa Arab, Inggris, Melayu
dan Tamil di samping pelajaran-pelajaran lain[5].

 

Guru-gurunya antara
lain adalah H. Ahmad di Bukittiung dan Muhammad Thaib di Minto Road. Walaupun
kedua gurunya ini bukanlah seorang alim besar namun untuk ukuran daerahnya
keduanya cukup disegani dan dihormati. Kepada Muhammad Thaib, Hassan belajar
nahwu dan sharaf, namun kira-kira empat bulan kemudian, ia merasa tidak
memiliki kemajuan, karena hanya menghafal saja tanpa dimengerti, semangat
belajarnya pun menurun. Dalam keadaan seperti itu, untunglah gurunya naik haji.
Akhirnya, A. Hassan beralih belajar bahasa Arab kepada Said Abdullah al-Musawi
sekitar kurang lebih tiga tahun. Selain itu, A. Hassan belajar kepada Syeikh
Hassan al-Malabary dan Syeikh Ibrahim al-Hind. Semuanya ditempuh hingga
kira-kira tahun 1910 M., ketika ia berumur 23 tahun. Walaupun pada masa ini A.
Hassan belum memiliki pengetahuan yang luas tentang tafsir, fiqh, fara'id,
manthiq, dan ilmu-ilmu lainnya, namun dengan ilmu alat yang ia miliki itulah
yang kemudian mengantarkannya memperdalam pengetahuan dan pemahaman terhadap
agama secara otodidak[6]

 

Sekitar tahun 1912
M.-1913 M., Hassan bekerja sebagai dewan redaksi "Utusan Melayu" yang
diterbitkan oleh Singapore Press, dalam surat kabar ini, Hassan banyak menulis
tentang masalah agama seputar nasehat-nasehat, anjuran berbuat baik dan
mencegah kejahatan yang kebanyakannya dalam bentuk syair. Ia pernah menulis,
mengecam qadhi yang memeriksa perkara dalam ruang sidang dengan mengumpulkan
tempat duduk antara pria dan wanita (ikhtil?th). Bahkan pernah dalam salah satu
pidatonya mengecam kemunduran ummat Islam, sehingga karena sebab itu ia tidak
diperkenankan menyampaikan pidato lagi.

 

Pada tahun 1921 M.,
A. Hassan berangkat ke Surabaya (Jawa Timur) untuk berdagang dan mengurus toko
milik Abdul Lathif pamannya, namun sebelum A. Hassan berangkat, pamannya
berpesan agar sesampainya nanti di Surabaya ia tidak bergaul dengan seseorang
yang bernama Faqih Hasyim karena dianggap sesat dan berfaham Wahhabi[7].

 

Pada tahun 1924 M.,
A. Hassan berangkat ke Bandung untuk mempelajari pertenunan, di sinilah ia
berkenalan dengan tokoh pendiri organisasi PERSIS (Persatuan Islam), yang
kemudian A. Hassan diangkat menjadi guru Persatuan Islam[8]. Karena seluruh
waktunya dapat dikatakan untuk urusan Persis yang berkembang di Bandung ini,
akhirnya A. Hassan terkenal dengan sebutan Ahmad Hassan Bandung[9].

 

A. Hassan adalah
seorang sosok yang otodidak, karena pendidikan formal yang dilaluinya hanya di
Sekolah Melayu. Walaupun demikian, ia menguasai bahasa Arab, Inggris, Tamil,
dan Melayu yang dapat digunakan olehnya dalam pengembaraan intelektualnya. Pada
masa itu, ia telah membaca majalah Al-Manar yang diterbitkan oleh Muhammad
Rasyid Ridha di Mesir, majalah Al-Imam yang diterbitkan oleh ulama-ulama Kaum
Muda di Minangkabau. Selain itu, A. Hassan telah mengkaji kitab Al-Kafa'ah
karya Ahmad al-Syurkati, Bidayat al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, Zad al-Ma'ad
karya Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Nayl al-Awthar karya Muhammad Ali al-Syawkaniy,
dan Subul al-Salam karya al-Shan'aniy. Semua bacaan-bacaan itu, cukup
mempengaruhi corak berfikirnya[10].

 

Pergaulan A. Hassan
pun cukup luas, di antara sahabat-sahabatnya adalah Faqih Hasyim, Ahmad
Syurkatiy, H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, Mas Mansur, H. Munawar Chalil,
Soekarno, Muhammad Maksum, Mahmud Aziz, dan lain-lain.

 

A.Hassan pernah
menjadi guru spiritual Sukarno ketika mengalami pembuangan di Plores, sehingga
Sukarno dapat memahami konsep keislaman dan merasa ketagihan dengan
gagasan-gagasan progresif yang dimiliki A.Hassan[11].

 

Pada tahun 1940 M.,
A. Hassan pindah ke Bangil, Jawa Timur, dan mendirikan Pesantren Persatuan
Islam Bangil, ia tetap mengajar dan menulis di majalah Himayat al-Islam  yang diterbitkannya hingga wafat pada 10
Nopember 1958 M. dan dimakamkan di Pekuburan Segok, Bangil.

 

Dari madrasah A.
Hassan, muncul Abdul Qadir Hassan sebagai pewaris keilmuannya, dilanjutkan oleh
kedua cucunya, Ghazie Abdul Qadir Hassan, Hud Abdullah Musa,  Luthfie 'Abdullah Isma'?l, selain itu
murid-murid Abdul Qadir yang mewarisi keilmuannya antara lain; Aliga Ramli,
Ahmad Husnan, Muhammad Haqqiy, dan masih banyak yang lain.

 

A. Hassan adalah
salah seorang tokoh pemikir yang produktif menuliskan ide-idenya baik di
majalah-majalah maupun dalam bentuk buku. Karya-karya tulisnya, antara lain:

 

1.         Dalam bidang Al-Qur'an
dan Tafsir: Tafsir Al-Furqan, Tafsir Al-Hidayah, Tafsir Surah Yasin, dan Kitab
Tajwid.

 

2.         Dalam bidang Hadis,
Fiqh, dan Ushul Fiqh: Soal Jawab: Tentang Berbagai Masalah Agama, Risalah
Kudung, Pengajaran Shalat, Risalah Al-Fatihah, Risalah Haji, Risalah Zakat,
Risalah Riba, Risalah Ijma', Risalah Qiyas, Risalah Madzhab, Risalah Taqlid,
Al-Jawahir, Al-Burhan, Risalah Jum'at, Hafalan, Tarjamah Bulug al-Maram,
Muqaddimah Ilmu Hadis dan Ushul Fiqh, Ringkasan Islam, dan Al-Fara'idh.

 

3.         Dalam bidang Akhlaq: Hai
Cucuku, Hai Putraku, Hai Putriku, Kesopanan Tinggi Secara Islam.

 

4.         Dalam bidang Kristologi:
Ketuhanan Yesus, Dosa-dosa Yesus, Bibel Lawan Bibel, Benarkah Isa Disalib?, Isa
dan Agamanya.

 

5.         Dalam bidang Aqidah,
Pemikiran Islam, dan Umum: Islam dan Kebangsaan, Pemerintahan Cara Islam,
Adakah Tuhan?, Membudakkan Pengertian Islam, What is Islam?, ABC Politik,
Merebut Kekuasaan, Risalah Ahmadiyah, Topeng Dajjal, Al-Tauhid, Al-Iman, Hikmat
dan Kilat, An-Nubuwwah, Al-'Aqa'id, al-Munazharah, Surat-surat Islam dari
Endeh, Is Muhammad a True Prophet?

 

6.            Dalam bidang Sejarah: Al-Mukhtar,
Sejarah Isra' Mi'raj,

 

7.         Dalam bidang Bahasa dan
Kata Hikmat: Kamus Rampaian, Kamus Persamaan, Syair, First Step Before Learning
English, Al-Hikam, Special Dictionary, Al-Nahwu, Kitab Tashrif, Kamus Al-Bayan,
dan lain-lain[12].

 

3.            Pemikiran A. Hassan Tentang Hukum
(Metode Istinbat al-Hukm)

 

A. Hassan berpendapat
bahwa Allah swt. telah menetapkan aturan-aturan dan pola-pola standar yang dikenal
manusia sebagai hukum. Hukum agama (syariat) mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan, dengan memerintahkan manusia untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu
dan menjauhi tindakan-tindakan lainnya. Tujuan dari hukum agama adalah
menguraikan perintah dan kehendak Tuhan agar manusia dapat melaksanakannya,
karena tanpa hukum agama, tidak akan ada cara yang riil untuk mengetahui apa
yang Allah perintahkan kepada manusia. Karena alasan inilah Allah memberi
manusia hukum agama dalam bentuk Alquran dan Hadis sebagai petunjuk dan
tuntunan[13].

 

Selain klasifikasi
umum tentang seluruh tindakan manusia, hukum agama juga membahas soal ibadah,
perkara-perkara duniawi dan tingkah laku personal. Dalam soal ibadah, hukum
agama mengatur sebagian besar ritual dan aturan peribadatan, semisal shalat,
puasa, upacara penguburan, akikah dan qurban, bahkan persoalan-persoalan ibadah
ini merupakan bagian terbesar dari hukum agama, karena terkait dengan kaidah
dan aturan-aturan yang tidak dapat diambil dari penalaran manusia, melainkan
hanya dari wahyu.

 

A. Hassan membagi
aspek-aspek duniawi hukum agama kedalam dua bagian, yaitu yang pertama
berkaitan dengan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan kaum muslim
sendiri seperti nikah, sedekah, waris, hukum makanan, berjuang mempertahankan
agama dan sejenisnya. Hukum-hukum ini tidak mengikat non muslim yang tinggal di
wilayah muslim. Bagian kedua adalah yang mengikat muslim dan non muslim yang
tinggal di wilayah muslim seperti perdagangan, hubungan kerja, kontrak,
perjanjian damai, upah, perhimpunan, perwakilan hukum, jaminan, keamanan,
kebangkrutan dan persoalan-persoalan hukum lainnya yang secara umum dianggap
sebagai masalah kewarganegaraan. Hukum agama juga menyediakan hukum pidana
dengan menjelaskan cara serta jumlah hukuman untuk kejahatan-kejahatan seperti
penganiayaan, pembunuhan, penipuan, fitnah, mabuk-mabukan dan perzinaan[14].

 

A. Hassan
menyimpulkan bahwa pelaksanaan yang benar atas hukum agama adalah hal penting
karena dapat membedakan antara orang beriman dari orang kafir, dari para
pendosa dan dari orang-orang munafik.

 

A. Hassan menjelaskan
bahwa selain diatur oleh hukum agama, manusia juga diatur oleh hukum-hukum alam
yang dibagi menjadi dua bagian yaitu hukum yang bisa diterima oleh nalar dan
yang diterima oleh adat kebiasaan. Dua klasifikasi hukum alam ini terkait
dengan ketundukan manusia pada kejadian alam. A. Hassan tidak memberikan
pedoman untuk berurusan dengan hukum ini, agaknya beliau bermaksud menunjukkan
bahwa hukum ini tidak lain harus dipatuhi dan pada umumnya manusia tidak
memiliki kemampuan untuk mengendalikannya.

 

Kemudian A. Hassan
mengungkapkan tentang hukum buatan yakni jenis hukum yang digunakan oleh
berbagai bangsa, masyarakat, organisasi, rumah tangga  termasuk hukum adat. Hukum ini merupakan hukum yang diciptakan
menurut kebutuhan dan mengikat seluruh anggota kelompok yang meyakini hukum itu
sebagai hukum sah. Tidak seperti hukum agama, persoalan-persoalan adat bisa
saja diubah, ditambah atau dikurangi menurut kehendak komunitas yang bersangkutan[15].

 

Dalam ibadah, yaitu
ibadah ritual, tidak boleh ada penyimpangan, penambahan atau pengurangan atas
aturan dan isinya yang benar sebagaimana ditetapkan dalam Alquran dan Hadis.
Allah telah menyempurnakan agama dan tidak ada inovasi dalam hal ibadah.

 

Tentang
perkara-perkara keduniaan yang diatur oleh hukum agama, A. Hassan menyatakan
bahwa ada ruang bagi perubahan dalam pelaksanaan hukum-hukum yang bersifat
khusus, tetapi hukum itu sendiri tidak tunduk kepada  perubahan. Contohnya perintah berupa kewajiban untuk belajar,
memberi bantuan dan berjuang adalah perintah-perintah ibadah, tetapi
pelaksanaan aktualnya hanya bisa dilakukan melalui adat, yaitu cara yang bisa
saja berubah seiring dengan perubahan waktu dan kebutuhan sesuai dengan
perkembangan pengetahuan manusia di muka bumi ini[16].

 

Karenanya, meskipun
manusia pada umumnya bebas untuk mengubah hukum buatan, yaitu aturan-aturan
sosial dan politik, A. Hassan mengingatkan agar hukum-hukum itu tidak
bertentangan dengan hukum agama yang telah meletakkan aturan-aturan minimum
bagi pelaksanaan berbagai urusan manusia secara tepat. Barang siapa yang tidak
memberi tempat yang layak bagi hukum agama maka dia adalah orang kafir,
penjahat dan pendosa baik di dunia maupun di akhirat. Seseorang dianggap kafir
jika dia meyakini bahwa ada hukum lain yang lebih baik dari pada hukum Allah,
dianggap sesat jika membuat hukum yang tidak sesuai dan bertentangan dengan
hukum agama dan dianggap berdosa  jika
dia mengetahui keberadaan hukum Allah tentang perkara tertentu, akan tetapi dia
memberikan keputusan dengan hukum-hukum yang tidak diwahyukan Allah.

 

Bagi A. Hassan
Alquran dan hadis memiliki arti yang sangat penting karena kedua sumber ini
mempresentasikan Islam dalam bentuknya yang murni dan dalam bentuk itulah Islam
dapat diadaptasi ke berbagai kondisi dan konsep yang berlaku di dunia modern.
Oleh karena itu beliau sangat menekankan penggunaan Alquran dan Hadis dalam
memberikan bukti-bukti bagi kebenaran pandangannya tentang masalah-masalah
keagamaan, sosial, ekonomi dan politik.

 

4.            Pemikiran
Hukum A. Hassan Terhadap Kepercayaan-Kepercayaan Umum Dalam Masyarakat
Indonesia.

 

Adalah alami bila dalam mencari sebuah Islam
"murni" yang bebas dari bid'ah, A. Hassan menentang elemen-elemen kehidupan
masyarakat  yang diyakini bertentangan
dengan hukum Islam, antara lain :

 

a.            Makanan Ritual / Kenduri

 

Dalam salah satu
fatwa yang diberi judul " Kenduri Untuk Kehamilan" A. Hassan menyatakan, sejak
pembuahan hingga kelahiran, tidak ada jenis perayaan tertentu  yang diperintahkan oleh agama, baik itu yang
disebut kenduri, slametan, pesta maupun perjamuan. Beliau menyatakan bahwa
Islam memerintahkan diselenggarakannya perayaan pada saat pernikahan (walimatul
ursyi), praktik pembacaan doa-doa dan syahadat dalam berbagai macam peristiwa
semacam ini bukan merupakan bagian dari ibadah dan tidak seharusnya dilakukan.
Fatwa A. Hassan juga menyatakan bahwa pada hari ketujuh setelah kelahiran
seorang anak, kaum muslimin diperintahkan untuk melakukan akikah, memberi nama
untuknya dan kemudian membagi-bagikan hewan yang disembelih itu untuk para
kerabat dan tetangga. Di dalam persoalan ini, tidak pernah ada pembacaan doa
apapun[17].

 

A. Hassan menentang
perayaan yang diselenggarakan di rumah pada pagi hari saat terjadi penguburan
dan pada beberapa hari berikutnya untuk membacakan doa-doa tertentu dengan
maksud menebus dosa si jenazah. Praktik yang biasanya dilakukan di Indonesia
adalah berkumpul di rumah  keluarga
almarhum pada saat selesai upacara penguburan, kemudian pada hari kesatu sampai
dengan hari ketujuh, hari keseratus dan hari keseribu setelah kematian[18].
Penalaran untuk praktik ini adalah bahwa pahala dapat diperoleh oleh mereka
yang hadir melalui pelaksanaan ibadah sunnah 
seperti pembacaan zikir, membaca ayat atau surah tertentu dari Alquran,
dan doa-doa khusus, dan bahwa pahala dapat diperoleh dan karenanya dapat
dilimpahkan kepada almarhum sebagai pahalanya[19]. Dengan menggunakan kias,
dinalarkan bahwa persoalan-persoalan kebajikan agama dapat ditransfer kepada
orang lain.

 

A. Hassan menolak
pandangan bahwa pahala yang diperoleh seorang muslim dalam kondisi tertentu
dapat ditransfer kepada muslim yang lain terutama kepada orang yang sudah
meninggal dunia. Beliau menyatakan bahwa tidak ada rujukan yang jelas dalam
Alquran dan Hadis mengenai hal ini dan juga ditegaskan bahwa agar praktik
ibadah keagamaan tertentu bisa mendatangkan pahala harus didefinisikan dalam
sumber-sumber tertentu. Tidak ada serangkaian prosedur peribadatan yang
digambarkan untuk pelaksanaan kenduri di rumah duka, maka tindakan semacam ini
tidak bisa dianggap mendatangkan pahala bagi mereka yang melakukan praktik
tersebut.  A. Hassan berhujjah bahwa
jika pahala dapat dikirimkan kepada orang yang sudah meninggal, mengapa tidak
dikirimkan saja kepada orang yang masih hidup, sedangkan dalam QS. Al-Najm : 39
dan Yasin : 54 yang kedua ayat tersebut merujuk pada penilaian Allah hanya
didasarkan pada perbuatan yang telah dilakukan oleh masing-masing individu[20].

 

A. Hassan menyatakan
bahwa Alquran dan Hadis tidak memerintahkan kaum muslim untuk terlibat dalam
praktik doa dan pembacaan teks-teks keagamaan pada upacara kenduri dan bahwa
hal ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, tabiin dan tabiit
tabiin  atau ulama besar manapun yang
mendirikan mazhab-mazhab hukum, yaitu Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad bin
Hambal.

 

b.            Wasilah Dan Pemujaan Wali

 

Dalam At-Tauhid,
A.Hassan menyatakan bahwa Alquran dan Hadis memerintahkan agar doa ditujukan
secara langsung kepada Tuhan tanpa rumusan apapun seperti dengan syafaat Nabi
(memakai wasilah)[21]. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa ketika Nabi
Muhammad saw. masih hidup, para sahabat meminta beliau agar berdoa untuk
mereka, tetapi setelah Nabi wafat, para sahabat tidak pernah meminta kepada roh
beliau atau di kuburan beliau[22] untuk melaksanakan pungsi ini. Bagaimanapun,
praktik yang sebenarnya di kalangan para sahabat adalah meminta seorang anggota
terkemuka dari kelompok mereka untuk mendoakan mereka dan bahwa anggota yang
ditunjuk itu berdoa langsung kepada Allah dan tidak pernah meminta Nabi sebagai
perantara (wasilah).

 

Menurut A. Hassan,
dua klarifikasi ini, yaitu larangan sesungguhnya atas wasilah dari Alquran dan
Hadis serta ketiadaannya diantara para sahabat—juga menjelaskan persoalan
wasialh dengan menggunakan para wali. Wasilah telah menggoda manusia selama
berabad-abad dan bahwa para ulama telah secara terus-menerus menegaskan bahwa
wasilah tidak diperbolehkan dalam Islam. Meskipun terdapat elaborasi yang
berkelanjutan semacam ini, banyak muslim yang tetap cenderung berkeyakinan
bahwa wasilah mungkin saja absah. A. Hassan sepakat dengan ijmak ulama dan
mengungkapkan bahwa kepercayaan yang luas terhadap wasilah dapat menciptakan
kembali kondisi-kondisi yang ada di Arabia sebelum kedatangan Islam. Pada saat
itu, umat manusia membangun berhala-berhala agar menjadi perantara mereka
dengan Tuhan dan kemudian beralih menyembah berhala-berhala itu sendiri[23].

 

Meskipun mengecam
praktik wasilah, A. Hassan menyatakan bahwa ziarah kubur diperbolehkan bagi
kaum muslim selama dilakukan sesuai dengan aturan-aturan perilaku muslim yang
standar. Dia menggambarkan bahwa tujuan ziarah kubur adalah untuk mendoakan
orang yang sudah meninggal dunia dan mengingat akan kehidupan akhirat. Dia
menyatakan bahwa doa di kuburan seharusnya tidak ditujukan untuk membantu
muslim tertentu yang sudah meninggal dunia, tetapi seharusnya menjadi bagian
doa umum  dan harus ditujukan untuk
memintakan rahmat Tuhan bagi seluruh muslim yang telah meninggal dunia. A.
Hassan menentang bid'ah dan memperingatkan kaum muslim untuk tidak terikat
dengan jadwal tertentu dalam melaksanakan ziarah kubur. Dia juga memperingatkan
umat Islam untuk menghindari ziarah ke kuburan-kuburan tertentu, dengan alasan
bahwa hadis sahih tidak menggambarkan atau mendefinisikan prosedur yang pasti
mengenai hal tersebut[24].

 

Dari Pemikiran
A.Hassan di atas dapat dinyatakan A.Hassan memiliki pandangan bahwa Islam
merupakan kebenaran tunggal yang tidak bisa diotak atik. Beliau sangat menolak
praktik-praktik ritual atau tradisi lokal, sebab hal tersebut dikatagorikan
sebagai bagian dari bid'ah, takhayyul, khurafat dan syirik yang bertentangan
dengan Islam. Padahal ritual merupakan praktik yang dilakukan sebagai ekspresi
pemahaman tentang Alquran dan hadis.

 

5.            Pemikiran Hukum A. Hassan Terhadap
Kelompok Islam Tradisionalis

 

A. Hassan dalam
perdebatan-perdebatan yang dilakukannya dengan para pemimpin muslim
tradisionalis pada era 1930-an menentang Islam tradisonalis sebagai sebuah
masalah bagi kesehatan umat Islam dengan menyebutnya ketinggalan zaman, tidak
mampu menyesuaikan diri dengan cara-cara berfikir baru dan keras kepala dalam
menentang upaya-upaya pembaruan fundamental.

 

A. Hassan dengan
didukung oleh beberapa penulis lainnya, memberikan pandangan mendasar dan
kerangka teoritik mengenai hal-hal yang terkait dengan kelompok tradisionalis.

 

a.            Talkin

 

Talkin pada saat
penguburan merupakan ritual yang tidak bermanfaat sehingga kaum muslim harus
meninggalkannya. Dalam praktik ini, seseorang membacakan seluruh doktrin
terpenting Islam sedemikian rupa sehingga almarhum akan siap menghadapi
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para malaikat yang dikirim untuk
menanyakannya.

 

Dalam salah satu
fatwa mengenai persoalan ini, A. Hassan menyatakan Talkin tidak ada dalam
Alquran, juga tidah dikukuhkan oleh hadis dan tidak pernah dilakukan oleh para
sahabat dan tidak pula disebutkan sebagai upacara yang absah oleh satupun dari
empat pendiri mazhab fiqh[25]. Dia menyatakan bahwa seluruh hadis yang
diperkenalkan oleh kelompok-kelompok tradisionalis untuk mendukung pandangan
mereka adalah dhaif jika diuji menurut aturan-aturan ilmu hadis. Oleh karena
itu tidak boleh dipakai dasar hukum bagi praktik keagamaan.

 

Dalam fatwa kedua
A.Hassan menyatakan dengan jelas beberapa prinsip yang berkaitan dengan maslah
talkin ini, yaitu :

Alquran menjelaskan
bahwa orang yang sudah meninggal dunia tidak dapat diajari apapun.

Ulama bidang
pengumpulan dan pengujian hadis menyatakan bahwa tidak ada satupun hadis sahih
yang menjadi dasar hukum talkin.

Mengajar orang sudah
meninggal dunia bukan hanya ditolak oleh agama, bahkan menurut nalar, hal itu
dapat dianggap sebagai tindakan orang gila.

Menurut dalil naqli,
ketika seorang sekarat maka taubatnya tidak akan diterima, maka bagaimana
mungkin ajaran-ajaran dari seseorang yang masih hidup kepada seseorang sudah
meninggal di kuburan memiliki keabsahan[26].

 

A. Hassan mengutip
QS. Al-Naml :80 dan Fathir :22 yang menyatakan bahwa manusia tidak dapat
menjadikan orang-orang yang sudah di dalam kubur mendengar, sebagi bukti bahwa
mayat hanya dapat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh para malaikat
berdasarkan amal mereka ketika hidup di dunia. Orang yang sudah meninggal tidak
dapat diajari atau diingatkan tentang ajaran keagamaan apapun.

 

b.            Pengucapan Niat Pada Permulaan
Shalat

 

A. Hassan menyatakan
bahwa membaca niat sebelum memulai shalat lima waktu hanya diperbolehkan oleh
sebagian ulama mazhab Syafi'i, tetapi Imam Syafi'i sendiri tidak pernah
melakukan praktik tersebut. A. Hassan menyerang argumen yang menyatakan bahwa
pengucapan niat dapat membantu kekhusuan karena menyatukan hati dengan bibir,
beliau menyatakan bahwa hatilah yang menggerakkan bibir, bukannya bibir yang
menggerakkan hati[27].

 

A. Hassan juga
menolak argumen bahwa pembacaan niat dibenarkan dengan qiyas dari contoh Nabi
Muhammad yang mengulangi niat ketika melaksanakan ibadah haji. Alasannya adalah
bahwa hadis yang melaporkan tindakan Nabi tersebut adalah dhaif dan bahwa
qiyas, meskipun absah di beberapa bidang pemikiran hukum selain soal aqidah dan
ibadah karena tidak ada qiyas dalam ibadah, ibadah hanya dapat ditetapkan
berdasarkan Alquran dan Hadis[28].

 

Dari
pemikiran-pemikiran A.Hassan di atas didasarkan pada pandangan beliau bahwa
kebenaran Islam akan tercapai ketika paradigma ummat dikembalikan kepada
Alquran dan Hadis. Praktik keagamaan yang didasarkan pada akar budaya seperti
ushalli, tahlil, dzibaan al- barjanji dan talqin dikatagorikan sebagai bagian
dari bid'ah yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

 

6.            Pemikiran Hukum A.Hassan Bidang
Ekonomi (Riba, Bunga Bank)

 

Dalam hubungannya
dengan hukum riba dan praktik perekonomian modern yang berkembang, A.Hassan
memandang hal tersebut sah asalkan tidak berlipat ganda. Keuntungan yang
diambil dalam praktik perbankan dan lembaga ekonomi modern pada umumnya dapat
diterima akal sehat dan tidak termasuk kategori berlipat ganda. Kecaman Nabi
dalam praktik riba adalah kontrol terhadap praktik perekonomian agar tidak
menyimpang dari batasan-batasan syariat agama.

 

Selaras dengan
pemikiran muslim modernis di dunia Arab, A.Hassan melihat lembaga-lembaga
keuangan yang ada sesuai dengan Islam. A. Hassan mendefinisikan riba hanya
sebagai keuntungan yang berlebihan dan menyatakan bahwa bunga yang diperoleh
dari bank dan koperasi adalah layak dan tidak seharusnya dianggap riba. Dalam
sebuah fatwa tentang koperasi dinyatakan bahwa pemberlakuan aturan tentang riba
kemungkinan besar disebabkan oleh praktik yang lazim di Arabia pra-Islam,
jumlah bunga yang berlipat ganda diminta ketika memperpanjang jangka waktu
peminjaman. Jumlah seratus dirham menjadi dua ratus dirham dan seterusnya,
hingga beberapa kali lipat[29]. Fatwa tersebut mengungkapkan bahwa praktik
semacam ini dapat dengan mudah menimbulkan hilangnya kekayaan yang luar biasa
besar di pihak peminjam. Dan karena menilai bahwa kehilangan semacam ini tidak
adil, Nabi melarang praktik-praktik semacam ini.

 

Fatwa yang berjudul
"Mengembalikan Jumlah Yang Lebih Besar Daripada Yang Dipinjam", fatwa ini
menentang tentang kesahihan hadis yang digunakan oleh kelompok-kelompok muslim
tradisionalis untuk mendukung pandangan tentang riba. Hadis itu menyatakan
bahwa pengembalian pinjaman berupa benih padi adalah dengan padi yang sama
tanpa ada penambahan, dan bahwa hal itu tidak ada kaitannya dengan masa depan
(yaitu keberhasilan panen berikutnya). Hadis itu tidak sahih sebab
syarat-syaratnya tidak mungkin dipenuhi, karena seseorang yang meminjam benih
padi tidak mungkin dapat mengembalikan benih padi yang sama setelah panen
berikutnya. Fatwa ini juga menolak hadis-hadis lain yang diajukan oleh kelompok
muslim tradisionalis sebagai dasar pandangan mereka tentang riba, karena
hadis-hadis itu bertentangan antara satu dengan lainnya[30].

 

Kaum muslim
diperbolehkan menggunakan bank-bank modern dan menerima bunga yang diberikan
bank-bank itu atas tabungan mereka. Seorang muslim dianggap lalai terhadap
kewajiban-kewajibannya jika tidak mau menerima bunga dari bank, dan menyatakan
bahwa jika seseorang menganggap bunga bank itu tidak bersih, maka biarkanlah
dia memberikannya ke panti asuhan atau sekolah[31].

 

Dari pemikiran di
atas, A.Hassan menyerukan tajdid (pembaruan) terhadap praktik sosial keagamaan
lama yang dianggap telah menyimpang dan mengarah kepada kemunduran karena telah
terjadi kesalahan persepsi dalam memahami ayat-ayat riba dan kekeliruan dalam
mensahihkan hadis-hadis tentang riba, oleh karena itu harus diperbarui dengan
kembali kepada petunjuk Alquran dan Hadis secara benar.

 

7.            Penutup

 

A. Hassan memiliki
karakter pemikir pembaharu (mujaddid) yang banyak menentang praktik keagamaan
tradisional.

 

Melihat apa yang
dibaca serta gagasan dan pemikirannya, jelas sekali bahwa A.Hassan dipengaruhi
oleh pemikiran gerakan salafi. Yang dimaksud dengan gerakan salafi adalah
gerakan dan pemikiran yang menyandarkan seluruh gagasannya pada Alquran dan
Hadis atau disebut dengan ahlul hadis.

 

A. Hassan sebagai
pioner Persis menganggap bahwa ulama tradisional telah meninggalkan Alquran dan
Hadis dan telah melakukan penafsiran-penafsiran dan penentuan hukum secara
tidak benar. Kesalahan dalam penggunaan dasar hukum Islam tersebut telah
mengakibatkan banyaknya praktik keagamaan yang mengandung bid'ah dan mulhidah
(sesat), khususnya dalam amal ibadah.

 

Bagi A.Hassan,
Alquran dan Hadis merupakan pijakan cara beragama Islam yang kaffah, sempurna.
Dalam kedua sumber hukum tersebut juga tersimpan seluruh aturan agama yang
terkait dengan konsep muamalah dan jinayah. Sehingga Alquran dan Hadis
merupakan sebuah paketan konstitusi dari Tuhan yang siap digunakan untuk
mengatur kehidupan masyarakat.

 

A. Hassan merupakan
ideolog Persis yang paling keras, radikal dan paling berpengaruh. Dia bahkan
berhasil menentukan karakter dan identitas pemikiran Persis di hadapan
organisasi keislaman lain.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

A. Hassan, At-Tauhid,
Bangil: 1941.

A. Hassan, Pemerintahan Cara
Islam, Toko Timoer, 1946.

A. Hassan, Soal Jawab Jilid
I s.d. XIII

Dadan Wildan, Yang Dai Yang
Politis : Hayat Perjuangan Lima Tokoh Persis, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
1977.

Howard M. Federspiel,
Persatuan Islam : Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, Yogyakarta :
Gajah Mada University Press, 1996

Howard M. Federspiel,
Labirin Ideologi Muslim; Pencarian dan Pergulatan Persis di Era kemunculan
Negara Indonesia (1923-1957), Jakarta : Serambi, 2004

M. Mukhsin Jamil, dkk. Nalar
Islam Nusantara; Studi Islam ala Muhammadiyah, al-Irsyad, Persisi dan NU,
Cirebon : Fahmina Instute, 2008

Nina M Armando, Ensiklopedi
Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.

Reuben Levy, The Social
Structure of Islam, Cambridge, 1957.

Syafiq A. Mughni, Hassan
Bandung : Pemikir Islam Radikal, PT. Bina Ilmu, 1994.

Sirajuddin Abbas, 40 Masalah
Agama, Jakarta, 1972

Tamar Jaya, "Riwayat Hidup
A. Hassan", dalam A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, Bandung: CV. Penerbit
Diponegoro, 2001 M

Tim Penulis IAIN Syarif
Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, 2002

 

[1] Dadan Wildan, Yang Dai
Yang Politis : Hayat Perjuangan Lima Tokoh Persis,(PT. Remaja Rosda Karya,
1977), hal. 19

[2] Syafiq A. Mughni, Hassan
Bandung : Pemikir Islam Radikal (PT. Bina Ilmu, 1994) hal.11

[3] M. Mukhsin Jamil , dkk.
Nalar Islam Nusantara; Studi Islam ala Muhammadiyah, al-Irsyad, Persisi dan NU
( Fahmina Instute, 2008) hal. 192.

[4] Syafiq. A. Mughni,
op.cit, hal. 12

[5] Lihat tulisan Tamar
Jaya, "Riwayat Hidup A. Hassan", dalam A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram,
(Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2001 M), h. 709;

[6] Syafiq A. Mughni,
op.cit, hal.13

[7] Ibid, hal. 14-15

[8] Howard M. Federspiel,
Persatuan Islam : Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia (gajah Mada
University Press, 1996) hal.24.

[9] Tim Penulis IAIN Syarif
Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia ( Djambatan, 2002)  h.372

[10] Syafiq A. Mughni,
op.cit, hal.20

[11] M.Mukhsin jamil dkk,
op.cit, h.200

[12] Ibid

[13] A. Hassan, At-Tauhid
(Bangil, 1941) h.60

[14] A. Hassan, Pemerintahan
Cara Islam (Toko Timoer, 1946) h.8

[15] A. Hassan, op.cit, h.67

[16] Reuben Levy, The Social
Structure of Islam (Cambridge, 1957), h.260

[17] Soal Jawab VII hal.7

[18] Soal Jawab h. 12

[19] Sirajuddin Abbas, 40
Masalah Agama (Jakarta, 1972) h.207

[20] Pembela Islam, h.39

[21] Sual jawab III, h.15

[22] A. Hassan, op.cit,
h.50.

[23] Soal Jawab I, h.21-22

[24] Soal Jawab II, h.21-22

[25] Soal Jawab I, h.21

[26] Soal Jawab II, h.14

[27] Soal Jawab I, h.11

[28] Ibid, h.12

[29] A.Hassan, Kitab Riba,
Bandung, 1932

[30] Al-Muslimun, Maret
1955, h.7

[31] Sual Jawab XIII,
h.72-73.

 

 

 

http://www.pa-tanahgrogot.net/utama/index.php?option=com_content&view=article&id=52:pemikiran-hukum-ahassan&catid=5:artikel-hukum&Itemid=10

 

 

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment