Advertising

Tuesday 21 June 2011

[wanita-muslimah] Sejam Bersama Ustadz Abu

 

".bedakan antara politisi dan ulama'. Fungsi ulama wajib menyampaikan
kebenaran meski pahit. Qulil-haqqa walaw kaana murran. Seorang alim tidak
boleh mengingkari hal itu. Al-haq harus dijelaskan meski pahit. Pahit itu
misalnya beratnya hukuman."

*Sejam Bersama Ustadz Abu*

Oleh Bambang Sukirno

Wajahnya teduh. Rambutnya sudah lama memutih. Juga jenggotnya. Dalam
penampakannya, beliau selalu mengenakan gamis. Juga surban di pundaknya.

Senyumnya tak pernah lepas, jauh dari kesan angker apalagi menakutkan. "Apa
kabar Ustadz?" Tanya rombongan di kantin Mabes Polri. 'Ruang tamu khusus'

itu sedikit mengurangi keangkeran di tengah jajaran jeruji besi.

"Alhamdulillah baik", jawabnya. "Mata kiri saya habis dioperasi. Mata kanan
belum dioperasi sebab kataraknya masih tipis." Lanjutnya. Beliau menjelaskan
bahwa para doktertengah mengkaji perlu tidaknya operasi laser untuk mata
kanan beliau.

Untuk kesekian kalinya Ustadz Abu Bakar Baasyir diuji dengan pemenjaraan.

Kakek sepuh yang kakinya sering pegel linu itu menghuni sel dengan sedikit
ventilasi dan sinar matahari. Tuduhannya bukan main-main; penyandang dana
kamp teroris di hutan Jantho Aceh. Ancaman maksimalnya adalah hukuman mati.

Toh demikian, tak tampak sikap down atau sedih. Yang ada adalah semangat
untuk memberi nasehat kepada siapapun yang datang, termasuk kepada polisi.

Suaranya tetap lantang. Prinsipnya tetap kukuh.

"Saya katakan di pengadilan bahwa i'dad itu wajib. Itu perintah Al-Qur'an.

Menolaknya berarti menentang Allah.

Saya siap berdebat dengan MUI dalam hal ini." Ujar ustadz Abu kepada
pembesuk. Kalimat itu memang terpublikasi di media massa setelah pembacaan
pembelaan beliau di pengadilan. Kalimat yang oleh pers dipelintir sebagai
otomatis pendukung kamp militer di Aceh.

Saya jadi teringat cerita kawan di Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Konon
seorang wartawan datang dan menyayangkan statement ustadz semacam itu.

"Bukankah hal itu justru akan memberatkan hukuman beliau?" protesnya. Kawan
di JAT tadi memberi penjelasan, "Anda harus bedakan antara politisi dan
ulama'. Fungsi ulama wajib menyampaikan kebenaran meski pahit. *Qulil-haqqa
walaw kaana murran*."

Kawan tadi melanjutkan; "I'dad, atau mempersiapkan kekuatan itu memang
perintah Al-Qur'an. la termaktub dalam Al-Anfal ayat 60. Seorang alim tidak
boleh mengingkari hal itu. Al-haq harus dijelaskan meski pahit. Pahit itu
misalnya beratnya hukuman. Jadi harus dibedakan antara kewajiban
menyampaikan norma dengan 'keterlibatan'. Tidak bisa statement semacam itu
otomatis dihubungkan dengan keterlibatan." Wartawan itu konon
manggut-manggut tanda mengerti. Mungkin selama ini ia hanya mengenal logika
politisi yang berfikir untung rugi.

Tiba-tiba Ustadz kharismatik itu berkata, "Jihad itu wajib, tapi ia terkait
dengan istito'ah (kemampuan). Saya sendiri merasa tidak memiliki kemampuan
untuk itu, karenanya saya tidak kemana-mana. Saya sering katakan kepada
pemuda, jihad bukan urusan main-main dan harus konsekwen. Siapapun yang
mengambil pilihan memegang senjata, maka tidak boleh dilepaskan. la tak
punya pilihan kecuali melawan atau mati. Lebih baik kalian memakan
daun-daunan daripada menyerah kepada musuh."

Ya... Nampak para pembesuk tertegun mencerna kuliah-kuliah beliau. Ada
wisdom kearifan di situ. Tentang bagaimana seorang pejuang harus kuat
memegang prinsip tapi juga rasional dalam bertindak. Tentang bagaimana
menakar dan mengukur istito'ah.

Tentang sikap konsekwen dan sumbut. Tentang kedewasaan. Tentang keberanian
dan menjaga keberanian itu hingga babak akhir.

"Jadi, jika sekelompok orang telah mengambil jalan itu, maka jangan
menyerah. Jangan justru senjatanya disimpan dan ditunjukkan kepada musuh.

Itu termasuk lari dari peperangan." Terang beliau. Para pembesuk saling
berpandangan. Seorang pembesuk bertanya, "Bagaimana jika sekelompok orang
itu masih menilai sebagai fase i'dad belum fase jihad, apakah terkena *firar

minaz-zahf* -lari dari medan-" Ustadz menjawab, "Jika sudah *yaumal taqol

jam'an* -bertemunya dua kubu- maka yang ada adalah jihad dan melawan". Sang
pembesuk kembali bertanya, "Kalau lari untuk strategi bagaimana Ustadz?"

Beliau menjawab, "Kalau yang dimaksud adalah bergabung dengan kelompok lain,
maka sekarang tidak ada khilafah (kelompok yang kuat). Jadi hanya ada satu

pilahan: Maju!"

Tak terasa, diskusi ringan itu dibatasi oleh adzan dzuhur. Rombongan
kemudian shalat berjamaah dengan beliau sebagai Imam. Sebelum memasuki
mushola, pembesuk harus distempel tangan kirinya oleh polisi penjaga. Siang
itu dzuhur terasa khusyu'. Shalat yang tak biasa, di tempat yang tak biasa,
bersama orang-orang luar biasa. Rombongan segera pamit karena akan menyusul
tamu-tamu berikutnya.

Selengkapnya di *An-Najah* Edisi 68 Jumadil Ula 1432 H / Mei 2011 M

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment