Advertising

Saturday 15 September 2012

[wanita-muslimah] Tanpa Kebebasan Beragama Tiada Kemerdekaan Berpolitik

 

 
 
 
 
Tanpa Kebebasan Beragama Tiada Kemerdekaan Berpolitik
Kristanto Hartadi| Rabu, 12 September 2012 - 10:05:25 WIB

ist/ist
.
 
Ketika berada di Cirebon pekan lalu untuk meninjau persiapan Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU 2012 di Pesantren Kempek, Cirebon, yang akan digelar pada 14-17 September mendatang, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH Said Aqil Siradj, mengungkapkan saat ini negara Indonesia diambang perang saudara.

Menurut Aqil Siradj indikatornya adalah munculnya kelompok-kelompok yang menghendaki agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta kembali dimasukkan dalam Pancasila, yakni: "dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya." Lalu ada pula kelompok lain yang menghendaki agar Indonesia menganut sistem kekhalifahan. Pada sisi lain, lanjutnya, Nahdlatul Ulama tetap memilih berpegang teguh dan kembali kepada Pancasila sebagai dasar negara.

Itulah sebabnya tema dalam Munas Alim Ulama 2012 itu adalah: Kembali ke Khittah Indonesia 1945 sebagai Pemersatu Bangsa. Karena, jelasnya, Pancasila sudah merangkum syariat Islam, dan merupakan pemersatu bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan agama.

Mungkin terlalu dramatis pernyataan kita berada di ambang perang saudara, tetapi bukan berarti potensi itu tidak ada. Kita ingat ketika memperingati hari Pidato Bung Karno tentang Pancasila pada 1 Juni 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan hasil survey oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan jumlah rakyat Indonesia yang menganggap penting Pancasila masih 70 persen, sementara 30 persen lagi tidak mendukung.

Namun hasil survey BPS itu berbeda dengan temuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bahwa 86% mahasiswa di lima universitas tenar di Jawa menolak Pancasila. Kata Ansyaad Mbai, Kepala BNPT, di depan Komisi III DPR pekan lalu, banyak tempat ibadah dan universitas yang saat ini telah dikooptasi oleh kaum radikalisme. Tak hanya itu, kampus juga menjadi sasaran empuk untuk proses regenerasi kaum radikalisme.

Haruslah diakui Pancasila mengandung banyak ambiguitas, misalnya tidak jelas batas antara negara agama dan negara sekuler, antara kapitalisme dan sosialisme. Namun Pancasila adalah alternatif jitu yang ditawarkan Bung Karno dan para founding fathers demi mengikat bangsa yang sangat plural ini, Pancasila adalah rumah bagi semua. Maka kalau tidak ada upaya serius untuk merawat dan merevitalisasi makna Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bangsa ini bisa bubar jalan.

Sebagian dari kita tentu menyaksikan rekaman video yang pekan lalu disiarkan oleh Mabes Polri, berisi pernyataan pemuda pelaku terorisme Bayu Setiyono. Di situ Bayu mengatakan dia dan kelompoknya bermaksud menciptakan kerusuhan (bernuansa agama) di Solo melalui aksi teror.

Katanya, Solo ingin dijadikan seperti Ambon dan Poso, sehingga di kota itu dapat ditegakkan syariat islam, atau perwujudan khilafah islamiah di Indonesia. Kita tahu buah kerusuhan bernuansa agama di Ambon dan Poso masyarakat di sana menjadi tersegregasi. Jadi sinyalemen KH Said Agil Siraj sama sekali bukan omong kosong.

Pekan lalu pula di Jakarta berlangsung diskusi buku Silenced: how blasphemy and apostasy codes are choking freedom worldwide, bersama penulisnya Dr Paul Marshall, peneliti dari Center for Religions Freedom, Washington DC. Buku itu adalah hasil survei di 20 negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, yang menunjukkan adanya trend penggunaan idiom dan jargon tertentu yang dianggap "menghina" Islam untuk dijadikan alasan menindas kelompok minoritas agama yang lain. Silenced adalah satu dari berbagai buku yang ditulisnya terkait soal kebebasan beragama di dunia.

Kesimpulan yang dibuat oleh Paul, yang juga editor buku Blind Spot: When Journalists Don't Get Religion, adalah: bila politik disangkutkan dengan agama (khususnya terkait perdebatan mengenai penistaan agama islam) maka melarang kritik terhadap agama sama saja dengan melarang kritik terhadap politik. Sebaliknya, tanpa perdebatan keagamaan maka juga tidak akan terjadi perdebatan politik. Dan tanpa kebebasan beragama, maka juga tidak akan terjadi kebebasan politik.

Kesimpulannya itu relevan, karena ada banyak contoh negara yang mempolitisir agama sedemikian rupa demi kepentingan politik, entah itu demi bertahan di kekuasaan atau untuk merebut kekuasaan. Dan sudah terbukti, bila agama yang dipakai sebagai alat politik, pastilah akan ada kelompok-kelompok yang mengalami penindasan dan diskriminasi.

Maka bila mengacu kembali ke hasil survey oleh BPS pada 2011 lalu itu (tanpa ingin mengabaikan temuan BNPT), jelaslah bahwa kaum mayoritas di Indonesia adalah mereka yang menganggap Pancasila tetap penting. Seharusnya kelompok mayoritas ini semakin intens dalam menggalang berbagai upaya untuk merevitalisasi Pancasila supaya semakin relevan dalam kehidupan sehari-hari. Jangan adem ayem saja.

(MATAHATI/SHNEWS.CO/MH.016)

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment