Advertising

Monday, 2 August 2010

[wanita-muslimah] Hubungan Hadis dan Al-Quran

 

Hubungan Hadis dan Al-Quran

Al-hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama --seperti definisi
Al-Sunnah-- sebagai "Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad
saw., baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat
fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya."
Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada "ucapan-ucapan
Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum"; sedangkan bila
mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum,
maka ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti
yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai
bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban
menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu
Al-Quran.

Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada Allah
dan Rasul-Nya yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan dengan dua
redaksi berbeda. Pertama adalah Athi'u Allah wa al-rasul, dan kedua
adalah Athi'u Allah wa athi'u al-rasul. Perintah pertama mencakup
kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan dengan
perintah Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan sekali
saja penggunaan kata athi'u. Perintah kedua mencakup kewajiban taat
kepada beliau walaupun dalam hal-hal yang tidak disebut secara
eksplisit oleh Allah SWT dalam Al-Quran, bahkan kewajiban taat kepada
Nabi tersebut mungkin harus dilakukan terlebih dahulu --dalam kondisi
tertentu-- walaupun ketika sedang melaksanakan perintah Allah SWT,
sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka'ab yang ketika sedang
shalat dipanggil oleh Rasul saw. Itu sebabnya dalam redaksi kedua di
atas, kata athi'u diulang dua kali, dan atas dasar ini pula perintah
taat kepada Ulu Al-'Amr tidak dibarengi dengan kata athi'u karena
ketaatan terhadap mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat
dengan sejalannya perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan
Rasul-Nya. (Perhatikan Firman Allah dalam QS 4:59). Menerima ketetapan
Rasul saw. dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikit pun rasa
enggan dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya hukum maupun
setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman seseorang, demikian Allah
bersumpah dalam Al-Quran Surah Al-Nisa' ayat 65.

Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang
menonjol antara hadis dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara
penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa
wahyu Al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril hanya
sekadar menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw., dan beliau pun
langsung menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya generasi
demi generasi. Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu, dapat dipastikan
tidak mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia
ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian
disampaikan secara tawatur oleh sejumlah orang yang --menurut adat--
mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-Quran
menjadi qath'iy al-wurud. Ini, berbeda dengan hadis, yang pada umumnya
disampaikan oleh orang per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi
yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Di
samping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa
sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya
penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis-hadis yang ada sekarang
hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi'in. Ini menjadikan
kedudukan hadis dari segi otensititasnya adalah zhanniy al-wurud.

Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap
keabsahan hadis karena sekian banyak faktor -- baik pada diri Nabi
maupun sahabat beliau, di samping kondisi sosial masyarakat ketika
itu, yang topang-menopang sehingga mengantarkan generasi berikut untuk
merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.

Fungsi Hadis terhadap Al-Quran
Al-Quran menekankan bahwa Rasul saw. berfungsi menjelaskan maksud
firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam
pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta
fungsinya.

'Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah
fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah mempunyai fungsi
yang berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan
pembinaan hukum syara'. Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi'i
dalam Al-Risalah, 'Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya
dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan,
yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta'kid
dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi
kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua
memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari
ayat-ayat Al-Quran.

Persoalan yang diperselisihkan adalah, apakah hadis atau Sunnah dapat
berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam Al-Quran?
Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada 'ishmah
(keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang
syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang
kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya
berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah,
sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini
Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.

Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di
atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi
Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah
(penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan
penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan,
kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul saw. melarang
seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak
sang istri, yang pada zhahir-nya berbeda dengan nash ayat Al-Nisa'
ayat 24, maka pada hakikatnya penambahan tersebut adalah penjelasan
dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut.

Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan persoalan akan
semakin sulit jika Al-Quran yang bersifat qathi'iy al-wurud itu
diperhadapkan dengan hadis yang berbeda atau bertentangan, sedangkan
yang terakhir ini yang bersifat zhanniy al-wurud. Disini, pandangan
para pakar sangat beragam. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Al-Sunnah
Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, menyatakan bahwa
"Para imam fiqih menetapkan hukum-hukum dengan ijtihad yang luas
berdasarkan pada Al-Quran terlebih dahulu. Sehingga, apabila mereka
menemukan dalam tumpukan riwayat (hadits) yang sejalan dengan
Al-Quran, mereka menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan, mereka
menolaknya karena Al-Quran lebih utama untuk diikuti."

Pendapat di atas, tidak sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama fiqih.
Yang menerapkan secara utuh hanya Imam Abu Hanifah dan
pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, jangankan membatalkan kandungan
satu ayat, mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak dapat
dilakukan oleh hadis. Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak
disetujui oleh Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat
bahwa al-hadits dapat saja diamalkan, walaupun tidak sejalan dengan
Al-Quran, selama terdapat indikator yang menguatkan hadis tersebut,
seperti adanya pengamalan penduduk Madinah yang sejalan dengan
kandungan hadis dimaksud, atau adanya ijma' ulama menyangkut
kandungannya. Karena itu, dalam pandangan mereka, hadis yang melarang
memadu seorang wanita dengan bibinya, haram hukumnya, walaupun tidak
sejalan dengan lahir teks ayat Al-Nisa' ayat 24.

Imam Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela
Al-Sunnah), bukan saja menolak pandangan Abu Hanifah yang sangat ketat
itu, tetapi juga pandangan Imam Malik yang lebih moderat. Menurutnya,
Al-Sunnah, dalam berbagai ragamnya, boleh saja berbeda dengan
Al-Quran, baik dalam bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap
kandungan Al-Quran. Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan umat
manusia untuk mengikuti perintah Nabi-Nya?

Harus digarisbawahi bahwa penolakan satu hadis yang sanadnya sahih,
tidak dilakukan oleh ulama kecuali dengan sangat cermat dan setelah
menganalisis dan membolak-balik segala seginya. Bila masih juga
ditemukan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali mempertahankan
wahyu yang diterima secara meyakinkan (Al-Quran) dan mengabaikan yang
tidak meyakinkan (hadis).

Pemahaman atas Makna Hadis

Seperti dikemukakan di atas, hadis, dalam arti ucapan-ucapan yang
dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw., pada umumnya diterima
berdasarkan riwayat dengan makna, dalam arti teks hadis tersebut,
tidak sepenuhnya persis sama dengan apa yang diucapkan oleh Nabi saw.
Walaupun diakui bahwa cukup banyak persyaratan yang harus diterapkan
oleh para perawi hadis, sebelum mereka diperkenankan meriwayatkan
dengan makna; namun demikian, problem menyangkut teks sebuah hadis
masih dapat saja muncul. Apakah pemahaman makna sebuah hadis harus
dikaitkan dengan konteksnya atau tidak. Apakah konteks tersebut
berkaitan dengan pribadi pengucapnya saja, atau mencakup pula mitra
bicara dan kondisi sosial ketika diucapkan atau diperagakan? Itulah
sebagian persoalan yang dapat muncul dalam pembahasan tentang
pemahaman makna hadis.

Al-Qarafiy, misalnya, memilah Al-Sunnah dalam kaitannya dengan pribadi
Muhammad saw. Dalam hal ini, manusia teladan tersebut suatu kali
bertindak sebagai Rasul, di kali lain sebagai mufti, dan kali ketiga
sebagai qadhi (hakim penetap hukum) atau pemimpin satu masyarakat atau
bahkan sebagai pribadi dengan kekhususan dan keistimewaan manusiawi
atau kenabian yang membedakannya dengan manusia lainnya. Setiap hadis
dan Sunnah harus didudukkan dalam konteks tersebut.

Al-Syathibi, dalam pasal ketiga karyanya, Al-Muwafaqat, tentang
perintah dan larangan pada masalah ketujuh, menguraikan tentang
perintah dan larangan syara'. Menurutnya, perintah tersebut ada yang
jelas dan ada yang tidak jelas. Sikap para sahabat menyangkut perintah
Nabi yang jelas pun berbeda. Ada yang memahaminya secara tekstual dan
ada pula yang secara kontekstual.

Suatu ketika, Ubay ibn Ka'ab, yang sedang dalam perjalanan menuju
masjid, mendengar Nabi saw. bersabda, "Ijlisu (duduklah kalian)," dan
seketika itu juga Ubay duduk di jalan. Melihat hal itu, Nabi yang
mengetahui hal ini lalu bersabda kepadanya, "Zadaka Allah tha'atan."
Di sini, Ubay memahami hadis tersebut secara tekstual.

Dalam peperangan Al-Ahzab, Nabi bersabda, "Jangan ada yang shalat
Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah." Sebagian memahami teks
hadis tersebut secara tekstual, sehingga tidak shalat Ashar walaupun
waktunya telah berlalu --kecuali di tempat itu. Sebagian lainnya
memahaminya secara kontekstual, sehingga mereka melaksanakan shalat
Ashar, sebelum tiba di perkampungan yang dituju. Nabi, dalam kasus
terakhir ini, tidak mempersalahkan kedua kelompok sahabat yang
menggunakan pendekatan berbeda dalam memahami teks hadis.

Imam Syafi'i dinilai sangat ketat dalam memahami teks hadis, tidak
terkecuali dalam bidang muamalat. Dalam hal ini, Al-Syafi'i
berpendapat bahwa pada dasarnya ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis
Nabi saw., harus dipertahankan bunyi teksnya, walaupun dalam bidang
muamalat, karena bentuk hukum dan bunyi teks-teksnya adalah
ta'abbudiy, sehingga tidak boleh diubah. Maksud syariat sebagai
maslahat harus dipahami secara terpadu dengan bunyi teks, kecuali jika
ada petunjuk yang mengalihkan arti lahiriah teks.

Kajian 'illat, dalam pandangan Al-Syafi'i, dikembangkan bukan untuk
mengabaikan teks, tetapi untuk pengembangan hukum. Karena itu, kaidah
al-hukm yaduru ma'a illatih wujud wa 'adam,115 hanya dapat diterapkan
olehnya terhadap hasil qiyas, bukan terhadap bunyi teks Al-Quran dan
hadis. Itu sebabnya Al-Syafi'i berpendapat bahwa lafal yang
mengesahkan hubungan dua jenis kelamin, hanya lafal nikah dan zawaj,
karena bunyi hadis Nabi saw. menyatakan, "Istahlaltum furujahunna bi
kalimat Allah (Kalian memperoleh kehalalan melakukan hubungan seksual
dengan wanita-wanita karena menggunakan kalimat Allah)", sedangkan
kalimat (lafal) yang digunakan oleh Allah dalam Al-Quran untuk
keabsahan hubungan tersebut hanya lafal zawaj dan nikah.

Imam Abu Hanifah lain pula pendapatnya. Beliau sependapat dengan
ulama-ulama lain yang menetapkan bahwa teks-teks keagamaan dalam
bidang ibadah harus dipertahankan, tetapi dalam bidang muamalat, tidak
demikian. Bidang ini menurutnya adalah ma'qul al-ma'na, dapat
dijangkau oleh nalar. Kecuali apabila ia merupakan ayat-ayat Al-Quran
yang berkaitan dengan perincian, maka ketika itu ia bersifat
ta'abbudiy juga. Teks-teks itu, menurutnya, harus dipertahankan, bukan
saja karena akal tidak dapat memastikan mengapa teks tersebut yang
dipilih, tetapi juga karena teks tersebut diterima atas dasar qath'iy
al-wurud. Dengan alasan terakhir ini, sikapnya terhadap teks-teks
hadis menjadi longgar. Karena, seperti dikemukakan di atas,
periwayatan lafalnya dengan makna dan penerimaannya bersifat zhanniy.

Berpijak pada hal tersebut di atas, Imam Abu Hanifah tidak segan-segan
mengubah ketentuan yang tersurat dalam teks hadis, dengan alasan
kemaslahatan. Fatwanya yang membolehkan membayar zakat fitrah dengan
nilai, atau membenarkan keabsahan hubungan perkawinan dengan lafal
hibah atau jual beli, adalah penjabaran dari pandangan di atas.
Walaupun demikian, beliau tidak membenarkan pembayaran dam tamattu'
dalam haji, atau qurban dengan nilai (uang) karena kedua hal tersebut
bernilai ta'abudiy, yakni pada penyembelihannya.

Demikianlah beberapa pandangan ulama yang sempat dikemukakan tentang
hadis.

Catatan kaki
115 Ketetapan hukum selalu berkaitan dengan 'illat (motifnya). Bila
motifnya ada, hukumnya bertahan; dan bila motif nya gugur, hukumnya
pun gugur.

MEMBUMIKAN AL-QURAN
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
Dr. M. Quraish Shihab
Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996
Jln. Yodkali 16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment