http://rumahkitab.blogspot.com/2010/08/hukum-kekerasan-atas-nama-agama.html
Minggu, 01 Agustus 2010
Hukum Kekerasan Atas Nama Agama
Mukti Ali el-Qum- Koord. Kajian Teks Kitab Kuning di Rumah Kitab.
Rumah Kitab menyelenggarakan Bahsul Masail dengan tema: Tindak
kekerasan Atas nama Agama Dalam Pandangan Kitab Kuning. Kegiatan ini
merupakan bagian dari unit Kajian bekerjasama dengan unit Pengembangan
Masyarakat dari Yayasan Rumah Kitab. Kegiatan ini diikuti oleh
sejumlah peserta dengan latar belakang alumnus Pondok Pesantren
Tradisional-Salafiyah dari daerah Bekasi, Ciputat, Pulogadung dan
Cakung yang berbasis pengetahuan Kitab Kuning. Untuk diketahui Bahtsul
Masail merupakan ajang penggalian hukum yang genuin produk NU guna
menjawab persoalan nyata dan kontemporer yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat dan diasumsikan membutuhkan tanggapan dari
pandangan agama.
Peserta Bahsul Masail ini adalah perwakilan Masjid al-Falah, Ustadz
Ahmad Khudzlari dan Ustadz Syahrul Kamal; delegasi Pondok Pesantren
An-Nida, Ustadz Ahmad Zakahsyari, Nurhidayah dan Ustadz Muhammad
Trisna; pengurus NU Bekasi, Ustadz Muhammad; perwakilan Pondok
Pesantren Miftah al-'Ulum, ustadz Abdul Basith, dan staf Rumah Kitab.
Seluruh peserta berjumlah tujuh belas orang.
Persoalan yang dibahas dalam Bahsul Masail kali ini adalah praktik
kekerasanyang dilakukan atas nama pembelaan atau penegakkan ajaran
agama menurut mereka. Praktik ini belakangan terjadi lagi dengan modus
yang semakin melebar tak terbatas pada persinggungan antar agama. Jika
sebelumnya kekerasa itu terkait langsung dengan gesekan antara
keyakinan seperti penyerangan terhadap kelompok agama lain, perusakan
rumah ibadat, pembubaran kegiatan yang diasumsikan sebagai kegiatan
keagamaan, belakangan ini kekerasan sampai merambah kepada pengrusakan
karya seni, atau pembubaran kelompok diskusi yang dianggap tidak cocok
dengan pandangan mereka seperti pembubaran kelompok diskusi yang
diikuti oleh kelompok gay dan lesbian, atau ex tapol Gerakan 30
September.
Persoalan kedua adalah, ketika hal ini terjadi masyarakat melihat dan
menganggap bahwa aparat penegak hukum yang seharusnya memberikan
perlindungan ternyata tidak bekerja sebagaimana mestinya.. Karenanya
kekerasan horizontal kemudian terjadi. Fenomena kekerasan ini terus
menghiasi pemberitaan di media massa baik cetak maupun elektronik.
Dan dari latar belakang tersebut muncul beberapa pertanyaan sebagai
acuan diskusi dalam Bahsul Masail berikut:
1. Bagaimana hukumnya melakukan kekerasan atas nama agama dengan tanpa
menghiraukan hukum yang sudah diatur oleh negara?
2. Bagaimana hukumnya aparatur negara yang membiarkan terjadinya
kekerasan yang dilakukan oleh sebagian warga negara kepada sebagian
warga negara yang lain?
3. Bagaimana hukum penggunaan atribut keulamaan yang digunakan untuk
melakukan pengerahan massa untuk tindakan kekerasan dan berprilaku
preman?
Sebelum memperdebatkan jawabannya secara hukum, ada dua langkah yang
dilakukan moderator sekaligus fasilitator Mukti Ali el-Qum. Pertama,
memperjelas kronologi dan kedudukan masalah, khususnya ruang-lingkup
definisi kekerasan. Kedua, memformulasikan persoalan dan pertannyaan
agar mendapatkan jawaban yang tepat dan relevan sesuai dengan
persoalan yang muncul di lapangan. Dua langkah tersebut harus ditempuh
sebab dalam menghukumi sesuatu, terlebih dahulu harus dijelaskan
secara komprehensif kedudukan mahkum 'alaihi (obyek yang dihukumi).
Cara seperti ini mutlak dalam metodologi pengambilan hukum yang
dikembangkan oleh Bahsul Masail karena secara metodologis adalah tidak
mungkin menghukumi sesuatu yang belum atau tidak diketahui (majhul)
duduk masalahnya. Untuk kepentingan tersebut moderator meminta sa'il
(narasumber) menjelaskan masalah yang disampaikan oleh Ali Mursyid.
Dalam penjelasannya Ali Mursyid mengatakan bahwa mendiskusikan dan
melakukan pembelaan terhadap mereka yang mengalami tindak kekerasan
(korban) oleh kelompok lain (pelaku) bukan berarti kita sedang
bersetuju dengan pandangan, pikiran, keyakinan orang yang menjadi
korban. Posisi Rumah Kitab adalah menilai atas tindakan yang dilakukan
pelaku ketika mengambil alir peran negara dalam melakukan fungsi
–fungsi pengamanan. Selain itu Ali Mursyi menyatakan bahwa,
Belakangan negara Indonesia dengan umat Islam terbesar di dunia,
dilanda isu dan kasus yang biasa media menyebutnya sebagai 'kekerasan
atas nama agama'.
Beberapa kelompok yang menyatakan dirinya sebagai 'kelompok umat
Islam' diberitakan melakukan tindak 'kekerasan' atas kelompok warga
negara lainnya, baik yang beragama Islam atau non-Islam.
Kekerasan atas nama agama terjadi: karena ada kelompok yang distigma
sebagai kelompok sesat, dan dituduh secara sepihak sebagai yang
membahayakan Aqidah.
Kekerasan terjadi atas nama agama karena ada kelompok yang distigma
sebagai yang melanggar moral atau melakukan perbuatan amoral.
Kekerasan atas nama agama terjadi karena ada kelompok yang merasa
paling benar sendiri sementara yang lain dianggap salah.
Kekerasan atas nama Agama terjadi karena aparatur negara/negara
lemah, baik dalam menegakkan hukum, juga lemah dalam bertindak tegas
pada pelanggaran hukum dan moral
Kekerasan atas nama Agama muncul karena Negara melakukan pembiaran.
Kekerasan atas nama agama terjadi karena pemahaman/keyakinan yang
mendukungnya.
Tinjauan Pengantar:
Islam = Agama Damai (Rahmatan lil 'Alamin)
Dalam Islam ada ayat-ayat perang, dan ada ayat-ayat damai.
"La Ikraha fi al-Din" (Tidak ada paksaan dalam agama)
Hadits: Abghadul 'Ibad Ilallah man kaana tsubuhu khairan min
amalihi, tsubuhu tsubal anbiya wa 'amaluhu amalal jabbarin.
Karena terkait dengan peran negara, maka diskusi ini terlebih dahulu
mendudukan status pemerintah Indonesia di mata Kitab Kuning. Tentang
kedudukan dan status Indonesia itu diangkat secara kritis oleh Muhmmad
Tisna yang berawal dari konsep ketaatan kepada pemerintah atau
ulil-amri. Kitab Kuning (KK) yang dianggap mu'tabarah sangat jelas
menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia termasuk ke dalam pemerintah
yang sah dan harus dipatuhi aturan dan undang-undangnya. Dalam
pandangan KK legitimasi keabsahan pemerintah Indonesia diperoleh dari
konsep Indonesia sebagai waliyul amri dhlaruri bisy syaukah (penguasa
darurat sebab kekuasaannya). Hal ini antara lain diambil dari
pandangan Imam al-Ghazali yang berpendapat bahwa,
"keberadaan syarat-syarat (yang seharusnya ada bagi seorang pemimpin)
secara utuh dan komprehensif adalah sulit bagi umat Islam pada masa
sekarang ini. Hal ini disebabkan karrena sudah tidak adanya mujtahid
independen (mustaqil). Dengan demikian, rakyat harus merelaisasikan
dan mematuhi semua kuputusan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh
penguasa, walaupun penguasa itu bodoh atau fasik. Hal ini diperlukan
agar kepentingan serta kemaslahatan umat Islam terpenuhi dan tidak
disia-siakan. Menurut Imam Rafi'i pendapat tersebut adalah "lebih baik
dan relevan" daripada meniadakan fungsi negara. Dan dalam keterang
berikutnya dikatakan bahwa jika darurat maka hukum tetap sah
direalisasikan selama maslahat manusia tidak terlantar, tidak
disia-siakan dan terjaga. Dengan mengacu pada pendapat tersebut, maka
kita dapat menyimpulkan bahwa menurut penjelasan yang termuat dalam
Kitab Kuning menyatakan bahwa pemerintah Indonesia adalah sah dan
harus dipatuhi kebijakan serta perintahnya. Dengan mengacu pada
pendapat tersebut, maka pemerintah Indonesia adalah sah dan harus
dipatuhi kebijakan serta perintahnya. Sehingga atas nama apapun, jika
gerakan tertentu mengarah pada penentangan atas perintah dan kebijakan
pemerintah maka tidak diperbolehkan.
Seacara de fakto pemerintah saat ini merupakan organisasi yang
menjalankan mandat negara sebagai pihak yang memperoleh legitimasi
melalui Pemilu untuk menjalankan pemerintahan. Antara lain Pemerintah
mendapatkan mandat untuk melakukan fungsi-fungsi perlindungan dan
pengamanan. Dengan demikian, maka siapapun dan atas nama apapun tidak
ada unsur lain di luar badan negara yang berhak melakukan aksi atau
gerakan tertentu yang mengarah pada tindakan-tingakan yang seolah-olah
menjai perpanjangan fungsi negara dalam mengatur pengamanan. Ahmad
Zamakhsyari, salah satu putra kyai Pondok Pesantren An-Nida Bekasi
menyatakan bahwa penentangan atas perintah dan kebijakan pemerintah
yang legitimate tidak dibenarkan.
Diskusi ini juga membahas tentang status negara Indonesia dalam
perspektif KK. Seperti diketahui, paska reformasi persoalan status
Indonesia sebagai negara dan bangsa sempat dimunculkan kembali. Antara
lain isu ini diungkap dan dibahas secara terbuka oleh Hibu at-Tahrir
meskipun tak mendapat resons serius oleh masyarakat luas. Mereka
mengusung isu untuk mempertanyakan kembsli legitimasi negara atau
setidaknya mengajukan tawaran alternatif dari negara-bangsa
(nation-state) ke bentuk negara lain seperti Daulah Islamiyah. Isu ini
diusung oleh sabagian partai yang bervisi Islam dan juga oleh sebagian
gerakan radikal agama seperti Hizbu at-Tahrir . Golongan yang
menghendaki perubahan status Indonesia ini dimunculkan oleh gerakan
trans-nasional berhaluan Wahabisme yang berusaha membawa pemahaman
ideologis yang dikembangkan oleh para pemikir ideologi Islamisme yang
umumnya berkembang di Timur Tengah.
Karena basis pemikiran itu muncul dari tradisi Wahabisme yang
dikembangkan dalam ideologi Islamisme di Timur Tengah yang seolah-olah
melulu mengacu sepenuhnya kepada Al Qur'an dan al Hadits, maka sudah
barang tentu mereka anti-Kitab Kuning atau bahkan menihilkan
kaidah-kaidah ushul fiqh yang telah dikembangkan oleh para pemikir
Islam yang kemudian didokumentasikan dalam Kitab Kuning. Padahal
kaidah-kaidah yang dikembangkan Kitab Kuning itu merupakan bacaan
teksual dan kontekstual para ulama baik klasik maupun kontemporer yang
mengakar pada tradisi Islam lokal Indonesia yang bersumber dari
al-Quran dan al-Hadits.
Sebagai Moderator Mukti Ali el Qum menyatakan bahwa bila mengacu pada
penjelasan yang dikembangkan Kitab Kuning yang dikaji di
pesantren-pesantren tradisional-salaf, kita akan menemukan pandangan
yang kontekstual tentang status negara bangsa Indonesia. Seorang ulama
Mufti Hadlramaut Yaman As-Sayyid 'Abdurrahman bin Muhammad bin Husein
bin 'Umar Ba'alwy menulis bahwa
"setiap tempat atau daerah yang pernah dihuni oleh umat Islam dengan
nyaman dan damai serta dapat mencegah dari kafir harbi (non-Islam yang
memerangi umat Islam) di satu masa di mana hukum-hukum (Islam) pernah
dipraktikkan maka itu adalah dar Islam (daerah Islam). Meski pun
kemudian dijajah oleh non-Islam tapi umat Islam berusaha
membendungnya. Pada masa penjajahan itu (Indonesia) layak disebut
sebagai wilayah dar harb (daerah konflik dan perang) namun dalam itu
terjadi bentuknya saja. Sementara secara hukum (Indonesia) tetap
merupakan sebagai dar Islam. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa "Bumi
Betawi bahkan bumi Jawi secara keseluruhan adalah dar Islam sebab
telah dikuasai oleh umat Islam, sebelum dikuasai dan dijajah non-Islam
(Belanda)". Jadi jelaslah bahwa Nusantara (disebutkan dengan istilah
bumi Betawi dan Jawa) adalah daerah Islam (dar Islam) dan sama sekali
tidak disebutkan sebagai Negra Islam (daulah Islam).
Setelah selesai mendudukkan hukum pemerintah dan negara Indonesia
dalam konteksnya, peserta Bahsul Masail kemudian membahas hukum
tindakan kekerasa atas nama agama. Dalam membahas persoalan tersebut,
salah satu peserta, Ahmad Khludlari, mengusulkan agar sebelum memasuki
pertannya tersebut terlebih dahulu dibahas konsep amar ma'ruf dan nahi
munkar: Ini penting karena umumnya para pelaku tindak kekerasan itu
menggunakan dalih bahwa tindakannya merupakan amar ma'ruf nahi munkar
atau bakan jihad.
Akhirnya bahsul masail diarahkan pada pembahasan amar ma'ruf dan nahi
mungkar dan kemudian jihad. Pertama, para peserta bersepakat bahwa
amar ma'ruf dan nahi munkar sebagai motif dan tujuan kekerasan atas
nama agama tidak bisa dibenarkan. Benar bahwa,
Keduanya—artinya amar ma'ruf dan nahi munkar adalah pondasi agama dan
bahkan sebagai tujuan diutusnya para Nabi, dan Allah berfirman: "Dan
jadikanlah dari kalian segolongan umat yang mengajak kepada kebaikan,
menganjurkan yang ma'ruf (kebenaran) dan melarang yang mungkar". Ayat
ini menunjukkan sebuah perintah (amar) dimana dalam paradigma ushul
fikih bahwa kalimat perintah mengindikasikan hukum wajib dilakukannnya
apa yang telah diperintahkan yang terdapat dalam substansi (al-amru
lil-wujub/al-amru tadullu 'ala al-wujub). Sehingga amar ma'ruf dan
nahi munkar sebagai sesuatu yang diperintahkan adalah pekerjaan yang
harus dilakukan oleh umat Islam. Meski demikian, perintah tersebut
masih bersifat gelobal (mujmal). Sehingga membutuhkan
keterangan-keterangan yang lainnya yang dapat menjelaskan secara rinci
isi kandungannya, semisal dari hadits-hadits Nabi dan ijtihad para
ulama. Agar dapat direalisasikan sebuah perintah tentunya harus ada
prosedur, mekanisme dan syarat-rukun yang harus dipenuhi. Roland
Gunawan, salah satu staf Rumah Kitab menjelaskan bahwa amar ma'ruf dan
nahi munkar sebagai motif dan tujuan kekerasan atas nama agama tidak
bisa dibenarkan. Sebab ada beberapa syarat dan etika bagi seorang yang
merealisasikan amar ma'ruf dan nahi mungkar sebagaimana pendapat Imam
al-Ghazali yang mengatakan bahwa
Ada tiga etika yang harus dimiliki seorang yang menegakkan amar ma'ruf
dan nahi mungkar yaitu 1. Berilmu; dengan ilmunya ia dapat mengetahui
secara pasti hal-hal yang dilarang (munkar) dan hal-hal yang
dianjurkan atau diwajibkan (ma'ruf). 2. Wira'i, yaitu hidup secara
benar dan berada dalam rel syariat, 3. Memiliki etika yang baik
(husnul al-khuluq) dengan berkarakter lemah lembut dan welas-asih. Dan
etika yang baik ini adalah pondasi amar ma'ruf dan nahi munkar yang
paling dasar dan paling asasi.
Dan etika bagi pelaku amar ma'ruf dan nahi munkar tersebut dipertegas,
didukung dan bahkan ditambah poin-poinnya oleh Syekh 'Abdul Qadir
al-Jailani menjadi lima etika atau syarat, yang pertama sesuai dengan
syarat yang ditetapkan al-Ghazali, yaitu orang yang mengetahui ('alim)
sejara persis apa yang diperintahkan dan yang dilarang; kedua
bertujuan hanya semata-mata karena mencari ridla Allah, tidak
bertujuan selain Allah seperti tujuan politik atau pamer; ketiga harus
dengan cara-cara yang lembut dan bermartabat; keempat sabar dan
bijaksana; kelima mengamalkan apa yang diperintahkan dan menjauhi
larangan. Dibawah ini kita tampilkan kutipan penjelasan secara
langsung:
Kedua, menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar tidak boleh serta-merta
dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Sebab ada beberapa
tahapan-tahapan yang harus dilalui, yaitu,
Pertama: Harus diketahui secara pasti bahwa objek tindakan amar makruf
itu adalah maksiat dan munkar. Untuk itu pun syaratnya sangat ketat.
Seorang yang melakukan kemunkaran karena ketidaktahuannya maka amar
maruf yang harus dilakukan adalah memberi pengetahuan hukum-hukum
agama dan mengingatkan bahwa apa yang dilakukan itu adalah perbuatan
munkar. Dalam upaya itu amar maruf harus dilakukan dengan cara-cara
persuasif, pendekatan dari hati ke hati tanpa menyakiti perasaannya
dan membuka aib. Tahapan ini sang penegak amar ma'ruf dan nahi mungkar
dituntut untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi para pelaku
munkar, sembari memberi masukan pengetahuan yang postif dan selaras
dengan ajaran Islam yang benar.
Kedua: Lebih dulu melakukan pencegahan dengan cara memberi nasihat,
mengingatkan pada pelaku bahwa perbuatannya dibenci Allah. Tahapan ini
diberlakukan kepada pelaku munkar yang sebenarnya mengetahui bahwa
perbuatnnya adalah munkar.
Ketiga: Amar ma'ruf disamapikan secara tegas manakala cara-cara
persuasif dan nasihat tidak ditanggapi.
Keempat : Amar ma'ruf disampaikan dengan menyerahkan persoalan ini
kepada pihak negara sebagai pihak yang diberi wewenang untuk
menjalankan amar maruf..
Jika kita mengacu pada ayat al-Quran yang berbicara tentang strategi
mengajak manusia untuk berbuat baik, sudah barang tentu kita tidak
akan menemukan anjuran kekerasan atas nama agama malah justru kita
akan menemukan anjuran agar berfikir stategis dan tidak anarkis,
sebagaimana firman Allah:
Allah berfirman: "Ajaklah (umat manusia) ke jalan yang diridlai
Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan), nasehat yang baik dan
berdiskusi dengan baik". Ayat di atas menyebutkan mekanisme bagaimana
menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar dengan cara-cara yang damai
dan penuh, persuasif, dengan bernuansa ilmiah. Sebab hanya dengan
pengetahuan kita dapat meluruskan dan memberitahukan atas amar ma'ruf
dan nahi mungkar. Sehingga dalam hadits di bawahnya Rasulullah berkata
bahwa "barang siapa yang memerintahkan yang ma'ruf, maka hendaklah
perintahnya dengan cara ma'ruf (baik dan benar)." Hadits ini adalah
batasan, baik pelaku amar ma'ruf dan nahi mungkar adalah pemerintah
atau rakyat—baik individu atau golongan—harus dengan cara-cara yang
ma'ruf, tidak boleh dengan cara-cara yang mungkar. Meskipun pemerintah
mempunyai otoritas untuk menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar
dengan tegas akan harus dengan cara yang ma'ruf, tidak boleh
semena-mena, sewenang-wenang dan jika penguasa melakukan kekerasan
tanpa ada kemaslahatan bagi rakyat atau bahkan merugikan rakyat maka
tidak boleh.
Tanggapan atas konsep amar ma'ruf dan nahi mungkar ini dikemukakan
oleh Jamaluddin Muhammad staf peneliti Rumah Kitab. Menurutnya
meskipun negara atau penguasa mendapatkan wewenangnya untuk melakukan
tindakan tegas sebagai perwujudan amar marufnya, namun penguasa tidak
boleh melakukan kekerasan tanpa ada kemaslahatan bagi rakyat atau
bahkan merugikan rakyat. Sebab dalam kaidah ushul fiqh yang digunakan
sebagai dalil dalam banyak Kitab Kuning disebutkan bahwa
tasharruf al-imam 'ala ar-ra'iyyah manuthun bil-maslahat (kebijakan
pemimpin atas rakyatnnya harus selaras dengan kemaslahatan bagi
rakyatnya). Dengan mengacu pada kaidah ini maka prinsip dasar yang
harus ditegakkan adalah bahwa yang diutamakan adalah kemaslahat bagi
rakyatnya. Dalam kaidah Kitab Kuning lainnya disebutkan, jika ada dua
jalan yang hendak dilakukan untuk menegakkan kebenaran, maka memilih
cara yang akan membawa kemaslahatan (cara damai, non kekerasan) itu
lebih baik daripada memilih jalan kekerasan. Sebab setiap tindak
kekerasan tidak bisa menjamin adanya maslahat, bahkan sebaliknya
justru dapat memunculkan persoalan baru, sementara cara persuasuf
sudah barang tentu akan membawa kemaslahatan.
Pengertian tentang kemaslahatan berdasarkan kaidah fikih ini merupakan
asupan dari KH. Affandi Mochtar dimana beliau menambahkan bahwa
pemerintah pun tidak boleh menggunakan kekerasan dalam menindas
rakyatnya.Ketegasan diperlukan dengan berpegang teguh dan komitmen
pada Undang-Undang dan hukum negara yang berlaku. Berdasarkan prinsip
itu rakyat tidak boleh dinistakan, dianiyaya dan didzalimi, lantaran
pada hakikatnya pemimpin adalah pelayan bagi umatnya. Sayyidul-ummah
khadimuha (pemimpin umat adalah pelayannya). Pelayan dituntut untuk
memberikan servis dan pelayanan yang baik bagi yang dilayani yaitu
rakyat.
Karena menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar dengan cara-cara yang
tegas (bukan dalam pengertian kekerasan yang negatif) adalah hak
perogratif pemerintah, maka siapa pun dan golongan manapun dari
masyarakat sipil yang melakukan kekerasan atas nama agama dengan
alasan menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar adalah tindakan yang
tidak diperbolehkan (haram).
Pemerintah sebagai pelayan rakyat dituntut untuk memberikan servis dan
pelayanan yang baik bagi yang dilayani yaitu rakyat. Jika kita cermati
dengan seksama bahwa kaidah di atas (tasharruf al-imam 'ala
ar-ra'iyyah manuthun bil-maslahat) mengandaikan bahwa maslahat sebagai
landasan pokoknya adalah maslahat menurut rakyat, bukan maslahat
menurut pemerintah. Kita harus menghindari "pelintiran" yang sering
terjadi dan membalikkan keadaan yang akhirnya ternyata dalam alam riil
sering kali pemerintah menetapkan kebijakan tidak atas dasar
kemaslahat bagi rakyatnya, melainkan atas dasar kemaslahat bagi
pemerintah atau bagi golongannya sendiri (atau juga karena
kemaslahatan bagi pengusaha?) yang diatas namakan kemaslahatan
rakyatnya. Sehingga ketika kemaslahatan menurut pemerintah
direalisasikan menuai kritik dan protes keras dari rakyatnya. Dan hal
ini tidak dibenarkan menurut syariat, sebab seperti yang tercantum
dalam kutipan di bawah ini yang menyatakan bahwa siapapun pelaku amar
ma'ruf dan nahi mungkar baik dari pemerintah dan aparatur negara,
rakyat sipil baik golongan, ormas, dan individu, jika dengan tindakan
amar ma'ruf dan nahi mungkar menimbulkan fitnah (kerusakan), caos dan
disintegrasi bangsa (bahasa al-Ghazali dengan istilah yuhayyiju'
as-syar) maka tidak boleh. Meski menegakkan amar ma'ruf dan nahi
mungkar dengan cara-cara yang tegas (bukan dalam pengertian kekerasan
yang negatif) adalah hak perogratif pemerintah tetap tidak boleh jika
akan menimbulkan bahaya yang jauh lebih besar seperti disintegrasi
bangsa. Apalagi dari golongan manapun dari masyarakat sipil yang
melakukan kekerasan atas nama agama dengan alasan menegakkan amar
ma'ruf dan nahi mungkar adalah tindakan yang tidak diperbolehkan
(haram) sebab ada pihak yang lebih berwenang yaitu pemerintah dan akan
menimbulkan masalah yang lebih runyam. Di samping itu, seperti yang
dikatakan Imam Fahruddin ar-Razi bahwa
"Sebagaimana yang telah kita ketahui dengan seksama bahwa mengajak
pada kebaikan disyaratkan harus mengetahui kebaikan, ma'ruf dan munkar
secara tepat. Sebab jika seseorang yang tidak punya kapasitas keilmuan
yang mumpuni (jahil) sering kali bukan mengembalikan pada kebenaran
tapi pada kesalahan (bathil), memerintahkan perkara munkar dan
melarang atau mencegah perkara ma'ruf; terkadang hanya mengetahui
hukum-hukum versi madzhabnya sendiri dan tidak mengetahui madzhab
sahabatnya yang akhirnya ia melarang sesuatu yang bukan mungkar yang
dilakukan sahabatnya; menyikapi kemungkaran yang seharusnya disikapi
dengan lemah-lembut justru disikapinya dengan kekerasan; atau yang
mestinya disikapi dengan ketegasan justru disikapi dengan
lemah-lembut. Dan seterusnya akan terjadi kerancuan." Pandangan
Fahruddin ar-Razi itu dilontarkan Ahmad Khudari. Dan kita tahu bahwa
dalam konteks Indonesia, kekerasan atas nama agama sering kali
digerakkan oleh sebuah organisasi yang sebagian anggota-anggotanya
banyak yang awam. Sehingga tindakan brutal dan anarkisme yang mestinya
tidak dilakukan justru secara fulgar mereka lakukan dan yang
disayangkan lagi mengatasnamakan agama dan umat.
Satu poin lagi yang tersirat dalam 'ibarat (keterangan) di atas bahwa
menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar hanya pada wilayah persoalan
yang disepakati bersama umat Islam (mujma' 'alaihi), bukan wilayah
mukhtalaf fihi (yang diperselisihkan dan diperdebatkan). Sehingga
tidak boleh menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar dalam wilayah
persoalan yang diperdebatkan dan masing-masing madzhab memiliki
pendapat sendiri-sendiri. Seorang yang bermadzhab Syafi'iyyah,
misalkan, tidak boleh mengingatkan dan menegakkan amar ma'ruf dan nahi
mungkar pada seorang yang bermadzhab Hanafiyah. Sebab sesuatu yang di
mata Syafi'iyyah adalah mungkar belum tentu di mata Hanafiyah juga
mungkar, dan demikian juga sebaliknya. Di sini masing-masing dituntut
untuk toleran dan menghargai perbedaan.
Di sela-sela pembahasan, Nur Hidayah seorang peserta bahsul hidayah
melontarkan pertannyaan bahwa bagaimana solusi bagi kita yang tahu
bahwa menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar tidak boleh dilakukan
secara serampangan sementara saudara kita seagama sebagian telah
melakukan amar ma'ruf dan nahi mungkar secara gegabah? Jawaban peserta
Bahtsul Masail adalah bahwa kita berkewajiban untuk memberi tahu
kepada mereka tentang pengetahuan amar ma'ruf dan nahi mungkar yang
sesungguhnya.
Sejauh yang dikethaui para peserta Bahsul Masail, Kitab Kuning tidak
penah membenarkan sikap keras atas nama agama dengan alasan jihad.
Sebaliknya tindakan itu justru merupakan tindakan yang merusak
lingkungan. Sebab jihad tidak harus identik dengan perang. Bahkan
jihad jauh lebih luas pengertiannya daripada perang atau qital.
Jamaluddin Muhammad membacakan keterangan dari kitab al-Bayjuri yang
menegaskan bahwa jihad ada dua, yaitu jihad kecil berupa perang fisik
dan jihad besar berupa memerangi hawa nafsu yang terus menerus ada dan
akan selalu dihadapi oleh setiap manusia. Hadits Nabi menyatakan bahwa
perang adalah jihad kecil dengan berkata raja'na min jihad al-ashghar
ila jihad al-akbar (kita telah kembali dari jihad kecil berupa perang
ke jihad akbar berupa berperang melawan nafsu). Hadits ini
mengindikasikan bahwa jihad memiliki cakupan makna yang cukup luas
tidak sebatas berperang. Oleh sebab itu kitab Fath al-Mu'ien dan
dikomentari kitab I'anat at-Thalibin menyatakan bahwa
"jihad hukumnya fardlu kifayah, dan contoh jihad itu adalah seperti
belajar ilmu agama, menjalankan syariat Islam, menyuarakan
argumen-argumen dan hujah agama, melindungi warga sipil dari
marabahaya yang mengancam, mengajurkan dan mengajak kebaikan serta
melarang kemunkaran, menjawab salam dan menebar kedamaian bagi umat
manusia. Terlihat bahwa pengertian jihad begitu luas sehingga jelaslah
qital (perang) adalah bukan tujuan utama jihad.
Dalam realitas saat ini kita sering menyaksikan tindakan kekerasan
seperti melakukan pengeboman yang menelan banyak korban warga sipil
sekaligus kerugian materi yang tidak sedikit. Para pelaku umumnya
meyakini bahwa tindakkan itu dibenarkan demi jihad dan diyakini
matinya adalah syahid. Namun sejauh yang dipelajari dalam Kitab Kuning
berpandangan itu tidak memperbolehkan bahkan diangap haram. Sebab
dalam kaidah ushul fikh disebutkan bahwa la dzlarara wa la dzlirar
(tidak boleh [jihad] dilakukan dengan membahayakan diri sendiri dan
membahayakan lingkungan serta orang lain). Apa lagi dengan melakukan
bom bunuh diri, sebab tindakan bunuh diri merupakan perbuatan tercela
sebab bunuh diri adalah dosa besar dan perbuatan yang merusak .
Al-Quran menegaskan bahwa wa la tulku bi aydikum ila at-tahlukah
(tidak boleh tangan-tangan manusia untuk berbuat rusak) .
Golongan yang belakangan mendapatkan label terorisme sering kali
melakukan aksi-aksi pengeboman atas nama jihad. Dan jika melihat
secara cermat keterangan yang ada di atas bahwa Imam al-Ghazali
menjelaskan bahwa termasuk perbuatan yang merusak dan konyol yang
tidak boleh dan tidak bisa dibenarkan (tahlukah) sebagaimana seorang
muslim yang maju perang sendirian dalam medan perang yang terdapat
golongan kafir yang banyak, dan ia sadar betul bahwa dirinya tidak ada
kemampuan melawan, perang sendirian dan bahkan akan mati terbunuh.
Atau sebagaimana orang buta yang hendak berperang yang untuk menjaga
diri sendiri saja tidak mampu apalagi untuk berperang maka haram
hukumnya maju ke medan perang karena termasuk pekerjaan yang merusak
(tahlukah) dan tidak bisa dibilang sebagai jihad dan syahid. Kita bisa
menganalogikan persoalan bom bunuh diri yang dilakukan terorisme
dengan keterangan tersebut. Benang merah atau titik persamaan (jami')
antara keduanya adalah dalam hal sama-sama melakukan perbuatan yang
merusak (tahlukah)—baik merusak diri sendiri bahkan merusak lingkungan
dan orang lain. Karena itu, perbuatan bom bunuh diri atau ngebom sama
sekali bukan termasuk pada kategori "jihad" dan syahid. Demikian
moderator Bahtsul Masail, Mukti Ali el-Qum, menyimpulkan.
Kyai Muhammad, seorang peserta Bahsul Masail yang juga perwakilan NU
Bekasi menggaris bawahi bahwa apapun alasannya bunuh diri adalah bunuh
diri, karena itu tindakan itu tidak bisa dikatakan jihad. Meskipun
mereka menyatakan demi amar ma'ruf dan jihad dalam pandangan Kyai
Muhammad mereka sesungguhnya bukan mati dalam keadaan syahid. Kyai
Abdul Basith, pengasuh Pondok Pesantren Miftah al-'Ulum menyatakan
bahwa dalam suasanan peperangan pun Islam telah mengatur etika perang,
seperti dilarang membunuh warga sipil, membunuh kaum perempuan dan
anak-anak, serta dilarang merusak lingkungan. Pada kenyatannya aksi
bom atau bom bunuh diri itu sering kali menyasar warga sipil dan tidak
beretika. Sehingga aksi tersebut kesalahannya berlipat ganda
(murakab).
Bahtsul Masail ini juga menyoal munculnya gerakan-gerakan yang
melakukan cara-cara pemaksaan kehendak dengan menebar teror dan
kekerasan atas nama agama, atau menolak kedaulatan negara Indonesia
dengan mengabaikan undang-undang atau peraturan yang telah dilahirkan
secara konstitusional dalam Republik ini bahkan sebaliknya berusaha
mengganti dengan hukum yang mereka ciptakan sendiri. Atas fenomena ini
Bahtsul Masail ini kembali mengutip kekayaan khazanah Kitab Kuning
yang menegaskan bahwa bahwa negara Indonesia adalah sah dan termasuk
dar Islam. Oleh karena itu, barang siapa yang menentang, tidak
mematuhi hukum dan undang-undangnya atau bahkan hendak membuat negara
baru (negara di dalam negara) maka gerakan tersebut tergolong bughat
(pemberontak) yang harus diberi sangsi hukum di Indonesia. Sebagaimana
penjelasan KK di bawah ini yang menyatakan bahwa,
Barang siapa yang menentang, tidak mematuhi hukum dan undang-undangnya
atau bahkan hendak membuat negara baru (negara di dalam negara) adalah
sama artinya dengan membelot dengan undang-undang dan hukum negara,
maka gerakan tersebut tergolong gerakan bughat (pemberontak) yang
harus dihadapi dan bahkan diperangi atau dienyahkan dari Indonesia.
Gerakan pembelot dari undang-undang dan hukum negara seperti duri yang
ada di dalam daging negara, mengancam setiap saat dan akan terus
menggerogoti negara dari dalam yang dikhawatrikan semakin melemah dan
situasi tidak semakin membaik tapi disintegrasi bangsa dan kerusuhan
dimana-mana. Madzlaratnya jauh lebih besar jika didiamkan daripada
diperangi.
Para peserta Bahtsul Masail juga menyimpulkan bahwa penggunaan atribut
keagamaan seperti pakaian ulama yang digunakan oleh orang dengan
moralitas yang sebaliknya seperti preman, maka hukumnya haram. Ada dua
alasan, yang pertama alasannya adalah bahwa Tuhan sangat benci kepada
orang yang berpakaian atribut Nabi dan ulama, tapi berprilaku preman
dan syaitan. Argumentasi ini dikemukan Kyai Khudlari dan Ali Mursyid
dengan mengutip sebuah hadits yang berbunyi,
"Hamba yang paling dibenci dan paling membikin Allah murka adalah
seorang yang pakaiannya lebih baik dari amalnya. Pakaiannya atribut
para Nabi dan amalnya buruk seperti preman". Akhir-akhir ini muncul
istilah "preman berjubah" sangat selaras dengan apa yang diungkapkan
dalam hadits tersebut. Penodaan terhadap antribut ulama dan Nabi tidak
bisa dielakkan, dan akhirnya menimbulkan Islam fobia (takut terhadap
Islam) karena nama baik Islam dengan pakaian sebagai simbol kesalehan
telah tercoreng.
Alasan yang kedua, kesombongan yang tertanam dalam diri sang pemakai
pakaian tercermin pada sikapnya yang sangat arogan dan seakan-akan
hanya dia yang paling Islam. Kyai Abdul Bashith menganalogikan dengan
pakaian yang tidak menutupi mata kaki karena pada masa Nabi bahwa
orang yang berpakaian yang menutupi mata kaki identik dengan orang
yang sombong. Demikian juga jika orang yang berpakaian yang tidak
menutupi mata kaki tapi dimotifasi oleh rasa sombong di dada seakan
paling Islam dan paling suci maka tidak boleh. Begitupun, meski
berpakaian atribut Nabi dan ulama adalah baik dan disunnahkan, akan
tetapi jika dengan atribut itu menjadikan manusia sombong dan arogan
niscaya walaupun hukum awal adalah dianjurkan menjadi berubah hukumnya
kontras tidak boleh. Di sinilah letak relevansi kaidah fikih yang
menyatakan bahwa al-hukmu yaduru ma'a 'illatihi wujudan aw 'adaman
(hukum akan terus dinamis selaras dengan ritme sebab-sebabnya yang
memunculkan atau menenggelamkannya).
Setelah membahas hukum yang terkait dengan hubungan antara prilaku
kekerasan atasa nama agama dengan peran negara dalam rangka melindungi
rakyat, akhir dari Bahsul Masail ini sampai pada pertanyaan tentang
prilaku aparatur negara yang cenderung mendiamkan kekerasan-kekerasan
yang dilakukan segerombolan orang atas nama penegakan ajaran yang
diyakininya. Dalam konteks ini Bahsul Masail mengutip pendapat Imam
'Abdurrahman al-Jazairi bahwa seorang pemimpin wajib menghalau dan
mencegah bahaya dan madzlarat yang akan menimpa rakyat yang
dipimpinnya. Dari pemahaman ini bisa disimpulkan bahwa jika aparatur
negara mendiamkan terjadinya kekerasan maka itu berarti aparat tidak
menjalankan kewajibannya. Di bawah ini kita tampilkan kutipan secara
langsung:
"kewajiban seorang pemimpin, baik pemimpin itu adalah seorang hakim
atau yang lainnya, agar dapat menghalau dan mencegah bahaya dan
madzlarat yang akan menimpa rakyat yang dipimpinnya. Mereka (para
pemimpin) tidak boleh melukai rakyat, dan tidak boleh satu pun dari
mereka yang dilukai oleh siapapun". Dari pemahaman ini bisa
disimpulkan bahwa jika aparatur negara mendiamkan terjadinya kekerasan
sama artinya aparat tidak menjalankan kewajibannya.
Ibarat di atas, meski lahir dari pandangan ulama salaf, tetapi
ternyata sejalan hak-hak asasi manusia yang tertuang dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Di mana salah satu hak warga
negara adalah berhak mendapatkan keamanan, dan salah satu kewajiban
negara adalah memberi dan menjamin keamanan warga nergaranya. Sehingga
tidak ada satu orang atau pihak pun yang mengganggu dan membuat warga
negara tidak aman dan nyaman. Karena itulah bila negara, dalam hal ini
aparatus negara tidak menjamin keamanan warga negaranya, maka diamnya
negara, atau pembiaran ini adalah hukumnya haram.
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment