Advertising

Wednesday, 2 November 2011

[wanita-muslimah] APAKAH BETANG MEMPUNYAI FILOSOFI?

 



APAKAH BETANG MEMPUNYAI FILOSOFI?
Oleh Andriani S. Kusni
 
Dalam bedah buku "Budaya Dayak: Permasalahan Dan  Alternatifnya" pada 14 Oktober  2011 di Betang Eka Tingang
Nganderang,Palangka Raya, ada yang berang karena merasa dilecehkan oleh Kusni
Sulang yang mengatakan bahwa 'filosofi
budaya betang' adalah sebuah istilah salah kaprah'. 'Bétang'', menurut
Kusni Sulang, tidak mempunyai filosofi sebagaimana halnya dengan 'tongkonan' di
Toraja. Karena itu tidak ada  yang
disebut 'filosofi huma betang'.
 
Mengenai hal ini, Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan
Tengah Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Kelembagaan Adat Dayak Di Kalimantan Tengah
(selanjutnya disingkat Perda No.16/2008)
menggunakan istilah ''falsafah hidup "Budaya Huma Betang atau Belom Bahadat".  (hlm. 49).
 
Yang dimaksudkan oleh  Perda No.16/2008  ''falsafah
hidup "Budaya Huma Betang atau Belom Bahadat"  "adalah .perilaku hidup yang menjunjung tinggi
kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan toleransi serta taat pada hukum (hukum
negara, hukum adat dan hukum  alam"
(Perda No. 16/2008: 49). "Apabila telah  mampu melaksanakan perilaku hidup "Belom Bahadat", maka akan
teraktualisasi dalam wujud Belom Penyang Hinje Simpei" yaitu
hidup berdampingan, rukun dan damai untuk kesejahteraan bersama" ( Perda
No.16/2008:49).  
 
"Perilaku"  berlangsung menurut  kaidah, norma
dan pedoman". Seperti dikatakan oleh J.W.M.Bakker,S.J. kaidah, norma dan
pedoman atau kriterium ini diperlukan untuk membimbing jalan kebudayaan ke arah
perkembangan wajar, untuk menentukan mana yang kebudayaan otentik, mana tidak,
serta prinsip mana yang harus direalisasi  gar tujuan kebudayaan tercapai" (1984:12). Hal menetapkan asas tujuan
mahluk-mahluk insani dan menertibkannya dalam keseluruhan adalah tugas filsafat.
Filsafat kebudayaan mendekati hakekat sebagai sifat esensi manusia yang untuk
sebagian mengatasi ruang dan waktu empiris, dimensi sejarah dan setempat. Dalam
kata-kata J.V. Schall, S.J:"Philosophy
has some very valuable, indeed  essential
contribution  to make before there can be
any adequate knowledge of what s meant by culture" (Philosophical Aspects of
Culture, New School, 1957: 211, dikutip dari J.W.M.Bakker , S.J, 1984:12).
 
Artinya filosofi kebudayaan menyangkut masalah nilai  hakiki. Nilai hakiki inilah yang merupakan
sari  kebudyaan yang membimbing
"menetapkan asas tujuan mahluk-mahluk insani dan menertibkannya dalam
keseluruhan ", termasuk di dalamnya perilaku manusia. Perilaku hanyalah salah
satu pernyataan  keluar dari nilai hakiki
atau pandangan filosofi.  Perilaku
bukalah hakekat itu sendiri;  Sehingga
yang disebut "filosofi hidup huma betang atau belom bahadat" oleh Perda
No.16/2008 adalah salah satu wajah luar  atau permukaan dari filosofi, bukan filosofi itu sendiri. Wajah luar
daeri yang disebut "Falsafah Hidu Huma
Betang" atau Belom Bahadat" atau
yang sering juga disebut sebagai "Falsafah
Huma Betang" adalah "adalah .perilaku hidup yang menjunjung tinggi
kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan toleransi serta taat pada hukum (hukum
negara, hukum adat dan hukum  alam".
 
Keberadaan hanya di permukaan yang tidak menjadi hakekat
yang disebut "Filosofi Budaya  Huma
Betang" ini akan lebih terlihat lagi jika  dilihat dengan menggunakan pandangan antropolog suami-istri Clyde
Kluckhohn dan Florence Kluckhohn dalam buku Variation
in Value Orientation (1961). Menurut kerangka pndangan suami-istri
Kluckhohn , semua sistem nilai budaya di dunia ini secara hakiki menyangkut
lima masalah pokok dalam kehidupan manusia. Kelima masalah pokok atau hakiki
itu adalah:
 
(1). Masalah mengenai hakekat dari hidup mausia.
(2). Masalah mengenai hakekat karya manusia.
(3). Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia
dalam ruang dan waktu.
(4). Masalah hakekat dari hubungan manusia dengan alam
sekitar.
(5). Masalah mengeni hakekat dari hubungan manusia dengan
sesamanya (dari: Koentjaraningrat 2004: 27-28).
 
Dilihat dari sudut pandang suami-istri Kluckhohn, yang
disebut "falsafah hidup budaya betang" yang dirumuskan sebagai "adalah .perilaku
hidup yang menjunjung tinggi kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan toleransi
serta taat pada hukum (hukum negara, hukum adat dan hukum  alam" , sama sekali tidak mencakup kelima
masalah hakiki tersebut. Perumusan ini sangt jauh dari yang disebut
"filosofis". Karena perumusan demikian hanya berada di permukaan, maka ia tidak
mampu menjawab pertnyaan mendasar mengapa harus berperilaku demikian? Sehingga
bukan tidak mungkin permusuan  yg disebut
''filosofis''  demikian bisa berbalik
menjadi seperti "keris makan tuan" , bagi Orang Dayak sendiri. Saya khawatir
denga perulusan demikian, neo-fedalisme menjadi subur sebgai menuntut kepatuhan
membuta. Di pihak lain bisa digunakan sebagai alat agresi budaya oleh penganut
"besar-isme". Dan terhadap agresi "besar-isme" ini, semua orang diminta
menerimanya karena harus "toleran", harus "taat pada hukum". Sedangkan
kenyataan menunjukkan, lebih-lebih sekarang, tidak dengan sendirinya hukum itu
mencerminkan dan apalagi identik dengan keadilan (lihat: Carl Joachim
Friederich,  1969). Perumusan "falsafah
hidup budaya betang" yang demikian juga berkibat menghambat perkembang budaya
kritis. Kritik bisa dipandang sebagai tidak "taat" pada hukum. Sehingga manusia
digiring untuk menjadi alat jinak (docile
tool) pihak yang berdominasi. Dalam cara kerja ia mencerminkan diri pada
model "top-down", buka "bottom up", Maka demokrasi pun terdesak
ke pojok. Padahal kalau memang yang disebut "budaya huma betang"  itu suatu falsafah, filsafat itu menurut Dr.
Stephen Palmquis adalah suatu "dialog rasional" (Dr. Stephen Palmquis 2007:46).
 
Adalah Stephen Palmquis juga yang berpendapat bahwa
filsafat itu mengandung empat unsur . "Dua unsur pertama  bersifat teoritis.Unsur pertama, ialah metafisika, dan pertanyaan yang
menetapkan  tugas metafisika adalah "Apa
yang merupakan realitas puncak?". Unsur kedua,logika. Penentuan persoalannya bisa diungkap sebagai "Bagaimana
kita memahami makna kata-kata?".
 
"Dua unsur terkhir bersifat praktis. Unsur ketiga dapat
disebut "filsafat terapan". Penerapan kata-kata itu mestinya menimbulkan
pengetahuan; kata Inggris "science" berasl dari kata Latin sciens yang berarti "mengetahui", sehingga kita bisa menamakan
unsur ketiga ini science (ilmu)). Pertanyaan filosofis mengenai ilmu adalah "Di
manakah garis tapal batas yang tepat antara pengetahuan dan kebebalan?". Unsur
keempat ialah ojtologi, yang
mengajukan pertanyaan "Apa makna ada"?. Dengan menanyakan dan menjawab
pertanyaan ontologis, kita berharap meningkatkan phamn kita tentang sifat dasar
berbagai benda (umpamanya , Tuhan, manusia; hewan), atau tipe pengalaman  berlainan (contohnya, keindahan, cinta,
kematian)" (Dr. Stephen Palmquis, 2007:6). Apakah  yang disebut "falsafat budaya huma betang"
dalam Perda No.16/2008 seperti di atas yang   bertitikberat pada "perilaku" saja, mengandung empt unsur filsafat yang
dikatakan oleh Dr. Stephen Palmquis? Kalau tidak, karena unsur-unsur falsafat
tidak dipenuhinya, lalu bisakah falsafah budaya huma betang" disebut sebagai
falsafah? 
 
Dalam sejarahnya, istilah "budaya betang" atau "falsafah
budaya huma betang" ini, muncul dengan latar politik pada tahun 1990-an. Waktu
itu "budaya betang" dirumuskan sebagai  "berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Di mana bumi dipijak di situ
langit dijunjung". Perumusan ini jauh lebih miskin lagi dari perumusan yang
dikembangkan oleh Perda No.16/2008.
 
Pepatah
"di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung" lebih di arahkan kepda para
pendatang (waktu itu mendominasi kekuasaan di Kalteng. Penggunaan pepatah ini
menyiratkan tujuan politik menjelang pemilihan Gubernur bahwa "putera
daerah"lah yang mestinya berkuasa, sedangkan pihak pendatang harus menjunjung
langit di mana bumi mereka pijak. Sedangkan pepatah "duduk sama rendah, berdiri
sama tinggi" merupakan sanggahan terhadap anggapan umum pada waktu itu bahwa
Orang Dayak tidak mampu menjadi pemegang kekuasaan tertinggi di Kalteng.  Artinya
perumusan "falsafah budaya betang" pada waktu itu seperti halnya yang terdapat
pada Perda No. 16/2008 sangat berlatarbelakangkan kepentingan  politis.
 
Perumusan-perumusan yang dilakukan
tanpa kajian serius atas kebudayaan dan sejarah Dayak  demikianlah yang berkembang sehingga menjadi
pemahaman umum (common sense), tanpa
menyimak apa bagaimana sesungguhnya sari kebudayaan Dayak itu atau filosofi
Manusia Dayak yang sesungguhnya. Studi dan peelitian budaya serta sejarah
malangnya masih belum berkembang benar di daerah yang mempunyai 31 universitas
dan perguruan tinggi ini. Dengan kata lain, telah terjadi politisasi budaya
untuk kepentingan politik praktis.
 
Ketika ia menjadi pemahaman umum,
sekali pun tidak mencerminkan sari budaya Dayak itu sendiri, maka terjadilah
yang oleh Kusni Sulang "salah kaprah". Bukan penjelasan begini yang menyudutkan
tapi sebaliknya "salah kaprah" itu yang secara tidak disadari merupakan senjata
budaya penyudutan masyarakat Dayak. Ketersudutan makin dipermudah oleh
kebingungan menghadapi perkembangan masyarakat Kalteng. Ketersudutan yang  kian menjadi,  membuat masyarakat Dayak sangat sensitif dan gampang mengamuk serta
mendekat pada jalan pintas bernama kekerasan, dan berbagai bentuk eskapisme.
Masyarakat secara umum kehilangan orientasi.
 
Di hadapan keadaan begini, maka Lembaga
Kebudayaan  Dayak Kalimantan
Tengah memandang perlunya ada suatu politik kebudayaan yang tanggap dan
aspiratif untuk penduduk yang sangat heterogen.. Malangnya kebudayaan dianggap
tidak penting dan dipahami secara dangkal di daerah ini. Sedangkan kebudayaan
pada hakekatnya adalah masalah pembangunan manusia. Pembangunan dilakukan oleh
dan untuk manusia. Terabaikannya masalah kebudayaan, melahirkan yang disebut
oleh Kusni Sulang sebagai "kemapanan di atas kerusakan". Dari bedah  buku "Budaya
Dayak: Permasalahan Dan Alternatifnya'' pada 14 Oktober 2011 lalu,
gejala-gejala di atas memperagakan diri dengan jelas.
 
Apakah
betang sebagai sebuah bangunan mempunyai filosofis?
 
Secara
arsitektur, betang dilahirkan oleh untuk pemenuhan kepentingan. Bangunan yang dibngun
untuk menghadapi bahaya banjir;, ancaman binatang buas, ancaman kayau. Bangunan
begini dari sudut pandang arsitektur disebut bangunan vernakuler. Di samping betang
dalam sebuah kampong, léwu, terdapat
bangunan-bangunan individual .  Berbeda
dengan tongkonan di Tanah Toraja yang secra arsitektur disebut rumah tradisional. Rtinya bentuk
tongkonan mengandung konsep kosmis Manusia Toraja yag memandang  kosmos terdiri dari tiga bagian: Dunia tas,
dunia tengah dan bawah. Karena betang tidak mengdung konsep kosmis begini maka
betang tidak bisa disebut rumah tradisional Dayak.
 
Lalu
bagaimana kemudian?
 
Bisa
saja istilah "budaya betang" dipertahankan, tapi ia harus diisi dengan
pengertian baru, sehingga tidak terjadi salah kaprah. Yang lebih kena
barangkali Budaya Dayak dan Filosofi Dayak.Untuk memastikn isinya, penelitian
sungguh-sungguh, menyusunnya secara sistematik, merupakan pekerjaan medesak. "Kira-kira",
"katanya", tidak memberikan makna nyata  dan tidak bisa dijadikan landasan untuk
membangun Kalteng jadi bermutu. "Kira-kira", "katanya", asing dari kenyataan
sesungguhnya, membuat kita bangun tidur masih di tempat semula.  Setelah penelitian, mensistematikkannya, menganalisanya
dengan tajam,  diminta pula
kerajinan  dan keberanian berpikir.
Masalah-masalah hari ini lebih memerlukan kerja  otak yang keras daripada bersandar pada ketajaman  mandau. Bagaimana menggunakan kekuasaan di
tangan pun meminta kendali otak dan komitmen keadilan manusiawi. Kemudian,
tidak kalah penting bahwa dapatan itu dimasyarakatkan. Untuk itu, kita perlu
berani mengatakan apa yang oleh orang lain tidak dikatakan. Mengubah common sense menjadi good sense, re-humaisasi untuk
transformasi sosial pembebasan jauh lebih utama dari citra semu. Apalagi  kita
memang hidup dalam apa yang oleh antropolog Perancis Mac Augé disebut sebagai "la guerre de l'image" (perang citra).
***
 
Seni Yang Mengandung Filosofi
Minggu, 23 Oktober 2011 10:53
Simbol
kehidupan (Foto Raisya Maharani)
Seniman
itu bernama Albertus – lelaki paruh baya yang intelek. Albertus memegang
jabatan sebagai penanggungjawab Rumah Betang. Segala sesuatu peijinan tamu yang
mendatangi Rumah, renovasi rumah atau pembongkaran rumah berada dalam wewenang
Albertus.
Profesinya sebagai
seniman sudah dia tekuni dari sejak umur empat tahun, bakatnya itu mengantarkan
dia kepada sejumlah karya-karya eksotik yang ditaksir oleh berbagai pengunjung.
Dia memoleskan setiap aliran naruralis dan sureliasmenya kedalam setiap pahatan
patung-patung kayunya.
Albert --begitu
sapaan akrabnya-- tak hanya memahat, tapi dia juga menghidupkan isoteris dari
karya-karyanya. Isoteris adalah suatu nilai yang terkandung didalam benda-benda
seni berupa filosofi atau makna dari benda tersebut. Dinding ruang tamu rumah
Albert, dihiasi berbagai macam patung dengan beragam bentuk, ukuran dan warna.
Dia membuat Gunamp
– perisai yang digunakan dalam perang antara suku Dayak dan Madura, setiap
ukiran dalam Gunamp itu bermakna bahwa akar-akar pada perisai ini saling
berhubungan dan bekerjasama, "dan seperti itu jugalah manusia seharusnya dapat
bekerjasama dengan lainnya" kata Albert.
Disamping Gunamp,
tergantung patung yang berkepala menyerupai belalang, Albert menunjuknya, " Kepala
Belalang, ini mengandung arti bahwa seseorang yang memiliki badan yang tidak
utuh atau realis, tetapi jiwanya dan imannya pergi meninggalkan jasadnya. Lalu
disebelah pojok sana,
ada ukuran kayu Daun Jajarat yang mengandung isoteris yakni menjaga jarak aman
untuk menolak roh jahat yang hendak masuk."
Saya mendongak
keatas kusen pintu, dimana ada patung yang menurut saya aneh, karena berbentuk
kepala dan badan saja tanpa tangan dan kaki.  "Itu artinya adalah orang
yang tidak tahu asal-usulnya, tidak tahu akan nilai kehidupan dan hanya mencari
kepuasan semata. Karena itu bentuk dia tidak jelas dan realistis selakyaknya
manusia utuh," kata Albert. (RM)
http://www.gatra.com/nusantara/kalimantan/3814-seni-yang-mengandung-filosofi
                                               
Satu
Jiwa, Makna Bagi Manusia
Minggu, 23 Oktober 2011 10:50
0 Komentar
Satu Jiwa (Foto Raisya Maharani
Salah satu patung kesayangan
Albertus, seniman suku Dayak Kayanatn, adalah sebuah patung manusia
berderet-deret. Oleh Albertus, patung tersebut diberi nama Satu Jiwa. Patung
yang dipajang di rumahnya itu juga
banyak menarik para pecinta seni yang pernah mampir ke rumah Albertus.Patung
itu tersusun dari ukiran-ukiran manusi dalam ukuran sangat kecil yang begitu
banyak, sambung menyambung hingga menjulang tinggi keatas. Makna yang dari
rangkaian manusia itu, menurut Albertus, adalah tiga hubungan erat dalam
kehidupan manusia adalah hubungan antar sesama manusia, manusia dengan tuhan
dan manusia dengan alam.
Rangkaian
miniatur-miniatur manusia itu berkaitan satu sama lain dan terus menjulang
tinggi hingga meruncing diatasnya. "Inilah patung satu Jiwa. Sekumpulan
orang-orang yang terkait satu sama lain menggambarkan kehidupan suku Dayak
Kanayatn, yang tidak bisa lepas dari hubungan antar sesama dan juga dengan
tuhan," ucap Albert, menutup pertemuan kala itu.
Makna dalam patung
buatan Albert itu sama dengan prinsip hidup suku Dayak dalam mendirikan rumah
betang: saling menolong dengan sesama dan memperkuat azas kekeluargaan. (RM)
http://www.gatra.com/nusantara/kalimantan/3813-satu-jiwa-dan-makna-bagi-manusia
 [AMAN] Tentang Rumah Betang di Majalah Gatra
Filosofi Rumah
Bentang
Filosofi Rumah
Betang berkaitan erat dengan azas kekeluargaan yang diciptakan oleh leluhur
suku Dayak Kanayatn di Rumah Betang ini. Menurut cerita dari leluhur mereka,
dahulu semua orang Kanayatn tinggal secara terpisah satu sama lainnya, sangat
sulit berhubungan dan memantau keadaan masing-masing.
Orang tertua
kanayatn merasa perlu memperhatikan sanak saudara-saudaranya. Untuk
mempertemukan semua anggota keluarga yang terpisah-pisah, terbit sebuah ide.
Yakni membangun rumah agar mempermudah hubungan antar sesama anggota yang
sebelumnya berjauh-jauhan. Rumah itu dibuat memanjang untuk menampung jumlah
keluarga yang seiring waktu semakin bertambah, saat itulah penamaan Rumah
Panjang atau Rumah Betang tercipta.
Seiring
berjalannya waktu, mereka menyadari pentingnya membangun sebuah hubungan antar
sesama manusia, sesuai dengan prinsip hidup leluhur mereka yaitu saling
membantu sesama manusia – sebuah nilai kemanusian yang bersahaja. Mereka mulai
menciptakan aturan-aturan tentang tata krama kehidupan bermasyarakat yang baik,
itulah awal mula terciptanya hukum adat.
Hingga saat ini,
azas kekeluargaan itu masih melekat dalam kehidupan keluarga yang sekarang
menghuni Ruah Betang. Secara garis besar, semua peghuni rumah betang merupakan
sebuah keluarga besar yang  berasal dari satu pertalian keturunan darah
yang sama.
Keluarga yang
besar ini memiliki hirarki adat yang tersusun kedalam struktur lembaga adat
Dayak Kanayatn. Ada
tetua adat yang mengetahui semua hal yang berkaitan dengan budaya rumah betang,
ada juga penanggung jawab rumah betang, kepala desa, sekretaris desa semuanya
juga berkumpul menjadi satu didalam Rumah Betang. (RM)
Rumah Betang,
Rumah Kehidupan Suku Dayak
Dalam sekali
pandang, bangunan itu tidak tampak seperti sebuah rumah. Begitu besar, panjang,
dan menjulang dari permukaan tanah pasir yang ditopang oleh tiang-tiang pondasi
setinggi satu meter. Terasnya luas dan panjang seperti sebuah dermaga di tepian laut. Sejurus
kemudian terdengar percakapan ramai berbahasa Ahe, bahasa suku Dayak Kanayatn.
Sekumpulan anak-anak menuruni tangga dan mengajak saya untuk menaiki bagian
atas bangunan itu. Sebuah rumah kayu lebar dan sangat panjang berdiri kokoh di depan mata.
Inilah Rumah Panjang, atau yang disebut Rumah Betang, ciri khas suku Dayak.
Panjangnya mencapai 186 meter dan terdapat 36 kusen pintu setelah melewati
teras, masing-masing kusen pintu adalah pintu masuk rumah dari masing-masing
kepala keluarga.
Mereka menyebut masing-masing rumah keluarga berdasarkan nomor pintu rumah.
"Pintu satu, itu pintu keluarga yang pertama, pak Albertus penghuninya," kata
Paulus Adi, yang mengantarkan saya menuju suku Dayak Kanayatn. Untuk menuju ke
lokasi, diperlukan waktu 3 jam dari kota Pontianak dan sampai ke desa Sahamp,
kecamatan Sengah Temila tempat Rumah Betang ini berdiri.
Rumah Pak albertus terletak  di pintu satu. Salah satu hal yang
menjadi daya tarik dari Rumah Betang adalah kehidupan yang berjalan didalamnya.
Ketika masuk ke dalam, masih ada beranda bagian dalam rumah sebelum masuk ke
dalam pintu masing-masing rumah satu keluarga. Keramaian rumah tak kalah dengan
keraiman pasar pagi. Terlihat pula, modernitas telah masuk kedalam kehidupan
Rumah Betang yang dominan masih tradisional ini.
Di musim-musim kemarau seperti Agustus, penghuni rumah betang sibuk
berladang, membuka ladang, menebar benih padi dan menggarapnya. Dia siang hari,
para wanita dan lansia kerap membuat anyaman berbentuk persegi panjang yang
dipakai untuk atap dan terbuat dari daun kelapa dan anyaman untuk tampah beras.
Mereka menggunakannya untuk mengganti atap rumah yang sudah mulai rusak.
Asas kekeluargaan Kanayatn tak hanya tersirat dari Rumah Betang saja,
tetapi tersimpan dalam setiap isoteris karya seni pahat patung kayu yang
digeluti oleh seorang seniman yang tinggal di pintu satu. Semua patung kayu,
mencerminkan keluhuran budaya dan kesahajaan Kanayatn.
Rumah Albertus, seorang seniman suku Dayak Kanayatn yang juga memegang
jabatan sebagai penanggungjawab Rumah Betang, menjadi tempat kunjungan bagi
wisatawan yang memiliki ketertarikan akan seni, tidak hanya wisatawan lokal,
dari mancanegara pun sering mengunjungi rumah Albert.
Di rumah Albert bertebaran patung-patung unik dan kental bernuansa etnik.
Namun Albert tidak menjual semua patung karyanya. Beberapa patung sengaja dia
buat untuk koleksi pribadi. Filosofi hidup suku Dayak Kanayatn memang kerap
terpatri dalam sebuah pahatan seni. (Raisya Maharani)
Pabayo, Pabayo..
Usir Roh Jahat
Seorang kakek tua terlihat tengah memeluk kayu-kayu kuning dengan
uraian-uraian tali diujungnya. Kakek itu berjalan menuju beranda luar rumah
betang yang tertimpa sinar matahari terik seraya meletakkan kayu-kayu kuning
tersebut.
Pandangan mata saya lekat tertuju pada bambu-bambu itu. Seakan menjawab
pertanyaan saya, kakek itu tersenyum ramah sambil menunjuk ke arah kayu-kayu
itu . "Pabayo, pabayo.. buat usir roh jahat," kata kakek itu.
Pabayo terbuat dari bambu kuning, diujung bambu ditempeli serutan bambu
yang menjadi halus seperti rambut. Pabayo digunakan pada upacara adat
pernikahan, penyembuhan penyakit secara adat dan pengusiran roh jahat.
Suku dayak memang akrab dengan mistik. Selain Pabayo, pada pembangunan
rumah atau renovasi rumah Betang, ada satu ritual yang harus dilakukan oleh
suku Dayak, yaitu Upacara Barema. Prosesi Barema diawali dengan prosesi
Ngelantekan, yaitu berdoa yang dipimpin oleh seorang Imam di malam hari sebelum
memulai pembangunan rumah di esok paginya.
Doa dipanjatkan untuk meminta ijin dan pertolongan kepada Tuhan agar pada
proses pembangunan atau renovasi rumah tidak terjadi hambatan. Pada pelaksanaan
Barema, para wanita memasak beras ketan atau kelud, cucur dan menyiapkan peraga
atau persembahan untuk Jubata, berupa logam mata uang lama, minyak atau
tengkawang dalam bahasa Ahe, dan telur ayam.
Setelah doa dan peraga siap, pembangunan dan renovasi dapat langsung
dilakukan. Begitulah cara suku Dayak membangun rumah. (RM)
Sumber : http://www.gatra.com/nusantara/kalimantan/3815-pabayo-pabayo-usir-roh-jahat

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment