Advertising

Wednesday, 26 January 2011

[wanita-muslimah] Fw:Berwudhu di Toba...

 


fyi.....

 

Berwudhu di Toba

oleh: Muna Panggaben









Judul tulisan ini memang menohok. Wudhu adalah
sebuah langkah persiapan untuk menunaikan shalat dalam agama Islam.
Sementara Toba adalah sebuah kawasan di sekitar salah satu danau
terbesar di dunia yang hampir semua penduduknya memeluk agama Kristen.
Toba kerap digunakan sebagai istilah yang merujuk kepada Batak Kristen.
Maksudnya, bila seseorang mengaku dirinya sebagai anggota komunitas
Batak Toba, serentak dengan itu sang lawan bicara mengambil kesimpulan
instan: temanku ini pasti beragama Kristen.
Tapi, kerinduan untuk berwudhu dengan menggunakan
air danau Toba sungguh-sungguh hidup dalam diri seorang Muslimin bernama
Saparudin Situmorang, tokoh utama dalam cerpen Pulang yang ditulis Suhunan Situmorang dalam buku kumpulan cerpen Dari Sebuah Guci.
Sang penulis beragama Kristen, warga jemaat HKBP Jatiwaringin. Suhunan
pernah bercerita kepada saya rintihannya tentang beberapa kerabat
bermarga Situmorang yang tiba-tiba menarik diri dari kumpulan marga
karena berpindah keyakinan, memeluk agama Islam. Tidak ada yang salah
dengan berpindah keyakinan, tak ada pula yang keliru dengan berdiam
setia kepada agama yang dianut, tetapi kenapa keberbedaan agama membuat
kami jadi terpisah seolah jika seseorang beragama Islam dia lantas
kehilangan haknya di dalam kumpulan marga Situmorang, tanya Suhunan
dengan wajah pilu. Tak ada yang bisa mencabut marga seseorang; tidak
pendeta, tak juga seorang mubaligh.
Sudah berbulan-bulan Saparudin menanggung rindu
untuk pulang kampung ke Desa Urat di Pulo Samosir. Dia tahu, hampir
semua orang-orang di kampung halamannya memeluk agama Kristen. Itu
membuatnya mengira bahwa menjadi Situmorang yang Islam adalah sebuah
penyimpangan. Jika sampai di bona pasogit, setelah melacak silsilah, pastilah pertanyaan yang kemudian teraju adalah tentang agama yang dianut, pikirnya. Kuatir
dengan bayangan penolakan semacam itu, kerinduan Saparudin menguap.
Sebab, bahkan Ayahnya pun dahulu tak punya nyali menuntaskan damba
menghirup uap air danau biru itu dan hanya bisa menangis
berminggu-minggu sebelum ajal menjemput.
Ibu dan ayah Saparudin keluar dari Desa Urat
puluhan tahun lalu. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain
sebelum akhirnya menetap di Labuhan Ruku, sebuah kawasan yang sebagian
besar penduduknya beragama Islam. Pergaulan, kebersamaan, kekerabatan
baru membuat mereka memutuskan untuk beralih keyakinan: menjadi mualaf.
Selepas itu, mereka tak lagi bersambung dengan dunia Batak Toba. Jiwa
dan tubuh Saparudin sejak lahir telah tercebur ke dalam dunia Maya-maya,
dunia puak Melayu Asahan.
Uniknya, meski tak lagi hidup sebagai orang Batak,
apalagi Batak Toba, orang-orang seperti Saparudin mempertahankan dengan
ketat pencantuman marga di belakang namanya dan bersikukuh tak menjalani
pernikahan semarga, apa pun alasannya. Mereka berjumlah puluhan ribu.
Kaum Batak Toba menyebut mereka sebagai Dalle: Batak yang tak lagi
Batak, orang yang sekadar punya marga.

Menurut tuturan ayahnya, mereka yang kemudian
dijuluki Dalle itu adalah kumpulan manusia Batak Toba yang dahulu kala
meninggalkan bumi Samosir, Toba, Uluan, Humbang, Silindung dan wilayah
tano Batak lainnya bersebab getirnya kehidupan. Lahan Tano Toba yang
kerap dipuja para penggubah lagu ternyata amat terbatas untuk dijadikan
penghasil pangan, sementara jumlah perut yang menuntut makanan terus
bertambah.

(Pulang, Suhunan Situmorang, Dari Sebuah Guci, hal. 30)

Namun, kendati pun keberpisahan itu begitu jelas,
ada sesuatu yang tak bisa dielakkan manusia Batak Toba, apa pun agama
yang dianutnya: sebuah danau nan elok, danau yang menjadi sumber
inspirasi bagi lahirnya kidung, tembang, cerita, novel di seputar puak
Batak. Danau itu begitu kuat memanggil semua penghuni dan keturunan
mereka untuk pulang menengok dan berbaring di haribaannya. Entah apa
yang merasuk sanubari banyak orang. Keluasannyakah, keteduhannyakah,
keheningan tak terperi, uap airnya yang berkesan magis?
Entahlah. Tapi kerinduan yang sama mencengkeram
dada Saparudin. Tutur cerita sang Ayah tentang danau biru itu begitu
kuat membekas. Dia bertekad untuk pulang. Setelah menabung
bebulan-bulan, Saparudin melangkahkan kaki. Dan perjalanannya
betul-betul sebuah drama. Dia sibuk membayangkan losmen mana yang akan
dipilih untuk disinggahi. Pemiliknya yang beragama Kristen, makanan yang
tidak halal, serta syak wasangka yang mungkin tumbuh berhadapan dengan
pendatang yang tak becus berbahasa Batak adalah beberapa dari banyak
kekuatiran yang merambat nadinya.

Saparudin menyeka cairan bening dari bola matanya
yang meluncur tanpa ia sadari. Kembali dia menatap Danau Toba yang sudah
terbentang di hadapan. Kendati degup jantungnya masih berpacu liar
karena bus yang ditumpangi begitu garang melewati jalan berliku di atas
jurang Sibaganding, ia tak kuasa menahan takjub melihat danau yang dari
kejauhan nampak bagai hamparan kaca raksasa. "Tak kusangka seluas ini,"
desisnya dengan pandangan kagum.
Perasaannya mengharu biru tatkala turun dari bus
lalu menjejak pasir pantai Tigaraja-Parapat. Ia buru-buru melangkah
menuju bibir danau, meletakkan tas jinjing dan peci hitamnya di atas
bebatuan, kemudian menarik celananya sampai ke batas lutut. Berkali-kali
ia membasuh wajah. "Alhamdulillah. Allahu Akbar," gumamnya seraya menengadah ke langit.

(Pulang, Suhunan Situmorang, Dari Sebuah Guci, hal. 26)

Saya tak bosan mengulang dan membaca halaman
tersebut. Takbir yang dikumandangkan Saparudin menggetarkan seluruh
sendi dan tulang, menerbitkan kebebasan sejati, dan membuat saya kian
percaya bahwa bumi yang kita diami ini adalah planet untuk semua agama.
Takbir Saparudin memecah kebuntuan dan mengingatkan saya untuk mencari
saudara-saudara bermarga Panggabean yang selama ini terasing, kehilangan
rasa percaya diri hanya karena mereka menganut agama Islam, agama yang
bukan menjadi arus utama di kalangan Panggabean.
Maka saya pun terkenang kepada sebuah masa saat
Papa, Partogi Panggabean masih hidup. Siang itu kami kedatangan tamu,
seorang lelaki Panggabean beragama Islam yang berusaha mencari
kerabatnya. Dia tinggal di Kalimantan dan bertahun-tahun tak lelah
menyusur silsilah untuk menemukan pucuk. Kesimpulan akhir, keluarga kami
adalah Panggabean terdekat, meski sebetulnya tak cukup dekat.
Berangkatlah lelaki ini ke Jakarta dengan membawa istri, adik dan kakak,
juga anak-anaknya. Mereka tiba di rumah kami dengan kegembiraan yang
tak berhasil ditutupi. Para perempuan mengenakan jilbab tapi tak merasa
asing. Saya ingat persis betapa bersemangatnya Papa menyambut.
Percakapan beberapa jam pada hari itu sudah cukup bagi kami untuk
masing-masing menabalkan atribut kudus: kami bersaudara. Tahun berlalu,
setiap kali berkunjung ke Jakarta, mereka tak pernah alpa singgah di
rumah kami.
Ada beberapa hal, memang, dari keberagamaan yang
menghadirkan sekat-sekat pemisah. Setidaknya, saya mencatat satu:
makanan. Ini perkara pelik. Di banyak jamuan pesta adat Batak, daging
babi kerap jadi menu utama. Meski beberapa keluarga sudah menggantinya
dengan sapi atau kerbau, harganya tak terjangkau oleh orang Batak
kebanyakan. Dengan santun para Batak Kristen menyediakan sebuah meja
yang berisi makanan-makanan halal untuk disantap mereka yang beragama
Islam. Tapi, justru di sana keberpisahan itu menjadi jelas: kita tidak
duduk semeja perjamuan. Padahal acara makan bersama adalah petanda
paling tegas bagi sebuah kesadaran suci: kita berinduk pada satu moyang.
Meja par subang, demikian istilah bagi meja yang diperuntukkan kepada non Batak dan non pemakan babi, adalah, sesungguhnya, meja pengasingan.
Belum lagi ketika jambar dibagikan. Ada
beberapa hak yang dimiliki lelaki Batak dalam acara adat: hak berbicara
dan hak mendapat organ tubuh binatang yang dijadikan santapan pesta.
Para Batak Kristen dengan bersukacita dan lapang membawa haknya pulang,
apa pun jenis daging yang dibagikan. Tidak demikian dengan lelaki Batak
Muslim. Mereka, mau tak mau, menyingkir dan bersikap seolah tak hirau
akan hak tersebut. Namun, akibat yang kemudian terjumpa mungkin saja
adalah biang masalah: karena merasa tak berhak atas jambar
daging, tentu saja lambat laun mereka pun tak merasa perlu berseturut
dengan segala kewajiban. Maksud saya, secara psikologik, rasa memiliki
itu perlahan memudar.
Ini sekat yang harus segera dirubuhkan. Orang-orang
Batak Toba Kristen selayaknya bercermin kepada banyak teman-teman
muslimin dan muslimah di negeri ini yang tak putus-putusnya berjuang
menegakkan Indonesia bagi semua. Saya mengerti, itu bukan perkara mudah.
Selain pilihan-pilihannya terbatas, harganya pun –sekali lagi- tak
cukup terjangkau.
Nah, sambil terus berupaya meraih kesempatan untuk
duduk semeja dalam jamuan pesta dengan rasa lapang dan nir wasangka,
cerpen Pulang Suhunan Situmorang mengajak kita kembali pada sesuatu yang
bisa dijadikan pemersatu kuat keberadaan puak Batak Toba: sang danau
biru. Suhunan bukan seorang presiden sehingga dia tak biasa berwacana;
bersama dengan beberapa teman dia mendirikan kelompok peduli Danau Toba
dengan nama Save Lake Toba Community yang berjuang tak henti menjaga
kelestarian alam dan lingkungan di sekitarnya.
Danau Toba memanggil saya, memanggil Saparudin
Situmorang, memanggil bapauda saya, Munir Panggabean, memanggil Zulaikha
Pardosi, memanggil Paulus Simangunsong dan banyak kaum Batak lainnya
untuk pulang serta menemukan kembali keIndonesiaan di dalam Batak saat
kita menceburkan diri di airnya yang biru. Itu sebabnya dada saya
bergelora ketika menulis ode buat Toba dalam sebuah lagu berjudul Darimana Rinduku Bermula, sebagai lagu tema untuk cerpen Pulang yang dibawakan dengan romantik dan jenaka oleh Paruhum Aritonang.
darimana rinduku bermula, kasih

hingga tak sempat 'ku bernapas lega

dan mengapa panahmu menghujam masih

perih dan ngilu di batas senja
darimana swaramu memancar merdu

hingga jantungku lompat menyambutmu

apa pula yang menjangkitiku s'lalu

membuat mataku tak mau pejam
mungkin biru airmu,

mungkin teduh parasmu,

mungkin jugalah luasmu yang mencengk'ram

memanggilku pulang
namun satu yang pasti

kan kukenang abadi

persaudaraan yang rukun hidup di sekitarmu

www.darisebuahguci.com

Ini lagu indah sepanjang 5 menit 27 detik. Jika ingin mendengar sepenggal darinya, sila unduh melalui tautan berikut ini: http://www.fileden.com/files/2010/11/28/3026304//DMRB.mp3

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
MARKETPLACE

Get great advice about dogs and cats. Visit the Dog & Cat Answers Center.


Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment