Advertising

Wednesday, 27 October 2010

[wanita-muslimah] Peran Perempuan Parlemen di Tengah Politik Identitas

 

http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/peran-perempuan-parlemen-di-tengah-politik-identitas/

Rabu, 27 Oktober 2010 12:55
Peran Perempuan Parlemen di Tengah Politik Identitas
OLEH: GUSTI KANJENG RATU HEMAS

Secara faktual kaum perempuan Indo­ne­sia masih sering dinomorduakan dalam kapasitasnya sebagai sesama warga negara.

Dalam banyak hal, kontribusi kaum perempuan sering tidak dihitung, baik secara ekonomis, sosial, maupun politis. Padahal, kondisi timpang tersebut jelas-jelas bertentangan dengan amanah konstitusi UUD 1945 serta berbagai konvensi internasional mengenai keadilan dan kesetaraan gender, yang telah diratifikasi menjadi aturan hukum di Indonesia. Kemarginalan yang berakibat pada keterpurukan nasib perempuan, untuk menyebut contoh saja, adalah Angka Ke­matian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indo­nesia yang masih ter­tinggi di Asia.

Tahun 2003, AKI melahirkan mencapai 307 per 100.000 kelahiran, sedangkan tahun 2010 menjadi 420 dari per 100.000 kelahiran. Angka ini 65 kali angka kematian ibu di Singapura, 9,5 kali dari Malaysia, bahkan 2,5 kali lipat dari indeks Filipina. Rasio kematian balita pun masih tinggi, yakni 44/1.000 kelahiran hidup, jauh dari target MDGs, yaitu 32/1000 kelahiran hidup. Padahal, indikasi AKI atau Maternal Mortality Rate (MMR), ukan saja merupakan indikator kesehatan perempuan, tetapi juga meng­gambarkan tingkat akses, integritas, dan efektivitas sektor kesehatan. Oleh karena itu, MMR juga sering digunakan sebagai indikator tingkat kesejahteraan dari suatu negara.

Menatap kondisi perempu­an, semakin miris terkait per­kem­bangan politik mutak­hir yang dibayang-bayangi sema­kin menguatnya politik identitas. Politik identitas se­ja­ti­nya adalah politik pencitraan yang mengatasnamakan demo­krasi formal dan prose­du­­ral. Karak­teristik politik yang ke­rap meng­abaikan terhadap per­lindungan substantif ini cen­­­derung melang­geng­kan prak­­­tik penyalahgunaan kewenangan atas nama suara mayo­ritas.

Politik ini mengaburkan batas antara negara dan aga­ma/moralitas, menggunakan perempuan sebagai simbol un­tuk mengontrol, dan me­la­ku­kan kriminalisasi melalui kebijakan-kebijakan negara dan lembaga negara. Sejum­lah peraturan yang te­lah ditelaah secara mendalam dan sak­sama (berda­sar­kan La­poran Hasil Pemantauan PKHN, 2009) ternyata malah menistakan hak-hak perempuan. Dari laporan tersebut, terungkap setidaknya terdapat 154 kebijakan daerah yang diterbitkan di tingkat provinsi (19 kebijakan), tingkat kabu­pa­ten/kota (134 kebijakan), dan di tingkat desa (satu kebijakan) antara tahun 1999 hingga 2009 yang bisa menjadi deretan bukti fenomena menguatnya politik identitas.

Sebanyak 64 dari 154 kebijakan daerah tersebut secara langsung diskriminatif terhadap perempuan, melalui pembatasan hak kemerdekaan berekspresi (21 kebijakan yang mengatur cara berpakaian), pengurangan hak atas perlindungan dan kepastian hukum karena mengkriminalisasi perempuan (38 kebijakan tentang pemberantasan prostitusi dan satu kebijakan tentang larangan khalwat), dan pengabaian hak atas peng­hi­dupan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan (empat kebijakan tentang buruh migran).

Belum Memadai
Permasalahan yang diha­dapi kaum perempuan ini me­ru­pakan cermin bahwa me­ka­nisme nasional belum me­ma­dai untuk menjaga konsistensi kebijakan-kebijakan da­lam memberikan perlindung­an hak-hak perempuan, mes­ki­pun sudah termaktub dalam konstitusi maupun produk-produk hukum nasional lainnya.
Pada titik inilah perempuan parlemen Indonesia di­harapkan dapat mening­kat­kan perannya, karena mere­ka­lah yang justru berada secara langsung di jantung pembuat­an berbagai undang-un­dang. Sebab, secara teori, salah satu cara untuk mendorong terwujudnya kesetaraan gender yakni dengan mengubah atau membuat berbagai kebijakan publik yang mendorong terwujudnya kesetaraan gender.

Jumlah anggota perempuan parlemen pada periode 2009-2014 memang mening­kat di­ban­dingkan periode se­be­lum­nya. Namun, pening­kat­an se­ca­ra kuantitas ini haruslah segera diiringi dengan pe­ningkatan kualitasnya. Untuk itu, program yang sangat mendesak adalah mening­kat­kan kapasi­tas para perempuan parlemen. Satu wahana yang juga sa­ngat penting dalam upaya mem­perkuat perempuan parlemen demi meningkatkan perannya adalah pembentukan dan penguatan jaringan kerja. Melalui jaringan kerja inilah para pe­rempuan parlemen memperluas dan memperkuat diri, baik di ting­kat daerah maupun nasio­nal.

Beberapa jaringan kerja perempuan parlemen sudah didirikan, di tingkat nasional antara lain Kaukus Perem­pu­an Parlemen RI (Kaukus PP RI), dan Kaukus Perempuan Par­le­men DPD RI (Kaukus PP DPD RI), serta sejumlah kau­kus-kaukus perempuan parlemen di tingkat provin­si/ka­bupaten. Khususnya Kaukus PP DPD RI, yang didirikan pada tahun 2006 ini, telah pula merintis pembentukan Jaringan Perempuan Par­le­men se-Indonesia. Beberapa kegiatan tersebut yaitu: Lokakarya dengan Anggota DPRD se-Indonesia (Juni 2008) dan dengan LSM Perempuan se-Indonesia (Agustus 2008).

Pada tahun 2010, Kaukus PP DPD RI melanjutkan inisiatif tersebut dengan menga­da­­kan kegiatan di Medan yang diikuti anggota DPRD se-Su­matera (Juli 2010) dan di Pon­tianak yang pesertanya berasal dari anggota DPRD se-Kali­man­tan, Jawa, dan Nusa Bali (September 2010). Bulan No­vember 2010, direncanakan ke­giatan akan di­ada­kan di Ambon yang diikuti anggota perempu­an DPRD dari Sula­wesi, Ma­lu­ku, NTT, dan Pa­pua. Diha­rap­kan pada tahun 2011, Kaukus PP DPD RI su­dah dapat meng­inisiasi pembentukan Jaring­an Pe­rem­puan Parlemen se-Indonesia.

Melalui jaringan kerja, perempuan parlemen diharapkan akan muncul suara bersama untuk melakukan kerja advokasi, wadah untuk saling bertukar informasi, selain tentu saja juga berfung­si sebagai alat untuk memper­kuat kapasitas dan strategi.

Melalui jaringan kerja perempuan parlemen dapat dilakukan berbagai kursus singkat, lokakarya, maupun seminar untuk meningkatkan pengetahuan. Sebab, penguat­an pengetahuan menjadi sa­ngat vital bagi para perempu­an parlemen, di tingkat na­sional maupun daerah, bagi hak-hak perempuan dan pro­ses pengintegrasiannya terha­dap kebijak­an yang sedang disusun.
Dalam upaya mengantisipasi berbagai pihak yang hendak memproduksi kebijakan yang didasarkan pada politik identitas, pengetahuan yang diberikan pada perempuan parlemen sebaiknya tidak saja yang berkaitan dengan tek­ni­kalitas pembuatan undang-undang (legal drafting. Na­mun, ini juga menyangkut, misalnya, pengayaan wawasan mengenai substansi kebine­ka­zan dan pluralisme di negeri yang kaya etnis, budaya, dan ras ini.

Jaringan kerja perempuan parlemen selayaknya juga ada­lah ruang untuk mempermudah koordinasi antarperempuan parlemen serta dengan jaringan masyarakat dalam mencegah praktik politik yang melahirkan kebijak­an undang-undang/­perda yang berpotensi mengkrimininalisasi perempuan.

Penulis adalah Wakil Ketua DPD RI, Ketua Kaukus Perempuan Parlemen DPD RI.

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment