oom liang ini andreas harsono, mas dwi.
web nya ya andreasharsono.
salam,
Ari
2010/1/2 Dwi Soegardi <soegardi@gmail.
>
>
> suwun cak Ari kirimannya.
>
> saya jadi kangen dengan suwar-suwirnya Jember,
> sudah puluhan tahun tidak lewat dan mampir di "Jalan Raya"
> (jalan utamanya Jember yang bernama Jalan Raya Sultan Agung).
> Dulu ada gang kecil tempat jualan kue putu, model kafe tenda gitu,
> (yang jualan orang Tionghoa juga), uenak tenan.
> Tapenya juga OK, tapi kalah tenar dibanding tape kabupaten tetangga,
> Bondowoso.
>
> hebat sekali Om Liang ini, bener-bener nJember asli,
> bisa bahasa Madura segala
> Apa ada blog atau websitenya ya?
>
>
> 2009/12/29 Ari Condro <masarcon@gmail.
> > http://andreasharso
> >
> > Hoakiao dari Jember
> > Andreas Harsono
> >
> >
> > Namanya Ong Tjie Liang (王 志 良). Dia satu Hoakiao dari Jember, sebuah
> > kota tembakau di sebelah timur Pulau Jawa. November lalu, menjelang
> > pemilihan gubernur Aceh, saya bertemu lagi dengannya di Hotel Sultan
> > di daerah Peunayong, Banda Aceh.
> >
> > Saya memanggilnya "Liang." Dia seorang travel writer. Saya pernah
> > membaca laporannya soal Pulau Weh. Ketika bertemu di Aceh, dia bilang
> > baru kembali dari Merauke di Papua. "Merauke datar, nggak ada pohon
> > tua, semua bangunan baru, abu-abu, nggak ada sejarah."
> >
> > "Sabang jauh lebih punya sejarah," katanya, mengacu pada kota di Pulau
> Weh.
> >
> > "Mungkin zaman van Heutsz, Merauke tak sebesar dan seburuk sekarang.
> > Transmigrasi besar-besaran dari Jawa (sejak 1980an) bikin Merauke
> > berkembang tanpa kendali. Welek kabeh."
> >
> > Van Heutsz adalah Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz, perwira Belanda
> > yang mengklaim bahwa Belanda menang dalam Prang Atjeh pada 1904 dan
> > lantas memperkenalkan slogan "vom Sabang tot Merauke" atau "dari
> > Sabang sampai Merauke." Slogan ini belakangan dipakai Presiden
> > Soekarno ketika hendak menduduki Irian Barat pada 1960an. Maka lagu
> > terkenal ciptaan R. Surarjo "Dari Barat Sampai ke Timur" diubah jadi
> > "Dari Sabang Sampai Merauke."
> >
> > Liang suka pindah-pindah isi pembicaraan. "Pernah coba makan bubur
> > sapi depan Hotel Katulistiwa di Singkawang?" tanya Liang, ketika tahu
> > saya sering ke Pontianak, tiga jam dari Singkawang. Ketika kenalan
> > kami, Voja Miladinovic dari Sipa Press, butuh alamat di Manado, Liang
> > mengeluarkan telepon seluler dan memberikan beberapa nama orang
> > Minahasa, Sangir maupun Talaud.
> >
> > Liang pernah menulis soal Hotel Turismo di Teluk Dili. Ini hotel
> > indah, bersejarah, dibangun zaman Portugis. Pada November 1996,
> > militer Indonesia curiga kehadirannya. Di hotel itu ada sekelompok
> > aktivis hak asasi manusia dari Australia dan Irlandia, hendak
> > memperingati penjagalan orang Timor oleh tentara Indonesia di kuburan
> > Santa Cruz, November 1991. "George Toisuta memerintahkan kami semua
> > meninggalkan Dili," katanya. "Aku satu pesawat dengan orang Irlandia
> > itu." Toisuta kini panglima Kodam Siliwangi di Bandung. Dulu Toisuta
> > malang melintang di Timor Leste, Aceh dan Papua.
> >
> > Liang juga bolak-balik ke Ambon dan Ternate ketika apa yang disebut
> > "perang agama" antara Islam dan Kristen bergejolak. Pendek kata, dia
> > sering berada di tempat di mana ada pergolakan. Dia masuk ke basis
> > Gerakan Acheh Merdeka di Pidie tapi juga blusak-blusuk di Biak, Wamena
> > atau Timika. Dia mewawancarai Aung San Suu Kyi di Rangoon tapi juga
> > Jose Ramos-Horta di Vancouver.
> >
> > Orang yang kenal dia sering bingung dengan perjalanannya. Voja
> > Miladinovic menyebut Tjie Liang, "A good writer who could sense the
> > pulse of Indonesia and put it into words." Marrissa Haque, seorang
> > artis-cum-politikus
> > bahan tulisan atau buat intel Amerika berkedok ilmuwan?" Liang
> > tersenyum kecut ketika menunjukkan SMS Marissa kepada saya. "Masak aku
> > dianggep CIA?" katanya.
> >
> > Saya tertarik mengenal Liang karena ia berbeda dari stereotype Hoakiao
> > di Indonesia. Mereka biasanya dianggap tak suka politik, lebih banyak
> > kerja di bidang bisnis atau kerja sebagai dokter, arsitek, manajer
> > atau pemain badminton. Mereka juga sering dianggap kaya. Licik. Egois.
> > Tidak membaur. Kalau ada masalah melarikan diri. Mereka sering jadi
> > kambing hitam bila terjadi krisis di kepulauan ini.
> >
> > Saya lebih suka memakai kata "Hoakiao" atau overseas Chinese daripada
> > kata "Cina" maupun "Tionghoa." Baik "Cina" maupun "Tionghoa" secara
> > linguistik tak membuat pembedaan antara orang macam Liang dengan
> > orang-orang yang ada di daratan Tiongkok.
> >
> > "Tionghoa" atau "Zhonghoa" (中 崋) artinya "orang (kerajaan) Tengah."
> > Zhongguo (中 国) adalah nama Republik Rakyat Tiongkok dalam bahasa
> > Mandarin. Nama "Cina" berasal dari kata dinasti Cin. Nama "Cina" resmi
> > dimaksudkan untuk menghina pada zaman Presiden Soeharto. "Hoakiao"
> > (padanannya "Huaren" maupun "Huayin") lebih cocok untuk orang macam
> > Liang. Charles Coppel, yang menulis disertasi The Indonesian Chinese
> > in the Sixties: A Study of an Ethnic Minority in a Period of Turbulent
> > Political Change, belakangan memilih menyebut mereka dalam bahasa
> > Inggris "Chinese Indonesian" (bukan Indonesian Chinese). Artinya,
> > mereka lebih "Indonesia" daripada "Chinese." Novelis Pramoedya Ananta
> > Toer memakai kata "Hoakiao" dalam bukunya Hoakiao di Indonesia. Saya
> > kira panggilan "Hoakiao" lebih cocok walau saya juga tak kaku pada
> > pemakaian "Cina" maupun "Tionghoa."
> >
> > Liang menarik sebagai bahan studi kasus karena dia lahir pada 1965
> > ketika Soeharto mulai naik kuasa dan melarang semua yang berbau Cina
> > maupun Hoakiao. Soeharto membunuh lebih dari tiga juta warga
> > Indonesia. Mereka dianggap komunis. Sekolah-sekolah mereka ditutup.
> > Bahasa Mandarin tak boleh muncul. Ada larangan membawa buku atau
> > cetakan dengan karakter Mandarin. Mereka dipaksa mengganti nama
> > mereka. Mereka tak boleh merayakan Imlek. Mereka harus minta surat
> > kewarganegaraan Indonesia walau mereka lahir di Jawa, Sumatra,
> > Kalimantan dan sebagainya. Walau mereka lancar bahasa Jawa, Melayu,
> > Madura dan lain-lain, mereka dianggap "keturunan asing."
> >
> > Kini sesudah Presiden Soeharto turun dari kekuasaannya, diskusi soal
> > orang-orang macam Tjie Liang bisa dibicarakan lebih terbuka. Presiden
> > Abdurraman Wahid mengizinkan kebudayaan Hoakiao dipertunjukkan
> > kembali: bahasa Mandarin, tahun baru Imlek, agama Khong Hu Chu dan
> > sebagainya. Saya ingin tahu bagaimana generasi Hoakiao ini memandang
> > dirinya sendiri? Bagaimana generasi yang hilang ini memandang
> > diskriminasi terhadap diri mereka?
> >
> >
> >
> > Bila Anda naik mobil dari Surabaya menuju Jember, Anda akan menelusuri
> > Sungai Bondoyudo di daerah perkebunan tebu Jatiroto. Sepanjang jalan
> > ada rel dan lori tebu. Ada sawah-sawah. Ini mengingatkan saya pada
> > gambaran perkebunan gula dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya.
> >
> > Pusat kota Jember biasa disebut "Jalan Raya." Disana ada macam-macam
> > toko dengan sebuah alun-alun serta dua masjid besar. Menurut sensus
> > Badan Pusat Statistik tahun 2000, kabupaten Jember punya 2.2 juta
> > penduduk di mana 98.6 persen Muslim. Orang Hoakiao Jember kebanyakan
> > beragama Kristen atau Buddha. Ada sedikit yang beragama Islam. Mereka
> > tinggal di daerah perdagangan, baik di Jember atau kota-kota kecil
> > semacam Kalisat, Ambulu atau Balung. Mereka golongan minoritas.
> > Jumlahnya, saya perkirakan kurang dari 10,000 orang atau kurang dari
> > 0.5 persen.
> >
> > Penduduk kota Jember kebanyakan bicara bahasa Jawa atau Madura. Bahasa
> > Jawa dialek Jember agak beda dengan Jogjakarta atau Solo. Orang Jember
> > memakai kata "koen" atau "kowe" untuk panggilan orang kedua. Oleh-oleh
> > khas Jember adalah tape (singkong yang diragikan) atau suwar-suwir
> > (manisan dari tape, rasanya empuk-empuk manis).
> >
> > Jember mulai tumbuh sebagai daerah urban pada 1850an ketika George
> > Birnie, seorang warga Belanda keturunan Skotlandia, membuka perkebunan
> > dan memasarkan tembakau dari Jember ke Eropa. Birnie mendatangkan
> > pekerja dari daerah sekitar Blitar dan Pulau Madura. Menurut seorang
> > buyutnya, novelis Alfred Birney, George Birnie menikah dengan Rabina,
> > perempuan Jawa, dan mengirim anak-anaknya ke negeri Belanda untuk
> > studi. Salah satu di antaranya adalah Willem Birnie, kakek Alfred
> > Birney.
> >
> > "Keluarga Birnie dulu keluarga kaya di Jember," kata Jacoba Jasina
> > Maria Vink, seorang pensiunan guru Jember. Bapaknya, Gerardus Hermanus
> > Vink, tiba di Jember dari Belanda pada 1910 untuk bekerja di Landbouw
> > Maatschapij Oud Djember milik keluarga Birnie. Vink senior menikah
> > dengan perempuan Jawa. Jacoba kelahiran 1918. Dia kenal betul
> > perubahan Jember dari zaman Belanda, Jepang dan Indonesia.
> >
> > George Birnie juga menanam kopi, coklat, kelapa dan sebagainya.
> > Kehadiran Birnie memancing pengusaha lain ikut membuka perkebunan.
> > Pada 1950an, perkebunan-perkebun
> > dijadikan perkebunan negara.
> >
> > Salah satu toko di Jalan Raya bernama Toko Sinar, milik keluarga besar
> > Ong Tjie Liang. Di sampingnya, ada Toko Juli, milik Ong Seng Hwie,
> > empeknya Tjie Liang (empek dalam bahasa Hokkian artinya "paman tua").
> > Di kedua toko inilah saya mendapat cerita tentang asal-usul keluarga
> > Liang. Toko-tokonya sangat sederhana. Meja dan almari dari kayu tua.
> > Penerangan redup. Toko Sinar menjual alat listrik. Toko Juli menjual
> > radio dan tape recorder.
> >
> > Hwie mengatakan orang tuanya bernama Ong Kong Swie dan Yauw Siauw Tja.
> > Swie berasal dari desa bernama Kang Tauw, distrik Bo Chan, daerah Hen
> > Hwa di Hokkian, selatan Tiongkok. "Itu daerah miskin, nggak ada
> > industri," katanya. Kebanyakan orang Hokkian jadi petani atau nelayan.
> > Kakeknya Hwie bernama Ong Kie Soen. Kuburannya ada di Kang Tauw. Siauw
> > Tja sendiri berasal dari desa Hwi Aua, distrik Bo Chan.
> >
> > Pada 1925, pasangan ini naik kapal via Xiamen menuju Surabaya.
> > Tujuannya, rumah kakak Swie, bernama Ong Kong Siang, yang membuka
> > bengkel sepeda di Mojokerto, selatan Surabaya.
> >
> > Swie pun ikut mengelola bengkel. Dia sempat pindah ke Banyuwangi, di
> > mana Hwie lahir pada 1928. Namun pada 1930 mereka kembali ke Mojokerto
> > ketika Siang memutuskan kembali ke Tiongkok. Swie mengambil alih
> > bengkel kakaknya di Mojokerto. Pada 1930, Siauw Tja melahirkan anak
> > laki-laki lagi, diberi nama Ong Seng Hwa.
> >
> > Pada 1932, Swie memutuskan pindah ke Jember dari Mojokerto. Hwa
> > mengatakan pada saya bahwa empek dan papanya mulanya punya kongsi di
> > Jember. Namun kongsi ini pecah dengan rekan dagang mereka. Swie pun
> > pergi ke Jember guna mengurus bengkel dan toko sepeda bernama "Han
> > Gwan Hin."
> >
> > Waktu itu, Jember berkembang pesat berkat perkebunan dan pertanian
> > tembakau. Keluarga Birnie membuka jalur lelang tembakau langsung di
> > Amsterdam. Toko "Han Gwan Hin" ikut berkembang dalam pertumbuhan
> > ekonomi ini. Belakangan saudara misan Swie, bernama Ong Kong Ling,
> > ikut menyusul ke Jember dan membuka home industry kembang tahu. Kelak
> > kedua keluarga Ong ini memiliki ratusan keturunan di Jember. Namanya
> > manusia, mereka kawin campur, dengan orang Hakka, Jawa, Madura dan
> > sebagainya. Agamanya juga macam-macam, dari Khong Hu Chu sampai Islam.
> >
> > Bagaimana menerangkan keluarga pendatang ini di Pulau Jawa? Leo
> > Suryadinata dalam buku The Culture of the Chinese Minority in
> > Indonesia membuat dua kategori orang Hoakiao: peranakan dan totok. Dua
> > kategori ini mulai muncul pada awal abad XX ketika migrasi orang Cina
> > ke Jawa meningkat.
> >
> > Menurut Suryadinata, kaum peranakan atau babah kebanyakan tak
> > menguasai bahasa etnik mereka, entah Hokkian, Hakka atau Teochiu. Ada
> > sedikit yang bisa bahasa Mandarin, satu dari lima bahasa resmi
> > Perserikatan Bangsa-bangsa. Mereka relatif tinggal lebih lama di Pulau
> > Jawa. Mereka mengirim anak-anaknya ke sekolah dengan kurikulum
> > Belanda. Orientasi kewarganegaraan mereka adalah Belanda. Mereka
> > bekerja sebagai profesional, dokter, arsitek, penulis dan sebagainya.
> >
> > Misalnya, anak George Birnie, Willem, sesudah berpisah dari isteri
> > Belandanya, kawin tanpa ikatan pernikahan resmi, dengan seorang
> > perempuan peranakan bernama Sie Swan Nio. Mereka punya lima anak,
> > semuanya lahir di Surabaya, antara 1912 dan 1925. Ayah novelis Alfred
> > diberi nama Adolf Sie. Dia seorang peranakan Indo-Tionghoa.
> >
> > Beda dengan peranakan, kaum totok orientasinya ke Tiongkok. Anak-anak
> > totok sekolah bahasa Mandarin. Mereka juga menguasai bahasa Mandarin
> > atau bahasa etnik. Agamanya kebanyakan Khong Hu Chu. Ini berbeda
> > dengan kaum peranakan yang cukup banyak beragama Katholik atau
> > Protestan. Pekerjaan totok kebanyakan berdagang. Keluarga Ong adalah
> > keluarga totok. Mereka memelihara rumah abu moyang mereka. Mereka
> > memakai dua bahasa: Hokkien dan Melayu. Di Jember, Siauw Tja
> > melahirkan lima anak lagi sehingga total ia memiliki lima putra dan
> > tiga putri. Anak-anak ini bisa bahasa Madura dan Jawa.
> >
> > Menurut Hwie, papanya berwatak sedikit keras. "Kerja apa saja mau dia.
> > Seperti becak, itu khan kerjaan nggak enak. Dia bisa berhasil kerja,"
> > kata Hwie. Belakangan Swie menjadi juragan becak.
> >
> > Pada 1936, Siang meninggal dunia di Tiongkok. Pada awal 1941, Swie
> > pergi ke Tiongkok untuk urusan keluarga kakaknya. Ketika suaminya
> > pergi, Siauw Tja hamil anak bungsu mereka. Anak ini lahir pada 18
> > November 1941 dan dinamai Ong Seng Kiat (王 先 业). Dialah yang kelak
> > menjadi ayah Ong Tjie Liang.
> >
> > Beberapa bulan sesudah kelahiran Seng Kiat, Jepang menyatakan ikut
> > Perang Dunia II dengan menyerang pangkalan laut Amerika Serikat di
> > Pearl Harbor, Hawaii. Jepang segera menduduki Asia Tenggara. Kehidupan
> > ekonomi dan sosial di Hindia Belanda porak-poranda. Di Jember, bahan
> > makanan dan pakaian sulit sekali didapat. Perkebunan banyak tak
> > berjalan karena banyak pegawai administrasi ditangkap Jepang.
> >
> > Jacoba Jasina Maria Vink mengatakan bahwa bapaknya meninggal dalam
> > tahanan (intern) Jepang di Ambarawa, dekat Jogjakarta. Rumah mereka
> > dirampas "pemuda" –maksudnya milisi Indonesia. Jacoba Vink dan
> > saudara-saudaranya ditahan bersama sekitar 300 orang Belanda di Kotok,
> > sebuah perkebunan dekat Jember. "Besar sekali sentimen terhadap orang
> > Indo," kata Jacoba.
> >
> > "Kalau sini jalan, nggak punya sepatu dimakan rayap. Mau jalan ke
> > gereja dibilang, 'Oh iku senuk Jepang,'" kata Jacoba, artinya, "Oh itu
> > pelacur Jepang."
> >
> > Yauw Siauw Tja bekerja keras menghidupi ketujuh anaknya. Putri
> > sulungnya kebetulan sudah menikah dan tinggal di Banyuwangi. Menurut
> > Ong Seck Nio, adiknya Hwa, mama mereka membuat kue keranjang dan telor
> > bebek asin. Remaja Hwie berjualan ikan asin di daerah Puger, sebuah
> > perkampungan nelayan. Hwa dan Seck Nio berjalan kaki menjajakan telor
> > asin dan kue keranjang. "Jalan sampai Patrang," kata Seck Nio kepada
> > saya. Patrang waktu itu daerah pinggiran kota Jember.
> >
> > Hwa dan Seck Nio juga harus membantu mengasuh adik-adik mereka, yang
> > masing-masing hanya terpaut satu tahun. Pada 1945, ketika Seck Nio
> > berumur 13 tahun, dia diminta ikut kakaknya, Ong Seck Eng, pindah ke
> > Banyuwangi, mengasuh anak-anak Seck Eng.
> >
> > Perang Dunia II membuat hubungan kapal laut antara Tiongkok dan Jawa
> > terputus. Pada Agustus 1945, Soekarno dan Mohamad Hatta, dua tokoh
> > nasionalisme Indonesia, menyatakan kemerdekaan Indonesia di Jakarta.
> > Belanda tidak terima. Belanda dan Indonesia berunding, diwarnai
> > perselisihan militer, hingga 1949, ketika Hatta menerima penyerahan
> > kedaulatan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat di Den Haag.
> >
> > Ong Kong Swie tak bisa keluar dari Tiongkok untuk kembali ke Jember.
> > Dia menikahi janda kakaknya di Tiongkok. Baru pada 1948, ketika
> > suasana perang pelan-pelan mereda, Swie naik kapal ke Medan lalu
> > kereta api ke Jakarta dan Surabaya. Seng Kiat pertama kali menjemput
> > papanya pada umur tujuh tahun. "Dia takut pulang ke Jember, punya
> > salah," kata Seng Kiat.
> >
> >
> >
> > Ong Seng Kiat tumbuh dewasa di Jember. Dia pandai bergaul, suka
> > bergurau, suaranya besar dan punya banyak sekali kenalan –Hoakiao,
> > Hakka, Madura, Jawa, Osing dan sebagainya. Dia bisa bahasa Melayu,
> > Jawa, Madura, Mandarin, Hakka dan Hokkian. Nama "Seng Kiat" –banyak
> > orang susah mengeja nama-nama Hoakiao— secara alamiah disederhanakan
> > dalam pergaulan menjadi "Sengkek."
> >
> > Sengkek sempat mengecap bangku sekolah menengah di Surabaya namun
> > kelas dua sudah keluar. "Ngerpek (mencontek) ketemu diusir," kata
> > Sengkek. Sengkek dikeluarkan dari sekolah bersama kakaknya, Seng Hay,
> > yang lebih tua setahun. Kakak sulungnya, Hwie, menyayangkan
> > adik-adiknya tak sekolah dengan benar. Dia mengatakan pada saya bahwa
> > wajar bila anak-anak tertua --macam dirinya, Hwa dan Nio-- sekolahnya
> > kacau karena zaman perang. "Mama terlalu memanjakan anak-anaknya,"
> > kata Hwie, mengeluh soal adik-adiknya.
> >
> > Pada 5 Maret 1963, Ong Kong Swie, setelah 15 tahun kembali hidup di
> > Jember, meninggal dunia. Sengkek menikahi tunangannya, Tjen Ie Lan,
> > seorang perempuan Hakka, di depan peti jenasah papanya. Sengkek
> > percaya lebih baik menikah depan jenasah orang tua daripada menunda
> > pernikahan. Swie dimakamkan di kuburan orang Hoakiao di Kaliwates,
> > Jember. Sengkek memutuskan berdagang alat-alat listrik, mengubah nama
> > "Han Gwan Hin" menjadi Toko Sinar. "Modal cuma Rp 137,500," kata
> > Sengkek.
> >
> > Tjen Ie Lan, isteri Sengkek, seorang perempuan kelahiran Kalisat tahun
> > 1943. Orang tuanya, Tjen Tek Jong dan Tan Bing Lien, berasal dari
> > distrik Ta Bu, provinsi Hakka di Guang Dong, selatan Tiongkok.
> > "Kebanyakan disana soro (sengsara), ke Jawa cari kehidupan baru," kata
> > Tjen Ie Ing, kakak perempuan Ie Lan, kepada saya.
> >
> > Alasan klasik. Para imigran di seluruh dunia, dari Amerika hingga
> > Afrika, mencari penghidupan lebih baik ketika suasana di kampung
> > halamannya susah. Ketika masih berumur belasan tahun, Tek Jong
> > berangkat dari Guang Dong menuju Hongkong. "Agak lama di Hongkong,
> > terus Singapore lalu Jakarta," kata Ie Ing.
> >
> > Pada 1924, ketika baru berumur 17 tahun, Tek Jong tiba di Surabaya dan
> > memutuskan berdagang di daerah perkebunan tembakau di Kalisat, dekat
> > Jember. Dia juga mengundang ayahnya datang ke Kalisat namun si ayah
> > tidak kerasan dan kembali ke daratan Tiongkok.
> >
> > Sepuluh tahun di Kalisat, Tek Jong "mengimpor" calon isteri dari
> > Tiongkok lewat bantuan seorang mak comblang. Tan Bing Lien baru
> > berumur 19 tahun ketika tiba di Kalisat. Dia juga baru pertama kali
> > bertemu calon suaminya. Perempuan ini mungil, biasa kerja keras, anak
> > yatim. Mereka menikah dan dikarunia dua putra dan dua putri.
> >
> > Ada seseorang yang membuat perubahan besar dalam keluarga Tjen dan
> > kelak pada kehidupan Tjie Liang. Pada 1939, sebuah gereja Pantekosta
> > di Surabaya mengundang seorang penginjil dari Tiongkok. Namanya, Dr.
> > John Sung, yang terkenal di daratan Tiongkok dan Asia Tenggara.
> >
> > John Sung sebelumnya kuliah di Wesleyan University di Ohio, Amerika
> > Serikat, lalu meraih Ph.D. di bidang kimia di Ohio State University.
> > Dia mahasiswa cerdas. Gelar master dan doktor dicapainya hanya dalam
> > 30 bulan. Namun kehidupan John Sung makin hari makin kristen. Dr. John
> > Sung lalu memutuskan kuliah theologi di Union Theological Seminary di
> > New York. Namun dia tak suka dengan pendekatan ilmiah di sekolahnya.
> > Agama kok dilihat dengan nalar? Pada 1927, dia pulang ke Tiongkok. Di
> > kapal, dia terus-menerus berdoa, akhirnya memutuskan membuang semua
> > ijasah, sertifikat dan medali penghargaannya ke laut. Walau bisa
> > membangun karir dan menjadi kaya raya sebagai pejabat dalam birokrasi
> > Kekaisaran Tiongkok, John Sung memutuskan jadi pengkhotbah miskin.
> >
> > Caranya berkhotbah tergolong spektakuler. Dia menyanyi, berkhotbah,
> > menangis, berkhotbah, menyanyi, biasanya selama dua jam, tiga kali
> > sehari! John Sung pernah membawa peti mati ke dalam gereja, lalu
> > berteriak, "Cari uang, cari uang, angkat peti mati ini." John Sung pun
> > lantas masuk ke dalam peti. Maksudnya, dia mengkritik orang Cina yang
> > cuma cari uang, lupa urusan agama dan kematian. Cara-caranya
> > berkhotbah menimbulkan sensasi. Di Surabaya, dia mempengaruhi banyak
> > orang Hoakiao, termasuk suami-isteri Tek Jong dan Bing Lien, masuk
> > agama Kristen.
> >
> > Ie Lan lahir ketika orang tuanya sudah Kristen. Dua tahun sesudah
> > menikah, Ie Lan melahirkan putra sulungnya, Ong Tjie Liang. Mereka
> > tinggal di sebuah rumah dalam sebuah gang sempit. Sengkek sibuk
> > mengelola Toko Sinar. Ie Lan jadi ibu rumah tangga sekaligus membantu
> > suaminya di toko.
> >
> > Tiga minggu sesudah kelahiran Liang, pada 1 Oktober 1965, sekelompok
> > tentara dari Divisi Diponegoro dan Tjakrabirawa, menculik dan membunuh
> > beberapa jenderal Angkatan Darat di Jakarta. Para penculik diduga
> > perwira-perwira binaan Partai Komunis Indonesia. Maka Jenderal
> > Soeharto memimpin suatu penumpasan golongan kiri, yang termasuk paling
> > berdarah di dunia. Pulau Jawa banjir darah! Antara dua hingga tiga
> > juta orang dibunuh tanpa lewat proses pengadilan. Di Jember, belasan
> > orang mengatakan pada saya bahwa mereka sering melihat mayat mengapung
> > di sungai. Banyak mayat tanpa kepala.
> >
> > Suasana chaos. Ie Lan mengungsi sementara ke Surabaya. Sengkek sering
> > meninggalkan Ie Lan sendirian di rumah. Sengkek ternyata juga sering
> > memukul Ie Lan bila bertengkar. Ie Lan mengatakan pada saya bahwa dia
> > merasa "lahir baru dan percaya Yesus" pada periode ini. Dia berubah
> > dari orang Kristen formal menjadi Kristen Lahir Baru. Ie Lan lantas
> > rajin pergi ke gereja Tiong Hoa Kie Tok Kauw Tjong Hwee cabang Jember.
> > Ini sebuah gereja Hoakiao, didirikan sejak zaman Belanda, dengan nama
> > Bond Kristen Tionghoa. Ie Lan rajin membantu pekerjaan gereja.
> >
> > Pada awal 1970an, Soeharto sudah membungkam semua lawan politiknya.
> > Ratusan ribu aktivis kiri diasingkan di Pulau Buru. Amerika Serikat
> > dan Inggris diam saja melihat pelanggaran demi pelanggaran hak asasi
> > manusia di Indonesia. Mereka menganggap Soeharto sekutu penting mereka
> > dalam menghadapi komunisme. Soeharto membuka pasar Indonesia terhadap
> > modal Barat. Freeport McMoran membuka tambang raksasa di Papua.
> > Ekonomi tumbuh. Geliat ekonomi ini juga membuat perkebunan-perkebun
> > Jember bergerak lagi. Lelang tembakau pindah dari Amsterdam ke Bremen,
> > Jerman. Sengkek dan Ie Lan membeli sebuah rumah besar kolonial
> > Belanda. Kehidupan mereka pun mulai makmur. Ada mobil, liburan ke
> > pantai, punya villa di gunung, makan-makan dan sebagainya.
> >
> > Namun Soeharto memperkenalkan pendekatan baru terhadap apa yang
> > disebutnya "masalah Cina." Dia hendak menciptakan berbagai macam
> > aturan. Intinya, tiga buah pilar kebudayaan Hoakiao akan dipangkas:
> > media berbahasa Mandarin, sekolah-sekolah Hoakiao serta organisasi
> > sosial dan politik kaum Hoakaio.
> >
> > Mulanya, sesudah Indonesia berdaulat, ada dua aliran pemikiran di
> > kalangan tokoh Hoakiao tentang posisi Hoakiao. Indonesia sudah jadi
> > negara merdeka. Belanda sudah tak kuasa di Batavia lagi. Tiongkok
> > adalah tanah leluhur tapi bukan tanah air mereka.
> >
> > Aliran pertama, mempromosikan kebijakan "integrasi" dimana orang
> > Hoakiao tetap bebas memiliki kebudayaan mereka. Nama Hoakiao macam Ong
> > Tjie Liang bisa tetap dipakai. Agama Khong Hu Chu, sekolah bahasa
> > Mandarin dan sebagainya sah dipertahankan. Aliran ini didukung oleh
> > Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) dengan tokoh
> > Siauw Giok Tjhan dan Yap Thiam Hien. Baperki gencar mengkritik
> > berbagai kebijakan politik "asli" yang tumbuh subur di Pulau Jawa dan
> > Sumatra sejak awal 1950an. Baperki berpendapat, dalam kebangsaan
> > sejati, setiap warga punya hak dan kewajiban sama, tanpa pandang bulu
> > etnik atau agamanya.
> >
> > Aliran kedua bicara soal "asimilasi" atau "pembauran" dimana orang
> > Hoakiau dianjurkan ganti nama. Mereka ingin kebudayaan Hoakiao membaur
> > dengan apa yang disebut "penduduk asli." Tujuannya, kaum minoritas
> > Hoakiao kelak tak lagi akan menjadi suatu kelompok tersendiri.
> > Organisasinya bernama Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB).
> > Tokoh-tokohnya, K. Sindhunata, Junus Jahja, P.K. Ojong, Onghokham,
> > Harry Tjan Silalahi dan Soe Hok Gie.
> >
> > Debat ini lalu campur baur dengan politik. Baperki mendekat ke
> > Presiden Soekarno dan Partai Komunis Indonesia. Yap Thiam Hien tak
> > setuju dengan kebijakan ini. Dia keluar dari Baperki. LPKB mendekat ke
> > golongan kanan dan militer. Ketika Soeharto menghancurkan golongan
> > kiri dan Soekarnois, tak ayal lagi, Soeharto juga menumpas Siauw dan
> > kawan-kawannya. Ratusan sekolah Hoakiao ditutup. Kebudayaan Hoakiao
> > dilarang. Mereka disuruh untuk ganti nama. Bahasa Mandarin dilarang.
> > Anak Hoakiao dibatasi untuk masuk ke birokrasi, militer dan
> > universitas. Kelenteng-kelenteng Khong Hu Chu diganti jadi vihara
> > Buddha. Soeharto juga minta semua orang Hoakiao memiliki surat
> > kewarganegaraan Indonesia. Surat-surat ini, dari surat ganti nama
> > hingga kewarganegaraan, kelak jadi ajang pemerasan.
> >
> > Namun Soeharto menekankan kebijakannya pada pembangunan ekonomi.
> > Selama Soeharto berkuasa, muncul beberapa ratus konglomerat.
> > Kebanyakan pengusaha Hoakiao. Kesannya, Hoakiao adalah sekutu
> > Soeharto. Media membantu menciptakan kesan bahwa semua orang Hoakiao
> > kaya dan segelintir konglomerat itu –termasuk Sudono Salim Prajogo
> > Pangestu, Bob Hasan-- adalah "wakil" masyarakat Hoakiao. Kebencian
> > terhadap Hoakiao terkadang muncul dari pembantu-pembantu Soeharto
> > lewat media dan militer. Ada menterinya bilang bahwa jumlah orang
> > Hoakiao hanya tiga persen di Indonesia, namun menguasai 90 persen
> > ekonomi Indonesia. Kemiskinan pun disalahkan pada golongan Hoakiao.
> >
> > Debat "integrasi" versus "asimilasi" itu, tentu saja, tak melibatkan
> > Hoakiao Jember. Kebanyakan Hoakiao Jember tak terlibat politik. Mereka
> > super minoritas. Namun dampaknya terkena juga. Antara 1965 dan 1966,
> > rezim Soeharto merampas sekolah-sekolah Mandarin di Jember. Toko-toko
> > Hoakiao ada yang diambil. Pada 1971, Sengkek mengambil keputusan
> > mengganti namanya. Dia menemui seorang guru Jawa, kenalannya di
> > Jember, untuk dicarikan nama Jawa. Ratusan Hoakiao lain juga mengganti
> > nama mereka.
> >
> > Sekolah Mandarin sudah ditutup ketika Liang kecil mulai sekolah.
> > Sengkek dan Ie Lan mengirim Liang ke sekolah Katholik. Ie Lan
> > sebenarnya kurang suka pada ajaran Katholik. Dia menganggap orang
> > Katholik "menyembah patung" –ini tuduhan khas orang Protestan terhadap
> > patung Bunda Maria. Tapi SD Katholik Maria Fatima termasuk sekolah
> > terbaik di Jember. Sengkek suka karena sekolah ini disiplin.
> >
> > Suatu pagi, kelasnya Liang pergi main sepak bola di alun-alun. Liang
> > ternyata tidak ada. "Aku lihat dia duduk di bawah pohon, baca buku,"
> > kata Ie Lan, mengenang masa kecil anak sulungnya. Salah seorang guru
> > Liang, tak lain tak bukan adalah Jacoba Maria Vink, orang
> > Indo-Belanda, yang kebetulan juga tetangga Sengkek. "Aku bangga ketika
> > ujian, murid-muridku dapat nilai 10 semua," kata Vink.
> >
> > Saya beruntung Liang mengizinkan saya membaca semua buku harian
> > miliknya. Liang rutin menulis kegiatannya, hampir setiap hari, sejak
> > berumur 12 tahun ketika dia melanjutkan di SMP Katholik Maria Fatima.
> > Buku harian ini menggambarkannya sebagai anak biasa, suka main basket
> > (Rabu-Jumat) dan badminton (Selasa-Kamis)
> > di gedung Jaya, Kusuma atau Sampurna. Dia mencatat judul-judul film
> > tontonannya: Special Magnum, Jalal Kawin Lagi, Savage Weekend,
> > Midnight Express, Killer Dogs, Inem Pelayan Sexy, Game of Death.
> > Buku-buku bacaannya mulai serius. Dia membaca biografi Soekarno,
> > Abraham Lincoln, Mahatma Gandhi, John Sung, Mochtar Lubis, Soe Hok
> > Gie.
> >
> > Setiap pagi dia sekolah, siang menjaga toko, sore main basket, malam
> > nonton bioskop. Dia terkesan ketika nonton final World Cup di televisi
> > hitam-putih antara kesebelasan Argentina dan Belanda di Buenos Aires
> > pada 1978. Ini siaran langsung pertama World Cup di Pulau Jawa.
> > Argentina, dengan jagoannya Mario Kempes, menang 3-1.
> >
> > Liang sering menyebut nama keempat adiknya: Jinjin, si kembar Tantan
> > dan Chenchen serta Bingbing. Mereka sering main bersama:
> > kejar-kejaran, petak umpet, debukan dan lain-lain. Debukan adalah
> > permainan tradisional anak-anak Jember. Intinya, sebuah bola kasti
> > dipakai untuk melempar pemain. Pemain yang kena lempar harus mendebuk
> > pemain lainnya. Kegemaran Liang adalah memelihara ikan, burung
> > berkicau dan merpati. Dia mencatat kapan beli uget-uget (makanan ikan)
> > atau kroto (makanan burung). Dia punya lebih dari dua lusin burung.
> >
> > Ketika umur 13 tahun, dia mencatat bahwa dia mulai les bahasa Inggris
> > setiap sore (Senin-Rabu-
> > pakai celana panjang pertama kali," tulisnya. Dia bangga. Maklum bila
> > sekolah, murid-murid masih pakai celana pendek. Namun suatu saat, dia
> > terlalu cepat menutup ritssluiting celana sehingga "burungnya"
> > terjepit. Sakitnya minta ampun. Butuh waktu sekian menit untuk
> > pelan-pelan membuka kembali ritssluiting itu. Untung "burung khusus"
> > itu tidak berdarah.
> >
> > Ada juga kisah sedih. Pada 1979, hubungan Ie Lan dan Sengkek makin
> > jelek. Sengkek terlibat affair dengan Winarti, seorang guru Jawa
> > Protestan, yang mengajar di sekolah milik Kie Tok Kauw Tjong Hwee. Ie
> > Lan memutuskan pergi sementara ke Lawang, dekat Malang, untuk
> > menenangkan diri dan belajar theologi di Institut Theologi Alkitab.
> >
> > Sengkek menikahi Winarti. Ie Lan tak berani menggugat cerai mengingat
> > lima anaknya. Ironisnya, Ie Lan dan Winarti hamil bersamaan. Ie Lan
> > melahirkan anak bungsunya, Ie-ie, pada 1979 dan Winarti melahirkan
> > Deasy pada 1980. Liang menemani mamanya ketika melahirkan adik bungsu.
> > Sengkek tak menengok bayinya. Winarti tinggal di villa mereka di
> > Rembangan, daerah peristirahatan dekat Jember. Liang dan adik-adiknya
> > tinggal di Jember.
> >
> > "Mama pergi dengan Bingbing. Saya menangis jika memikirkan ini. Untuk
> > melupakan, saya bermain debukan," catat Liang.
> >
> > Sengkek juga pernah memukul anak-anaknya. "Saya dipukul Papa sebab
> > salah beli cat tembok. Teguh ganti Rp 1,150," tulisnya. Teguh adalah
> > Teguh Sugianto, seorang pegawai Toko Sinar. Namun Liang juga memukul
> > adik-adiknya.
> >
> > Dalam buku hariannya, Liang sering mencatat keakrabannya dengan
> > beberapa karyawan papanya termasuk Teguh, seorang yatim piatu, lelaki
> > Hoakiao asal Pekalongan, kulitnya gelap sekali. Ada juga Sapek atau
> > Man Tuka, seorang tukang listrik Madura. Ada juga Mbek Wi, perempuan
> > Madura kelahiran Kalisat. Bek Wi, seorang janda, merawat Liang dan
> > adik-adiknya, dari bayi hingga dewasa. Man Tuka dan Bek Wi bekerja
> > sejak Liang belum lahir hingga pensiun. Mereka sering tak tega melihat
> > anak majikannya dipukul hanya karena salah kecil. Ada juga Pak Ti,
> > orang Jawa, pendiam, khusus menangani burung dan ayam peliharaan.
> > Liang mencatat bahwa Bek Wi selalu mengerokinya bila ia sakit. Liang
> > terbaca suka sekali pada Man Tuka dan Bek Wi.
> >
> > Pada 7 Maret 1981, Liang mengisi buku hariannya: "Waktu selesai ujian
> > teori seni suara, saya mau mengambil sepeda di tempat sepeda. Ada
> > sebuah kaleng bekas tempat susu (kental). Kaleng saya tendang, tanpa
> > saya ketahui bahwa ada Pak Moel (guru sejarah Aloysius Moeljoto)."
> >
> > "Saya kemudian dipanggil. Ditanya: Tahu aturan atau tidak?"
> >
> > "Saya jawab, 'Tahu.' Tiba-tiba saya ditempeleng dan hilanglah kacamata
> > saya hancur berkeping-keping."
> >
> > "Kemudian dia menarik saya masuk dalam kelas. Kemudian dia berkata,
> > "Pecah atau tidak naik kelas?"
> >
> > "Saya menangis, saya tentu menjawab pecah. Tapi pulangnya, hati saya
> > berontak." Moeljoto mengancam Liang tidak naik kelas bila melaporkan
> > kejadian itu.
> >
> > Dua hari kemudian, Suster Maria Anneti, kepala sekolah SMP Maria
> > Fatima, memanggil Liang ke ruangnya. Liang menulis, "Di kantor, suster
> > bertanya soal kemarin dulu. Dia mengatakan bahwa menurut Pak Mul,
> > anjing itu, ia hanya akan menyentuh kepala saya untuk menjorokkan
> > saya. Tapi bersamaan dengan itu saya bergerak."
> >
> > "Saya bantah dengan mengatakan bahwa kacamata saya jatuh kurang lebih
> > tiga meter dari tempat berdiri. Suster tetap mengatakan bahwa saya
> > tetap bersalah karena menendang kaleng."
> >
> > Inilah pertama kali Liang merasakan ketidakadilan. Seorang guru
> > memukul murid lalu berbohong. Ada lebih dari 40 murid melihat namun
> > tak ada satu saksi pun ditanyai. Suster Anneti membela Moeljoto. Liang
> > pun memutuskan membalas dengan caranya sendiri. Hari itu, dia
> > memecahkan kaca toilet sekolah dengan tangannya sendiri!
> >
> > Saya sedih membaca buku-buku harian Liang periode 1979-1982, sesudah
> > pernikahan kedua Sengkek. Dia jadi anak yang sering merasa tertekan.
> > Dipukul papanya sendiri, dipukul gurunya sendiri. Buku-bukunya penuh
> > dengan detail. Saya tergoda untuk menyimpulkan bahwa buku harian
> > inilah tempat latihan Liang berlatih menulis pertama kali. Dia memaki
> > Moeljoto dan Sengkek dengan kata-kata yang kasar. Namun dia juga
> > menulis puisi dalam bahasa Melayu maupun Inggris. Ketika pergi ke
> > Jember, saya hendak menemui Moeljoto, ternyata dia meninggal terkena
> > stroke Juni 2004.
> >
> > Pada 1982, ketika Liang lulus sekolah, Ie Lan mengambil keputusan
> > penting. Dia membujuk suaminya mengirim Liang ke sekolah Katholik di
> > Malang. Namanya, SMA Katholik Sint Albertus. Ie Lan menitipkan Liang
> > kepada teman dekatnya, sebuah keluarga Hoakiao asal Samarinda, yang
> > punya rumah di Malang dan Lawang.
> >
> >
> >
> > Sint Albertus sebuah sekolah Katholik milik Ordo Carmel. Ia didirikan
> > 1936 oleh pastor-pastor Belanda. Bangunannya jauh lebih besar, lebih
> > tua dan lebih elegan dari sekolah-sekolah di Jember. Waktu Liang
> > masuk, sekolah ini dipimpin E. Siswanto, seorang pastor Jawa, biasa
> > dipanggil "Romo Sis" –seorang legenda dalam dunia pendidikan. Sekolah
> > ini juga dikenal dengan nama SMA Dempo karena terletak di Jalan Dempo.
> > Alumni sekolah ini cukup beragam. Ada novelis Y.B. Mangunwijaya, tapi
> > juga Jenderal Rudini, mantan kepala staf Angkatan Darat Indonesia.
> >
> > Ie Lan mengantar Liang mondok di rumah keluarga Joseph Kumala: Jl.
> > Argopuro 25, Lawang. Liang sedih meninggalkan orang tua, adik-adik dan
> > teman-temannya di Jember. Ketika Ie Lan pulang ke Jember, Liang
> > mengantar ke pintu gerbang. Lalu Liang masuk ke kamar dan menangis
> > sendirian.
> >
> > Usia Liang baru 16 tahun. Dia belum pernah sekali pun tinggal jauh
> > dari keluarga. Dia merasa sedih meninggalkan mamanya, yang sering
> > bertengkar dengan papanya. Keluarga Kumala menyediakan sebuah kamar
> > kecil, 1.5x2 meter, mungkin bekas gudang. Kamar bersih. Ada ranjang
> > besi dan lemari pakaian mungil. Halaman rumah luas. Ada sekitar dua
> > lusin pohon buah. Tante Kumala suka menanam bunga.
> >
> > Namun perlahan-lahan Liang mulai menyukai sekolah baru ini. Jalan
> > Dempo sebuah kawasan peninggalan Belanda. Banyak pohon-pohon dan
> > jalan, yang aman untuk anak-anak sekolah berjalan setiap pagi dan
> > siang.
> >
> > Setiap pagi, sekitar pukul 6:00, Liang diantar mobil ke Malang. Mobil
> > Colt Mitsubishi itu juga dipakai untuk antar jemput anak sekolah.
> > Keluarga Kumala punya rumah di Malang. Liang lebih sering tinggal
> > sendirian di rumah Lawang.
> >
> > Beberapa bulan kemudian, satu keluarga missionaris dari Pusan, Korea,
> > Han Soong In, ikut tinggal di rumah besar ini. Han dosen Institut
> > Theologi Aletheia, tempat mamanya pernah kuliah, yang terletak hanya
> > lima rumah lagi dari rumah Kumala. Keluarga Han punya dua anak kecil.
> >
> > Aneh juga, Liang menumpang di rumah orang, lalu ada keluarga Korea
> > menempati rumah utama. Kikuk juga. Liang tak tahu banyak soal
> > pergaulan. Pengalaman itu membuat Liang belajar banyak. Bagaimana
> > harus membawa diri? Bagaimana berhadapan dengan orang yang latar
> > belakangnya berbeda? Bagaimana belajar toleran?
> >
> > Di Lawang, Ie Lan mengantar Liang ke Gereja Kristus Tuhan, nama baru
> > gereja Kie Tok Kauw Tjong Hwee, yang tentu saja, juga harus ganti
> > nama. Gereja ini hanya terletak empat rumah dari pondokannya. Liang
> > bahkan pernah jadi ketua perkumpulan pemuda gereja ini.
> >
> > Liang jatuh cinta pada perpustakaan sekolah. Liang mulai meminjam
> > buku-buku yang kelak ternyata mempengaruhi caranya memandang dunia.
> > Novel kesukaannya, karya Albert Camus, Pearl S. Buck dan Somerset
> > Maugham. Semua karya-karya klasik dibaca. Dia juga tertarik pada
> > Perang Vietnam. Foto-foto perang tersebut sangat mengesankannya. Namun
> > juga ada roman picisan. Dia menguasai bahasa Inggris, cukup guna
> > membaca novel-novel itu.
> >
> > Suatu hari, Romo Sis mengumumkan di loud speaker bahwa mulai bulan
> > lalu dipilih murid, yang paling banyak meminjam buku perpustakaan.
> > Murid tersebut akan diberi penghargaan. Dia menyebut nama Liang
> > sebagai peminjam buku terbanyak. Liang terkejut. Pengumuman itu sangat
> > mengesankan dirinya. Guru-guru, wali kelas dan teman-temannya memberi
> > ucapan selamat.
> >
> > Minat Liang sebenarnya pada ilmu-ilmu sosial dan bahasa. Namun awal
> > 1982, Liang hanya seorang remaja yang tak tahu banyak tentang luasnya
> > dunia. Liang kesepian dan tak banyak yang dikerjakan di luar sekolah
> > dan gereja. Liang hanya berpikir menurut kebanyakan temannya. Murid
> > pandai harus masuk ilmu alam.
> >
> > Maka Liang pun masuk jurusan ilmu alam. Ini keputusan yang tak tepat.
> > "Aku tidak menyesal masuk jurusan ilmu alam tapi terkadang aku pikir
> > bagaimana hari ini bila sejak sekolah menengah memilih ilmu sosial?"
> > katanya.
> >
> > Liang suka ikut kegiatan olah raga. Buku hariannya mencatat dia
> > bermain basket dan saat kelas dua jadi pengurus klub olah raga
> > sekolah. Tanggungjawab ini dipegangnya hingga lulus. Setiap minggu,
> > minimal dua sore, Liang berurusan dengan lapangan basket. Namun
> > kadang-kadang, diajak ikut acara aneh-aneh. Liang pernah ikut lomba
> > topeng, didandani macam make up kelompok musik Kiss. Pada Hari
> > Kartini, dia ikut lomba "Parade Bencong" –didandani jadi perempuan.
> > Teman-temannya tak sadar kalau "perempuan" di pentas itu adalah Liang.
> > Ingrid Dwiyani bercanda menyebutnya, "Anggun dan cantik."
> >
> > Liang juga suka menyanyi. Dia membentuk sebuah kelompok musik. Mereka
> > membawakan lagu-lagu Rod Steward, Kiss, Deep Purple, Queen dan
> > sebagainya. Andy Purwadi, seorang teman kelas, jagoan gitar. Ada juga
> > Tjandra Anggono jadi motor kelompok. Christian Johan main gitar dan
> > Agustinus Simply Satu main piano. Liang jadi penyanyinya.
> >
> > Liang mengatakan pada saya bahwa dia suka sekali dengan SMA Dempo.
> > Dari semua sekolah yang pernah diikutinya, dari taman kanak-kanak
> > Tjahaja di Jember pada 1970 hingga Universitas Harvard di Cambridge
> > pada 1999, Liang merasa periode Dempo adalah saat yang meninggalkan
> > banyak kenangan manis.
> >
> > "Tak ada satu pun guru yang menyakiti kami," katanya. Terkadang murid
> > dihukum karena tidak kerja pekerjaan rumah atau bolos. Hukumannya,
> > disuruh menulis banyak sekali sesudah jam sekolah selesai. Misalnya,
> > "Saya berjanji tidak akan bolos lagi." Romo Sis sendiri yang menghukum
> > murid. Romo Sis sering memanggil orang tua murid. Ini kebijakan baik
> > sehingga tak semua guru berhak memberikan hukuman.
> >
> > Romo Sis tak pernah memakai pemaksaan. Dia mengajak murid atau guru
> > bicara. Itupun orang sudah merasa nervous. Liang merasa jadi murid
> > yang agak diperhatikan karena keluarganya pecah. Ada guru bimbingan
> > psikologi yang sering jadi tempatnya konsultasi.
> >
> > Pelajaran yang paling disukai adalah Sejarah. Liang pernah menulis
> > makalah soal Soekarno, nasionalisme dan masa mudanya. Makalah itu
> > dipuji guru dan sempat dipamerkan sekolah. Liang tak suka Fisika,
> > Kimia dan Matematika. Tapi bahasa Inggris selalu bagus. Liang masih
> > mengambil les bahasa Jerman. Pelajaran mengarang atau menulis buat
> > majalah sekolah juga disukai. Tapi Liang belum banyak menulis. Lebih
> > sibuk dengan basket, menyanyi dan belajar.
> >
> > Liang belakangan diberi sepeda motor Suzuki oleh Sengkek. Liang lebih
> > leluasa bergerak. Beberapa kawan menganggapnya sebagai anak yang
> > bandel, pendiam tapi berani menentang arus. Liang pernah menaiki
> > sebuah tumpukan loud speaker, ketika menyanyi dalam sebuah konser
> > sekolah. Norak sekali. Tapi ya masa remaja. Masih mencari kepribadian.
> > Masih mencari perhatian orang. Dia pernah membuat puisi dan menamakan
> > rekan-rekan dan dirinya "sekerumun anjing liar."
> >
> > Kami adalah sekerumun anjing liar yang paling perkasa
> > Berpacu dari armagedon hingga kelam
> > Kami berlari tanpa menjadi letih
> > Kami berjalan tanpa menjadi lesuh
> >
> > Kami pahlawan tanpa nama
> > Bertaruh dengan kehampaan nyata hingga keping-keping kami yang terakhir
> > Menangis untuk kemenangan dan tertawa untuk sebutir kekalahan
> >
> > Pendek kata, Liang senang sekali dengan sekolah ini. Entah kenapa.
> > Mungkin Liang masih remaja. Cinta pertamanya terjadi di Lawang. Liang
> > jatuh cinta pada teman gereja, lebih muda dua tahun. Namanya Phoa Hwie
> > Eng. Liang memanggilnya Fe En.
> >
> > Tapi cinta monyet. Pegangan tangan saja tidak pernah. Liang sering
> > pergi ke rumah Fe En, cerita aneh-aneh dan membual. Liang tak punya
> > uang banyak. Keuangan keluarganya mulai sulit sesudah Sengkek menikah
> > lagi. Dia sering bertengkar, minat bekerja menurun. Kemana-mana Liang
> > naik kendaraan umum. Liang menderita sekali dengan asap rokok.
> > Sementara Fe En sudah mengendarai mobil sendiri.
> >
> > Ketika kelas dua, Liang pindah ke Malang, kost di sebuah rumah di
> > Jalan Widodaren. Hubungan itu pun merenggang. Fe En memutuskan
> > hubungan mereka. Fe En mengirim kartu Natal dan bilang, "Maafkan aku."
> > Liang merasakan sakit hati pertama kali. Saya agak geli membaca
> > catatan-catatannya, konyol, remaja jatuh cinta. "Aku nggak tahu dimana
> > dia sekarang. Pasti sudah lain," kata Liang, tersenyum.
> >
> > Maka Liang lebih sering bermain dengan teman-teman sekelas. Belajar
> > bersama, makan bakso, diskusi dan sebagainya. Setiap kali ada waktu
> > libur, Liang kembali ke Jember dan bermain-main dengan adik-adik dan
> > saudara-saudara jauh.
> >
> > Menariknya, Malang juga membuatnya mulai menjauh dari kehidupan gereja
> > --sebuah praktek yang belakangan jadi kebiasaannya, kurang suka
> > berdekatan dengan institusi agama apapun. "Aku lihat bagaimana satu
> > pendeta tua, gendut, main perempuan. Aku juga kenal isteri missionaris
> > yang culas. Aku kenal dekat dengan satu perempuan, ketika remaja,
> > diperkosa seorang pastor. Dan aku banyak mengetahui kyai, juga main
> > perempuan," katanya.
> >
> > Pada pertengahan 1984, Liang lulus dari Dempo dengan nilai lumayan.
> > Sengkek menanyainya ingin kuliah dimana? Liang menjawab, "Berklee
> > College of Music (Boston)." Dia ingin jadi pemusik. Sengkek keberatan.
> > Liang satu-satunya anak lelaki. Pergi ke Amerika juga butuh uang besar
> > sekali. Sengkek kini harus bertanggungjawab terhadap tujuh anak. Liang
> > memilih mendengarkan masukan papanya. Dia kuliah teknik elektro di
> > Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Dia pikir bila lulus, bisa
> > meneruskan bisnis keluarga.
> >
> > Di Salatiga, Liang berkenalan dengan dosen-dosen radikal macam Arief
> > Budiman, Ariel Heryanto, Broto Semedi, George Aditjondro, Liek
> > Wilardjo, Nico L. Kana, Supriyadi dan sebagainya. Liang mahasiswa
> > teknik tapi tidak tertarik pada matakuliah teknik. Liang ikut kelompok
> > diskusi Arief Budiman, seorang doktor dari Harvard, salah satu
> > cendekiawan beneran di Indonesia. Broto Semedi mengajar filsafat.
> > Aditjondro mengajar Neo Marxisme. Liang makin sering membaca. Apa yang
> > dipelajari di SMA Dempo, mendapat dorongan yang lebih besar lagi di
> > Satya Wacana. Di Salatiga, kesadaran politiknya makin luas.
> >
> > Dia sadar bahwa penindasan juga terjadi pada banyak golongan minoritas
> > lain. Baik di Timor Leste, Papua, Minahasa, Aceh, Lampung, Borneo dan
> > lainnya. Dia belajar analisis kelas. Orang miskin ditindas golongan
> > penguasa, tanpa peduli etnik atau agamanya. Dia belajar tentang
> > ketidakadilan antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin.
> > Satya Wacana memberi kesempatan kepada Liang untuk belajar, lepas dari
> > lingkaran primordial, membela yang benar.
> >
> > Liang mulai ikut upaya melawan penindasan negara Indonesia. Dia ikut
> > demonstrasi. Dia ikut pers mahasiswa. Liang merasakan pengalaman pahit
> > dengan aktivisme. Dia takut dikejar tentara. Intrik-intrik dalam
> > gerakan membuatnya lelah. Dia memakai banyak waktunya membantu
> > organisasi sais dokar, melawan rencana penggusuran dokar. Achmadi dan
> > Sukardi, dua sais dokar, banyak membuatnya belajar tentang kehidupan
> > orang kecil. Bila merasa lelah, dia pergi ke sebuah pesantren kecil,
> > pinggiran kota, istirahat selama dua atau tiga hari.
> >
> > Belakangan bahkan manajemen universitas ini memecat dosen-dosen yang
> > kritis, termasuk Arief Budiman. Liang tak merasa memiliki kampus Satya
> > Wacana lagi. Pada 1993, dia pindah ke Phnom Penh dan mulai bekerja
> > sebagai reporter. Karirnya sebagai travel writer pun dimulai. Dia
> > mulai malang melintang di Asia Tenggara.
> >
> >
> >
> > Yuri Slezkine mungkin bisa membantu menerangkan fenomena Hoakiao.
> > Slezkine seorang cendekiawan Rusia, dosen University California at
> > Berkeley di Amerika. Dia menulis buku The Jewish Century, tentang
> > etnik Yahudi, yang diganyang di Eropa sejak akhir abad XIX, lalu
> > melakukan migrasi besar-besaran ke negara lain.
> >
> > Analisisnya, bisa diterapkan pada minoritas lain di segala pelosok
> > dunia. "Sangat provokatif tetapi kena betul analisanya," kata Liem
> > Sioe Liong, seorang aktivis hak asasi manusia dari Tapol di London.
> > Liem seorang Hoakiao, warga negara Belanda. Dia menulis buku West
> > Papua: The Obliteration of a People bersama Carmel Budiardjo.
> >
> > Slezkine menulis bahwa orang Yahudi hidup dalam suatu masyarakat
> > dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu, dengan cara hidup tertentu pula,
> > yang menimbulkan sentimen dari masyarakat sekitarnya. Namun orang
> > Yahudi tak sendirian. Di dunia ini, di berbagai tempat dan waktu
> > berbeda, selalu ada suku atau etnik, yang secara eksklusif menyediakan
> > jasa untuk masyarakat di sekitarnya. Mereka termasuk Roma-Gypsi di
> > Eropa, orang Fuga di Ethiopia, Sheik Mohammadi di Afghanistan, etnik
> > Armenia, orang India di Afrika Timur, etnik Lebanon di Afrika Barat
> > dan Amerika Latin serta orang Hoakian di Asia Tenggara.
> >
> > Slezkine menyebut mereka, kaum "Mercurian," sebagai lawan kata dari
> > putra daerah, yang disebutnya, "Apollonian." Dalam kepercayaan Romawi,
> > Apollo adalah dewa pertanian dan peternakan. Masyarakat Apollonian
> > utamanya petani dan peternak, plus ksatria dan ulama, yang hidup
> > dengan cara mengatur akses para petani tadi ke tanah dan keselamatan
> > surgawi.
> >
> > Mercuri adalah dewa para pengembara, pedagang, penterjemah, tukang,
> > penunjuk jalan, pengobat dan semua pelintas batas. Kaum Mercurian
> > adalah kelompok etnik yang tak terlibat produksi makanan. Mereka hidup
> > dengan cara menyediakan jasa kepada kaum Apollonian.
> >
> > Zaman dulu, masyarakat Apollonian menganggap ada pekerjaan yang
> > berbahaya atau kotor, untuk dikerjakan warga mereka sendiri.
> > Contohnya, berhubungan dengan negeri asing atau suku lain; mengatur
> > uang; mengobati orang sakit; bekerja dengan api dalam penempaan logam
> > misalnya. Semua ini adalah kemahirannya kaum Mercurian. Para
> > pengembara kebanyakan mulai sebagai tukang. Kakek buyut Slezkine
> > adalah tukang besi Yahudi. Ong Kong Swie mengelola bengkel sepeda dan
> > becak.
> >
> > Kaum Mercurian sering pindah tempat. Mereka memahami pentingnya
> > menguasai bahasa-bahasa. Sengkek menguasai enam bahasa. Ketika rezim
> > Soeharto melarang bahasa Mandarin, Sengkek dan Ie Lan mendorong
> > anak-anaknya belajar Inggris. Kaum Mercurian secara alamiah terlibat
> > dalam kerja penterjemahan, tukang cerita, penunjuk jalan dan
> > perantara.
> >
> > Kaum Apollonian memandang Mercurian berbahaya, kotor dan asing. Kaum
> > lelakinya bukan ksatria, jarang ikut perang. Kaum perempuannya
> > dianggap cantik namun juga genit, menggoda. Makanan mereka berbeda.
> > Mereka hanya membeli, menjual dan kemungkinan mencuri, barang maupun
> > ide. Mereka dibenci dan puncak kebencian terhadap kaum Mercurian
> > adalah Holocaust –pembunuhan lebih dari enam juta orang Yahudi di
> > Jerman oleh rezim Adolf Hitler. Ini penjagalan manusia terbesar dalam
> > dunia modern. Ia juga mendorong Perang Dunia II.
> >
> > Holocaust bikin jutaan orang Yahudi lari dari Eropa. Slezkine menyebut
> > tiga tujuan: Palestina dimana mereka mendirikan negara Israel; Amerika
> > Serikat dimana ada ide kenegaraan liberal non-etnik; dan Uni Soviet
> > dimana ada komunisme –sebuah dunia tanpa kapitalisme dan nasionalisme.
> > Semua berhasil dengan variasi masing-masing. Kaum Yahudi lantas jadi
> > lambang dari penganyangan massal sekaligus kesuksesan.
> >
> > Slezkine menyebut mereka berhasil karena sudah lama sekali jadi kaum
> > urban, melek sastra, artikulatif dan secara pekerjaan fleksibel.
> > Mereka mementingkan akal sehat, keuletan, kebersihan, melintasi batas
> > serta memilih "memelihara" hubungan dengan orang daripada ternak.
> > Inilah tuntutan abad XX. Maka mereka berhasil mengatasi penganyangan
> > rezim macam Hitler.
> >
> > "Hari ini kita semua diharapkan jadi orang Mercurian," kata Yuri
> > Slezkine. Nilai-nilai Apollonian, tentu saja, sangat perlu
> > dipertahankan seraya mempelajari bahasa internasional, berhubungan
> > dengan bangsa lain, mempertahankan hutan dan sebagainya. Saya kira,
> > barisan Mercurian ini bertambah di Indonesia dengan orang Madura di
> > Kalimantan, orang Jawa di Sumatra, orang Bugis, Buton, Makassar di
> > Maluku atau orang Rote di Pulau Timor.
> >
> > Liang mewakili stereotype kaum Mercurian di Indonesia. Liang
> > sebenarnya tak beda dengan kebanyakan Hoakiao. Kalau dia sedikit beda,
> > ini hanya karena dia seorang penulis, namun sebenarnya banyak Hoakiao
> > jadi penulis. Dia juga "berkelahi" –sebuah kegiatan khas Apollonian--
> > ketika memutuskan membela kelompok-kelompok tertindas, namun dia
> > melawan dengan penanya, bukan ototnya.
> >
> > Dari Ong Kong Swie, lalu Sengkek, lalu Liang, keluarga ini mengalami
> > perubahan cukup jauh secara kultural. Swie seorang Hoakiao totok,
> > namun Sengkek bisa bahasa Jawa, Madura, Melayu. Liang secara kultural
> > lebih global. Tek Jong memutuskan masuk Kristen. Ie Lan bahkan Kristen
> > keras. Sengkek memutuskan mengganti namanya jadi Jawa.
> >
> > Namun perubahan itu, dipaksa maupun tidak, tak membuat mereka tak
> > dianggap sebagai "non-pribumi." Mereka tetap tinggal di Jember,
> > turun-temurun, namun akan tetap dianggap "asing." Saya kira rasa
> > curiga terhadap orang Hoakiao takkan mudah hilang di Pulau Jawa dan
> > Sumatra. Kecurigaan serupa juga takkan cepat pergi dari Aceh terhadap
> > orang Jawa, orang Madura di Kalimantan atau dari Papua terhadap
> > "pendatang rambut lurus." Setidaknya, negara ini bisa belajar dari
> > Yuri Slezkine bahwa menciptakan diskriminasi formal justru membuatnya
> > lebih buruk. Diskriminasi senantiasa ada dalam masyarakat. Namun
> > diskriminasi oleh negara membahayakan keberadaan negara itu sendiri.
> >
> > Kini Ie Lan sudah pisah dari suaminya dan hidup di Jogjakarta bersama
> > tiga anak perempuannya. Sengkek hidup dengan Winarti di Jember. Mereka
> > punya anak satu lagi. Sengkek membiayai sekolah anak-anaknya hingga
> > selesai kuliah. Dua orang adik kandung Liang kini tinggal di Jakarta,
> > tiga orang di Jogjakarta.
> >
> > Saya tanya kepada Sengkek, siapa guru Jawa, yang memberikan nama Jawa
> > kepadanya. "Pak Dasar," katanya. Guru itu mengatakan, 'Engkone koen
> > Hartono, koen Harsono ae.'" Artinya, "Kakakmu (Seng Hin) bernama
> > Hartono, kamu Harsono saja." Sengkek juga menjawakan nama Liang. Ie
> > Lan usul nama "Harsono" dijadikan nama marga. Ini sebuah kebiasaan
> > orang Tionghoa. Suku pertama nama marga, suku kedua nama pangkat. Maka
> > anak-anak Sengkek pun diberi nama belakang Harsono semua. Liang diberi
> > nama "Andreas Harsono." Ong Tjie Liang adalah Andreas Harsono. Mereka
> > adalah saya.
> >
> >
> >
> > 2009/12/22 donnie damana <donnie.damana@
> >:
> >> Kalopun yang bikin orang china.. mereka pasti nyesel..
> >> Gak dicari ilmunya malah dimintai sumbangan mulu.. :))
> >
> > -
> > salam,
> > Ari
> >
> >
> > ------------
> >
> > ============
> > Milis Wanita Muslimah
> > Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
> > Twitter: http://twitter.
> > Situs Web: http://www.wanita-
> > ARSIP DISKUSI : http://groups.
> > Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@
> > Berhenti mailto:wanita-muslimah-
> > Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@
> > Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@
> >
> > Milis ini tidak menerima attachment.Yahoo! Groups Links
> >
> >
> >
> >
>
>
[Non-text portions of this message have been removed]
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment