Minggu, 20 Desember 2009
PERJALANAN KE BOVEN DIGUL
CERPEN 032607
CERITA IBUKU NYI DARINI RAMIDJO (1)
Oleh : Tri Ramidjo
Sudah
sebulan lebih sejak rumahku kebanjiran dan kesehatanku sangat menurun
aku menghindari duduk di depan komputer ini. Baru melihat huruf-huruf
sekilas mataku berkunang-kunang dan pandangan menjadi kabur. Tekanan
darahku naik turun tak menentu. Aku merasa malu, bahwa aku sebagai anak
pak Kiyahi Dardiri Ramidjo (Kiyahi Anom) dan ibu Nyi Darini Ramidjo
kalah oleh penyakit stroke. Padahal dibandingkan dengan usia ibuku
ketika meninggal masih selisih 8 tahun. Ibuku lahir 21 Desember 1901
dan meninggal 23 Mei 1989. Dan 3 hari sebelum meninggal pun ibuku masih
bisa mencuci pakaiannya sendiri dan masih bisa membikin telur-ceplok.
Mengingat kegigihan ibuku ini aku bangun dan mencoba mengetik di
komputer ini. Aku hanya bisa mengetik dengan jari tengah tangan kiri
karena akibat stroke tangan kananku sampai hari ini belum berfungsi.
Syukur alhamdulillah tangan kiriku masih bisa bergerak normal.
Apa yang akan kuketik ya?
Sekilas
aku terkenang cerita ibuku dua minggu sebelum ibuku meninggal. Kami
makan bersama waktu itu dan setelah selesai makan malam ibu mengatakan,
bahwa ibuku bermimpi ayahku datang dan menggendong ibuku dan dibawa
pergi, katanya.
Kemudian ibuku bercerita hari-hari keberangkatannya
ke Boven Digul. Sayang aku tidak sempat merekamnya tapi terekam dalam
ingatanku yang tak pernah terlupakan sampai hari ini.
Begini ceritanya.
Malam-malam
dinihari sekitar jam setengah dua, rumah ibuku di Candi Semarang,
diketuk oleh reserse polisi Ahmad dan Sanusi. "Zus, Zus, cepat bangun
sekarang juga kita berangkat." Kata reserse-reserse itu.,
"Ya, sebentar, saya berpakaian dan bersiap-siap dulu" jawab ibuku.
"Cepat zus, kapalnya akan segera berangkat. Mas Ramidjo dan teman-temannya sudah naik di kapal." Kata reserse Sanusi.
Ibuku
dan ayahku adalah saudara sepupu. Ibu ayahku adalah adik kandung ayah
ibuku. Ayah ibuku namanya Kiyahi Hasan Wirogo dan ibu ayahku namanya
Nyi Rugiyah mereka adalah putra putri dari Kiyahi Hasan Prawiro yang
semasa hidupnya adalah pengikut setia Pangeran Diponegoro dalam
berperang melawan kompeni Belanda. Itulah sebabnya desa Grabag
Tunggulredjo disebut desa Grabag Mutihan, daerah yang dibebaskan dari
kewajiban membayar upeti.
Ibuku segera bersiap dan sambil
menggendong aku yang masih bayi merah membetulkan kainnya. Abangku
Darsono dituntun oleh reserse Sanusi tetapi karena terkantuk-kantuk
lalu digendong oleh reserse Sanusi sedang kakakku Darsini digendong
oleh reserse Ahmad. Ibuku berjalan cepat waktu itu. Sampai di rumah
tetangga yaitu rumah oom Djaetun ibuku mau mampir untuk mengambil
barang-barang keperluan termasuk pakaian yang dititipkan tapi
reserse-reserse itu mengatakan tidak ada waktu lagi dan nanti takut
ketinggalan kapal. Biarlah barang-barang itu akan dikirimkan kemudian.
Perjalanan dari Candi ke kantor polisi itu sangat jauh kata ibuku. Makan waktu kira-kira hampir dua jam.
"Dua
jam, menggendong aku yang masih bayi umur setahun? Sungguh berdosa aku
ini melelahkan ibuku, padahal kalau aku tidak lahir ke dunia ini tentu
aku tidak menambah beban penderitaan ibuku. Ya, memang kalau kita
berfikir dari sebab dan akibat mana ada persoalan yang selesai bukan.
Baiklah aku akan berfikir yang wajar saja. Alangkah baiknya kalau aku
ini tidak mengerti apa-apa dan alangkah baiknya kalau di dunia ini
tidak ada apa-apa atau tidak usah ada dunia. Tentu tidak ada suka, duka
dan derita. Hai Tri, kau sedang menulis kisah ibumu, jangan ngelantur
melamun sendiri. Umurmu sudah 81 tahun tak seharusnya melamun seperti
itu. Sudah dua bulan sejak kebanjiran kau tidak buka-buka komputer dan
menulis 'kan? Tak usah fikirkan tekanan darahmu yang tiap hari naik
turun tak menentu. Teruskan saja nulis sambil menunggu giliran
dipanggil pulang. Percayalah kalau sudah sampai giliranmu, pasti kau
dapat panggilan, seperti antri minum pil di Tanah Merah itu lho, tunggu
giliran panggilan oom Alexander Jacob Patty."
Baik aku harus teruskan tulisanku ini.
Akhirnya
ibuku sampai di kantor polisi Jomblang. Keadaan kantor itu masih sepi.
Ada seorang ibu dengan dua orang anaknya. Ibu itu ibu Mastur namanya
dan datang dari Ungaran.
Abangku Darsono yang digendong reserse
Polisi Sanusi rupanya terus tidur nyenyak. Rupanya reserse yang gendut
itu tubuhnya cukup empuk seperti kasur sehingga abangku bisa tidur
pulas dan bahkan mengompoli resersi polisi gendut Sanusi itu. Hahaha
ibuku tertawa.
Karena ibuku tidak membawa apa-apa dan tidak membawa
pengganti pakaian maka ibuku minta tolong kepada ibu Mastur yang telah
lebih dulu datang untuk meminjamkan pakaian anaknya untuk mengganti
pakaian abangku yamg ngompol itu.
Setelah agak lama menunggu
berdatanganlah ibu-ibu dari Suburan dan tempat2 lain sekitar Semarang.
Kemudian datang 2 buah mobil polisi bercat hitam. Ibu-ibu dan anak2nya
sekitar 50 orang lebih diperintahkan naik ke mobil hitam itu dan
kemudian pintunya ditutup rapat. Tak bisa melihat apa-apa ke luar.
Mobil dijalankan dan ketika mobil berhenti dan pintu dibuka sudah
sampai di pelabuhan Semarang. Ibu-ibu yang naik mobil itu semuanya
turun dan langsung naik ke motorboat yang sudah menunggu di situ.
Keadaan
sekitar masih gelap dan motorboat berlayar membelah laut yang tenang.
Hanya kabut putih yang terlihat. Kemudian terlihatlah benda seperti
gunung kecil di tengah laut dan motorboat yang dinaiki itu menuju ke
arah gunung itu. Setelah dekat barulah terlihat jelas, bahwa itu adalah
kapal perang KRUISER JAVA.
Menurut ibuku pemerintah Hindia Belanda
waktu itu hanya mempunyai 2 kapal perang yaitu KRUISER JAVA dan KRUISER
SUMATRA. Lainnya adalah kapal-kapal perang kecil seperti SEVEN
PROVINCIEN, VAN HALEN dan beberapa kapal kecil lainnya. Juga ada
beberapa kapal putih, yang dimaksud dengan kapal putih ini ialah kapal
setengah marinir seperti FOLMAHOUT, ALBATROS. RHUMPHIUS dan entah apa
lagi. Kapal2 putih inilah yang setiap bulan (sebulan sekali) bergantian
datang ke Tanah Merah Digul mengangkut bahan pangan.
Setelah
motorboat merapat ke kapal perang itu tangga diturunkan dan penumpang
motorboat yang terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak dinaikkan ke geladak
Kruiser Java. Dapat dibayangkan betapa sulitnya ibu2 yang berkain
panjang itu menaiki tangga kapal. Tetapi marinir2 Belanda totok itu
dengan tangkas menggendong ibu-ibu dan anak2 menaiki tangga dan naik ke
geladak kapal. Marini-marinir itu berlaku sangat baik dan ramah
walaupun tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Kemudian
ibu2 dan anak2 ini ditempatkan di ruangan yang cukup besar berlantai
marmer. Dan tak lama kemudian dihidangkan makanan dan minuman air susu
coklat. Makanan yang dihidangkan cukup baik yaitu makanan yang
diperuntukkan para marinir dan tentu saja jauh berbeda dengan makankan
tapol di RTC-SALEMBA atau Pulau Buru.
Kapal pun mulai berlayar dan itu terjadi pada tanggal 12 Maret 1927.
Dalam
pelayaran itu ibuku dan teman2nya tidak ada yang mabuk laut karena
kapal yang dinaiki cukup besar dan tidak terombang ambing gelombong.
Di ruangan kapal itu sangat panas mungkin karena ruangan itu berada di dekat kamar mesin.
Bagaimana
ibuku tidur? Tentu saja tidur bergeletakan di lantai kapal yang bersih.
Dan tentu saja dengan leluasa pergi ke kamar kecil (wc) untuk membuang
hajat tidak seperti kapal yang dinaiki tapol waktu dikirim ke pulau
Buru.
Ya, kata ibuku pelayanan di kapal perang itu jauh lebih baik kalau dibandingkan dengan kapal penumpang dek di KPM.
Ibuku
diwaktu kecil sering berlayar mengikuti kakekku dan bahkan pernah ke
Pulau Lombok ke kota Praya. Kakekku ayah ibuku (Kiyahi Hasan Wirogo)
dalam melakukan siar agama pergi kemana-mana dan yang terakhir ke
daerah Lampung-Sumatra dan hilang lenyap tidak diketemukan jasadnya di
Sungai Mesuji atau Sungai Tulang Bawang, Lampung. Konon ceritanya
kakekku yang sangat mahir berenang itu menyeberangi sungai Tulang
Bawang dengan berenang dan terbawa arus sungai yang deras.
Dalam
pelayaran itu ibu-ibu itu mendapat sabun cuci dan sabun mandi tetapi
bagaimana mandi dengan air di keran-keran kapal yang airnya air laut
dan asin itu? Untuk ibu2 itu setiap orang hanya mendapat air tawar satu
wastafel. Sebenarnya untuk marinir yang orang Belanda itu, Satu
wastafel sudah cukup untuk membersihkan diri, tapi bagi ibu2 yang belum
pernah berlayar yang tidak biasa menghemat pemakaian air tentu saja
terasa sangat jauh dari mencukupi, apalagi untuk mencuci. Dengan air
laut yang asin tentu saja memakai sabun yang sangat baik pun tidak akan
berbusa.
Ibuku dengan memakai air tawar seperlunya dan kemudian
dibilas dengar air keran yang dari air laut bisa mencuci bersih dan
sabunnya bisa bekerja aktif. Pengetahuan sederhana ini diajarkan kepada
teman2 ibu-ibu lainnya.
Dalam pelayaran itu ibuku tidak membawa
peralatan sembahyang tetapi ibuku tetap melakukan sembahyang menurut
apa adanya apalagi di ruangan itu tidak ada kaum pria kecuali ibu-ibu
dan anak-anak.
Ya, ibuku yang sejak kecil hidup di pondok pesantren
itu sangat taat menunaikan ibadahnya sehingga waktu yang sedikit saja
terluang pasti digunakannya untuk berzikir. Ibuku memang orang yang
sangat sabar, tidak pernah marah dan selalu bersikap halus dan ramah
kepada siapa saja. Aku merasakan sejak kecil hingga dewasa belum pernah
aku dimarahi atau dibentak oleh ibuku ataupun ayahku. Ayahku dan ibuku
benar2 orang yang memegang teguh ajaran alqur'an bukan hanya dalam
kata2 tetapi juga dalam perbuatannya sehari-hari. Aku sungguh iri dan
ingin menirunya tetapi aku yang pemarah ini masih juga belum berhasil
mengendalikan diri seperti ibu dan ayahku. Terkadang aku malu sendiri,
mengapa sebagai anaknya bapak dan ibu Ramidjo tak bisa meniru mereka.
Pada
tanggal 18 Maret 1927 yaitu enam hari setelah berlayar, KRUISER JAVA
melego jangkarnya untuk berlabuh di tengah laut. Rupanya kapal perang
itu sudah sampai di laut Banda. Ibu-ibu diperintahkan untuk berpakaian
rapi dan kemudian naik ke geladak kapal. Rupanya di geladak telah
menunggu para suami ibu-ibu itu. Sungguh suatu pertemuan keluarga yang
penuh gembira dan mengharukan. Abangku Darsono dan kakakku Darsini
segera menghamnbur memeluk ayahku dan minta gendong. Dan aku sendiri?
Tentu saja aku belum bisa apa-apa dan hanya didekap erat ibuku yang
mulutnya komat-kamit memuji Allah yang maha besar dengan ucapan
Subhannallah, alhamdulillah, walaillahaillallahu
henti2nya. Ya, di dalam suka dan duka ibuku memang tak pernah lupa
kepada Allah dan ketika ibuku menghembuskan nafasnya yang terakhir pun
masih memegang erat tasbih yang selalu berada di tangannya. Ya, kukira
jarang sekali mendapatkan seorang muslim seperti ibuku yang tak pernah
mengeluh, berbohong dan marah dan berserah dirinya kepada Allah
benar-benar dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Yang sangat
mengharukan menurut cerita ibuku adalah pertemuan oom Ali yang juga
dari Semarang dengan isterinya. Oom Ali dan isterinya ini adalah
pemuda-pemudi pengantin baru yang belum genap seminggu menikah.
Kepada
mereka yang sudah berada di geladak kapal itu dibagikan kapas. Untuk
apa kapas itu. O, rupanya untuk penyumbat telinga sebab marinir2 itu
akan mengadakan latihan tembak.
Sasaran tembak yang menyerupai
perahu layar diturunkan dari kapal perang dan kemudian ditarik dengan
motorboat pada jarak yang sangat jauh. Motorboat kembali ke kapal
perang dan sasaran tembak yang berada sangat jauh itu layarnya di
tembak dengan meriam. Latihan tembak itu berlangsung dari jam 4 sore
sampai jam 8 malam dan ketika hari mulai gelap sasaran tembak itu
disorot dengan cahya senter jarak jauh yang sangat terang.
Astagfirullah
gumam ibuku berulang-ulang, mengapa kafir-kafir ini melakukan pekerjaan
yang merugi. Bukankah daripada untuk membeli peluru meriam lebih baik
uangnya dibagikan kepada fakir miskin atau untuk membangun fabrik2
supaya semua orang bisa bekerja dan mendapat nafkah untuk hidupnya?
Dasar kafir tidak tahu arti hidup dan kerjanya hanya merusak. Ibuku
menitikkan airmata.
"Bu Ramidjo, mengapa menangis? Bukankah tontonan ini sangat mengasyikkan?" Tanya seorang ibu di sebelah ibuku.
"Maaf,
saya sedih mengapa kafir-kafir itu menghambur2kan uang. Bukankankah
rakyat kita banyak yang menderita? Bukankah daripada untuk beli peluru
meriam uangnya lebih baik untuk mengenyangkan perut rakyat? Kita memang
harus mengusir kafir2 itu dari bumi tanah air kita. Saya tidak suka
meriam yang gunanya hanya untuk membunuh dan merusak. Buat apa
bunuh-membunuh sesama umat manusia. Astagfirullah…….", jawab ibuku.
"Sabar zus, kita ini jadi orang buangan dan pengalaman apa lagi yang kita temui nanti." Kata ibu itu.
Setelah
jam 8 malam latihan tembak itu berhenti dan ibu-ibu Dan anak2 kembali
ke ruangan semula. Para bapak2 juga kembali ke tempatnya semula, jadi
mereka terpisah lagi dengan keluarganya.
Latihan perang2an itu berlangsung 2 malam yaitu tanggal 18 dan 19 Maret 1927 dan kemudian meneruskan pelayarannya.
Pada tanggal 20 Maret 1927 jam 8 pagi Kruiser Java berhenti dan berlabuh menurunkan jangkarnya di dekat pulau Friderik Hendrik.
Dan
pada jam 9 pagi luitenant Dreyher yang datang dengan kapal putih
Fomalhout naik ke Kruiser Java untuk menerima orang2 buangan yang
kemudian jam 2 siang dipindahkan ke kapal Fomalhout meneruskan
pelayaran ke Tanah Merah Boven Digul.
Tiga hari tiga malam dengan
menaiki kapal Fomalhout berlayar di sungai yang lebar dan dalam sungai
Digul dan akhirnya pada tanggal 23 Maret 1927 jam 10 pagi kapal
berlabuh di tepian sebelah timur Sungai Digul di kota kecil yang belum
menjadi kota tapi masih hutan belantara, Tanah Merah.
Setelah
sampai di Tanah Merah rombongan interniran itu naik ke darat tepian
sungai Digul sebelah timur. Di tempat itu sudah berdiri 12 atau 13
barak. Barak2 itu sudah ada yang berisi rombongn interniran pertama
yaitu rombongan pak Ali Archam, Budi Soetjitro dkk.
Keluarga ibuku
dan teman2nya ditempatkan di barak nomor 5. Barak itu beratap rumbia
dan dindingnya perlak militer berwarna hijau yang hanya digantungkan
saja dan berkibar2 kalau ditiup angin. Siang hari tetapi nyamuk dan
agas banyak sekali dan nyamuk2 ini langsung menyambut megucapkan terima
kasih dan selamat datang dengan gigitannya yang cukup gatal.
Kepada
setiap orang dibagikan kelambu militer. Kelambu2 itu terbuat dari kain
paris ti[pis tetapi cukup kuat tetapi kelambu itu kelambu kecil untuk
satu orang. Keluarga ibuku mendapat empat kelambu dan oleh ibuku
kelambu itu didedel dan dijahit menjadi satu kelambu besar sehingga
kami sekeluarga bisa tidur dalam satu kelambu.
Bagaimana lantai
barak itu? Tentu saja lantainya tanah yang masih lembab karena tempat
itu adalah daerah rawa. Kayu-kayu gelundungan yang besarnya lebih besar
dari pohon kelapa, itulah yang dijadikan pangkeng tempat tidur.
Jadi
para interniran itu tidur di atas pangkeng kayu2 gelundungan. Yang
membawa tikar atau kasur bisa menggelarnya di atas pangkeng kayu2
gelundungan itu, tetapi keluarga ibuku yang tidak sempat membawa apa2
terpaksa meminjam kain panjang kepada teman2 untuk alas tidur. Dapat
dibayangkan betapa sakitnya punggung yang tidur di atas kayu
gelundungan itu.
Barak itu sangat panjang kira2 50 meter dan para
keluarga buangan itu membagi kaveling pangkeng tempat tidur kayu
gelundungan itu dengan menggantungkan kain panjang atau kain apa saja
sebagai batas tempat tidur keluarga masing2. Karena tidak ada dinding
dan hanya berbataskan kain panjang maka anak2 bisa saja bludusan ke
kaveling keluarga orang lain.
Di bawah pangkeng kayu2 gelundungan
itu tentu saja penuh dengan serangngga macam2. Ada jengkerik, kelabang,
kalajengking dan mungkin juga ular dan ular yang sangat berbisa di
Tanah Merah adalah ular kaki empat yang mirip kadal warnanya hitam
kecoklat2an dan kepalanya berbentuk segitiga.
Pernah tetangga
kaveling ibuku yang anaknya namanya Pandji di pagi hari ketika bangun
rambutnya tidak karuan kepalanya menjadi setengah gundul karena di
malam hari rambutnya dikerikiti jangkerik.
Para interniran (orang
buangan) sebulan lamanya membersihkan sekeliling barak, membakari
pohon2 dan ranting2 bekas tebangan dan bagi interniran yang tidak
terbiasa bekerja kasar tentu saja merupakan siksaan yang luar biasa.
Di
suatu hari di pagi hari setelah bangun kakakku Darsini bermain dengan
teman2nya di halaman barak. Ada unggukan abu bekas membakar dahan dan
ranting2 pohon. Kakakku yang baru berumur 4 tahun itu bermain lari2an
dan menginjak gundukan abu yang rupanya dibawah abu yang putih itu bara
apinya masih menyala. Kedua kaki kakakku Darsini terbakar bara menyala.
Untunglah ayahku sangat telaten. Setiap hari kaki kakakku yang dua2nya
terbakar itu dijilati ayahku dan diobati dengan minyak bulus (kura2)
dan untuk memisahkan jari2 kaki yang lonyoh itu dibelek dengan silet
setiap hari. Aku tak dapat membayangkan betapa sakitnya dan betapa
pedihnya perasaan hati ayah ibuku mengalami derita itu. Untunglah ayah
dan ibuku orang yang sejak kecil belajar di pesantren dan jiwanya
sangat teguh dan tidak pernah lupa memuji kebesaran Allah.
Bagaimana dengan makanan orang buangan?
Apakah mereka terus menerus tinggal di barak?
Bagaimana menjadikan Tanah Merah perkampumgan yang sangat teratur?
Setiap orang mendapat onderstand f.12,60 s/d tahun 1929?
Bagaimana pengaruh krisis ekonomi (malaise) di tahun-tahun itu?
Masih banyak lagi cerita2 ibuku yang perlu kuceritakan kembali dan kutulis.
Sudah
banyak buku2 tentang Digul tapi juga ada yang ceritanya berlebihan,
menggambarkan seakan-akan orang buangan ditempatkan di kelder2 dan kamp
tahanan berpagar kawat berduri dan lain2 yang sangat menyeramkan.
Tidak.
Digul tidak seperti itu. Tidak ada pagar kawat berduri. Tidak ada
penjagaan ketat seperti tahanan orba pulau Buru. Tidak ada penjara.
Belanda tidak sekejam Suharto dan masih punya rasa peri kemanusiaan.
Aku yang sejak bayi sampai umur 14 tahun tinggal di Tanah Merah Digul masih bisa bercerita apa adanya menurut kacamata anak2.
Cerita
ibuku akan kulanjutkan kalau kesehatanku membaik. Aku akan tulis apa
yang masih kuingat walaupun orang sudah tidak mau lagi mendengar
tentang Digul sebab Digul menurut orba memang tidak ada. Menurut orba
kemerdekaan negeri ini datang bukan karena perjuangan. Menurut orba
Suharto tidak diperjuangkan pun kemerdekaan itu akan datang, Apa benar
begitu, ya?
Selamat tidur dan terimakasih kepada teman yang mau buang waktu membaca tulisan ini.
Sekian dulu.
Tangerang, Senin Pahing 26 Maret 2007.
Sumber: http://triramidjo.
Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.
http://sastrapembeb
[Non-text portions of this message have been removed]
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment