Advertising

Monday, 28 December 2009

[wanita-muslimah] Kreasi Puisi Sekalian Jawaban Untuk Goenawan Mohamad oleh A.Kohar Ibrahim

 



Puisi Sekalian Jawaban Untuk Goenawan Mohamad (STM 12)

 Today at 16:17

Kreasi Puisi Sekalian Jawaban Untuk Goenawan Mohamad

Sekitar Aktivitas Kreativitas Tulis Menulis Di Luar Garis (12)

Oleh: A.Kohar Ibrahim

*

Jangan percaya yang tak yakin

jangan mengerjakan yang tak mungkin

walau tenggorokan kering dahaga

pantang menawar haus dengan racun

(Sobron Aidit)

*

Kata orang Aceh:

Pencuri manouk lam tutupan

Pencuri intan ateuh kurusi

(Z. Afif)

*

Puisi & Esai Kreasi Nomor Tanjidor

SERING ataukah jarang diulang ucap namun arti pentingnya takkan pernah
lenyap -- demikianlah kata pepatah Perancis: La parole s'envole l'écrit
reste. Omongan mabur tulisan tinggal tetap. Apa dan bagaimanapun cara,
bentuk maupun isinya. Begitulah pertanda sekaligus bukti pembuktiannya
dengan adanya hasil upaya sederhana kami di bidang penerbitan berupa
majalah-majalah seperti Kreasi, Arena dan Mimbar sekalian yang berupa
brosur dan buku-buku itu. Yang keberadaannya merupakan bukti nyata yang
bisa disimak-lacak oleh para peminat sejarah sastra Indonesia umumnya,
sastra eksilan khususnya. Yang keduanya erat saling kaitannya sebagai
suatu mata-rantai atau merupakan bagian tak terpisahkan dari lembaran
sejarah yang utuh, bukan yang gombal atau tercincang dicincang arogansi
dan kecurangan kekuasaan zalim serta kaum yang bermentalitas serupa.

Iya. Memang iya, saya tegas-jelaskan ulang, bahwasanya, hasil
penerbitan sederhana dan terbatas kami macam majalah Kreasi itu,
hanyalah sekedar pertanda saja. Tanda akan eksistensi kami.
Sederet-barisan para penulis eksilan. Bahwa sekalipun dalam keadaan
yang paling sulit kami terus berkreasi dan berupaya menanggapi dengan
berbagai cara dan sekuat bisa serangan yang dahsyat dari mereka yang
sedang berada di atas angin di bidang kebudayaan -- mereka yang turut
menegakkan kekuasaan tirani atau yang berada di kantong kekuasaan sang
penguasa Orde Baru.

Yang dimaksudkan berupaya dengan berbagai cara itu, misalnya, antara
lain dengan cara lisan pada kesempatan silaturahmi, jumpa sastra, malam
kesenian, di samping yang dengan cara tulisan. Seperti upaya penerbitan
itulah. Dengan senantiasa menyedari, bahwasanya, upaya itu sangat tak
sebanding dengan upaya pihak penguasa atau mereka yang berada di
kantong kekuasaan dengan segala sarana dan fasilitasnya baik skala
lokal maupun nasional. Dengan segala forum dan dengan segala sarana
media massa yang mereka monopoli atau hegemoni.

Walau bagaimanapun juga, tak urung gema eksistensi kami dalam
batas-batas tertentu bisa direkam dan terabadikan. Seperti, misalnya,
ketika ada serangan-serangan yang bersifat memojokkan kami dari sosok
seniman atau penulis macam Bagong, pun yang semacam Goenawan Mohamad
dan yang lainnya lagi. Maka tulisan-tulisan berjudul "Bukan Kejahatan
Dan Tidaklah Nista Menjadi Anggota Lekra" oleh Magusig O Bungai, dan
tentang "Sastra dan Politik" oleh I. Sartika adalah sekedar contoh
dalam menanggapi opini dari mereka yang beseberangan dengan kami itu.
Waktu itu.

Maka dari itu, dalam rangka memberikan sajian bahan pertimbangan,
kiranya ada baiknya pokok-pokok opini mereka saya sajikan kembali.
Sajian yang dilengkapi secara selang-seling beberapa puisi berupa
sajak-sajak para penyair yang termuat dalam majalah Kreasi nomor
Tanjidor. Dengan urutan pertama: I. Sartika Menjawab Goenawan Mohamad.

*

Sajak Sajak Sobron Aidit, Asahan Aidit, Z. Afif, HR Bandaharo

Sajak Sajak Sobron Aidit:

Aku ingin cuek, masa'bodo

manusia hari ini

berlupa kemaren dan esok

ingat kemaren? Rindu kekalahan!

ingat esok? Membangun mimpi!

27-XII-87

Jangan percaya yang tak yakin

jangan mengerjakan yang tak mungkin

walau tenggorokan kering dahaga

pantang menawar haus dengan racun

27-XII-87

Aku tak suka Desember

karena bagai petir menggelegar

terkadang sepi, angin mati

hingga terdengar gesekan bulu-bulu tangan

lalu menggoncang penaka lautan garang

langit dan laut

berebut tinggi dan dalam

Aku tak suka Desember

lalu kenapa mau kau memburu selalu?

cepatlah berlalu

hingga terusir ke tahun baru

28-XII-87

00,25

Beban-beban diri sendiri

dan orang lain

dipikul di bahu dan dijinjing

berdatangan bagai terbangan peluru

terkadang aku rebah

dan berdarah

luka

tapi aku tetap liat

ke sana aku pergi

pergi mencari kemampuan

merebut dan menyergap keperkasaan

Paris, 25-XII-87

jam 11,50

Tidak lagi merokok

tidak lagi mengopi

lalu mengapa?

usia tua termangu di depan jendela

kericut keriput masuk musimdingin

rindu berkepanjangan

rindu yang tak tertahan

seperti Ronsard mengenang Helena

7 Nov 84

jam 05.00

*

PANORAMA di sebuah desa kecil di perbatasan AMSTERDAM

Oleh: Asahan Aidit

Pada pertengahan oktober

Daun daun kuning terlepas

Dari dahan-dahan yang perlahan meranggas

Dan angin dingin yang tak menentu arah

menerbangkan daun daun yang jatuh ke tanah

Seperti tukang sapu yang marah marah

Hari hari buram

Kabut kelabu menghadang jarak pandangan

Sedang dengkingan suara mesin di jalan

tak teratur menggugah merangsang

Di akhir pekan belia-belia beterbangan

meraungkan Honda dan Suzuki

Menombak telinga dan jantung

Dan desa yang setengah kota ini

Terus diperindah dan didandani

Vila-vila dan bunggalo

Terjual sebelum berdiri

Keteraturan letak-letak tersusun rapi

Danau-danau galian, rumput-rumput hijau, pepohonan dan belukar

Memajangi rumah-rumah yang seperti taman mini

Ia dilalui sebuah jalan lurus panjang

Kadang-kadang dikerat oleh jembatan yang menyilang

Dan terus diaspali ditebali digaris garisi

Keras dan lekat terbaring di tanah, bergerogi tapi rata

Di sini roda-roda mobil tak lagi kelihatan berputar

Tapi seperti meluncur di atas mentega

Tanah-tanah pertanian yang mengepung desa

Tampak seperti gasing

Bulat dan di tengah-tengahnya rumah penduduk

Di musim semi ada tiga samudra

Bunga, gandung dan bit gula

Di musim menjelang menanam

Berubah menjadi jamban raksasa

Dua jenis najis disatukan: hewan dan manusia

Dan udaranya mengambang hingga langit ketujuh

Di saat begini keindahan terpaksa mengundurkan diri

Menyediakan tempat bagi petani

Menimbuni pasar dengan produksi melimpah

Pabrik-pabrik dan industri juga turut campur

mengepung desa, mengasapinya meributinya

Kantor dan bank, disko dan supermarket

Terang-terangan bereskalasi

Seperti juga belasan kanal TV luar negeri

Dan apa yang tak ada di sini ...

Kecuali lowongan kerja yang tak kudapat

Bertahun-tahun ini.

*

Dunia Yang lain

Oleh: Z. Afif

Di Yogya menanjak yang koit

karena anjing gila

Di Jakarta lipat ganda si kaya

yang gila anjing

Di Sumba 35 kilometer Amaq Fadli jalan kaki

menjaga periuk belanga bagi sesuap nasi

Di Jakarta pejabat, jenderal

wira-wiri numpak pesawat terbang

ke Singapura, Hongkong, Tokyo

pangkas, minum eskrim, beli dasi, sembur mani

Di Flores, sang bocah Fani mati

begitu sulit cari klinik

Di ibukota pejabat negara bolak-balik

Amerika, London, Tokyo, Amsterdam

periksa mata

biar gamblang pelototi kelangkang paha pramuria

Kata orang Aceh:

Pencuri manouk lam tutupan

Pencuri intan ateuh kurusi. *)

1978.

*) Pribahasa Aceh, artinya: Pencuri ayam dijebloskan ke dalam penjara, sedangkan pencuri intan menjadi penguasa.

*

Dosa Apa

Oleh: HR Bandaharo

kelam menyungkup malam

laksana langit terhembus ke bumi.

bintang-bintang pudar bertaburan

besi dan besi berlaga, memercikkan api.

kelam menyusupi kalbu.

setiap orang meraba tanpa pedoman

berkeliaran tanpa tuju

dalam suatu arak-arakan

buta mata -- tuli telinga.

putra-putri agustus terseret ke belakang kawat-duri

membawa hati penuh tanya

tentang dosa apa dan dosa siapa.

lalu menyerahlah siapa yang menyerah

karena rela menerima sendiri

dosa tak pernah diperbuat --

tercoret kening, tertampar pipi.

(DOSA APA, Inkultra, Jakarta, 1981)

*

Sartika Menjawab Goenawan Mohamad :

Tentang Sastra Dan Politik

ADA aksi pasti timbul reaksi -- dalam ragam macam bentuk dan isinya.
Meskipun reaksi itu dimanifestasikan atau dieksprikan dengan
menggunakan sarana yang tak setara, sangat timpang. Begitulah salah
satu buktinya esai I. Sartika yang merupakan jawaban atas tulisan
Goenawan Mohamad dalam "Peristiwa 'Manikebu' : Kesusastraan Indonesia
dan Politik di tahun 1960-an". (TEMPO bulan Mei 1988). Dengan catatan,
untuk mengingatkan, bahwa tulisan tersebut membahas persoalan yang
terjadi sebelum meletusnya peristiwa "G30S", dalam masa yang bisa
dikategorikan masih pluralistis. Namun, konflik antara grup Manikebu
dengan Lekra serta sekutu-sekutunya telah diikuti dengan tindakan
administratif (pelarangan Manikebu), setelah terjadi dialog
(polemik-polemik) untuk waktu yang singkat. Tindakan administratif yang
sama terhadap Lekra, termasuk teror dan masaker oleh rezim militer
Suharto, tidak memungkinkan berlanjutnya dialog yang tuntas sekitar
soal Manikebu. Sekarang praktis hanya monolog yang ada. Tulisan kami
ini tidak bisa dimuat dalam media penerbitan yang sebanding dengan
tulisan Goenawan dan karena itu tidak akan mencapai pembaca seluas
pembaca Goenawan. Disporporsi ini membuat tulisan ini tidak sepenuhnya
bersifat jawaban terhadap tulisan Goenawan, melainkan sekedar refresing
bagi pembaca yang jauh lebih terbatas mengenai soal-soal Manikebu yang
mungkin mengabur dari ingatan. (Kreasi n° Tanjidor hlm 4 & 14)

I. Sartika merasa perlu memberikan jawaban, lantaran menurut hematnya
tulisan GM itu "termasuk penulisan sejarah (sejarah sastra) sambil
menampilkan data-data dan dasar pandangan yang ia yakini." Jawaban yang
sebenarnya hanya sekedar refresing itu memang sudah menjadi perhatian
kami ketika GM mengumumkan tulisannya di Tempo. Terutama sekali
poin-poin yang berkenaan dengan hubungan sastra dan politik, humanisme
universil, Manikebu sebagai manifestasi aksi politik bekingan militer
dan kezaliman mereka.

Menurut I Sartika: "Usaha-usaha untuk memisahkan seni dari politik
sudah terjadi sejak timbulnya kesadaran pada seniman dan sastrawan,
bahwa seni dan sastra bisa menjadi senjata yang ampuh untuk melawan
penjajahan. Di Indonesia berbagai tindakan dilakukan oleh kolonialisme
Belanda untuk mematahkan perlawanan lewat seni dan sastra ini. Dengan
sensor Balai Pustaka saja dianggap tidak mencukupi, karena itu lewat
pengajaran di sekolah atau lewat mengenalan literatur Barat dimasukkan
faham l'art pour l'art (seni untuk seni) ke alam sastra Indonesia."
(hlm 4)

"Lewat anak-anak didiknya kolonialisme Belanda berusaha mematahkan atau
mengimbangi sastra perlawanan ini dengan "sastra menara gading".
Tradisi itu dilanjutkan terus oleh kekuatan kolonialis untuk
menggagalkan Revolusi Agustus'45. Kali ini penerbitan Gema Suasana
dijadikan kubu untuk mengibarkan bendera "humanisme universil". H.B.
Jassin pada mulanya dengan galak menyerang "jiwa humanisme universil"
itu, katanya: "... yang tidak bisa dimaafkan ialah karena Belanda
dengan memarakkan jiwa humanis ini, justru untuk membantu siasatnya
menaklukkan kembali Indonesia, yang ternyata untuk kedua kalinya dengan
aksi militernya yang kedua pada akhir tahun 1948 itu juga."

"Lucunya, Jassin itu pula yang mendukung gerakan 'humanisme universil'
pada tahun 1950 ketika munculnya Surat Kepercayaan Gelanggang oleh
Chairil Anwar dkk. Alasan yang diberikannya ialah: 'saya bukan tidak
setuju dengan perikemanusiaan ... yang dinafaskan Gema Suasana, tapi
datangnya mendahului zaman...' dan kemudian, '... sesudah penyerahan
kedaulatan, tatkala kita tidak lagi berhadapan dengan Belanda dan dunia
sungguh-sungguh terbuka luas buat kita', maka dia pun aktif mendukung
ide gerakan 'humanisme universil'. Baginya penyerahan kedaulatan yang
formil itu menjadi patokan yang otomatis menghilangkan sengketa dan
perlawanan kolonialisme. Padahal dia tahu benar, bahwa seiring dengan
'humanisme universil Gelanggang' bergerak pula badan kebudayaan Sticusa
yang menyokong Gelanggang baik moral maupun material." (hlm 5)

I. Sartika memberikan penegas-jelasan, bahwa: "LEKRA (Lembaga
Kebudayaan Rakyat) yang didirikan pada tanggal 17 Agustus 1950 menolak
usaha-usaha untuk memisahkan seni dari politik. Mukadimah LEKRA dengan
tegas menyatakan: 'Hanya jika panggilan-sejarah Revolusi Agustus
terlaksana, jika tercipta kemerdekaan dan perdamaian serta demokrasi,
kebudayaan Rakyat bisa berkembang bebas. Keyakinan tentang kebenaran
ini membuat Lekra ikut serta aktif dalam pergulatan untuk kemerdekaan
tanah-air dan untuk perdamaian di antara bangsa-bangsa, dimana terdapat
kebebasan bagi perkembangan kepribadian berjuta-juta Rakyat'.
Panggilan-sejarah Revolusi Agustus itu, yang merupakan tugas-tugas
politik Rakyat Indonesia, termasuk seniman-seniman dan pekerja
kebudayaannya dirumuskan oleh LEKRA sebagai berikut: 'Revolusi Agustus
adalah usaha pembebasan diri Rakyat Indonesia dari penjajahan dan
peperangan, penindasan dan penghisapan feodal.' Berbeda dengan Jassin
yang menganggap revolusi sudah selesai dan mendukung 'humanisme
universil' sebagai mercu suar, LEKRA menganggap bahwa Revolusi Agustus
masih terus berjalan dan perlu dikobarkan terus semangat revolusioner
ini selama tugas-tugas itu belum rampung." (hlm 5-6)

Dalam poin ini, I. Sarika lebih lanjut menunjukkan, bahwa: "Pada
hakekatnya tak ada seni yang bebas politik atau ideologi. Manusia itu
adalah mahluk politik, kata beberapa ahli pikir. Menurut Keith
Foulcher: '... kegiatan sastra dan kritik sastra dalam hubungan
sejarah/masyarakat tertentu adalah suatu pernyataan ideologi'. Ia
menyatakan juga, bahwa: 'Apa yang ditampilkan sebagai perbedaan antara
seni dan ideologi pada kenyataannya merupakan suatu pilihan
antara-antara ideologi-ideologi yang saling bersaing dan dampaknya
dalam kegiatan sosial dan budaya'. Dalam nada yang hampir serupa Ajip
Rosidi mengemukakan: 'Juga adanya perbedaan-perbedaan pandangan seni
dan sastra yang berpangkal pada perbedaan-perbedaan pendirian politik,
sudah sejak lama kelihatan dalam sastra Indonesia'. (Sedangkan) seorang
sastrawan muda, Ariel Heryanto, yang menolak ke-universil-an sastra
dengan dukungannya pada 'sastra kontekstual' menyatakan: 'Dalam
pemahaman saya, 'sastra' tidak pernah terlepas dari 'politik' atau
tidak pernah terlepas dari kepentingan-kepentingan 'politik'
fihak-fihak tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Hubungan
antara 'sastra' dan 'politik' bukan sebagai dua hal mandiri yang
mempunyai persinggungan-persinggungan
di tepi wilayah masing-masing.' Kemudian ia merumuskan: 'Istilah
politik yang dipakai di sini meliputi pengertian umum yang lebih luas,
yang secara sederhana mungkin dapat disebutkan sebagai aneka siasat dan
tingkah memperebutkan atau mempertahankan kekuatan sosial'. " (hlm 7)

"Tidak berpolitik pun sudah merupakan suatu sikap politik," tegas I.
Sartika, lagi pula : "Sebenarnya kita bisa membiarkan faham 'seni untuk
seni' dan 'humanisme universil' ini sebagai suatu alternatif bagi
seniman-seniman yang genit seni. Tapi kita melihat bahaya, bahwa di
belakang faham-faham ini ada kekuatan-kekuatan sosial yang memperalat
faham-faham ini untuk tujuan politiknya. Faham-faham ini hanya sebagai
kedok, dan di balik kedok itu bercokol kekuasaan penjajah masa lampau
ataupun masa kini. Bukti yang paling menyolok tentang penggunaan
'humanisme universil' sebagai kedok untuk memupur atau tameng untuk
membela kekuasaan penjajah adalah munculnya Manifes Kebudayaan
(disingkat: Manikebu). Situasi ketika itu adalah bahwa kekuatan
neokolonialis yang dikepalai oleh imperialisme Amerika dan kaum
reaksioner dalam negeri yang anti-revolusi merasa terdesak dan kepepet
oleh aksi-aksi revolusioner yang digerakkan oleh kaum buruh dan tani
serta massa revolusioner lainnya. Manifesto Politik (disingkat:
Manipol) yang diprakarsai oleh Presiden Sukarno dan yang menjadi garis
umum politik ketika itu nerhasil menggelorakan semangat dan
meningkatkan situasi revolusioner ke derajat yang benar-benar
meresahkan posisi imperialisme Amerika. Kaum imperialis takut bahwa
'teori domino' nya menjadi kenyataan. Menurut mereka yang perlu dibasmi
adalah teras dari kekuatan revoluisoner ini, yakni Partai Komunis
Indonesia. Bersama-sama dengan kekuatan ABRI yang dikepalai oleh "Dewan
Jnederal", mereka laksanakan secara sistimatis rencana "Red-drive"
serentak dengan penggulingan kekuasaan Presiden Sukarno." (hlm 8)

I. Sartika seterusnya mengungkap latarbelakang, apa dan siapa serta
untuk apa kelahiran Manikebu itu. Bahwasanya, tulis Sartika,
"Pelaksanaan garis revolusioner dibidang kegiatan politik dan ekonomi
bisa dijegal oleh kekuatan ABRI yang kontra-revoluioner dan
anti-komunis bersama-sama dengan kekuatan kapitalis-asing dan
tuan-tanah. Lalu siapa yang akan menantang garis revolusioner di bidang
ideologi dan kebudayaan? Di sinilah tampilnya Manikebu dan situasi
inilah yang menjadi latar-belakang lahirnya Manifes itu. Bukan
kebetulan, bahwa yang merumus naskah Manikebu ini adalah Wiratmo
Sukito, anggota Dinas Rahasia Angkatan Bersenjata."

"Foulcher sepenuhnya benar ketika menyatakan: 'Manifes itu adalah suatu
pameran kekuatan' oleh 'suatu kelompok yang mewakili kebudayaan
anti-komunis' dengan 'dukungan terselubung dari Tentara'. " Meskipun
demikian: "Goenawan Mohamad mencoba mengelakkan tuduhan itu dengan
mengatakan, bahwa 'Foulcher agaknya tidak mencoba meneliti faktanya
lebih jauh.' Kemudian ia (GM) membeberkan riwayat lahirnya Manikebu.
Dalam pembeberan itu ia mengakui adanya kasak-kusuk orang 'dari SOKSI
sebuah organisasi yang didirikan dengan dukungan tentara', pada awal
pembentukan Manikebu. Tak tahu apakah dari situ datang ide menelorkan
Manifes itu, yang kemudian ditampung oleh Wiratmo Sukito. Dari Ajip
Rosidi kita mendapat penjelasan siapa orang-orang yang bersembunyi di
belakang Manikebu itu, katanya: "Orang-orang anti-komunis dan menentang
Lekra di setiap daerah .... sekarang muncul ke perlukaan air'. " (hlm 8)

"Bahwa naskah Manikebu itu 'memang bukan sebuah naskah yang punya nilai
tinggi dalam soal kegamblangan'-nya bukanlah suatu hal yang kebetulan
pula," tulis Sartika, hlm 9. "Maksud-maksud yang tersirat di dalam
naskah itu disuratkan dengan sangat tersamar, sehingga banyak
sastrawan-sastrawan yang jujur mencari alternatif lain dalam udara
kesusastraan yang mereka rasakan panas menyesak, menjadi terjebak dalam
perangkap Manikebu. Belakangan, dalam masa Orba, sebagian dari
sastrawan-sastrawan itu berbalik mengkritik Manikebu."

"Goenawan mengakui sekarang, bahwa Manifes itu adalah Menifes 'konyol',
katanya: 'Apa yang terumuskan di sana -- dengan segala keterbatasan dan
kekonyolannya -- bagaimanapun merupakan serangkaian pokok pikiran,
suatu pendefinisian sikap dasar beberapa sastrawan dan intelektual
Indonesia dalam menghadapi masalah yang akut waktu itu: hubungan
kreativitas dan politik'. "

"Benarkah 'hubungan kreativitas dan politik' akut ketika itu? Memang
benar. Yakni 'hubungan kreativitas dan politik' yang kontra-revolusi.
Arief Budiman, seorang sosiolog dan sekarang menjadi pendiri gagasan
'sastra kontekstual' perrnah merumuskan, bahwa 'kreativitas adalah
kesanggupan untuk mencipta dari apa yang ada, menjawab tantangan
kenyataan, bukan melarikan diri dari kenyataan.' "

"LEKRA dengan tepat menjawab tantangan ketika itu, membawa seni untuk
ikut aktif dalam perjuangan politik untuk mewujudkan cita-cita Revolusi
Agustus'45. Karya-karya LEKRA mendapat sambutan hangat dan bersatu
dengan aksi-aksi massa buruh dan tani, mulai dari kota sampai ke
desa-desa. Ke-akut-an itu tidak ada di pihak LEKRA dan seniman
revolusioner lainnya."

"Kenyataan membantah tuduhan Goenawan yang mengatakan, bahwa
'kesusastraan revolusioner' Indonesia tidak 'memberi kesan benar-benar
padu dengan suatu elan revolusioner yang merombak banyak hal di
sekitarnya'. Jika tuduhan itu benar, mengapa sampai kumpulan sajak A.
Wispi 'Matinya Seorang Petani' ditakuti dan dilarang beredar oleh ABRI
yang waktu itu merupakan pelaksana pemerintah dalam keadaan perang?
Mengapa sampai begitu banyak drama sastrawan-sastrawan LEKRA yang
dilarang atau dipersulit izin pementasannya oleh DPKN setempat? Malah
sampai sekarang lebih dari 70 jenis buku sastrawan LEKRA yang dilarang
beredar; belum terhitung naskah-naskah Pramoedya Ananta Toer di Pulau
Buru yang digelapkan oleh pemerintah Orba." (hlm 9-10)

"Goenawan menganggap keliru, bahwa 'humanisme universil' digambarkan
sebagai tema utama dalam Manikebu, walaupun ia sendiri enggan
menyebutkan apa tema utama Manifes itu. Kita sudah sejak lahirnya
Manikebu menunjukkan bahwa dalam perumusan yang sangat terselubung
dimanifestasikan kehendak untuk mengaburkan kontradiksi pokok dan
sasaran perjuangan politik ketika itu. Manikebu seakan-akan
'revolusioner' ketika mengoceh: 'Kami tetap menarik garis pemisah
secara tegas antara musuh-musuh dan sekutu-sekutu Revolusi...' Tapi
segera dibawah alinea tersebut ditegaskan, bahwa 'Musuh kami bukanlah
manusia, karena kami adalah anak manusia. Musuh kami adalah unsur-unsur
yang membelenggu manusia, dan karenanya kami ingin membebaskan manusia
dari rantai-rantai belenggunya.' "

Suatu argumentasi yang ditangkas-kelupas oleh Sartika: "Kita memang
ingin bertanya, dalam bentuk apakah musuh-musuh dan sekutu-sekutu
revolusi itu? Dalam bentuk manusiakah atau hanya dalam bentuk
'rantai-rantai yang membelenggunya'? Apakah kolonialisme dan
imperialisme itu fenomena psychis? Atau Revolusi Agustus itu hanya
revolusi kejiwaan? Bukankah Revolusi Agustus itu adalah revolusi
perombakan suatu sistim, yakni sistim kolonialisme dan sisa-sisa
feodalisme, dan melawan manusia-manusia yang mau mempertahankan sistim
itu. Jika tidak demikian, tidak akan terjadi pertempuran mati-matian
antara pejuang-pejuang kita dengan tentara KNIL dan pasukan-pasuikan
Sekutu yang membantunya."

Lanjut Sartika: "Yang paling jahat lagi adalah ketika kalimat itu
diteruskan: ' Dalam perlawanan kami terhadap musuh-musuh kami itu, kami
tetap berpegang teguh pada pendirian bahwa sejahat-jahatnya manusia, ia
masih tetap memancarkan sinar cahaya Ilahi, sehingga konsekwensi kami
harus menyelamatkan sinar cahaya Ilahi tersebut.' Astaga! Jangan
dianggap ini hanya sekedar 'retorika yang agak melambung'. Tapi inilah
justru maksud sesungguhnya dari Manikebu itu. Mencoba memupur-hiasi
musuh-musuh revolusi dengan 'sinar Ilahi'. Padahal waktu itu rakyat
Indonesia sedang sengit-sengitnya melakukan aksi-aksi massa untuk
mengganyang imperialisme AS yang menggunakan pembentukan federasi
Malaysia dalam rangka rencana mengepung Indonesia. Pemerintah Indonesia
membalasnya dengan membantu perjuangan pembebasan rakyat Kalimantan
Timur untuk mendobrak rantai pengepungan ini. Cukup banyak
pejuang-pejuang revolusioner kita yang gugur ketika itu. Di saat yang
seperti itulah Manikebu mengibarkan bendera 'humanisme universil'
dengan 'sinar cahaya Ilahi'-nya." (hlm 10-11)

"Ketika ditanyakan, bagaimana dengan Westerling, misalnya, yang telah
membunuh sejumlah besar orang Indonesia? Apakah dia masih memancarkan
'sinar Ilahi'? Goenawan menghadapi dilema, untuk menjawab pertanyaan
ini dan dengan payah menjelaskan: 'Harus saya akui, bahwa pertanyaan
itu tak mudah dijawab, saya kira lubuk penjelasannya punya kaitan
dengan jenis 'iman' ....'. Memang sukar menjawabnya! Menurut pendapat
kita, bukan karena sejenis 'iman', tapi sejenis 'politik' yang
terselubung di dalam manifes itu, yaitu politik kontra-revolusi.
Menjawab ini secara jujur, berarti membuka tabir watak kontra-revolusi
dari manifes tersebut. Kita mendapat kesan bahwa Goenawan tidak
sampai-hati membikin perhitungan tuntas dan langsung terhadap Manikebu,
tapi secara tidak langsung ia mengatakan: 'Para penulis yang terlibat
di dalamnya dengan segera dinyatakan sebagai 'kontrarevolusi' -- sebuah
cap kejahatan di masa itu.' Sebuah cap kejahatan di masa itu ? Apakah
ini bisa kita artikan sebagai sepatah kata sindiran dari Goenawan,
bahwa di masa ini, di masa Orba rezim militer Suharto, kontra-revolusi
bukan lagi sebagai suatu kejahatan?" (hlm 12)

Setelah menunjukkan perlunya menarik garis pemisah secara tegas antara
musuh-musuh dan sekutu-sekutu Revolusi; memihak atau melawan revolusi,
yang merupakan masalah hidup-mati dalam perjuangan rakyat-rakyat
anti-penjajah melawan penjajah, Sartika menunjukkan bagimana kaum
Manikebuis yang katanya "anti-politik" tapi justeru penggemar politik
dalam aktivitas-kreativitasnya. Tulis Sartika lebih lanjut:

"Apa yang kita kemukakan di atas menjadi jelas setelah terjadinya kup
rezim fasis militer Suharto, yang dimulai sejak meletusnya G-30S.
Sajak-sajak tahun 1966, ketika pemerintah Sukarno berhasil mereka
preteli, adalah sajak-sajak yang penuh berselemak nafsu politik untuk
mengugurkan secara menyeluruh kekuasaan Sukarno yang dianggap mereka
sebagai 'tiran'. Sajak-sajak Tirani oleh Taufik Ismail, Perlawanan oleh
Mansur Samin, Mereka yang telah bangkit oleh Bur Rasuanto, Pembebasan
oleh A.W. Situmeang dan Ribèli kumpulan sajak Aldian Arpin cs. adalah
sajak-sajak protes yang merupakan prolog dari sebuah praktek politik
yang kejam. Dengan restu orang-orang yang menepuk dada sebagai pembela
'humanisme universil' ini, seniman dan sastrawan LEKRA bersama
orang-orang revolusioner lainnya dibunuhi, diteror, disiksa,
dipenjarakan, dikejar-kejar atau dibuang ke Pulau Buru. Sampai
sekarang, sesudah hampir seperempat abad berlalu, kartu penduduk mereka
masih dicap ET (Ex-Tapol), tidak dibenarkan bekerja di kantor-kantor
pemerintahan, diuntit setiap langkah mereka, tidak diberi kebebasan
bepergian ke luar negeri. Sampai sekarang masih dilakukan insinuasi dan
ancaman terhadap sanak-keluarga yang ternyata mengadakan hubungan
dengan orang-orang yang tertuduh 'Gestapu', walaupun tuduhan itu tidak
pernah dibuktikan di pengadilan. Mereka yang dalam Manikebu nya
menyatakan 'Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami' tidak berani
buka mulut besar terhadap hal-hal yang tidak berperi-kemanusiaan, dan
yang melanggar hak-hak asasi manusia ini. Tapi ketika dulu 'diganyang'
karena sikap kontra-revolusisoner mereka, dimana tidak ada satu bulu
mereka pun yang rusak, cuma bulu kuduk mereka saja yang merinding,
mereka sudah kalang kabut seperti cina karam. Mereka buru-buru mengetok
kawat meminta maaf kepada Presiden Sukarno, yang oleh Goenawan
dinyatakan 'merupakan tindakan yang menistakan diri'. Dalam kawat itu
mereka berjanji 'Kami tetap setia dibawah pimpinan dan bimbingan
Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno '. Dalam penilaiannya terhadap
Sukarno, Ajip Rosidi menyatakan: '.... fihak PKI memberi angin kepada
Sukarno untuk menjadi tirani.' Mana yang betul nih: Minta maaf dan
tetap setia kepada pemimpin besar revolusi atau kepada tiran? Mereka
sendiri tak tahu lagi apa yang mau mereka ucapkan." (hlm 13-14)

"Mereka menceritakan, bahwa mereka dulu diteror secara mental,
direpresi, dihantam dan dimusnahkan secara politik," tulis Sartika pada
akhirnya. Ah! "Maukah kita membuat balans secara terperinci tentang
yang mereka alami dengan apa yang dialami LEKRA dan seniman-seniman
revolusioner setelah G-30S? Kami pikir tak usah. Goenawan sudah
mengemukakannya dengan gaya yang ringan: 'Kini memang harus diakui,
bahwa pengganyangan seperti itu belum sebanding dengan yang
ditanggungkan para penulis dan cendekiawan prokomunis setelah hancurnya
PKI secara keras dan berdarah beberapa waktu setelah 1965.' Malah
barangkali dengan 'kenikmatan tertentu' ia menutup uraiannya: 'dalam
bentuk yang lebih keras, kini antara lain giliran para seniman Lekra
yang menjadi sasaran '." (hlm 14)

Begitulah opini seorang macam GM -- salah seorang penanda-tangan
Manikebu, seorang budayawan yang juga publisis kondang. Sebegitu saja
adanya. Akan halnya tanggapan dari I. Sartika yang sedemikian itu
cukuplah mengena pula -- malah bisa sebagai penambah atau pelengkap
bahan pertimbangan yang diperlukan oleh pembaca yang berkenan dan
perhatian akan sejarah sastra Indonesia. (AKI). ***

(Bersambung, selanjutnya: Kreasi Puisi Sekalian Jawaban Magusig O Bungai Untuk Bagong Kussudiardjo)

Disiar ulang di Facebook 28.12.2009 sebagai bahan pertimbangan bagi yang belum menyimaknya.

Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/  
http://sastrapembebasan.wordpress.com/


[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment