Advertising

Saturday, 2 January 2010

Re: [wanita-muslimah] Hoakiao dari Jember

 

suwun cak Ari kirimannya.

saya jadi kangen dengan suwar-suwirnya Jember,
sudah puluhan tahun tidak lewat dan mampir di "Jalan Raya"
(jalan utamanya Jember yang bernama Jalan Raya Sultan Agung).
Dulu ada gang kecil tempat jualan kue putu, model kafe tenda gitu,
(yang jualan orang Tionghoa juga), uenak tenan.
Tapenya juga OK, tapi kalah tenar dibanding tape kabupaten tetangga, Bondowoso.

hebat sekali Om Liang ini, bener-bener nJember asli,
bisa bahasa Madura segala
Apa ada blog atau websitenya ya?

2009/12/29 Ari Condro <masarcon@gmail.com>:
> http://andreasharsono.blogspot.com/2007/01/hoakiao-dari-jember.html
>
> Hoakiao dari Jember
> Andreas Harsono
>
>
> Namanya Ong Tjie Liang (王 志 良). Dia satu Hoakiao dari Jember, sebuah
> kota tembakau di sebelah timur Pulau Jawa. November lalu, menjelang
> pemilihan gubernur Aceh, saya bertemu lagi dengannya di Hotel Sultan
> di daerah Peunayong, Banda Aceh.
>
> Saya memanggilnya "Liang." Dia seorang travel writer. Saya pernah
> membaca laporannya soal Pulau Weh. Ketika bertemu di Aceh, dia bilang
> baru kembali dari Merauke di Papua. "Merauke datar, nggak ada pohon
> tua, semua bangunan baru, abu-abu, nggak ada sejarah."
>
> "Sabang jauh lebih punya sejarah," katanya, mengacu pada kota di Pulau Weh.
>
> "Mungkin zaman van Heutsz, Merauke tak sebesar dan seburuk sekarang.
> Transmigrasi besar-besaran dari Jawa (sejak 1980an) bikin Merauke
> berkembang tanpa kendali. Welek kabeh."
>
> Van Heutsz adalah Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz, perwira Belanda
> yang mengklaim bahwa Belanda menang dalam Prang Atjeh pada 1904 dan
> lantas memperkenalkan slogan "vom Sabang tot Merauke" atau "dari
> Sabang sampai Merauke." Slogan ini belakangan dipakai Presiden
> Soekarno ketika hendak menduduki Irian Barat pada 1960an. Maka lagu
> terkenal ciptaan R. Surarjo "Dari Barat Sampai ke Timur" diubah jadi
> "Dari Sabang Sampai Merauke."
>
> Liang suka pindah-pindah isi pembicaraan. "Pernah coba makan bubur
> sapi depan Hotel Katulistiwa di Singkawang?" tanya Liang, ketika tahu
> saya sering ke Pontianak, tiga jam dari Singkawang. Ketika kenalan
> kami, Voja Miladinovic dari Sipa Press, butuh alamat di Manado, Liang
> mengeluarkan telepon seluler dan memberikan beberapa nama orang
> Minahasa, Sangir maupun Talaud.
>
>  Liang pernah menulis soal Hotel Turismo di Teluk Dili. Ini hotel
> indah, bersejarah, dibangun zaman Portugis. Pada November 1996,
> militer Indonesia curiga kehadirannya. Di hotel itu ada sekelompok
> aktivis hak asasi manusia dari Australia dan Irlandia, hendak
> memperingati penjagalan orang Timor oleh tentara Indonesia di kuburan
> Santa Cruz, November 1991. "George Toisuta memerintahkan kami semua
> meninggalkan Dili," katanya. "Aku satu pesawat dengan orang Irlandia
> itu." Toisuta kini panglima Kodam Siliwangi di Bandung. Dulu Toisuta
> malang melintang di Timor Leste, Aceh dan Papua.
>
> Liang juga bolak-balik ke Ambon dan Ternate ketika apa yang disebut
> "perang agama" antara Islam dan Kristen bergejolak. Pendek kata, dia
> sering berada di tempat di mana ada pergolakan. Dia masuk ke basis
> Gerakan Acheh Merdeka di Pidie tapi juga blusak-blusuk di Biak, Wamena
> atau Timika. Dia mewawancarai Aung San Suu Kyi di Rangoon tapi juga
> Jose Ramos-Horta di Vancouver.
>
> Orang yang kenal dia sering bingung dengan perjalanannya. Voja
> Miladinovic menyebut Tjie Liang, "A good writer who could sense the
> pulse of Indonesia and put it into words." Marrissa Haque, seorang
> artis-cum-politikus, pernah bertanya kepadanya, "Mas ini bekerja untuk
> bahan tulisan atau buat intel Amerika berkedok ilmuwan?" Liang
> tersenyum kecut ketika menunjukkan SMS Marissa kepada saya. "Masak aku
> dianggep CIA?" katanya.
>
> Saya tertarik mengenal Liang karena ia berbeda dari stereotype Hoakiao
> di Indonesia. Mereka biasanya dianggap tak suka politik, lebih banyak
> kerja di bidang bisnis atau kerja sebagai dokter, arsitek, manajer
> atau pemain badminton. Mereka juga sering dianggap kaya. Licik. Egois.
> Tidak membaur. Kalau ada masalah melarikan diri. Mereka sering jadi
> kambing hitam bila terjadi krisis di kepulauan ini.
>
> Saya lebih suka memakai kata "Hoakiao" atau overseas Chinese daripada
> kata "Cina" maupun "Tionghoa." Baik "Cina" maupun "Tionghoa" secara
> linguistik tak membuat pembedaan antara orang macam Liang dengan
> orang-orang yang ada di daratan Tiongkok.
>
> "Tionghoa" atau "Zhonghoa" (中 崋) artinya "orang (kerajaan) Tengah."
> Zhongguo (中 国) adalah nama Republik Rakyat Tiongkok dalam bahasa
> Mandarin. Nama "Cina" berasal dari kata dinasti Cin. Nama "Cina" resmi
> dimaksudkan untuk menghina pada zaman Presiden Soeharto. "Hoakiao"
> (padanannya "Huaren" maupun "Huayin") lebih cocok untuk orang macam
> Liang. Charles Coppel, yang menulis disertasi The Indonesian Chinese
> in the Sixties: A Study of an Ethnic Minority in a Period of Turbulent
> Political Change, belakangan memilih menyebut mereka dalam bahasa
> Inggris "Chinese Indonesian" (bukan Indonesian Chinese). Artinya,
> mereka lebih "Indonesia" daripada "Chinese." Novelis Pramoedya Ananta
> Toer memakai kata "Hoakiao" dalam bukunya Hoakiao di Indonesia. Saya
> kira panggilan "Hoakiao" lebih cocok walau saya juga tak kaku pada
> pemakaian "Cina" maupun "Tionghoa."
>
> Liang menarik sebagai bahan studi kasus karena dia lahir pada 1965
> ketika Soeharto mulai naik kuasa dan melarang semua yang berbau Cina
> maupun Hoakiao. Soeharto membunuh lebih dari tiga juta warga
> Indonesia. Mereka dianggap komunis. Sekolah-sekolah mereka ditutup.
> Bahasa Mandarin tak boleh muncul. Ada larangan membawa buku atau
> cetakan dengan karakter Mandarin. Mereka dipaksa mengganti nama
> mereka. Mereka tak boleh merayakan Imlek. Mereka harus minta surat
> kewarganegaraan Indonesia walau mereka lahir di Jawa, Sumatra,
> Kalimantan dan sebagainya. Walau mereka lancar bahasa Jawa, Melayu,
> Madura dan lain-lain, mereka dianggap "keturunan asing."
>
> Kini sesudah Presiden Soeharto turun dari kekuasaannya, diskusi soal
> orang-orang macam Tjie Liang bisa dibicarakan lebih terbuka. Presiden
> Abdurraman Wahid mengizinkan kebudayaan Hoakiao dipertunjukkan
> kembali: bahasa Mandarin, tahun baru Imlek, agama Khong Hu Chu dan
> sebagainya. Saya ingin tahu bagaimana generasi Hoakiao ini memandang
> dirinya sendiri? Bagaimana generasi yang hilang ini memandang
> diskriminasi terhadap diri mereka?
>
>
>
> Bila Anda naik mobil dari Surabaya menuju Jember, Anda akan menelusuri
> Sungai Bondoyudo di daerah perkebunan tebu Jatiroto. Sepanjang jalan
> ada rel dan lori tebu. Ada sawah-sawah. Ini mengingatkan saya pada
> gambaran perkebunan gula dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya.
>
> Pusat kota Jember biasa disebut "Jalan Raya." Disana ada macam-macam
> toko dengan sebuah alun-alun serta dua masjid besar. Menurut sensus
> Badan Pusat Statistik tahun 2000, kabupaten Jember punya 2.2 juta
> penduduk di mana 98.6 persen Muslim. Orang Hoakiao Jember kebanyakan
> beragama Kristen atau Buddha. Ada sedikit yang beragama Islam. Mereka
> tinggal di daerah perdagangan, baik di Jember atau kota-kota kecil
> semacam Kalisat, Ambulu atau Balung. Mereka golongan minoritas.
> Jumlahnya, saya perkirakan kurang dari 10,000 orang atau kurang dari
> 0.5 persen.
>
> Penduduk kota Jember kebanyakan bicara bahasa Jawa atau Madura. Bahasa
> Jawa dialek Jember agak beda dengan Jogjakarta atau Solo. Orang Jember
> memakai kata "koen" atau "kowe" untuk panggilan orang kedua. Oleh-oleh
> khas Jember adalah tape (singkong yang diragikan) atau suwar-suwir
> (manisan dari tape, rasanya empuk-empuk manis).
>
> Jember mulai tumbuh sebagai daerah urban pada 1850an ketika George
> Birnie, seorang warga Belanda keturunan Skotlandia, membuka perkebunan
> dan memasarkan tembakau dari Jember ke Eropa. Birnie mendatangkan
> pekerja dari daerah sekitar Blitar dan Pulau Madura. Menurut seorang
> buyutnya, novelis Alfred Birney, George Birnie menikah dengan Rabina,
> perempuan Jawa, dan mengirim anak-anaknya ke negeri Belanda untuk
> studi. Salah satu di antaranya adalah Willem Birnie, kakek Alfred
> Birney.
>
> "Keluarga Birnie dulu keluarga kaya di Jember," kata Jacoba Jasina
> Maria Vink, seorang pensiunan guru Jember. Bapaknya, Gerardus Hermanus
> Vink, tiba di Jember dari Belanda pada 1910 untuk bekerja di Landbouw
> Maatschapij Oud Djember milik keluarga Birnie. Vink senior menikah
> dengan perempuan Jawa. Jacoba kelahiran 1918. Dia kenal betul
> perubahan Jember dari zaman Belanda, Jepang dan Indonesia.
>
> George Birnie juga menanam kopi, coklat, kelapa dan sebagainya.
> Kehadiran Birnie memancing pengusaha lain ikut membuka perkebunan.
> Pada 1950an, perkebunan-perkebunan ini disita pemerintah Indonesia dan
> dijadikan perkebunan negara.
>
> Salah satu toko di Jalan Raya bernama Toko Sinar, milik keluarga besar
> Ong Tjie Liang. Di sampingnya, ada Toko Juli, milik Ong Seng Hwie,
> empeknya Tjie Liang (empek dalam bahasa Hokkian artinya "paman tua").
> Di kedua toko inilah saya mendapat cerita tentang asal-usul keluarga
> Liang. Toko-tokonya sangat sederhana. Meja dan almari dari kayu tua.
> Penerangan redup. Toko Sinar menjual alat listrik. Toko Juli menjual
> radio dan tape recorder.
>
> Hwie mengatakan orang tuanya bernama Ong Kong Swie dan Yauw Siauw Tja.
> Swie berasal dari desa bernama Kang Tauw, distrik Bo Chan, daerah Hen
> Hwa di Hokkian, selatan Tiongkok. "Itu daerah miskin, nggak ada
> industri," katanya. Kebanyakan orang Hokkian jadi petani atau nelayan.
> Kakeknya Hwie bernama Ong Kie Soen. Kuburannya ada di Kang Tauw. Siauw
> Tja sendiri berasal dari desa Hwi Aua, distrik Bo Chan.
>
> Pada 1925, pasangan ini naik kapal via Xiamen menuju Surabaya.
> Tujuannya, rumah kakak Swie, bernama Ong Kong Siang, yang membuka
> bengkel sepeda di Mojokerto, selatan Surabaya.
>
> Swie pun ikut mengelola bengkel. Dia sempat pindah ke Banyuwangi, di
> mana Hwie lahir pada 1928. Namun pada 1930 mereka kembali ke Mojokerto
> ketika Siang memutuskan kembali ke Tiongkok. Swie mengambil alih
> bengkel kakaknya di Mojokerto. Pada 1930, Siauw Tja melahirkan anak
> laki-laki lagi, diberi nama Ong Seng Hwa.
>
> Pada 1932, Swie memutuskan pindah ke Jember dari Mojokerto. Hwa
> mengatakan pada saya bahwa empek dan papanya mulanya punya kongsi di
> Jember. Namun kongsi ini pecah dengan rekan dagang mereka. Swie pun
> pergi ke Jember guna mengurus bengkel dan toko sepeda bernama "Han
> Gwan Hin."
>
> Waktu itu, Jember berkembang pesat berkat perkebunan dan pertanian
> tembakau. Keluarga Birnie membuka jalur lelang tembakau langsung di
> Amsterdam. Toko "Han Gwan Hin" ikut berkembang dalam pertumbuhan
> ekonomi ini. Belakangan saudara misan Swie, bernama Ong Kong Ling,
> ikut menyusul ke Jember dan membuka home industry kembang tahu. Kelak
> kedua keluarga Ong ini memiliki ratusan keturunan di Jember. Namanya
> manusia, mereka kawin campur, dengan orang Hakka, Jawa, Madura dan
> sebagainya. Agamanya juga macam-macam, dari Khong Hu Chu sampai Islam.
>
> Bagaimana menerangkan keluarga pendatang ini di Pulau Jawa? Leo
> Suryadinata dalam buku The Culture of the Chinese Minority in
> Indonesia membuat dua kategori orang Hoakiao: peranakan dan totok. Dua
> kategori ini mulai muncul pada awal abad XX ketika migrasi orang Cina
> ke Jawa meningkat.
>
> Menurut Suryadinata, kaum peranakan atau babah kebanyakan tak
> menguasai bahasa etnik mereka, entah Hokkian, Hakka atau Teochiu. Ada
> sedikit yang bisa bahasa Mandarin, satu dari lima bahasa resmi
> Perserikatan Bangsa-bangsa. Mereka relatif tinggal lebih lama di Pulau
> Jawa. Mereka mengirim anak-anaknya ke sekolah dengan kurikulum
> Belanda. Orientasi kewarganegaraan mereka adalah Belanda. Mereka
> bekerja sebagai profesional, dokter, arsitek, penulis dan sebagainya.
>
> Misalnya, anak George Birnie, Willem, sesudah berpisah dari isteri
> Belandanya, kawin tanpa ikatan pernikahan resmi, dengan seorang
> perempuan peranakan bernama Sie Swan Nio. Mereka punya lima anak,
> semuanya lahir di Surabaya, antara 1912 dan 1925. Ayah novelis Alfred
> diberi nama Adolf Sie. Dia seorang peranakan Indo-Tionghoa.
>
> Beda dengan peranakan, kaum totok orientasinya ke Tiongkok. Anak-anak
> totok sekolah bahasa Mandarin. Mereka juga menguasai bahasa Mandarin
> atau bahasa etnik. Agamanya kebanyakan Khong Hu Chu. Ini berbeda
> dengan kaum peranakan yang cukup banyak beragama Katholik atau
> Protestan. Pekerjaan totok kebanyakan berdagang. Keluarga Ong adalah
> keluarga totok. Mereka memelihara rumah abu moyang mereka. Mereka
> memakai dua bahasa: Hokkien dan Melayu. Di Jember, Siauw Tja
> melahirkan lima anak lagi sehingga total ia memiliki lima putra dan
> tiga putri. Anak-anak ini bisa bahasa Madura dan Jawa.
>
> Menurut Hwie, papanya berwatak sedikit keras. "Kerja apa saja mau dia.
> Seperti becak, itu khan kerjaan nggak enak. Dia bisa berhasil kerja,"
> kata Hwie. Belakangan Swie menjadi juragan becak.
>
> Pada 1936, Siang meninggal dunia di Tiongkok. Pada awal 1941, Swie
> pergi ke Tiongkok untuk urusan keluarga kakaknya. Ketika suaminya
> pergi, Siauw Tja hamil anak bungsu mereka. Anak ini lahir pada 18
> November 1941 dan dinamai Ong Seng Kiat (王 先 业). Dialah yang kelak
> menjadi ayah Ong Tjie Liang.
>
> Beberapa bulan sesudah kelahiran Seng Kiat, Jepang menyatakan ikut
> Perang Dunia II dengan menyerang pangkalan laut Amerika Serikat di
> Pearl Harbor, Hawaii. Jepang segera menduduki Asia Tenggara. Kehidupan
> ekonomi dan sosial di Hindia Belanda porak-poranda. Di Jember, bahan
> makanan dan pakaian sulit sekali didapat. Perkebunan banyak tak
> berjalan karena banyak pegawai administrasi ditangkap Jepang.
>
> Jacoba Jasina Maria Vink mengatakan bahwa bapaknya meninggal dalam
> tahanan (intern) Jepang di Ambarawa, dekat Jogjakarta. Rumah mereka
> dirampas "pemuda" –maksudnya milisi Indonesia. Jacoba Vink dan
> saudara-saudaranya ditahan bersama sekitar 300 orang Belanda di Kotok,
> sebuah perkebunan dekat Jember. "Besar sekali sentimen terhadap orang
> Indo," kata Jacoba.
>
> "Kalau sini jalan, nggak punya sepatu dimakan rayap. Mau jalan ke
> gereja dibilang, 'Oh iku senuk Jepang,'" kata Jacoba, artinya, "Oh itu
> pelacur Jepang."
>
> Yauw Siauw Tja bekerja keras menghidupi ketujuh anaknya. Putri
> sulungnya kebetulan sudah menikah dan tinggal di Banyuwangi. Menurut
> Ong Seck Nio, adiknya Hwa, mama mereka membuat kue keranjang dan telor
> bebek asin. Remaja Hwie berjualan ikan asin di daerah Puger, sebuah
> perkampungan nelayan. Hwa dan Seck Nio berjalan kaki menjajakan telor
> asin dan kue keranjang. "Jalan sampai Patrang," kata Seck Nio kepada
> saya. Patrang waktu itu daerah pinggiran kota Jember.
>
> Hwa dan Seck Nio juga harus membantu mengasuh adik-adik mereka, yang
> masing-masing hanya terpaut satu tahun. Pada 1945, ketika Seck Nio
> berumur 13 tahun, dia diminta ikut kakaknya, Ong Seck Eng, pindah ke
> Banyuwangi, mengasuh anak-anak Seck Eng.
>
> Perang Dunia II membuat hubungan kapal laut antara Tiongkok dan Jawa
> terputus. Pada Agustus 1945, Soekarno dan Mohamad Hatta, dua tokoh
> nasionalisme Indonesia, menyatakan kemerdekaan Indonesia di Jakarta.
> Belanda tidak terima. Belanda dan Indonesia berunding, diwarnai
> perselisihan militer, hingga 1949, ketika Hatta menerima penyerahan
> kedaulatan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat di Den Haag.
>
> Ong Kong Swie tak bisa keluar dari Tiongkok untuk kembali ke Jember.
> Dia menikahi janda kakaknya di Tiongkok. Baru pada 1948, ketika
> suasana perang pelan-pelan mereda, Swie naik kapal ke Medan lalu
> kereta api ke Jakarta dan Surabaya. Seng Kiat pertama kali menjemput
> papanya pada umur tujuh tahun. "Dia takut pulang ke Jember, punya
> salah," kata Seng Kiat.
>
>
>
> Ong Seng Kiat tumbuh dewasa di Jember. Dia pandai bergaul, suka
> bergurau, suaranya besar dan punya banyak sekali kenalan –Hoakiao,
> Hakka, Madura, Jawa, Osing dan sebagainya. Dia bisa bahasa Melayu,
> Jawa, Madura, Mandarin, Hakka dan Hokkian. Nama "Seng Kiat" –banyak
> orang susah mengeja nama-nama Hoakiao— secara alamiah disederhanakan
> dalam pergaulan menjadi "Sengkek."
>
> Sengkek sempat mengecap bangku sekolah menengah di Surabaya namun
> kelas dua sudah keluar. "Ngerpek (mencontek) ketemu diusir," kata
> Sengkek. Sengkek dikeluarkan dari sekolah bersama kakaknya, Seng Hay,
> yang lebih tua setahun. Kakak sulungnya, Hwie, menyayangkan
> adik-adiknya tak sekolah dengan benar. Dia mengatakan pada saya bahwa
> wajar bila anak-anak tertua --macam dirinya, Hwa dan Nio-- sekolahnya
> kacau karena zaman perang. "Mama terlalu memanjakan anak-anaknya,"
> kata Hwie, mengeluh soal adik-adiknya.
>
> Pada 5 Maret 1963, Ong Kong Swie, setelah 15 tahun kembali hidup di
> Jember, meninggal dunia. Sengkek menikahi tunangannya, Tjen Ie Lan,
> seorang perempuan Hakka, di depan peti jenasah papanya. Sengkek
> percaya lebih baik menikah depan jenasah orang tua daripada menunda
> pernikahan. Swie dimakamkan di kuburan orang Hoakiao di Kaliwates,
> Jember. Sengkek memutuskan berdagang alat-alat listrik, mengubah nama
> "Han Gwan Hin" menjadi Toko Sinar. "Modal cuma Rp 137,500," kata
> Sengkek.
>
> Tjen Ie Lan, isteri Sengkek, seorang perempuan kelahiran Kalisat tahun
> 1943. Orang tuanya, Tjen Tek Jong dan Tan Bing Lien, berasal dari
> distrik Ta Bu, provinsi Hakka di Guang Dong, selatan Tiongkok.
> "Kebanyakan disana soro (sengsara), ke Jawa cari kehidupan baru," kata
> Tjen Ie Ing, kakak perempuan Ie Lan, kepada saya.
>
> Alasan klasik. Para imigran di seluruh dunia, dari Amerika hingga
> Afrika, mencari penghidupan lebih baik ketika suasana di kampung
> halamannya susah. Ketika masih berumur belasan tahun, Tek Jong
> berangkat dari Guang Dong menuju Hongkong. "Agak lama di Hongkong,
> terus Singapore lalu Jakarta," kata Ie Ing.
>
> Pada 1924, ketika baru berumur 17 tahun, Tek Jong tiba di Surabaya dan
> memutuskan berdagang di daerah perkebunan tembakau di Kalisat, dekat
> Jember. Dia juga mengundang ayahnya datang ke Kalisat namun si ayah
> tidak kerasan dan kembali ke daratan Tiongkok.
>
> Sepuluh tahun di Kalisat, Tek Jong "mengimpor" calon isteri dari
> Tiongkok lewat bantuan seorang mak comblang. Tan Bing Lien baru
> berumur 19 tahun ketika tiba di Kalisat. Dia juga baru pertama kali
> bertemu calon suaminya. Perempuan ini mungil, biasa kerja keras, anak
> yatim. Mereka menikah dan dikarunia dua putra dan dua putri.
>
> Ada seseorang yang membuat perubahan besar dalam keluarga Tjen dan
> kelak pada kehidupan Tjie Liang. Pada 1939, sebuah gereja Pantekosta
> di Surabaya mengundang seorang penginjil dari Tiongkok. Namanya, Dr.
> John Sung, yang terkenal di daratan Tiongkok dan Asia Tenggara.
>
> John Sung sebelumnya kuliah di Wesleyan University di Ohio, Amerika
> Serikat, lalu meraih Ph.D. di bidang kimia di Ohio State University.
> Dia mahasiswa cerdas. Gelar master dan doktor dicapainya hanya dalam
> 30 bulan. Namun kehidupan John Sung makin hari makin kristen. Dr. John
> Sung lalu memutuskan kuliah theologi di Union Theological Seminary di
> New York. Namun dia tak suka dengan pendekatan ilmiah di sekolahnya.
> Agama kok dilihat dengan nalar? Pada 1927, dia pulang ke Tiongkok. Di
> kapal, dia terus-menerus berdoa, akhirnya memutuskan membuang semua
> ijasah, sertifikat dan medali penghargaannya ke laut. Walau bisa
> membangun karir dan menjadi kaya raya sebagai pejabat dalam birokrasi
> Kekaisaran Tiongkok, John Sung memutuskan jadi pengkhotbah miskin.
>
> Caranya berkhotbah tergolong spektakuler. Dia menyanyi, berkhotbah,
> menangis, berkhotbah, menyanyi, biasanya selama dua jam, tiga kali
> sehari! John Sung pernah membawa peti mati ke dalam gereja, lalu
> berteriak, "Cari uang, cari uang, angkat peti mati ini." John Sung pun
> lantas masuk ke dalam peti. Maksudnya, dia mengkritik orang Cina yang
> cuma cari uang, lupa urusan agama dan kematian. Cara-caranya
> berkhotbah menimbulkan sensasi. Di Surabaya, dia mempengaruhi banyak
> orang Hoakiao, termasuk suami-isteri Tek Jong dan Bing Lien, masuk
> agama Kristen.
>
> Ie Lan lahir ketika orang tuanya sudah Kristen. Dua tahun sesudah
> menikah, Ie Lan melahirkan putra sulungnya, Ong Tjie Liang. Mereka
> tinggal di sebuah rumah dalam sebuah gang sempit. Sengkek sibuk
> mengelola Toko Sinar. Ie Lan jadi ibu rumah tangga sekaligus membantu
> suaminya di toko.
>
> Tiga minggu sesudah kelahiran Liang, pada 1 Oktober 1965, sekelompok
> tentara dari Divisi Diponegoro dan Tjakrabirawa, menculik dan membunuh
> beberapa jenderal Angkatan Darat di Jakarta. Para penculik diduga
> perwira-perwira binaan Partai Komunis Indonesia. Maka Jenderal
> Soeharto memimpin suatu penumpasan golongan kiri, yang termasuk paling
> berdarah di dunia. Pulau Jawa banjir darah! Antara dua hingga tiga
> juta orang dibunuh tanpa lewat proses pengadilan. Di Jember, belasan
> orang mengatakan pada saya bahwa mereka sering melihat mayat mengapung
> di sungai. Banyak mayat tanpa kepala.
>
> Suasana chaos. Ie Lan mengungsi sementara ke Surabaya. Sengkek sering
> meninggalkan Ie Lan sendirian di rumah. Sengkek ternyata juga sering
> memukul Ie Lan bila bertengkar. Ie Lan mengatakan pada saya bahwa dia
> merasa "lahir baru dan percaya Yesus" pada periode ini. Dia berubah
> dari orang Kristen formal menjadi Kristen Lahir Baru. Ie Lan lantas
> rajin pergi ke gereja Tiong Hoa Kie Tok Kauw Tjong Hwee cabang Jember.
> Ini sebuah gereja Hoakiao, didirikan sejak zaman Belanda, dengan nama
> Bond Kristen Tionghoa. Ie Lan rajin membantu pekerjaan gereja.
>
> Pada awal 1970an, Soeharto sudah membungkam semua lawan politiknya.
> Ratusan ribu aktivis kiri diasingkan di Pulau Buru. Amerika Serikat
> dan Inggris diam saja melihat pelanggaran demi pelanggaran hak asasi
> manusia di Indonesia. Mereka menganggap Soeharto sekutu penting mereka
> dalam menghadapi komunisme. Soeharto membuka pasar Indonesia terhadap
> modal Barat. Freeport McMoran membuka tambang raksasa di Papua.
> Ekonomi tumbuh. Geliat ekonomi ini juga membuat perkebunan-perkebunan
> Jember bergerak lagi. Lelang tembakau pindah dari Amsterdam ke Bremen,
> Jerman. Sengkek dan Ie Lan membeli sebuah rumah besar kolonial
> Belanda. Kehidupan mereka pun mulai makmur. Ada mobil, liburan ke
> pantai, punya villa di gunung, makan-makan dan sebagainya.
>
> Namun Soeharto memperkenalkan pendekatan baru terhadap apa yang
> disebutnya "masalah Cina." Dia hendak menciptakan berbagai macam
> aturan. Intinya, tiga buah pilar kebudayaan Hoakiao akan dipangkas:
> media berbahasa Mandarin, sekolah-sekolah Hoakiao serta organisasi
> sosial dan politik kaum Hoakaio.
>
> Mulanya, sesudah Indonesia berdaulat, ada dua aliran pemikiran di
> kalangan tokoh Hoakiao tentang posisi Hoakiao. Indonesia sudah jadi
> negara merdeka. Belanda sudah tak kuasa di Batavia lagi. Tiongkok
> adalah tanah leluhur tapi bukan tanah air mereka.
>
> Aliran pertama, mempromosikan kebijakan "integrasi" dimana orang
> Hoakiao tetap bebas memiliki kebudayaan mereka. Nama Hoakiao macam Ong
> Tjie Liang bisa tetap dipakai. Agama Khong Hu Chu, sekolah bahasa
> Mandarin dan sebagainya sah dipertahankan. Aliran ini didukung oleh
> Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) dengan tokoh
> Siauw Giok Tjhan dan Yap Thiam Hien. Baperki gencar mengkritik
> berbagai kebijakan politik "asli" yang tumbuh subur di Pulau Jawa dan
> Sumatra sejak awal 1950an. Baperki berpendapat, dalam kebangsaan
> sejati, setiap warga punya hak dan kewajiban sama, tanpa pandang bulu
> etnik atau agamanya.
>
> Aliran kedua bicara soal "asimilasi" atau "pembauran" dimana orang
> Hoakiau dianjurkan ganti nama. Mereka ingin kebudayaan Hoakiao membaur
> dengan apa yang disebut "penduduk asli." Tujuannya, kaum minoritas
> Hoakiao kelak tak lagi akan menjadi suatu kelompok tersendiri.
> Organisasinya bernama Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB).
> Tokoh-tokohnya, K. Sindhunata, Junus Jahja, P.K. Ojong, Onghokham,
> Harry Tjan Silalahi dan Soe Hok Gie.
>
> Debat ini lalu campur baur dengan politik. Baperki mendekat ke
> Presiden Soekarno dan Partai Komunis Indonesia. Yap Thiam Hien tak
> setuju dengan kebijakan ini. Dia keluar dari Baperki. LPKB mendekat ke
> golongan kanan dan militer. Ketika Soeharto menghancurkan golongan
> kiri dan Soekarnois, tak ayal lagi, Soeharto juga menumpas Siauw dan
> kawan-kawannya. Ratusan sekolah Hoakiao ditutup. Kebudayaan Hoakiao
> dilarang. Mereka disuruh untuk ganti nama. Bahasa Mandarin dilarang.
> Anak Hoakiao dibatasi untuk masuk ke birokrasi, militer dan
> universitas. Kelenteng-kelenteng Khong Hu Chu diganti jadi vihara
> Buddha. Soeharto juga minta semua orang Hoakiao memiliki surat
> kewarganegaraan Indonesia. Surat-surat ini, dari surat ganti nama
> hingga kewarganegaraan, kelak jadi ajang pemerasan.
>
> Namun Soeharto menekankan kebijakannya pada pembangunan ekonomi.
> Selama Soeharto berkuasa, muncul beberapa ratus konglomerat.
> Kebanyakan pengusaha Hoakiao. Kesannya, Hoakiao adalah sekutu
> Soeharto. Media membantu menciptakan kesan bahwa semua orang Hoakiao
> kaya dan segelintir konglomerat itu –termasuk Sudono Salim Prajogo
> Pangestu, Bob Hasan-- adalah "wakil" masyarakat Hoakiao. Kebencian
> terhadap Hoakiao terkadang muncul dari pembantu-pembantu Soeharto
> lewat media dan militer. Ada menterinya bilang bahwa jumlah orang
> Hoakiao hanya tiga persen di Indonesia, namun menguasai 90 persen
> ekonomi Indonesia. Kemiskinan pun disalahkan pada golongan Hoakiao.
>
> Debat "integrasi" versus "asimilasi" itu, tentu saja, tak melibatkan
> Hoakiao Jember. Kebanyakan Hoakiao Jember tak terlibat politik. Mereka
> super minoritas. Namun dampaknya terkena juga. Antara 1965 dan 1966,
> rezim Soeharto merampas sekolah-sekolah Mandarin di Jember. Toko-toko
> Hoakiao ada yang diambil. Pada 1971, Sengkek mengambil keputusan
> mengganti namanya. Dia menemui seorang guru Jawa, kenalannya di
> Jember, untuk dicarikan nama Jawa. Ratusan Hoakiao lain juga mengganti
> nama mereka.
>
> Sekolah Mandarin sudah ditutup ketika Liang kecil mulai sekolah.
> Sengkek dan Ie Lan mengirim Liang ke sekolah Katholik. Ie Lan
> sebenarnya kurang suka pada ajaran Katholik. Dia menganggap orang
> Katholik "menyembah patung" –ini tuduhan khas orang Protestan terhadap
> patung Bunda Maria. Tapi SD Katholik Maria Fatima termasuk sekolah
> terbaik di Jember. Sengkek suka karena sekolah ini disiplin.
>
> Suatu pagi, kelasnya Liang pergi main sepak bola di alun-alun. Liang
> ternyata tidak ada. "Aku lihat dia duduk di bawah pohon, baca buku,"
> kata Ie Lan, mengenang masa kecil anak sulungnya. Salah seorang guru
> Liang, tak lain tak bukan adalah Jacoba Maria Vink, orang
> Indo-Belanda, yang kebetulan juga tetangga Sengkek. "Aku bangga ketika
> ujian, murid-muridku dapat nilai 10 semua," kata Vink.
>
>  Saya beruntung Liang mengizinkan saya membaca semua buku harian
> miliknya. Liang rutin menulis kegiatannya, hampir setiap hari, sejak
> berumur 12 tahun ketika dia melanjutkan di SMP Katholik Maria Fatima.
> Buku harian ini menggambarkannya sebagai anak biasa, suka main basket
> (Rabu-Jumat) dan badminton (Selasa-Kamis). Suka nonton bioskop, entah
> di gedung Jaya, Kusuma atau Sampurna. Dia mencatat judul-judul film
> tontonannya: Special Magnum, Jalal Kawin Lagi, Savage Weekend,
> Midnight Express, Killer Dogs, Inem Pelayan Sexy, Game of Death.
> Buku-buku bacaannya mulai serius. Dia membaca biografi Soekarno,
> Abraham Lincoln, Mahatma Gandhi, John Sung, Mochtar Lubis, Soe Hok
> Gie.
>
> Setiap pagi dia sekolah, siang menjaga toko, sore main basket, malam
> nonton bioskop. Dia terkesan ketika nonton final World Cup di televisi
> hitam-putih antara kesebelasan Argentina dan Belanda di Buenos Aires
> pada 1978. Ini siaran langsung pertama World Cup di Pulau Jawa.
> Argentina, dengan jagoannya Mario Kempes, menang 3-1.
>
> Liang sering menyebut nama keempat adiknya: Jinjin, si kembar Tantan
> dan Chenchen serta Bingbing. Mereka sering main bersama:
> kejar-kejaran, petak umpet, debukan dan lain-lain. Debukan adalah
> permainan tradisional anak-anak Jember. Intinya, sebuah bola kasti
> dipakai untuk melempar pemain. Pemain yang kena lempar harus mendebuk
> pemain lainnya. Kegemaran Liang adalah memelihara ikan, burung
> berkicau dan merpati. Dia mencatat kapan beli uget-uget (makanan ikan)
> atau kroto (makanan burung). Dia punya lebih dari dua lusin burung.
>
> Ketika umur 13 tahun, dia mencatat bahwa dia mulai les bahasa Inggris
> setiap sore (Senin-Rabu-Jumat) di Hur's English Course. "22 Mei 1979:
> pakai celana panjang pertama kali," tulisnya. Dia bangga. Maklum bila
> sekolah, murid-murid masih pakai celana pendek. Namun suatu saat, dia
> terlalu cepat menutup ritssluiting celana sehingga "burungnya"
> terjepit. Sakitnya minta ampun. Butuh waktu sekian menit untuk
> pelan-pelan membuka kembali ritssluiting itu. Untung "burung khusus"
> itu tidak berdarah.
>
> Ada juga kisah sedih. Pada 1979, hubungan Ie Lan dan Sengkek makin
> jelek. Sengkek terlibat affair dengan Winarti, seorang guru Jawa
> Protestan, yang mengajar di sekolah milik Kie Tok Kauw Tjong Hwee. Ie
> Lan memutuskan pergi sementara ke Lawang, dekat Malang, untuk
> menenangkan diri dan belajar theologi di Institut Theologi Alkitab.
>
> Sengkek menikahi Winarti. Ie Lan tak berani menggugat cerai mengingat
> lima anaknya. Ironisnya, Ie Lan dan Winarti hamil bersamaan. Ie Lan
> melahirkan anak bungsunya, Ie-ie, pada 1979 dan Winarti melahirkan
> Deasy pada 1980. Liang menemani mamanya ketika melahirkan adik bungsu.
> Sengkek tak menengok bayinya. Winarti tinggal di villa mereka di
> Rembangan, daerah peristirahatan dekat Jember. Liang dan adik-adiknya
> tinggal di Jember.
>
> "Mama pergi dengan Bingbing. Saya menangis jika memikirkan ini. Untuk
> melupakan, saya bermain debukan," catat Liang.
>
> Sengkek juga pernah memukul anak-anaknya. "Saya dipukul Papa sebab
> salah beli cat tembok. Teguh ganti Rp 1,150," tulisnya. Teguh adalah
> Teguh Sugianto, seorang pegawai Toko Sinar. Namun Liang juga memukul
> adik-adiknya.
>
> Dalam buku hariannya, Liang sering mencatat keakrabannya dengan
> beberapa karyawan papanya termasuk Teguh, seorang yatim piatu, lelaki
> Hoakiao asal Pekalongan, kulitnya gelap sekali. Ada juga Sapek atau
> Man Tuka, seorang tukang listrik Madura. Ada juga Mbek Wi, perempuan
> Madura kelahiran Kalisat. Bek Wi, seorang janda, merawat Liang dan
> adik-adiknya, dari bayi hingga dewasa. Man Tuka dan Bek Wi bekerja
> sejak Liang belum lahir hingga pensiun. Mereka sering tak tega melihat
> anak majikannya dipukul hanya karena salah kecil. Ada juga Pak Ti,
> orang Jawa, pendiam, khusus menangani burung dan ayam peliharaan.
> Liang mencatat bahwa Bek Wi selalu mengerokinya bila ia sakit. Liang
> terbaca suka sekali pada Man Tuka dan Bek Wi.
>
> Pada 7 Maret 1981, Liang mengisi buku hariannya: "Waktu selesai ujian
> teori seni suara, saya mau mengambil sepeda di tempat sepeda. Ada
> sebuah kaleng bekas tempat susu (kental). Kaleng saya tendang, tanpa
> saya ketahui bahwa ada Pak Moel (guru sejarah Aloysius Moeljoto)."
>
> "Saya kemudian dipanggil. Ditanya: Tahu aturan atau tidak?"
>
> "Saya jawab, 'Tahu.' Tiba-tiba saya ditempeleng dan hilanglah kacamata
> saya hancur berkeping-keping."
>
> "Kemudian dia menarik saya masuk dalam kelas. Kemudian dia berkata,
> "Pecah atau tidak naik kelas?"
>
> "Saya menangis, saya tentu menjawab pecah. Tapi pulangnya, hati saya
> berontak." Moeljoto mengancam Liang tidak naik kelas bila melaporkan
> kejadian itu.
>
> Dua hari kemudian, Suster Maria Anneti, kepala sekolah SMP Maria
> Fatima, memanggil Liang ke ruangnya. Liang menulis, "Di kantor, suster
> bertanya soal kemarin dulu. Dia mengatakan bahwa menurut Pak Mul,
> anjing itu, ia hanya akan menyentuh kepala saya untuk menjorokkan
> saya. Tapi bersamaan dengan itu saya bergerak."
>
> "Saya bantah dengan mengatakan bahwa kacamata saya jatuh kurang lebih
> tiga meter dari tempat berdiri. Suster tetap mengatakan bahwa saya
> tetap bersalah karena menendang kaleng."
>
> Inilah pertama kali Liang merasakan ketidakadilan. Seorang guru
> memukul murid lalu berbohong. Ada lebih dari 40 murid melihat namun
> tak ada satu saksi pun ditanyai. Suster Anneti membela Moeljoto. Liang
> pun memutuskan membalas dengan caranya sendiri. Hari itu, dia
> memecahkan kaca toilet sekolah dengan tangannya sendiri!
>
> Saya sedih membaca buku-buku harian Liang periode 1979-1982, sesudah
> pernikahan kedua Sengkek. Dia jadi anak yang sering merasa tertekan.
> Dipukul papanya sendiri, dipukul gurunya sendiri. Buku-bukunya penuh
> dengan detail. Saya tergoda untuk menyimpulkan bahwa buku harian
> inilah tempat latihan Liang berlatih menulis pertama kali. Dia memaki
> Moeljoto dan Sengkek dengan kata-kata yang kasar. Namun dia juga
> menulis puisi dalam bahasa Melayu maupun Inggris. Ketika pergi ke
> Jember, saya hendak menemui Moeljoto, ternyata dia meninggal terkena
> stroke Juni 2004.
>
> Pada 1982, ketika Liang lulus sekolah, Ie Lan mengambil keputusan
> penting. Dia membujuk suaminya mengirim Liang ke sekolah Katholik di
> Malang. Namanya, SMA Katholik Sint Albertus. Ie Lan menitipkan Liang
> kepada teman dekatnya, sebuah keluarga Hoakiao asal Samarinda, yang
> punya rumah di Malang dan Lawang.
>
>
>
> Sint Albertus sebuah sekolah Katholik milik Ordo Carmel. Ia didirikan
> 1936 oleh pastor-pastor Belanda. Bangunannya jauh lebih besar, lebih
> tua dan lebih elegan dari sekolah-sekolah di Jember. Waktu Liang
> masuk, sekolah ini dipimpin E. Siswanto, seorang pastor Jawa, biasa
> dipanggil "Romo Sis" –seorang legenda dalam dunia pendidikan. Sekolah
> ini juga dikenal dengan nama SMA Dempo karena terletak di Jalan Dempo.
> Alumni sekolah ini cukup beragam. Ada novelis Y.B. Mangunwijaya, tapi
> juga Jenderal Rudini, mantan kepala staf Angkatan Darat Indonesia.
>
> Ie Lan mengantar Liang mondok di rumah keluarga Joseph Kumala: Jl.
> Argopuro 25, Lawang. Liang sedih meninggalkan orang tua, adik-adik dan
> teman-temannya di Jember. Ketika Ie Lan pulang ke Jember, Liang
> mengantar ke pintu gerbang. Lalu Liang masuk ke kamar dan menangis
> sendirian.
>
> Usia Liang baru 16 tahun. Dia belum pernah sekali pun tinggal jauh
> dari keluarga. Dia merasa sedih meninggalkan mamanya, yang sering
> bertengkar dengan papanya. Keluarga Kumala menyediakan sebuah kamar
> kecil, 1.5x2 meter, mungkin bekas gudang. Kamar bersih. Ada ranjang
> besi dan lemari pakaian mungil. Halaman rumah luas. Ada sekitar dua
> lusin pohon buah. Tante Kumala suka menanam bunga.
>
> Namun perlahan-lahan Liang mulai menyukai sekolah baru ini. Jalan
> Dempo sebuah kawasan peninggalan Belanda. Banyak pohon-pohon dan
> jalan, yang aman untuk anak-anak sekolah berjalan setiap pagi dan
> siang.
>
> Setiap pagi, sekitar pukul 6:00, Liang diantar mobil ke Malang. Mobil
> Colt Mitsubishi itu juga dipakai untuk antar jemput anak sekolah.
> Keluarga Kumala punya rumah di Malang. Liang lebih sering tinggal
> sendirian di rumah Lawang.
>
> Beberapa bulan kemudian, satu keluarga missionaris dari Pusan, Korea,
> Han Soong In, ikut tinggal di rumah besar ini. Han dosen Institut
> Theologi Aletheia, tempat mamanya pernah kuliah, yang terletak hanya
> lima rumah lagi dari rumah Kumala. Keluarga Han punya dua anak kecil.
>
> Aneh juga, Liang menumpang di rumah orang, lalu ada keluarga Korea
> menempati rumah utama. Kikuk juga. Liang tak tahu banyak soal
> pergaulan. Pengalaman itu membuat Liang belajar banyak. Bagaimana
> harus membawa diri? Bagaimana berhadapan dengan orang yang latar
> belakangnya berbeda? Bagaimana belajar toleran?
>
> Di Lawang, Ie Lan mengantar Liang ke Gereja Kristus Tuhan, nama baru
> gereja Kie Tok Kauw Tjong Hwee, yang tentu saja, juga harus ganti
> nama. Gereja ini hanya terletak empat rumah dari pondokannya. Liang
> bahkan pernah jadi ketua perkumpulan pemuda gereja ini.
>
> Liang jatuh cinta pada perpustakaan sekolah. Liang mulai meminjam
> buku-buku yang kelak ternyata mempengaruhi caranya memandang dunia.
> Novel kesukaannya, karya Albert Camus, Pearl S. Buck dan Somerset
> Maugham. Semua karya-karya klasik dibaca. Dia juga tertarik pada
> Perang Vietnam. Foto-foto perang tersebut sangat mengesankannya. Namun
> juga ada roman picisan. Dia menguasai bahasa Inggris, cukup guna
> membaca novel-novel itu.
>
> Suatu hari, Romo Sis mengumumkan di loud speaker bahwa mulai bulan
> lalu dipilih murid, yang paling banyak meminjam buku perpustakaan.
> Murid tersebut akan diberi penghargaan. Dia menyebut nama Liang
> sebagai peminjam buku terbanyak. Liang terkejut. Pengumuman itu sangat
> mengesankan dirinya. Guru-guru, wali kelas dan teman-temannya memberi
> ucapan selamat.
>
> Minat Liang sebenarnya pada ilmu-ilmu sosial dan bahasa. Namun awal
> 1982, Liang hanya seorang remaja yang tak tahu banyak tentang luasnya
> dunia. Liang kesepian dan tak banyak yang dikerjakan di luar sekolah
> dan gereja. Liang hanya berpikir menurut kebanyakan temannya. Murid
> pandai harus masuk ilmu alam.
>
> Maka Liang pun masuk jurusan ilmu alam. Ini keputusan yang tak tepat.
> "Aku tidak menyesal masuk jurusan ilmu alam tapi terkadang aku pikir
> bagaimana hari ini bila sejak sekolah menengah memilih ilmu sosial?"
> katanya.
>
> Liang suka ikut kegiatan olah raga. Buku hariannya mencatat dia
> bermain basket dan saat kelas dua jadi pengurus klub olah raga
> sekolah. Tanggungjawab ini dipegangnya hingga lulus. Setiap minggu,
> minimal dua sore, Liang berurusan dengan lapangan basket. Namun
> kadang-kadang, diajak ikut acara aneh-aneh. Liang pernah ikut lomba
> topeng, didandani macam make up kelompok musik Kiss. Pada Hari
> Kartini, dia ikut lomba "Parade Bencong" –didandani jadi perempuan.
> Teman-temannya tak sadar kalau "perempuan" di pentas itu adalah Liang.
> Ingrid Dwiyani bercanda menyebutnya, "Anggun dan cantik."
>
> Liang juga suka menyanyi. Dia membentuk sebuah kelompok musik. Mereka
> membawakan lagu-lagu Rod Steward, Kiss, Deep Purple, Queen dan
> sebagainya. Andy Purwadi, seorang teman kelas, jagoan gitar. Ada juga
> Tjandra Anggono jadi motor kelompok. Christian Johan main gitar dan
> Agustinus Simply Satu main piano. Liang jadi penyanyinya.
>
> Liang mengatakan pada saya bahwa dia suka sekali dengan SMA Dempo.
> Dari semua sekolah yang pernah diikutinya, dari taman kanak-kanak
> Tjahaja di Jember pada 1970 hingga Universitas Harvard di Cambridge
> pada 1999, Liang merasa periode Dempo adalah saat yang meninggalkan
> banyak kenangan manis.
>
> "Tak ada satu pun guru yang menyakiti kami," katanya. Terkadang murid
> dihukum karena tidak kerja pekerjaan rumah atau bolos. Hukumannya,
> disuruh menulis banyak sekali sesudah jam sekolah selesai. Misalnya,
> "Saya berjanji tidak akan bolos lagi." Romo Sis sendiri yang menghukum
> murid. Romo Sis sering memanggil orang tua murid. Ini kebijakan baik
> sehingga tak semua guru berhak memberikan hukuman.
>
> Romo Sis tak pernah memakai pemaksaan. Dia mengajak murid atau guru
> bicara. Itupun orang sudah merasa nervous. Liang merasa jadi murid
> yang agak diperhatikan karena keluarganya pecah. Ada guru bimbingan
> psikologi yang sering jadi tempatnya konsultasi.
>
> Pelajaran yang paling disukai adalah Sejarah. Liang pernah menulis
> makalah soal Soekarno, nasionalisme dan masa mudanya. Makalah itu
> dipuji guru dan sempat dipamerkan sekolah. Liang tak suka Fisika,
> Kimia dan Matematika. Tapi bahasa Inggris selalu bagus. Liang masih
> mengambil les bahasa Jerman. Pelajaran mengarang atau menulis buat
> majalah sekolah juga disukai. Tapi Liang belum banyak menulis. Lebih
> sibuk dengan basket, menyanyi dan belajar.
>
> Liang belakangan diberi sepeda motor Suzuki oleh Sengkek. Liang lebih
> leluasa bergerak. Beberapa kawan menganggapnya sebagai anak yang
> bandel, pendiam tapi berani menentang arus. Liang pernah menaiki
> sebuah tumpukan loud speaker, ketika menyanyi dalam sebuah konser
> sekolah. Norak sekali. Tapi ya masa remaja. Masih mencari kepribadian.
> Masih mencari perhatian orang. Dia pernah membuat puisi dan menamakan
> rekan-rekan dan dirinya "sekerumun anjing liar."
>
> Kami adalah sekerumun anjing liar yang paling perkasa
> Berpacu dari armagedon hingga kelam
> Kami berlari tanpa menjadi letih
> Kami berjalan tanpa menjadi lesuh
>
> Kami pahlawan tanpa nama
> Bertaruh dengan kehampaan nyata hingga keping-keping kami yang terakhir
> Menangis untuk kemenangan dan tertawa untuk sebutir kekalahan
>
> Pendek kata, Liang senang sekali dengan sekolah ini. Entah kenapa.
> Mungkin Liang masih remaja. Cinta pertamanya terjadi di Lawang. Liang
> jatuh cinta pada teman gereja, lebih muda dua tahun. Namanya Phoa Hwie
> Eng. Liang memanggilnya Fe En.
>
> Tapi cinta monyet. Pegangan tangan saja tidak pernah. Liang sering
> pergi ke rumah Fe En, cerita aneh-aneh dan membual. Liang tak punya
> uang banyak. Keuangan keluarganya mulai sulit sesudah Sengkek menikah
> lagi. Dia sering bertengkar, minat bekerja menurun. Kemana-mana Liang
> naik kendaraan umum. Liang menderita sekali dengan asap rokok.
> Sementara Fe En sudah mengendarai mobil sendiri.
>
> Ketika kelas dua, Liang pindah ke Malang, kost di sebuah rumah di
> Jalan Widodaren. Hubungan itu pun merenggang. Fe En memutuskan
> hubungan mereka. Fe En mengirim kartu Natal dan bilang, "Maafkan aku."
> Liang merasakan sakit hati pertama kali. Saya agak geli membaca
> catatan-catatannya, konyol, remaja jatuh cinta. "Aku nggak tahu dimana
> dia sekarang. Pasti sudah lain," kata Liang, tersenyum.
>
> Maka Liang lebih sering bermain dengan teman-teman sekelas. Belajar
> bersama, makan bakso, diskusi dan sebagainya. Setiap kali ada waktu
> libur, Liang kembali ke Jember dan bermain-main dengan adik-adik dan
> saudara-saudara jauh.
>
> Menariknya, Malang juga membuatnya mulai menjauh dari kehidupan gereja
> --sebuah praktek yang belakangan jadi kebiasaannya, kurang suka
> berdekatan dengan institusi agama apapun. "Aku lihat bagaimana satu
> pendeta tua, gendut, main perempuan. Aku juga kenal isteri missionaris
> yang culas. Aku kenal dekat dengan satu perempuan, ketika remaja,
> diperkosa seorang pastor. Dan aku banyak mengetahui kyai, juga main
> perempuan," katanya.
>
> Pada pertengahan 1984, Liang lulus dari Dempo dengan nilai lumayan.
> Sengkek menanyainya ingin kuliah dimana? Liang menjawab, "Berklee
> College of Music (Boston)." Dia ingin jadi pemusik. Sengkek keberatan.
> Liang satu-satunya anak lelaki. Pergi ke Amerika juga butuh uang besar
> sekali. Sengkek kini harus bertanggungjawab terhadap tujuh anak. Liang
> memilih mendengarkan masukan papanya. Dia kuliah teknik elektro di
> Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Dia pikir bila lulus, bisa
> meneruskan bisnis keluarga.
>
> Di Salatiga, Liang berkenalan dengan dosen-dosen radikal macam Arief
> Budiman, Ariel Heryanto, Broto Semedi, George Aditjondro, Liek
> Wilardjo, Nico L. Kana, Supriyadi dan sebagainya. Liang mahasiswa
> teknik tapi tidak tertarik pada matakuliah teknik. Liang ikut kelompok
> diskusi Arief Budiman, seorang doktor dari Harvard, salah satu
> cendekiawan beneran di Indonesia. Broto Semedi mengajar filsafat.
> Aditjondro mengajar Neo Marxisme. Liang makin sering membaca. Apa yang
> dipelajari di SMA Dempo, mendapat dorongan yang lebih besar lagi di
> Satya Wacana. Di Salatiga, kesadaran politiknya makin luas.
>
> Dia sadar bahwa penindasan juga terjadi pada banyak golongan minoritas
> lain. Baik di Timor Leste, Papua, Minahasa, Aceh, Lampung, Borneo dan
> lainnya. Dia belajar analisis kelas. Orang miskin ditindas golongan
> penguasa, tanpa peduli etnik atau agamanya. Dia belajar tentang
> ketidakadilan antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin.
> Satya Wacana memberi kesempatan kepada Liang untuk belajar, lepas dari
> lingkaran primordial, membela yang benar.
>
> Liang mulai ikut upaya melawan penindasan negara Indonesia. Dia ikut
> demonstrasi. Dia ikut pers mahasiswa. Liang merasakan pengalaman pahit
> dengan aktivisme. Dia takut dikejar tentara. Intrik-intrik dalam
> gerakan membuatnya lelah. Dia memakai banyak waktunya membantu
> organisasi sais dokar, melawan rencana penggusuran dokar. Achmadi dan
> Sukardi, dua sais dokar, banyak membuatnya belajar tentang kehidupan
> orang kecil. Bila merasa lelah, dia pergi ke sebuah pesantren kecil,
> pinggiran kota, istirahat selama dua atau tiga hari.
>
> Belakangan bahkan manajemen universitas ini memecat dosen-dosen yang
> kritis, termasuk Arief Budiman. Liang tak merasa memiliki kampus Satya
> Wacana lagi. Pada 1993, dia pindah ke Phnom Penh dan mulai bekerja
> sebagai reporter. Karirnya sebagai travel writer pun dimulai. Dia
> mulai malang melintang di Asia Tenggara.
>
>
>
> Yuri Slezkine mungkin bisa membantu menerangkan fenomena Hoakiao.
> Slezkine seorang cendekiawan Rusia, dosen University California at
> Berkeley di Amerika. Dia menulis buku The Jewish Century, tentang
> etnik Yahudi, yang diganyang di Eropa sejak akhir abad XIX, lalu
> melakukan migrasi besar-besaran ke negara lain.
>
> Analisisnya, bisa diterapkan pada minoritas lain di segala pelosok
> dunia. "Sangat provokatif tetapi kena betul analisanya," kata Liem
> Sioe Liong, seorang aktivis hak asasi manusia dari Tapol di London.
> Liem seorang Hoakiao, warga negara Belanda. Dia menulis buku West
> Papua: The Obliteration of a People bersama Carmel Budiardjo.
>
> Slezkine menulis bahwa orang Yahudi hidup dalam suatu masyarakat
> dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu, dengan cara hidup tertentu pula,
> yang menimbulkan sentimen dari masyarakat sekitarnya. Namun orang
> Yahudi tak sendirian. Di dunia ini, di berbagai tempat dan waktu
> berbeda, selalu ada suku atau etnik, yang secara eksklusif menyediakan
> jasa untuk masyarakat di sekitarnya. Mereka termasuk Roma-Gypsi di
> Eropa, orang Fuga di Ethiopia, Sheik Mohammadi di Afghanistan, etnik
> Armenia, orang India di Afrika Timur, etnik Lebanon di Afrika Barat
> dan Amerika Latin serta orang Hoakian di Asia Tenggara.
>
> Slezkine menyebut mereka, kaum "Mercurian," sebagai lawan kata dari
> putra daerah, yang disebutnya, "Apollonian." Dalam kepercayaan Romawi,
> Apollo adalah dewa pertanian dan peternakan. Masyarakat Apollonian
> utamanya petani dan peternak, plus ksatria dan ulama, yang hidup
> dengan cara mengatur akses para petani tadi ke tanah dan keselamatan
> surgawi.
>
> Mercuri adalah dewa para pengembara, pedagang, penterjemah, tukang,
> penunjuk jalan, pengobat dan semua pelintas batas. Kaum Mercurian
> adalah kelompok etnik yang tak terlibat produksi makanan. Mereka hidup
> dengan cara menyediakan jasa kepada kaum Apollonian.
>
> Zaman dulu, masyarakat Apollonian menganggap ada pekerjaan yang
> berbahaya atau kotor, untuk dikerjakan warga mereka sendiri.
> Contohnya, berhubungan dengan negeri asing atau suku lain; mengatur
> uang; mengobati orang sakit; bekerja dengan api dalam penempaan logam
> misalnya. Semua ini adalah kemahirannya kaum Mercurian. Para
> pengembara kebanyakan mulai sebagai tukang. Kakek buyut Slezkine
> adalah tukang besi Yahudi. Ong Kong Swie mengelola bengkel sepeda dan
> becak.
>
> Kaum Mercurian sering pindah tempat. Mereka memahami pentingnya
> menguasai bahasa-bahasa. Sengkek menguasai enam bahasa. Ketika rezim
> Soeharto melarang bahasa Mandarin, Sengkek dan Ie Lan mendorong
> anak-anaknya belajar Inggris. Kaum Mercurian secara alamiah terlibat
> dalam kerja penterjemahan, tukang cerita, penunjuk jalan dan
> perantara.
>
> Kaum Apollonian memandang Mercurian berbahaya, kotor dan asing. Kaum
> lelakinya bukan ksatria, jarang ikut perang. Kaum perempuannya
> dianggap cantik namun juga genit, menggoda. Makanan mereka berbeda.
> Mereka hanya membeli, menjual dan kemungkinan mencuri, barang maupun
> ide. Mereka dibenci dan puncak kebencian terhadap kaum Mercurian
> adalah Holocaust –pembunuhan lebih dari enam juta orang Yahudi di
> Jerman oleh rezim Adolf Hitler. Ini penjagalan manusia terbesar dalam
> dunia modern. Ia juga mendorong Perang Dunia II.
>
> Holocaust bikin jutaan orang Yahudi lari dari Eropa. Slezkine menyebut
> tiga tujuan: Palestina dimana mereka mendirikan negara Israel; Amerika
> Serikat dimana ada ide kenegaraan liberal non-etnik; dan Uni Soviet
> dimana ada komunisme –sebuah dunia tanpa kapitalisme dan nasionalisme.
> Semua berhasil dengan variasi masing-masing. Kaum Yahudi lantas jadi
> lambang dari penganyangan massal sekaligus kesuksesan.
>
> Slezkine menyebut mereka berhasil karena sudah lama sekali jadi kaum
> urban, melek sastra, artikulatif dan secara pekerjaan fleksibel.
> Mereka mementingkan akal sehat, keuletan, kebersihan, melintasi batas
> serta memilih "memelihara" hubungan dengan orang daripada ternak.
> Inilah tuntutan abad XX. Maka mereka berhasil mengatasi penganyangan
> rezim macam Hitler.
>
> "Hari ini kita semua diharapkan jadi orang Mercurian," kata Yuri
> Slezkine. Nilai-nilai Apollonian, tentu saja, sangat perlu
> dipertahankan seraya mempelajari bahasa internasional, berhubungan
> dengan bangsa lain, mempertahankan hutan dan sebagainya. Saya kira,
> barisan Mercurian ini bertambah di Indonesia dengan orang Madura di
> Kalimantan, orang Jawa di Sumatra, orang Bugis, Buton, Makassar di
> Maluku atau orang Rote di Pulau Timor.
>
> Liang mewakili stereotype kaum Mercurian di Indonesia. Liang
> sebenarnya tak beda dengan kebanyakan Hoakiao. Kalau dia sedikit beda,
> ini hanya karena dia seorang penulis, namun sebenarnya banyak Hoakiao
> jadi penulis. Dia juga "berkelahi" –sebuah kegiatan khas Apollonian--
> ketika memutuskan membela kelompok-kelompok tertindas, namun dia
> melawan dengan penanya, bukan ototnya.
>
> Dari Ong Kong Swie, lalu Sengkek, lalu Liang, keluarga ini mengalami
> perubahan cukup jauh secara kultural. Swie seorang Hoakiao totok,
> namun Sengkek bisa bahasa Jawa, Madura, Melayu. Liang secara kultural
> lebih global. Tek Jong memutuskan masuk Kristen. Ie Lan bahkan Kristen
> keras. Sengkek memutuskan mengganti namanya jadi Jawa.
>
> Namun perubahan itu, dipaksa maupun tidak, tak membuat mereka tak
> dianggap sebagai "non-pribumi." Mereka tetap tinggal di Jember,
> turun-temurun, namun akan tetap dianggap "asing." Saya kira rasa
> curiga terhadap orang Hoakiao takkan mudah hilang di Pulau Jawa dan
> Sumatra. Kecurigaan serupa juga takkan cepat pergi dari Aceh terhadap
> orang Jawa, orang Madura di Kalimantan atau dari Papua terhadap
> "pendatang rambut lurus." Setidaknya, negara ini bisa belajar dari
> Yuri Slezkine bahwa menciptakan diskriminasi formal justru membuatnya
> lebih buruk. Diskriminasi senantiasa ada dalam masyarakat. Namun
> diskriminasi oleh negara membahayakan keberadaan negara itu sendiri.
>
> Kini Ie Lan sudah pisah dari suaminya dan hidup di Jogjakarta bersama
> tiga anak perempuannya. Sengkek hidup dengan Winarti di Jember. Mereka
> punya anak satu lagi. Sengkek membiayai sekolah anak-anaknya hingga
> selesai kuliah. Dua orang adik kandung Liang kini tinggal di Jakarta,
> tiga orang di Jogjakarta.
>
> Saya tanya kepada Sengkek, siapa guru Jawa, yang memberikan nama Jawa
> kepadanya. "Pak Dasar," katanya. Guru itu mengatakan, 'Engkone koen
> Hartono, koen Harsono ae.'" Artinya, "Kakakmu (Seng Hin) bernama
> Hartono, kamu Harsono saja." Sengkek juga menjawakan nama Liang. Ie
> Lan usul nama "Harsono" dijadikan nama marga. Ini sebuah kebiasaan
> orang Tionghoa. Suku pertama nama marga, suku kedua nama pangkat. Maka
> anak-anak Sengkek pun diberi nama belakang Harsono semua. Liang diberi
> nama "Andreas Harsono." Ong Tjie Liang adalah Andreas Harsono. Mereka
> adalah saya.
>
>
>
> 2009/12/22 donnie damana <donnie.damana@gmail.com>:
>> Kalopun yang bikin orang china.. mereka pasti nyesel..
>> Gak dicari ilmunya malah dimintai sumbangan mulu.. :))
>
> -
> salam,
> Ari
>
>
> ------------------------------------
>
> =======================
> Milis Wanita Muslimah
> Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
> Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
> Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
> ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
> Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
> Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
> Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
> Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
>
> Milis ini tidak menerima attachment.Yahoo! Groups Links
>
>
>
>

__._,_.___
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment