This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Advertising

Thursday 30 January 2014

[wanita-muslimah] Kang Sobary: Mewaspadai Satrio Piningit

 

Mewaspadai Satrio Piningit

Oleh: Mohamad Sobary

 

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kelihatannya khusus dilahirkan untuk disakiti. Lembaga itu memanggul mandat dari seluruh bangsa untuk mengawasi pemilu.Tetapi, apakah para pemimpin partai yang mencalonkan diri sebagai presiden, senang diawasi? Bagi orang yang ambisinya besar dan merasa harus menang karena tahu dirinya disebut “satrio piningit”, kelihatannya diam-diam menolak kehadiran pengawas.


Mengapa harus ada pengawasan? Pemilu sekadar merupakan cara mengukuhkan dirinya, yang sudah “piningit”. Artinya, sudah merupakan pilihan alam dan dianggap pilihan terbaik. Mengapa pakai diawasi segala? Bagaimana kalau pengawasannya malah menjadi penghalang bagi ambisi, langkah, dan strategi politiknya, padahal dia sudah “piningit”, dengan kepastian menang dalam pemilu? Apa gunanya Bawaslu kalau hanya akan membuat posisinya sebagai yang dipingit itu hilang lenyap karena pengawasan?


Ini rintangan berat. Jadi, sebaiknya lembaga yang tugasnya “mengawasi” pemilu itu justru harus diawasi. Banyak cara untuk mengawasinya. Bisa saja dibuatkan peraturan agar dia tak berdaya sejak awal, segenap langkahnya tidak penting, protes-protesnya atas segenap pelanggaran pemilu mudah dianulir, dan tidak berarti.


Kecuali itu, pengawasannya dibatasi hanya bersifat moral dan etis sehingga tidak memiliki kekuatan hukum apa pun. Jika yang merasa dipingit itu menyimpang dan ketahuan Bawaslu, penyimpangannya hanya tidak memiliki akibat apa pun. Dia hanya akan “diingatkan” dan “ditegur” dengan lemah lembut, tapi tak ada sanksi hukum apapun.


Begitulah mekanisme “demokratis” yang dibuat untuk menyakiti demokrasi itu sendiri dalam mengatur penyelenggaraan pemilu yang sudah ditetapkan untuk sang “piningit”. Buat orang yang merasa dirinya bakal menjadi pemenang, peduli apa dengan pengawasan? Baginya pengawasan itu boleh ada, sah, dan baik kalau pengawas hanya mengawasi partai-partai lain dan mengukuhkan posisi politiknya sebagai sang “piningit” tadi. Kalau tidak, sekali lagi, Bawaslu tidak diperlukan.


Namun, seseorang yang sudah dipingit dan dia tahu dirinya memang dipingit, mengapa harus cemas menghadapi lembaga pengawasan? Bukankah yang dipingit itu harus menjadi pemenang? Mengapa masih juga risau memikirkan kemungkinan untuk menyimpang?


Yang “piningit” beneran, biarpun melalui proses demokrasi yang panjang dan melelahkan, tak perlu bertindak culas karena pilihan alam tidak pernah keliru. “Si terpingit” seharusnya tenang saja.


Selain itu, niscaya bakal terjadi sesuatu yang gaib dan aneh. Akhirnya, tahu-tahu dia menang secara meyakinkan tanpa menimbulkan protes dari pihak lain. Seaneh apa pun proses itu, demokrasi tak bakal ternodai. Kemenangannya sah, tak ada cela secara politik maupun hukum.


Meskipun begitu, kita harus berhati-hati. “Satrio piningit” itu idiom politik Jawa tradisional. Sementara pemilu, kita tahu, instrumen politik modern. Bagaimana membuat “matching” satu sama lain tidak mudah. Manipulasi, keculasan, dan kebohongan bisa terjadi. Jelas kita harus mengawasi gerak-gerik sang “satrio piningit” agar dia tak berbuat curang.


Jebakan Demokrasi

 

Minggu lalu, Bawaslu menyelenggarakan diskusi terbatas dengan mengundang tokoh-tokoh yang disebutnya “tokoh bangsa”. Banyak hal disampaikan para tokoh dalam diskusi agak tertutup minggu lalu itu. Inti pembicaraan, semua pihak merasa wajib mengawal jalannya pemilu agar yang terjadi hanya apa yang baik bagi rakyat, bangsa, dan demokrasi. Jadi, harapan semua pihak pemilu berjalan lancar, selamat, aman, dan damai.


Mengenai “satrio piningit” yang sudah kita bicarakan di sini, saat itu terlupakan. Saya perlu mengusulkannya dan semoga teman-teman di Bawaslu menerimanya. Idiom politik Jawa, “satrio piningit” itu, dalam praktiknya merupakan jebakan bagi demokrasi bila yang menjadi “si terpingit” terlalu ambisius, ingin segera menjadi presiden dan kelihatan haus sekali akan kekuasaan. “Si terpingit”, bila dalam Pemilu 2014 akan datang ini tampil lagi, sebaiknya diawasi terus-menerus.


Bukan mustahil bila kelak tiba-tiba ada klaim bahwa seorang calon pesiden menganggap dirinya “satrio piningit”. Kita tak usah mempercayainya secara berlebihan. Bagi yang tak mau percaya sedikit pun, mungkin itu sikap politik yang lebih sehat dan harus didukung. Tidak percaya pada apa yang “sok serbagaib” ada kalanya baik sekali. Kita memerlukan sikap kritis macam itu.


“Satrio piningit” sering manipulatif. Sesudah kita amati baik-baik, ternyata dia bukan satrio dan tidak sedang “piningit”. Maksudnya tidak sedang dipingit dan sama sekali tak ada yang merasa tertarik memingitnya. Sebutan-sebutan dan segenap julukan seram, garang, dan mengerikan boleh dibuat oleh mereka yang ingin memasuki kancah pemilu sebagai calon presiden dan wakilnya. Demokrasi dan semangat kekeluargaan tak melarang orang memberi nama hebat-hebat bagi dirinya.


Rakyat bukan kumpulan bebek yang mudah digiring ke mana orang menghendakinya. Dari waktu ke waktu kita tahu sebutan dan julukan seram tak ada artinya kalau kenyataannya kosong, tanpa isi, seperti kayu growong ditempati tokek.


Sebutan boleh yang serbahebat, tapi kalau kinerjanya buruk dan merusak demokrasi, siapa mau percaya? Seperti disebut tadi itu, “satrio piningit” bukan satrio dan bukan “piningit” karena tidak dipingit siapa pun. Dia hanya jebakan demokrasi. Kita diminta waspada dan mengawasinya terus-menerus. []

 

SINAR HARAPAN, 29 Januari 2014

Mohamad Sobary ; Budayawan

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

Wednesday 29 January 2014

[wanita-muslimah] Menegakkan shalat

 

140130

 

 

Bagaimana shalat kita?

 

 

Bismi 'l-lahi 'r-rahmani 'r-rahiem.

 

Mungkin kita merasa sudah terbiasa menjalankan shalat. Namun demikian tidak mudah untuk menjawabnya jika kita dtanya: "Bagaimana shalat Anda?". Mungkin kita dengan mudah menjawab: "Ya seperti biasa, berwudhu lalu shalat. Untuk shalat itu sendiri memakai pakaian yang menutup aurat, berdiri lalu tertakbir, kemudian melakukan gerakan-gerakan sambil membaca bacaannya dan mengakhirinya dengan salam".

 

Jika kita sudah terbiasa menjalankan shalat yang seperti itu kemungkinan sekali shalat kita hanya bernilai 56 dari 100, atau sedikit di atasnya; cukup untuk sekedar "menggugurkan kewajiban" barangkali sedikit lebih baik dari yang sekedar "rubuh-rubuh gedhang" (Jw., sekedar ikut gerakan-gerakannya).

  

Kita dapat mencapai nilai yang lebih tinggi, kalau kita mau. Nilai tinggi ini penting jika kita mengingat bahwa di hari kiamat nanti yang akan dinilai "pertama" adalah shalat kita; jika nilainya baik maka nilai amal kita yang lain juga ikut terkatrol naik. Untuk menaikkan nilai shalat kita adalah "menghadirkan hati" kita dalam menjalankan shalat, yang lebih dikenal dengan istilah khusyuk.

 

Yang paling "sederhana" ke arah kekhusyukan adalah sikap kita terhadap shalat itu sendiri; shalat itu kewajiban ataukah kebutuhan? Kalau kita sudah merasa bahwa shalat itu merupakan kebutuhan, akan ada harapan bahwa shalat kita akan lebih baik, karena kita merasa butuh bertemu Allah untuk berterima kasih, lebih mendekatkan diri kepada Allah, Sang Penguasa, untuk meminta pertolongan dan bimbingan. Mungkin juga kita mengadukan permasalahan kita ataupun meminta yang lain-lain secara lebih khusus dengan doa-doa kita, karena Allah adalah satusatunya tempat kita menggantungkan diri. Di sinilah perlunya kita kita memahami makna bacaan-bacaan yang kita suarakan ketika shalat, untuk meningkatkan komunikasi kita dengan Allah. Sejauh mana kita telah berusaha memahami apa-apa yang kita ucapkan dalam shalat?

 

Ketika kita membaca "...maliki yaumiddin.." dalam surat a-Fatihah, sejauh mana kita membayangkan bahwa di hari qiyamat nanti Allah adalah hakim dan penguasa tunggal, yang bijak dan berkuasa penuh, yang Maha Pengasih dan Penyayang; nasib kita tergantung pada keputusanNya. Sudahkah kita berusaha mendekatkan diri kepadaNya dengan menjalankan segala yang diperintahkanNya dan meninggalkan yang terlarang olehNya? Nasib kita banyak tergantung pada baik buruknya perbuatan kita! Ketika kita duduk tahiyyat dan sudah membaca "assalamu 'alaina wa 'ala 'ibadillahi sh-shalihin" apakah kita masih juga hendak mencelakakan orang lain?

 

Semogalah dengan benarnya shalat kita itu kita berhasil terselamatkan dari siksa neraka, karena kita terselamatkan dari berbuat keji dan mungkar.

 

 

Wa 'l-Lahu a'lamu bi 'sh-shawwab.

 

 

 

==============================

 

SAW. = shalla 'l-Lahu 'alaihi wa sallam (Semoga shalawat Allah dan salamNya terlimpahkan pada Rasulullah Muhammad).

 

SWT. = subhanahu wa ta-'ala (Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi kedudukanNya).

 

 

 

 

*** Kutipan ayat-ayat diperoleh dari penelusuran menggunakan software sederhana: "Indeks Terjemah Qur'an".

 

========================================

 

 

 

 

 

Assalamu 'alaikum wr. wb.

 

 

 

Semoga sedikit uraian di atas bermanfaat.

 

Beramallah dengan mem-forward pelita hikmah ini. Untuk terus menerima ataupun membuka posting lainnya kirim e-mail ke: pelita-hikmah-subscribe@yahoogroups.com. Jika Anda punya ataupun ingin kajian masalah tertentu untuk pegangan hidup silakan hubungi saya.

 

Wassalam,

H.R.M. Tauhid-al-Amien, dr., MSc., DipHPEd., AIF., AIFO.

                                    e-mail: tauhidhw@gmail.com

 

Jalan Kendangsari Lebar 48 Surabaya    INDONESIA    60292 

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

Tuesday 28 January 2014

[wanita-muslimah] Mahfud MD: Takut Diduga Korupsi

 

Catatan Dari Negeri Sakura (1)

Takut Diduga Korupsi

Oleh: Moh Mahfud MD

 

Ketika akan berangkat dari Jakarta, Sabtu tanggal 26 Januari pekan lalu, saya sudah menyiapkan pakaian khusus untuk menghadapi serangan dingin. Menurut pemberitahuan resmi, di Jepang sedang musim dingin dan tingkat kedinginannya bisa mencapai 2 derajat Celcius.


Tetapi, ketika pesawat Garuda GA 884 yang saya tumpangi mendarat di Narita, ternyata udaranya segar. Anzai, petugas yang oleh Kemenlu Jepang ditugasi untuk menjemput, mengatakan bahwa kami beruntung karena disambut udara segar di negeri Sakura itu. ”Tetapi, nanti sore akan sangat dingin,” katanya. Pekan ini saya memang berkunjung ke Jepang atas undangan Kemenlu Jepang. Kemenlu Jepang melalui sahabat saya duta besar Jepang untuk Indonesia, Yoshinori Katori, mengundang berkunjung ke negaranya.


Saya dijadwalkan bertemu beberapa pejabat dan lembaga-lembaga penting di Jepang. Tentu termasuk juga rekreasi ke tempat-tempat yang menarik. Perjalanan dari Bandara Narita ke Tokyo terasa nyaman dan lancar. Jalanan tak begitu ramai, mungkin karena Minggu. Setelah berbicara berbagai hal yang ringan-ringan, saat mobil kami memasuki Kota Tokyo, Anzai mengatakan bahwa di Tokyo dalam dua minggu ke depan akan diadakan pemilihan gubernur. ”Mengapa? Apa sudah habis masa jabatannya?” tanya saya.


Anzai menjawab bahwa jabatan gubernur Tokyo sedang kosong karena gubernurnya yang definitif mengundurkan diri. ”Mengapa mengundurkan diri? Apakah sakit?” tanya saya lagi. ”Oh, tidak. Bukan,” jawab Anzai. Anzai bercerita bahwa gubernur Tokyo yang bernama Inosi itu mengundurkan diri karena diduga akan korupsi. Secara hukum belum ada dugaan korupsi kepadanya. Dugaan itu muncul di tengah-tengah masyarakat. Sang gubernur meminjam uang ke sebuah rumah sakit besar tanpa jaminan.


Masyarakat menduga uang itu akan digunakan untuk kampanye politik dan dengan imbalan tertentu. Imbalannya, menurut dugaan masyarakat, nanti rumah sakit itu akan dapat membeli tanah untuk rumah sakit dengan harga murah. Mendapat sorotan yang seperti itu sang gubernur merasa malu dan takut diduga korupsi sehingga buru-buru mengundurkan diri. Bukan main, dia mengundurkan bukan karena bukti atau indikasi hukum, melainkan karena etika dan budaya malu.


Dia mengundurkan diri bukan karena ada indikasi korupsi, melainkan hanya karena takut diduga korupsi. Padahal yang dilakukan sang gubernur semua legal, meminjam uang tanpa melanggar hukum. Tapi, dia sadar masyarakat menganggapnya tidak wajar dan ada motif tidak baik. Di Jepang budaya malu untuk melakukan ihwal yang tak baik bagi negara dan masyarakat tumbuh subur dan kuat.


Di negara kita orang yang sudah jelas indikasi korupsinya saja masih berkelit, menantang, untuk dibuktikan dulu di pengadilan. Yang sudah ditahan oleh aparat penegak hukum dan pasti akan jadi terdakwa pun banyak yang tak mau mundur. Padahal di dalam Tap MPR No VI/ MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara digariskan bahwa pejabat yang mendapat sorotan publik negatif karena langkahnya harus mengundurkan diri tanpa harus menunggu putusan pengadilan.

 

Indonesia bukan Jepang, Jepang bukan Indonesia. Tetapi, dalam budaya malu dan takut untuk korupsi kita perlu meniru Jepang. []

 

KORAN SINDO, 28 Januari 2014

Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

Monday 27 January 2014

[wanita-muslimah] Kang Sobary: Aib Dibuka di Mana-mana

 

Aib Dibuka di Mana-mana

Oleh: Mohamad Sobary

 

Seorang pemuda yang hidup sukses diwawancarai sebuah media. Hasil wawancara dicetak dan diedarkan di pasaran bebas.


Sebagian disiarkan di televisi, disertai latar belakang rumah mewah, kolam renang, mobil-mobil mewah, dan anjing-anjing mahal. Dalam sekejap anak muda yang sukses itu menjadi sangat terkenal di seluruh Tanah Air.


Tak mengherankan, para tetangga, sahabat, dan kenalan orang tuanya di kampung, di seberang lautan yang jauh dari sini, bahkan yang sebetulnya tidak kenal pun, ikut hiruk-pikuk, seolah hidup mereka juga harus diabdikan untuk turut "merayakan" kebanggaan orang tua yang anaknya mampu mengguncang dunia, hanya melalui satu kali penampilan di media cetak sekaligus di layar televisi.


Martabat orang tuanya mendadak naik tajam seperti harga saham di bursa efek yang gampang goyah, gampang berubah, dan kaget-kagetan secara dadakan. Seperti kejutan di bursa saham, sebentar kemudian, rumah orang tuanya dirombak total, diganti bangunan megah, dan paling modern di kota kecilnya. Jantung para tetangganya harus kuat untuk menghadapi kejutan demi kejutan berikutnya.


Di arisan, di pengajian, di pestapesta, ibunya menyebarkan berita kehebatan anaknya tanpa tedeng aling-aling lagi. Kemajuan anaknya dan sukses gilang gemilang yang memancarkan cahayanya hingga di seberang laut itu menjadi seperti dongeng: tanpa proses, tanpa jerih payah, tahu-tahu kejutan besar muncul. Sejak siaran media nasional, terutama siaran televisi yang hebat itu, sang ibu ikut menjadi sejenis bintang yang kerlap-kerlip di langit.


Sang ibu sadar bahwa kemajuan anaknya membawa pengaruh dan kewibawaan besar baginya. Para tetangga pun terkagum-kagum. Media lokal yang membebek media Jakarta rajin mendatangi ibu yang berbahagia itu untuk melakukan wawancara mengenai suasana hati dan kehidupan keluarganya. Sebagian sekadar wawancara "gosip-gosipan" yang tak keruan ujung pangkalnya. Tapi, sang ibu jelas bangga bukan kepalang. Masuk koran tanpa susah payah dianggap suatu berkah tak terhingga.


"Bagaimana perasaan ibu punya anak yang sukses besar di Jakarta?'

 

"Alhamdulillah, ya gimana ya Dik wartawan? Allah mahamengabulkan cita-cita saya. Alhamdulillah deh. Bangga ibu rasanya."


"Oh, jadi hal ini memang dirancang, dan dicita-citakan oleh ibu?"


"Saya yang mengandungnya selama sembilan bulan, tak pernah lupa membentenginya dengan doa-doa dan permohonan supaya dia sukses. Dia sudah sukses. Alhamdulillah. Allahu Akbar. Kita bersyukur. Ini sukses besar. Anak saya memang sudah kelihatan pintar sejak kecil. Ibu bangga."


"Bangunan rumah itu nilainya pasti lebih satu miliar rupiah ya?"


"E, eeee…jangan remehkan kami. Belum separuh selesai saja sudah habis tiga miliar. Mungkin nanti bisa habis barang tujuh atau delapan miliar." Media lokal ini pun mengguncang masyarakat setempat.


Wawancara itu ditulis sebagai reportase, judulnya besar, mencolok, dengan huruf-huruf tebal. Foto sang ibu, yang berjilbab dan jari-jari kanannya tak henti-hentinya memutar-mutar tasbih, tampak disengaja betul untuk dijadikan fokus. Foto itu besar, mencolok, dan memancarkan daya tarik mengagumkan bagi kaum ibu, teman-teman pengajian, di mana sang ibu menjadi anggota.


Bangunan yang belum jadi juga ditaruh di latar belakang, melengkapi gambaran sukses keluarga itu. Sejak hari penerbitan media itu, ibu dan keluarganya mandi puja-puji dan kekaguman massa. Mereka dianggap ikon kemajuan di kota kecilnya dan para tetangganya yang kekagumannya tak mungkin disembunyikan. Bukan bagian dari masyarakat kita kalau kekaguman itu berhenti di sana.


Gunjingan pun berkembang. Bahkan ada orang tua yang menjadikan anak sang ibu sebagai model. Anak-anak yang harus bermigrasi ke Jakarta harus juga meneladani sukses hebat itu. Keluarga sang ibu lalu menjadi seperti sebuah "kitab"' yang ajarannya dijadikan panutan para tetangganya. Apa sebenarnya kerja anak sang ibu yang begitu mentereng hidupnya? Tidak ada orang yang tahu secara persis.


Dia ada di mana-mana di kalangan atas. Juga di antara para tokoh partai. Di pengajian, di seminarseminar, dan di tempat golongan intelektual berkumpul, dia selalu ada. Pergaulannya luas. Dunia bisnis pun menerimanya. Tapi, apa sebenarnya pekerjaannya? Di mana kantornya? Berapa anak buahnya? Mengenai hal ini tak ada orang yang tahu persis.


Bukankah tak penting, apa pekerjaannya? Bukankah yang penting orang bisa melihat hasil-hasilnya? Dia sukses. Sukses besar. Apa yang lebih penting dari itu, di mata masyarakat kita yang kagum akan materi, bangga melihat kesuksesan, tanpa peduli bagaimana sukses itu diraih. Orang sekarang tampaknya memandang hidup secara sederhana: sukses ya sukses. Di balik itu yang penting duit. Kantong tebal. Mobil mewah, rumah mewah.


Latar belakang sejarahnya bahwa dulunya miskin, orang tua miskin, kakek, dan kakek buyut juga miskin? Tak menjadi masalah. Yang miskin itu bukankah leluhurnya? Kalau dia sendiri sukses dan kaya apa salahnya? Dia juga gemar pidato tentang apa salahnya kaya. Di mana-mana dia bicara: apa salahnya kaya. Tentu saja tak ada salahnya.


Tapi, kalau orang miskin tiba-tiba kaya, tanpa sejarah, tanpa proses, apakah tidak salah? Logika bisnis seperti apa yang bisa membuat dalil pembenarannya? Moralitas agama dan tradisi macam apa yang bisa menerimanya sebagai kebenaran dan wujud keluhuran? Dia juga dermawan. Kaum miskin, anak-anak yatim piatu disumbang, dan disantuni.


Masjid-masjid disumbang. Tidakkah ini cukup menegaskan kebaikan yang dilandasi kesalehan agamais? Ini semua dimuat juga di media. Orang kampungnya sana kaget lagi mendengar kemuliaan ini. Sukses dan kesalehan tergabung dalam hidup seorang anak muda. Kejutan muncul tiap saat, meneguhkan kebahagiaan hidup orang tuanya, saudara-saudara, dan sanak kerabat di kampung.


Tapi sekali lagi, jantung para tetangganya, yang sudah menjadi pengagum fanatik itu, haruslah sekuat baja menghadapi banyak kejutan yang silih berganti. Sekarang kejutan baru muncul: media cetak, media "online", televisi, dan radio, serentak menyiarkan berita baru yang mengejutkan; anak sang ibu, yang sukses luar biasa tanpa kerja keras itu, terlibat korupsi.


Ulahnya mengakibatkan kerugian besar bagi negara. Sejumlah angka disiarkan. Bersama siapa, dalam proyek apa, dan dengan taktik bagaimana korupsi itu dilakukan, semua disiarkan secara detil, jelas, tanpa menyisakan pertanyaan. Para tetangga di kampung yang jauh di mata, jauh dari Jakarta, juga mendengar siaran itu.


Bahkan ada televisi Jakarta yang datang ke kampung, mewawancarai ibunya, dan memotret bangunan yang belum selesai, dan tampaknya tak akan selesai itu. Para tetangga, pengagum, dan pemuja, yang menjadikan keluarga itu, terutama sang anak yang sukses sebagai teladan? Semua, ibaratnya, pingsan. Semua bisu.


Semua begitu malu telah mengagumi orang yang tak layak diluhurkan budinya. Aib pribadi, aib keluarga, aib tetangga, dan terbuka. Aib macam ini sekarang terbuka lebar di banyak pribadi yang korup, di banyak keluarga. Pendeknya, aib dibuka di mana-mana. []

 

KORAN SINDO, 27 Januari 2014

Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

Friday 24 January 2014

[wanita-muslimah] Jaga dirilah untuk tidak sakit.

 

Miris; sebaiknya kita menjaga diri, jangan sampai sakit, walaupun kita yakin Allah yang mentaqdirkan sakit, sembuh,  ataupun mati. 


Semoga saja kita masih dapat bersabar menghadapi kenyataan sekarang ini; orang miskin tak boleh sakit <jika terlanjur sakit segera lebih bersiaplah untuk mati>. Kita bermohonlah kepada Allah agar permasalahan segera terpecahkan. Mari dengan ketulusan hati kita berdoa, semoga yang membuat kisruh segera bertaubat, dan mendapat bimbingan Allah. Bagi yang punya jalur, mari kita ingatkan mereka yang bertanggung jawab untuk menyadari kewajibannya; jika mereka tak mau menyadari kita mohonkan dengan kepasrahan hati kita berharap semoga Allah memberi peringatan keras kepada mereka yang menyengsarakan itu. Kita yakin Allah akan mengabulkan doa hambaNya yang terdzalimi penguasa ini...... 

Silakan cermati pembahasan panjang (45 menit) dalam rekaman di:
http://www.youtube.com/watch?feature=youtu.be&v=93X9hGCgivA&desktop_uri=%2Fwatch%3Fv%3D93X9hGCgivA&feature=youtu.be&app=desktop

 

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

[wanita-muslimah] Kang Komar: Gubukku Terbakar

 

Gubukku Terbakar

Oleh: Komaruddin Hidayat

 

Alkisah, terdapat sebuah kapal kecil mengalami kecelakaan di laut. Dari sekian banyak penumpang, terdapat seorang yang pandai berenang sehingga berhasil menyelamatkan diri di sebuah pulau terpencil, tak ada penghuninya.


Dengan sabar dia menunggu kalau-kalau ada kapal yang mampir. Selain cuaca panas, di pulau itu juga sering turun hujan lebat. Maka, dia membuat gubuk tempat bernaung dari terik panas matahari dan curah hujan. Dia bertahan hidup dengan mencari buah-buahan, menangkap ikan, dan rajin berdoa kepada Tuhan, semoga segera datang pertolongan. Namun belum juga ada tanda-tanda datang pertolongan.


Suatu hari setelah seharian mencari kayu dan buah-buahan, dia menangis pilu melihat gubuknya terbakar. "Ya Tuhan, apa salah dan dosaku. Tega nian Engkau melakukan ini padaku. Satu-satunya milikku hanyalah gubuk ini untuk bertahan hidup. Tapi sekarang terbakar."Besok paginya dia kaget campur gembira ketika melihat ada kapal mendekat ke pulau itu yang datang menawarkan pertolongan.


Dia pun bertanya, "Dari mana Saudara tahu bahwa saya sudah lama terdampar di pulau ini dan siang-malam berdoa kepada Tuhan menunggu pertolongan?" Penolong itu pun menjawab, "Aku melihat asap api membubung dari arah pulau ini. Aku yakin pasti ada seseorang yang memerlukan pertolongan, maka aku datang ke sini dan ternyata dugaanku benar. Ayo segera naik kapal, kita kembali ke daratan."


Pesan moral kisah singkat ini sangat jelas. Ketika terkena musibah, jangan berhenti berusaha dan berdoa. Berusaha dengan segenap kekuatan nalar dan tenaga, berdoa kepada Tuhan dengan ketulusan hati sedalam-dalamnya. Ora et labora. Sehebat dan sepintar apa pun seseorang tak ada jaminan tercapai apa yang didambakannya dalam hidup. Jika tidak disertai kepasrahan kepada Tuhan, ketika terjadi kegagalan akan semakin frustrasi dan kehilangan keseimbangan hidup.


Bahkan ada yang bunuh diri. Sebaliknya, sekalipun rajin berdoa jika tidak disertai usaha secara rasional dan sungguh-sungguh, tak akan terjadi keajaiban. Misalkan Anda masuk ruang ATM ingin mengambil uang, jika nomor PIN salah, uang tak akan keluar sekalipun berjam-jam Anda berdoa dan bersembahyang di ruang ATM.


Pesan moral kedua, jawaban Tuhan dari doa seseorang tidak seketika. Bahkan tidak jarang dalam bentuk lain, di luar apa yang diminta. Dalam hal ini, Tuhan mengganti dengan sesuatu yang lebih tepat bagi hamba-Nya karena Tuhan Mahatahu apa yang terbaik baginya. Makanya ketika berdoa, mesti yakin bahwa doanya didengar dan dikabulkan, tetapi hindari sikap mendikte Tuhan ketika berdoa.


Dalam tradisi Islam, berdoa selalu dimulai dengan pujian dan penyampaian rasa syukur atas anugerah Tuhan yang melimpah tak terhitung. Kedua, menyampaikan permohonan. Ketiga, ditutup dengan sikap rendah hati bahwa Tuhan Mahasuci dari apa yang manusia pikirkan dan sungguh segala pujian hanya milik Tuhan. Dengan urutan ini, kita diajari berdoa dengan sopan dan sungguh-sungguh, tetapi ujungnya keputusan akhir kita kembalikan kepada Tuhan yang mahatahu, mahasuci, dan maha terpuji.


Artinya, kita mesti rida dengan apa pun keputusan Tuhan yang akan diberikan kepada kita. Bahwa apa yang terjadi, itulah yang terbaik setelah kita berusaha secara optimal, lahir dan batin. Dalam Alquran diingatkan (QS 2:216), kita sering membenci sesuatu, padahal di balik itu justru tersimpan kebaikan. Sebaliknya, kita sering terpikat dan kagum akan sesuatu, padahal apa yang kita dambakan itu mencelakakan.


Makanya orang tua selalu memberi nasihat, janganlah membenci atau mencintai sesuatu secara berlebihan karena bisa jadi suatu saat apa yang kamu cintai atau benci akan berbalik posisinya. Banyak kisah hidup yang membenarkan peringatan di atas. Misalnya saja, ada orang yang kesal karena terlambat naik pesawat gara-gara satu dan lain hal yang tidak terduga. Beberapa jam kemudian baru tersadar dan dibuat kaget, merenung, ternyata pesawat yang mestinya dia naiki mengalami kecelakaan.


Cerita serupa bisa diperbanyak karena dalam masyarakat banyak terjadi hal yang awalnya bertolak belakang dengan logika sehat dan keinginan, tetapi setelah selang beberapa waktu baru terbuka tabir kehendak dan kasih Tuhan di balik suatu musibah. Salah satu cara untuk bermohon kepada Tuhan agar terhindar dari musibah yang tidak terduga adalah dengan memperbanyak bersedekah, sekecil apa pun yang dilakukan secara rutin.


Jangan lewatkan tiada hari tanpa menolong dan menggembirakan orang lain, khususnya mereka yang dalam kesulitan. Kalaupun tidak bisa harian, minimal dilakukan setiap minggu secara sadar, dilakukan dengan tulus. Beberapa orang pernah mengalami kejadian-kejadian yang membuatnya surprised seperti kisah singkat di atas tentang gubuk yang terbakar. Berulang kali terhindar dari kecelakaan, yang menurut nalar sulit dipahami.


Dia yakin, itu pasti semata pertolongan Tuhan karena dia secara rutin senang menolong hamba Tuhan yang dalam kesulitan. Rasulullah bersabda, Tuhan akan senantiasa menolong hamba-Nya selama dia senang menolong sesamanya. []

 

KORAN SINDO, 24 Januari 2014

Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

Wednesday 22 January 2014

[wanita-muslimah] Gus Sholah: Sumbangsih Pesantren bagi Indonesia

 

Sumbangsih Pesantren bagi Indonesia

Oleh: Salahuddin Wahid

 

Pendidikan Islam di Nusantara dimulai pada abad ke-9 di Barus, dekat Sibolga, ketika banyak orang LN, termasuk ulama, datang ke sana. Daya tarik utama bagi pendatang itu adalah produksi getah pohon barus atau kapur barus yang dijadikan wewangian, berbeda dengan kamper yang kita kenal sekarang.


Tahun 1400-1680 adalah masa puncak perdagangan rempah-rempah yang tergambar pada jumlah dan ukuran kapal. Masa tersebut merupakan masa kejayaan Islam Melayu Nusantara. Salah satu aspek yang perlu dicatat adalah ''proses pembentukan kebudayaan Melayu modern'' ketika bahasa Arab menjadi acuan utama bagi pemilihan kata-kata dan adanya tulisan Arab Melayu yang disebut huruf Jawi. Bahasa Melayu menjadi lingua franca kegiatan perdagangan dan politik di Nusantara.


Menurut Anthony Johns, perubahan masyarakat Melayu menjadi muslim merupakan peristiwa yang menakjubkan. Pertama, berlangsung saat imperium Islam mengalami kemunduran. Kedua, perubahan agama di wilayah Melayu itu berlangsung cepat tanpa dukungan kekuatan politik atau militer. Ketiga, jumlah penduduk yang berubah agama dari Hindu menjadi muslim mencapai 89 persen dari seluruh penduduk Melayu Nusantara. Kunci perubahan itu adalah pesantren.


Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419 di Gresik) dipandang sebagai gurunya guru dari tradisi pesantren. Pesantren tertua dan terkenal di Jawa adalah Pesantren Tegalsari di Ponorogo yang didirikan pada abad ke-15 oleh Kiai Hasan Besari. Santrinya yang terkenal adalah Ronggowarsito. Pesantren tertua yang masih aktif sampai kini di Jawa adalah Pesantren Sidogiri di Pasuruan yang didirikan pada 1745. Selanjutnya adalah Pesantren Jamsaren Solo (1750); Pesantren Miftahul Huda Gading, Malang (1768); serta Pesantren Buntet, Cirebon (1785). Sejumlah pesantren terkenal didirikan belakangan, yakni Pesantren Tebuireng (1899), Pesantren Lirboyo (1910), dan Pesantren Gontor (1926).


Pendidikan Barat v Pendidikan Islam


Lembaga pendidikan didirikan Hindia Belanda pada awal 1840-an atas saran Snouck Hurgronye. Tujuannya, memperoleh tenaga untuk keperluan pemerintah Hindia Belanda dan perusahaan Belanda. Juga, menandingi pengaruh pesantren yang menyulitkan pemerintah kolonial Belanda. Menurut Snouck Hurgronye, kebudayaan wilayah jajahan perlu dipadukan dengan kebudayaan Belanda. Pemerintah kolonial mendidik kaum elite Indonesia agar secara umum berbudaya Belanda. Sistem pendidikan Belanda adalah sarana paling baik untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan Islam di wilayah Hindia Belanda.


Para pemuda terdidik itu berkumpul di Jakarta dalam Kongres Pemuda kedua (1928) dan membuat kesepakatan yang kelak disebut Sumpah Pemuda. I


Sejumlah tokoh pesantren ikut dalam BPUPKI dan PPKI yang menyiapkan rancangan UUD. Tokoh-tokoh pesantren membentuk Lasykar Hisbullah yang menjadi salah satu unsur dalam pembentukan TNI. Tentara Belanda kembali ke Indonesia dengan mendompleng Sekutu yang merasa menguasai eks Hindia Belanda karena Jepang menyerah kepada Sekutu. Menghadapi situasi sulit itu, para ulama NU mengeluarkan Resolusi Jihad.


Sejumlah tokoh pesantren menjadi menteri. Pada 1950, Menteri Agama Wahid Hasyim dan Menteri Pendidikan Bahder Johan membuat nota kesepahaman dalam memadukan pendidikan Islam dengan pendidikan nasional. Tokoh-tokoh pesantren menggagas berdirinya PTAIN yang berkembang menjadi IAIN dan selanjutnya menjadi UIN.


Memadukan Islam dan Pancasila


Tokoh-tokoh Islam (KH Wahid Hasyim, Agus Salim, dll) bersama tokoh pendukung Pancasila (Bung Karno, Bung Hatta, dll) berjuang memadukan keislaman dan keindonesiaan. Diperlukan waktu 40 tahun untuk memadukan Islam dan Pancasila. Muktamar NU 1984 menyetujui Dokumen Hubungan Islam dan Pancasila yang menyatakan bahwa Pancasila bukanlah agama dan tidak dapat menggantikan agama. Tanpa peran pesantren, wajah mayoritas umat Islam Indonesia mungkin akan sangat berbeda, tidak tawasuth (moderat) dan tasamuh (toleran) seperti sekarang.


Affirmative Program


Jumlah pesantren di Indonesia kini mencapai 28.000 pesantren dengan santri/murid hingga 4 juta orang. Kebanyakan adalah pesantren kecil. Pada 1998, jumlah pesantren sekitar 8.000 pesantren. Hal itu menunjukkan bahwa daya tarik pesantren sangat tinggi.


Lebih banyak madrasah yang didirikan swasta. Dari sekitar 252.000 sekolah dan madrasah, hampir 40 persen adalah sekolah swasta. Di luar SD, dari sekitar 122.000 sekolah dan madrasah, hampir 80 persen adalah sekolah swasta. Ditambah fakta bahwa 40 persen dari 3 juta guru adalah guru swasta, hal itu menunjukkan bahwa peran swasta (sebagian besar adalah pesantren) dalam pendidikan di Indonesia masih besar.


Namun, pesantren dan masyarakat sekelilingnya di pedalaman (rural area) masih tertinggal dibanding mereka yang di perkotaan. Perhatian pemerintah terhadap mereka masih kurang.


Diperlukan suatu affirmative program untuk membantu pesantren, terutama yang kecil, agar bisa meningkatkan diri dan masyarakat sekelilingnya sehingga mampu menghadapi tantangan zaman. Hanya 7 persen pemuda usia kuliah yang hidup di pedalaman yang bisa ke perguruan tinggi. Mereka tidak bisa kuliah di kota besar karena biaya hidup/biaya kuliah mahal. Jumlah bangku kuliah tidak mencukupi. Perlu pendidikan tinggi bagi rakyat kecil di pedalaman yang akan memberikan multiplier effect tinggi. []

 

JAWA POS, 15 Januari 2014

Salahuddin Wahid ; Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___