Yang memerdekakan indonesia saya baca di sejarah adalah Ameriqia lewat mereka punya bom atom di hiroshima dan nagasaki yg menjadi pembalas japun punya ulah di pearl harbour, menjadikan japun harus mudik dr seantero pasifik. Dan indonesia dapet kado palsu yaitu bisa merdeka walau hanya di mulut saja. Karena sejak itu kita di jajah Ameriqia dan Mamah nya yaitu inggris jg paman2nya yg lain dr eropa. Belom lg yg matok2 tanah kita dr china, arab dll. Huaaaaaaa
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
-----Original Message-----
From: Kartono Mohamad mohnuh2002@yahoo.com>
Sender: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Date: Thu, 28 Feb 2013 07:46:04
To: wanita-muslimah@yahoogroups.comwanita-muslimah@yahoogroups.com>; Undisclosed-Recipient@yahoo.comUndisclosed-Recipient@yahoo.com>
Reply-To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Subject: Re: [wanita-muslimah] Habib Rizieq: "Indonesia bukan Negara Demokrasi
Lucu juga nih Habib. Bilang bukan negara demokrasi tapi mengatakan bahwa yang mayoritas yang berhak menetapkan dasar negara. Lha kan itu juga prinsip demokrasi? Malah bukan musyawarah lagi.
Lucu yang kedua, yang berdarah-darah membela negara ini kan orang muslim. Dari mana pula dasarnya? Lahir tahun berapa dan di mana bung habib ini sehingga tidak mengetahui sejarah Indonesia?
KM
________________________________
From: Sunny ambon@tele2.se>
To: Undisclosed-Recipient@yahoo.com
Sent: Thursday, February 28, 2013 3:48 AM
Subject: [wanita-muslimah] Habib Rizieq: "Indonesia bukan Negara Demokrasi
http://www.arrahmah.com/news/2013/02/23/habib-rizieq-indonesia-bukan-negara-demokrasi.html#.US5v0FebJlk
Habib Rizieq: "Indonesia bukan Negara
Demokrasi"
Oleh Saif Al BattarSabtu, 17 Rabiul Akhir 1434 H / 23
Februari 2013 12:57
Habib Rizieq Syihab
(hafizahullah)
JAKARTA (Arrahmah.com) - Benarkah Indonesia Negara
Demokrasi? Pertanyaan itu dilontarkan Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Habib
Muhammad Rizieq Syihab dalam acara bertajuk NKRI Bersyariah, di Jakarta, Jumat
(22/2/2013).
Secara singkat Habib Rizieq menguraikan, bahwa
ketika perdebatan tentang Dasar Negara sebelum kemerdekaan diproklamirkan,
Muhammad Yamin, Soepomo dan Soekarno mengajukan usulannya.
Pada tanggal 29 Mei 1945 dalam sidang Badan
Penyelidik Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Muhammad Yamin
mengusulkan Lima Dasar Negara tanpa menggunakan istilah Pancasila. Lima Dasar
Negara usulan M. Yamin adalah: 1. Peri Kebangsaan, 2. Peri Kemanusiaan, 3. Peri
Ketuhanan, 4. Peri Kerakyatan, 5. Kesejahteraan Sosial.
Pada sidang terakhir BPUPKI 1 Juni 1945 Soekarno
mengajukan Lima Dasar: 1. Kebangsaan Indonesia, 2. Internasionalisme atau Peri
Kemanusiaan, 3. Mufakat atau Demokrasi, 4. Keadilan Sosial, 5.
Ketuhanan.
"Baik usulan Soepomo, Yamin maupun 'Pancasilanya
Soekarno', itu tidak pernah menjadi kesepakatan maupun keputusan BPUPKI," kata
Habib Rizieq.
Kata Habib Rizieq, sidang berjalan alot. BPUPKI
terbelah antara kelompok sekuler dengan kelompok Islam. Kelompok Islam sudah
tentu menginginkan Negara berdasarkan Islam, dan ditentang kelompok
sekuler.
Akhirnya sidang membentuk Panitia Sembilan. "Ada
empat ulama dalam Panitia Sembilan ini, yaitu KH Abdul Wahid Hasyim (NU), KH
Abdul Qohar Muzakkir (Muhammadiyah), KH Agus Salim dan Abikoesno Tjokrosoejoso,
keduanya dari Syarikat Islam," ujar Rizieq. Sementara golongan sekuler diwakili
Soekarno, M. Hatta, M. Yamin dan Ahmad Soebardjo. Dan, kalangan Kristen diwakili
A.A Maramis.
Habib Rizieq menegaskan, justru Panitia Sembilan
yang berhasil menetapkan Dasar Negara yang dibingkai dalam Piagam Jakarta pada
22 Juni 1945. Lima Dasar Negara itu adalah: 1. Ketuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, 2. Kemanusiaan yang adil dan
beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, 5. Keadilan Sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Malah sebelumnya, bunyi sila pertama versi
Piagam Jakarta itu adalah: 'Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam', tanpa diikuti kalimat 'bagi pemeluk-pemeluknya'. Tetapi kemudian muncul
kompromi dengan menambah kalimat 'bagi pemeluk-pemeluknya'.
Disepakati pula saat proklamasi kemerdekaan,
Piagam Jakarta ini secara resmi akan dibacakan. Tapi, kata Habib Rizieq, terjadi
penelikungan. Pada 17 Agustus 1945 itu bukan Piagam Jakarta yang secara resmi
dibacakan, melainkan secara dadakan Soekarno membuat teks proklamasi dengan
singkat lewat tulisan tangan. Teks proklamasi dadakan dan singkat inilah yang
dibacakan untuk proklamasi kemerdekaan sebagaimana dikenal sampai
sekarang.
Parahnya lagi, pada keesokan harinya, 18 Agustus
1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang, dan terjadilah
terjadi pengkhianatan. Tanpa melibatkan wakil-wakil Islam sebagaimana dalam
sidang BPUPKI sebelumnya, terjadilah pencoretan tujuh kata dalam sila pertama
yang berbunyi: 'kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya'.
Dalih bahwa kalangan Kristen Indonesia Timur
akan menarik diri dari NKRI jika Piagam Jakarta dideklarasikan seperti
disampaikan Hatta yang, katanya, mendapat informasi dari opsir Jepang, menurut
sejarawan dan budayawan Ridwan Saidi, itu dusta belaka. Tak ada
faktanya.
Tanpa melibatkan wakil-wakil islam dalam
pengesahan Dasar Negara Pancasila yang berbeda dengan Piagam Jakarta,
sesungguhnya siding PPKI 18 Agustus 1945 itu tidak sah. Jadi, sebenarnya sampai
sekarang jika umat Islam menegakkan syariat Islam di republik ini adalah sah.
Yang berlawanan atau menentang, justru masuk kategori subversif.
Toh, meskipun demikian, kata Habib Rizieq, sila
pertama yang diganti (tanpa melibatkan wakil-wakil Islam) menjadi 'Ketuhanan
Yang Maha Esa", itu pun jelas maksudnya Allah Subhanahu Wata'ala. Sebab, Tuhan
Yang Esa itu hanya ada dalam Islam. Ditambah lagi ditegaskan dalam Muqaddimah
UUD 1945 pada alenia ketiga: "Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa", ini
jelas merujuk kepada Islam.
Dengan pengkhianatan ini, sesungguhnya sidang
PPKI yang tak melibatkan wakil-wakil Islam yang sudah menyepakati Piagam Jakarta
bersama kelompok sekuler dan satu orang wakil dari golongan Kristen, adalah
tidak sah. Dasar Negara yang sah adalah yang disepakati dan ditandatangani pada
22 Juni 1945 yang terdapat dalam Piagam Jakarta.
"Historisnya, Pancasilanya Soekarno ditolak.
Yang disepakati adalah Dasar Negara yang terdapat dalam Piagam Jakarta," ungkap
Habib Rizieq.
Lantas, kata Habib Rizieq, bagaimana ceritanya
ujuk-ujuk Indonesia disebut sebagai Negara Demokrasi? Pancasila yang dijadikan
sebagai Dasar Negara (lewat pengkhianatan) itu tidak menyebut republik ini
sebagai sebagai Negara Demokrasi.
Tapi, lucunya, ungkap Habib Rizieq, Soekarno
pernah mendeklarasikan Demokrasi Liberal dan Demokrasi terpimpin untuk tujuan
melindungi Komunisme. Sementara Soeharto mendeklare Demokrasi Pancasila untuk
melindungi Kebatinan.
Da, sekarang, yang katanya era 'reformasi' lebih
kebablasan lagi. Jadi, jangankan untuk "bertaubat" mengembalikan syariat Islam
sesuai kesepakatan dalam Piagam Jakarta, Pancasila sendiri diselewengkan dengan
menyelenggarakan pemilihan langsung (presiden dan kepala daerah)–yang
mengeluarkan banyak uang, sehingga pada nekat korupsi mencari uang haram agar
terpilih dalam "pesta demokrasi", yang kalau sudah terpilih muncul lagi aksi
untuk mengembalikan modal plus keuntungannya, sehingga jadilah demokrasi
melahirkan para koruptor!
Habib Rizieq menceritakan, ia pernah mendapat
kunjungan dari beberapa jenderal membahas soal ini. Menurut para jenderal itu,
Indonesia adalah Negara Demokrasi. Lalu, ujar Habib Rizieq, tidak ada kata-kata
atau kalimat dalam Pancasila atau UUD 45 yang menunjukkan Indonesia sebagai
Negara Demokrasi.
"Ada," jawab para jenderal itu, "Dalam Pancasila
sila ke-4, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan itu maksudnya adalah demokrasi."
"Itu Musyawarah. Musyawarah itu berbeda dengan
Demokrasi," kata Habib Rizieq kepada para jenderal itu. Kemudian Habib Rizieq
menguraikan beda Musyawarah dengan Demokrasi.
Akhirnya, cerita Habib Rizieq, jenderal-jenderal
itu mengangguk bahwa Indonesia bukan Negara Demokrasi, melainkan, semestinya
disebut Negara Musyawarah.
Celakanya lagi, kata Habib Rizieq, jika Soekarno
mendeklare Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin dan Soeharto memaksakan
istilah Demokrasi Pancasila, eh di era "reformasi" kian parah. Ada liberalisasi
Pancasila. Pancasila diliberalkan.
Sebut misalnya, pemilihan presiden langsung atau
kepala daerah yang dipilih langsung, itu justru bertentangan dengan sila keempat
Pancasila yang menganut asas musyawarah untuk mufakat.
Dalam konteks ini, menurut Habib Rizieq, ada
unsure kesengajaan dengan mengorupsi terminologi (istilah). Kelompok sekuler
menafsirkan seenaknya, sehingga kata Musyawarah ditafsirkan sebagai
Demokrasi.
Dalam hal ini, Habib Rizieq menambahkan,
termasuk, misalnya, penggunaan istilah parlemen, itu juga untuk mengaburkan kata
Musyawarah dan Perwakilan. "Jangan sebut parlemen, tapi DPR (Dewan Perwakilan
Rakyat) dan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat)," tegasnya.
Ini bermula dari pengkhianatan terhadap islam
dan kaum Muslimin yang berkuah darah bermandikan keringat dalam merebut
kemerdekaan republik ini.
Umat Islam sebagai pemegang saham mayoritas
negeri ini adalah yang berhak menetapkan Dasar Negara dan mengisi pembangunan
republik dengan landasan syariat islam.
Jika ada pihak yang mengatakan, ini bukan Negara
Islam, kalau ente mau menegakkan syariat Islam di Negara ini, dan tidak suka
dengan kondisi Indonesia sekarang, 'silakan keluar', maka, kata Habib Rizieq,
justru sebaliknya, merekalah yang harus keluar.
Sebab, penetapan Dasar Negara Indonesia yang
dibingkai dalam Piagam Jakarta itulah yang sah, karena disepakati dan
ditandatangani oleh para pendiri bangsa ini, tapi terjadi penelikungan dan
pengkhianatan pada 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan—dimana
teks proklamasi yang semestinya adalah pembacaan Piagam Jakarta secara resmi
oleh Soekarno, bukan teks proklamasi dadakan hasil dari tulisan tangan presiden
pertama RI itu.
Bahkan, tak hanya menyepakati Dasar Negara dalam
bingkai Piagam Jakarta, umat Islamlah yang bermandikan darah bercucuran keringat
untuk merebut dan memerdekakan republik ini. Jadi, masuk akal jika kaum Muslimin
adalah yang paling berhak mengatur negeri ini. Ini historis. Jangan mengingkari
sejarah! Ini negeri Islam. Jadi, kata Habib Rizieq, umat Islam harus mengisi
negeri ini dengan syariat Islam, bukan malah minggir apalagi keluar dari
NKRI.
Jadi, apapun ceritanya, mengungkap historis
perjalanan bangsa dan Negara ini, lebih dari itu, Indonesia sebenarnya adalah
Negara yang berdasarkan Islam, setidaknya bagi pemeluk-pemeluknya diwajibkan
menjalankan dan menegakkan syariat Islam di persada ini. Yang protes dan
menghalangi, jutsru menentang kesepakatan ditandatanganinya perumusan Dasar
Negara dalam Piagam Jakarta!
Kalaupun tak mengacu pada Piagam Jakarta, Negara
ini berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yakni Allah Subhanahu Wata'ala. Sebab,
Tuhan Yang Maha Esa itu adalah Allah. Ditambah lagi dalam Muqaddimah UUD 1945
ditegaskan, republik ini merdeka "Atas Berkat Rahmat Allah…"
Bahkan, imbuh Habib Rizieq, dalam batang tubuh
UUD 45 pasal 29 ayat 1 dipertegas lagi, "Negara berdasar Atas Ketuhanan Yang
Maha Esa".
Jadi, kata Habib Rizieq, sungguh sangat sah jika
Indonesia berada dalam NKRI Bersyariah—Negara Kesatuan yang melaksanakan dan
menegakkan syariat Islam. Negara yang berlandaskan Islam, menjalankan syariat
Islam, setidaknya bagi para pemeluknya—dan bukan Negara Pancasila, apalagi
Negara Demokrasi.
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (3) |
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment