Advertising

Tuesday 9 September 2014

RE: [wanita-muslimah] Hamid: Jejak Persekongkolan dan Perselingkuhan Politik

 

Kemarin pagi dalam waktu senggang, istri saya bertanya kepada saya dalam mengomentari koalisi merah putih: "Apakah politik itu begitu kotor sehingga kemengan Jokowi-Jk harus dibendung lewat parlemen?"

 

Saya jawab:

 

Heheheh…(sambil tertawa), ya memang begitu politik. Baik atau kotor tergantung dari sisi mana kita melihat. Yang namanya politik itu memang alat untuk merebut kekuasaan atau berkuasa. Selama tidak ada UUD yang melandasi kerja parlemen, ya sah-sah saja koalisi merah putih bermain di parlemen. Ini kalau kita jujur dalam melihat segala sesuatunya. Lha, yang menulis di surat-surat kabar seperti Hamid Awaludin, Saldi Isra, dan teman-temannya ya menganggap koalisi merah putih itu melakukan perselingkuhan, bahkan mereka menganggap mereka koalisi mp merampas hak rakyat; karena para penulis atau surat kabar yang menyatakan demikian itu memang di posisi Jokowi-JK.

 

Saya yang memilih jalur putih (diam di rumah ketika pilpres) ya tinggal melihat saja permainan yang terjadi, yang penting saya setia kepada NKRI. Seperti semangat yang dimiliki orang Jepang, "perdana menteri boleh berganti setiap hari, tetapi jangan sekali-kali orang politik meributkan kaisar, karena kaisar itu simbol kesatuan dan kejayaan Jepang". NKRI itu harga mati, itulah sikap satria Indonesia. Jadi, kalau tak ingin sistem pemilihan ketua DPR/MPR itu berubah, ya lakukan sidang MPR untuk mengamandemen UUD 1945, sehingga ada ayat yang menyatakan bahwa pimpinan MPR/DPR secara otomatis dipegang oleh partai pemenang pemilu legislatif. Selama aturan demikian belum atau tidak ada, ya sah-sah saja mereka membentuk UU baru untuk mengganti yang lama.

 

Begitu juga MK, kalau jujur sejujur-jujurnya, ya MK tak perlu menerima gugatan dari partai yang ada di DPR RI. Misalnya, PDIP mengajukan gugatan UU MD3 ke MK; ini salah. PDIP itu pemain. Lha, kalau pemain boleh menggugat, wah nanti partai yang kalah di parlemen dalam membuat UU akan menggugat ke MK. Piye, iki? Ya, ini yang akan menimbulkan kekisruhan itu. Kalau kita konsisten dengan UUD, ya menunggu 5 tahun lagi untuk melakukan perubahan UU di DPR. Begitu juga jika MK tidak berpihak kepada partai politik tertentu, selama UU yang disahkan itu tidak bertentangan dengan UUD, MK juga tak perlu mencari dalih untuk menggugurkan UU yang menurut orang-orang MK berseberangan dengan dirinya. Oleh karena itu, saya berharap semuanya bisa berpikir waras.

 

Wassalam,

 

Chodjim

 

From: wanita-muslimah@yahoogroups.com [mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com]
Sent: 10 September, 2014 08:08
To: kmnu2000@yahoogroups.com
Subject: [wanita-muslimah] Hamid: Jejak Persekongkolan dan Perselingkuhan Politik

 

 

Jejak Persekongkolan dan Perselingkuhan Politik

Oleh: Hamid Awaludin

 

JARANG-jarang sebuah undang-undang menjadi topik ingar-bingar politik yang lama menyita perhatian sebagaimana gema yang timbul dari UU Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah alias UU MD3. Di tengah prestasi anggota Dewan yang jeblok di bidang legislasi, revisi UU untuk membenahi pasal dan klausa UU No 27/2009 itu boleh dikata semacam pertemuan begitu banyak kepentingan politisi dan partai-partai pemilik kursi di Senayan.

 

Sejumlah kalangan menolak UU MD3 pada bagian yang secara telak mengubah tatanan yang telah berlangsung sebelumnya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian Negara Republik Indonesia, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan partai pemenang Pemilu 2014, PDI Perjuangan, adalah beberapa di antaranya. Apa yang salah dari UU MD3?

 

Melampaui akal sehat

 

Perubahan mendasar dari UU No 27/2009 yang termaktub di  UU MD3 ini, antara lain, adalah ditiadakannya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN), Badan Anggaran (Banggar) menjadi alat kelengkapan tetap DPR, pemanggilan dan permintaan keterangan anggota Dewan yang terlibat tindak pidana harus mendapat persetujuan presiden, dan perubahan tata cara pemilihan pimpinan Dewan: tak lagi berdasarkan partai pemenang kursi terbanyak di pemilu legislatif, tetapi lewat pemilihan di DPR.

 

Dengan cara ini, partai Koalisi Merah Putih yang jumlahnya lebih banyak di DPR dibandingkan partai pengusung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla kelak akan menyisihkan peluang kader PDI Perjuangan untuk menjadi ketua DPR.

 

Bagian yang terakhir ini sungguh membuat PDI Perjuangan sesak napas. Aroma persaingan di ajang pemilihan presiden terasa kental. Pengesahan UU MD3 sehari sebelum hari-H pemilihan presiden berlangsung panas dan diwarnai aksi  walk-out. Dari 467 anggota Dewan yang hadir,  12 anggota DPR dari Partai Hanura, 19 dari PKB, dan 78 dari PDI Perjuangan menunjukkan penolakan yang tegas dengan keluar dari ruang sidang. Tinggallah para anggota DPR dari Partai Demokrat, Gerindra, Partai Golkar, PKS, PAN, dan PPP yang kemudian secara aklamasi mengesahkan UU ini.

 

Tak sulit mengidentifikasi dua kelompok ini: yang walk-out adalah koalisi partai pendukung Jokowi dan JK, dan yang tinggal di ruangan adalah koalisi partai pendukung Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.

 

PDI Perjuangan melangkah ke ranah hukum melalui Mahkamah Konstitusi. Perubahan mendadak UU MD3 itu jelas adalah persekongkolan politik untuk menghambat PDI Perjuangan, partai pemenang pemilu, untuk memimpin DPR.

 

Perselingkuhan politik ini sudah melampaui akal sehat kita semua. Betapa tidak, UU yang sama, mengatur tentang tata cara pemilihan pimpinan DPRD provinsi dan kabupaten/kota tetap menggunakan formula bahwa ketua DPRD adalah parpol berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD. Bagaimana mungkin mekanisme dan formula pemilihan pimpinan DPRD berbeda dengan pimpinan DPR. Bukankah mereka semuanya dipilih oleh rakyat melalui mekanisme pemilihan umum dengan standar, proses, penyelenggara, hari dan pemilih yang sama? Di mana hati nurani dan rasa keadilan para anggota DPR yang terhormat itu? Ketidakadilan ini secara kasatmata dapat diukur dengan inkonsistensi yang mereka buat tersebut.

 

Dalam praktik kehidupan demokrasi di dunia ini, yang kita temukan adalah partai pemenang pemilu adalah dengan sendirinya menjadi ketua parlemen. Coba kita lihat di Kongres AS dan Parlemen Inggris: siapa yang memenangi pemilihan legislatif otomatis menjadi ketua parlemen. Tidak ada akal-akalan dan persekongkolan. Ini konsekuensi dari pemilihan terbuka. Nalar kita sulit sekali mencerna, apalagi menerima bahwa pemenang pemilihan legislatif tidak bisa memimpin lembaga yang dimenanginya itu.

 

Alur pikir lain yang bisa menopang keberatan kita dengan persekongkolan politik ini ialah sistem pemilihan umum kita, yang menggunakan sistem daftar terbuka. Artinya, para calon anggota legislatif yang diusung para partai politik, untuk semua tingkatan di setiap daerah pemilihan, menganut sistem perolehan suara terbanyak. Siapa saja calon yang memperoleh suara terbanyak di daerah pemilihannya akan terpilih menjadi anggota legislatif, terlepas dari nomor urut yang dimilikinya.

 

Makna dari sistem seperti ini adalah orang yang memperoleh suara terbanyaklah yang diberi kesempatan duduk di lembaga legislatif. Sealur dengan logika ini, partai pemenang dalam pemilihan legislatiflah yang diberi kesempatan memimpin lembaga legislatif. Bukan partai yang memperoleh suara lebih sedikit daripada pemenang yang menjadi ketua lembaga legislatif.

 

Perselingkuhan politik

 

Aroma perselingkuhan politik yang menjadi motivasi perubahan UU MD3 ini pelik sekali untuk dihindari. Masalahnya, ia disahkan dalam tenggang waktu yang patut dicurigai, yakni sehari menjelang dilaksanakannya pemilihan umum presiden-wakil presiden, yang memang saat itu lembaga-lembaga survei yang kredibel sudah menjagokan pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang. Jadi, ini semacam isyarat jelas kepada Jokowi-JK bahwa mereka boleh kalah dalam pemilihan presiden-wakil presiden, tetapi menang dalam pemilihan ketua DPR.

 

Partai-partai politik yang mengegolkan UU MD3 ini tidak berani mengubah UU tersebut sebelum pemilihan legislatif karena mereka takut tidak dipilih oleh rakyat yang menantang perubahan yang melindungi kepentingan para anggota Dewan yang terhormat itu. Maka, kini lengkaplah sudah persangkaan publik selama ini tentang "patgulipat" politik di negeri ini. []

 

KOMPAS, 06 September 2014

Hamid Awaludin   ;   Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

__._,_.___

Posted by: "Achmad Chodjim" <chodjima@gmail.com>
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (2)
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.

.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment