Watak DPR dan DPD Sama SajaRESPONS
publik yang tidak bagus kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terus
disuarakan. Hampir tidak ada rencana wakil rakyat itu dalam urusan
penggunaan uang negara yang direspons secara positif, bahkan ditolak
habis.
Mari kita lihat sejak dari periode 1999-2004. Pada periode itu
kenaikan gaji dan tunjangan bagi anggota dewan sangat signifikan. Jauh
melebihi periode sebelumnya, hingga mencapai Rp30 juta di luar
tunjangan jabatan beserta plus-plus lainnya, seperti uang reses
misalnya.
Kemudian kenaikan biaya pembuatan undang-undang dari Rp300 juta
sebelum era reformasi menjadi Rp2 miliar hingga Rp3 miliar lebih pada
tahun 2005-2009. Jumlah itu naik lagi hingga hampir Rp5 miliar pada
tahun 2009-2010.
Periode 2005-2009 adalah era DPR yang paling banyak mendapatkan
hujan kritik dan caci-maki publik, karena periode ini merupakan periode
yang paling banyak menuntut keuangan negara dengan hasil kerja yang
tidak maksimal.
Sebut saja, diantaranya ada tuntutan uang pembelian laptop,
anggaran penggalangan aspirasi rakyat di darah pemilihan (dapil)
masing-masing Rp1,5 miliar per anggota, anggaran renovasi rumah
jabatan, dan uang sewa rumah anggota dewan.
Selain, uang rumah aspirasi yang mencapai ratusan miliar rupiah,
anggaran renovasi Gedung Nuantara I DPR yang diklain sudah tidak layak,
karena sudah miring dan sudah retak-retak, dan anggaran pembangunan
Gedung Baru DPR senilai Rp1,16 triliun.
Ada satu hal yang lolos dari pantauan publik dan sepertinya memang
tidak dipublikasikan oleh Setjen DPR, bahwa renovasi Gedung Nusantara I
DPR itu di luar pembangunan Gedung Baru DPR yang sangat mewah itu.
Setelah mendapat reaksi keras dari rakyat dan setelah dilakukan
investigasi oleh Kementerian Pekerjaan Umum, ternyata gedung itu tidak
miring dan masih layak pakai. Kecuali itu, hanya mengalami retak-retak
saja dan perlu perbaikan kecil.
Setelah rencana itu gagal barulah kemudian Badan Urusan Rumah
Tangga (BURT) DPR mempush pembangunan gedung baru yang memang sudah
direncanakan dan dibahas oleh BURT DPR periode 2004-2009.
Penolakan publik itu pun tidak berhenti. Sekalipun pimpinan DPR
sudah menyatakan pembangunan gedung baru itu merupakan kebutuhan,
karena daya tampung gedung DPR yang ada sat ini (Nusantara I, II, dan
III) sudah tidak mampu lagi.
Dalam kondisi seperti itu, lagi-lagi anggota DPR periode 2010-2014
yang belum genap bekerja satu tahun dengan seenaknya
menghambur-hamburkan uang negara dalam jumlah yang tidak sedikit,
ratusan miliaran rupiah untuk studi banding di 53 negara.
Peristiwa itu menambah kekecewaan rakyat. Kalau tiga bulan lalu
melalui Pelita, disebutkan bahwa "bukan gedungnya, tetapi anggota
dewannya yang miring", maka akhir pekan kemarin berbagai pihak mencap
tabiat anggota dewan cenderung membangkrutkan negara.
Dalam kondisi seperti ini mestinya dewan cooling down dan
memfungsikan lembaga penelitian seperti LIPI dan ITB melakukan survei
dan kajian mendalam tentang suatu perakara legislasi. Itu juga
sekaligus menghidupkan kedua lembaga yang sudah mati fungsi selama ini.
Jadi bagi-bagi tugas dan kesempatanlah. Jangan semua dikuasai DPR,
karena jujur saja anggota dewan itu bukanlah para ahli. Hanya tahu
sedikit-seikit dan itu pun setelah duduk di DPR. Para ahli itu ada di
LIPI, ITB, dan lembaga-lembaga khusus lainnya.
***
SECARA objektif yang dilakukan dewan tidak salah, sah secara hukum,
karena mereka melakukan itu berdasarkan konstitusi. Misalnya kegiatan
studi banding ke luar negeri. Itu diatur dalam peraturan dan tata
tertib DPR.
Tetapi anggota dewan diminta tidak seenaknya berlindung di balik
konstitusi untuk menghamburkan uang negara. Harus ada dan disertai
laporan pertanggungjawaban. Terutama laporan kepada negara dan kepada
publik dari hasil studi banding itu.
Persoalan ini sebetulnya sudah lama dituntut publik. Bahkan
perpustakaan DPR pun sudah berulangkali meminta laporan itu, tetapi
sampai saat ini tidak pernah diberikan. Itu artinya DPR memang dapat
diduga hanya jalan-jalan ke luar negeri, bukan studi banding.
Dugaan itu semakin diperkuat, bahwa hampir semua UU yang dihasilkan
DPR digugat publik ke Mahkamah Kunstitusi untuk di-judicial review. Itu
artinya, produk UU yang dihasilkan itu tidak representatif dan bahkan
lemah.
Sejumlah pengamat mengultimatum agar pimpinan DPR melakukan
moratorium pelaksanaan studi banding itu sampai ada hasil evaluasi yang
akurat, tentang perlu tidaknya studi banding itu dilakukan pada masa
datang.
Adalah Direktur Indonesia Budget Center (IBC) Arif Nur Alam yang
memberikan ultimatum itu. Menurut dia, "pelesiran" dan pemborosan
merupakan kata yang paling tepat untuk penilaian terhadap studi banding
DPR terebut.
Karena itu, kata dia, jangankan berharap pada hasil, mereka saja
pun tidak paham terhadap apa yang mereka lihat, dengar, dan dialogkan
dengan pihak negara yang dikunjungi. Itu juga terjadi karena anggota
dewan itu tidak memiliki kemampuan berbahasa Inggris yag baik.
Penghentian itu mutlak, karena tidak sedikit uang negara yang
dihabiskan begitu saja untuk berkunjung ke-53 negara dalam 58 kali
keberangkatan selama tahun 2010 ini. Uang yang dianggarkan untuk
kegiatan itu Rp170 miliar.
Publik tidak akan berhenti mengeritik jika DPR tak menghentikan
perilaku buruk, hedonis, dan komsuntif itu. Rakyat tidak akan pernah
percaya lagi.
Berdasarkan DIPA DPR pada APBN 2010, total anggaran yang
dialokasikan untuk mendukung kinerja dewan mencapai Rp1,22 triliun.
Namun, alokasi untuk prolegnas sendiri hanya diporsikan 14,3 persen
atau Rp173,4 miliar saja.
Yang lebih miris, dari total alokasi fungsi legislasi sekitar 42,4
persen habis untuk biaya pelesiran itu. Apabila dikelompokkan sesuai
dengan tugas dan fungsinya (Tupoksi), terjadi kenaikan anggaran secara
tajam pada biaya perjalanan dinas luar negeri.
Pada tahun 2005, kunjungan studi banding legislasi dianggarkan
Rp968.450.000. Angka tersebut, membengkak 76 kali lipat untuk anggaran
2010 yang mencapai Rp73.478.147.000.
"Tetapi mana hasil yang dicapai, tidak ada," kata Arif Nur Alam kecewa.
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi)
Sebastian Salang dan mantan calon Presiden dari kalangan independen
Fadjroel Rachman menilai, sikap anggota dewan cenderung membangkrutkan
negara, yang notabene itu adalah uang rakyat.
Padahal, kata Fadjroel, angota dewan saat ini adalah mayoritas kaum
muda yang belum terkontaminasi dari seniornya. Tetapi ternyata mereka
tidak lebih baik. "Tidak punya integritas. Mereka mengkhianati rakyat,"
ujarnya kecewa.
Sebastian Salang juga menyatakan kecewaan terhadap Dewan Perwakilan
Daerah (DPD). Dia justru berharap kepada Lembaga Tinggi Negara ini
suatu saat bisa menjadi tumpuan kepercayaan rakyat, setelah harapan itu
pupus habis dari DPR.
Namun kenyataan berkata lain, DPD juga itut-ikutan studi banding ke
Inggris dengan alasan untuk membuat Law Center, atau semacam lembaga
sentral kajian DPD untuk pemembuatan RUU. Dia meminta lebih baik DPD
fokus pada upaya penguatan kewenangannya. (khairul habiba)
[Non-text portions of this message have been removed]
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment