Advertising

Saturday, 27 November 2010

[wanita-muslimah] Wajah Liyan Sumiati

 



Oleh Armada Riyanto

"Each consciousness pursues the death of the other."

– Hegel

Lagi-lagi tenaga kerja wanita Indonesia dianiaya majikan di Arab

Saudi. Ia Sumiati. Kakinya hampir lumpuh. Mukanya sembab. Bibirnya

digunting. Foto wajahnya mengenaskan.

Yang tak terekam dalam foto itu adalah hujatan, hinaan, dan kata-kata

yang melecehkan. Sumiati merintih karena martabat dan keluhurannya

sebagai manusia dilenyapkan. Filsuf Hegel menegur, setiap kesadaran

manusia hampir selalu mengharapkan kematian liyan. Majikan menganiaya

pembantu. Bangsa ini kasihan kepada korban, tapi menampilkan nurani

acuh, sepi. Seolah kita melihatnya dan berkata, itu sekadar sebuah

nasib. Kesadaran kita pun telah tumpul.

Paradoksal benar perlakuan kita terhadap TKI. Ia atau mereka baru kita

kenali sesudah wajahnya babak belur, terpampang di surat kabar.

Pengetahuan kita tentang mereka seolah post factum penganiayaan. Jika

tidak dianiaya, mereka anonim, tanpa wajah, tanpa nama. Padahal,

mereka penyumbang besar perekonomian negeri ini. Kehadiran mereka di

tanah asing jadi berkah negara. Menurut Badan Nasional Penempatan dan

Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, sumbangan devisa TKI 2008 Rp 130

triliun (13 miliar dollar AS).

Sebelum penganiayaan seolah tak pernah ada seorang Sumiati. Sumiati

tertindas di era poskolonialisme (baca: pasca-penindasan). Ia dianiaya

majikan di negeri orang, serta terdepak dari penghargaan dan

perlindungan negeri sendiri. Mungkin logikanya demikian: di negeri

sendiri tak dihargai, apalagi di negeri orang. Di negara kita TKI

identik dengan yang tersisihkan. Mereka tak mendapat pembekalan

memadai, tak bisa berbahasa asing, tak difasilitasi secara manusiawi,

tak bisa membela diri.

Dia liyan

Liyan adalah konsep ontologis etis. Dalam liyan dipertaruhkan nilai

keluhuran manusia. Dalam buku Second Sex, filsuf Simone de Beauvoir

menulis, "One is not born, but made a woman".

Ungkapan ini mengatakan sebuah protes keras terhadap perlakuan

societas kepada perempuan. Menurut De Beauvoir, perempuan itu tak

(pernah) ada sampai dia "dibuat demikian" oleh societas. Perempuan

telah lama terdiskriminasi. Perempuan tidak terlahir, tapi "dicetak".

Artinya, perempuan sebenarnya teraniaya, terpenjara, terdepak dari

segala pengakuan kesederajatan luhur dan indah. Tubuh perempuan bukan

miliknya, tetapi milik societas. Ia harus bertindak seturut keinginan

societas (laki-laki), untuk sopan santun, menjaga nafsu, dan yang

semacamnya. Demikianlah, tubuh Sumiati, seorang nakerwan, seolah bukan

lagi miliknya. Societas keji, bukan hanya karena telah menganiaya,

melainkan karena tak menghormati kehadiran, kebebasan, keluhuran, dan

kesederajatan martabatnya. Tubuhnya seolah jadi pelampiasan kekesalan

dan kekejian societas maskulinistik yang arogan.

Ia tak dapat lari dari penindasan, tak seperti laki-laki. Sampai kini,

berapa puluh (atau ratus) TKI perempuan yang telah dan sedang dihajar

majikannya. Yang paling dramatis penganiyaan keji di Malaysia, Arab

Saudi (dan Timur Tengah). Kita mendapati mereka seolah makhluk lemah,

menyerah, pasrah.

Analisis De Beauvoir menegur kita. Perempuan telah cukup lama dalam

keterkungkungan. Pendidikan pun seolah bukan hak mereka. Kebebasan dan

otonomitas jadi barang terlarang. Dengan mudah mereka dimaksudkan

societas jadi manusia-manusia yang harus segera mencari laki-laki.

Sesudah mendapatkan, mereka kita maksudkan jadi pendamping suami.

Selanjutnya, menjadi manusia yang tak pernah mandiri, melainkan

tergantung dan terikat. Mereka ada seakan-akan berada di pinggiran

kehidupan sehari-hari. Belum lagi, mereka rentan subyek (tunduk) pada

kekerasan, manipulasi, perbudakan, dan penganiayaan di dalam rumah

tangga. Tidakkah societas ini telah kejam terhadap perempuan? Lihatlah

penganiayaan Sumiati oleh majikannya. Lihatlah reaksi masyarakat yang

sepi protes. Tidak seperti kalau merebak isu agama (sekalipun hanya

isu kecil). Lihatlah pandangan mata societas. Kita hanya berkata,

kasihan. Tidak ada kemarahan protes atas perlakuan yang menginjak-

injak kemanusiaan.

Sungguh sebuah ironi. Ironi peradaban negara di mana Sumiati dianiaya.

Ironi peradaban juga di negara dari mana Sumiati berasal. Ia teraniaya

dan makin parah penganiayaannya oleh kealpaan dan netralitas sikap

hati bangsa ini yang tak jelas.

Media pun ramai-ramai menempatkan di berita utama. Sayangnya, mereka

telah melupakan wajah Sumiati, produk dari societas korup yang luar

biasa. Sosok yang telah jadi penyumbang devisa bagi negara ini telah

terkubur wajahnya. Kita mengenalinya baru setelah wajah itu berlumuran

darah penganiayaan. Sumiati tampil, hadir, terluka. Ia berjasa. Ia

memiliki segala perasaan bangga untuk disebut sebagai manusia, sebagai

warga yang bermartabat mulia. Semoga bangsa ini tidak lupa, ada enam

juta "sumiati" lain. Sumiati adalah "self" (diri) kita, bukan liyan.

Armada Riyanto Guru Besar Filsafat dan Ketua STFT Widya Sasana Malang

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/24/02592430/wajah.liyan.sumiati

Berbagi berita untuk semua
 

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment