Oleh: Desmon Silitonga.
Pada 2 Januari lalu, BPS mengumumkan profil kemiskinan Indonesia. Secara nasional jumlah orang miskin hingga bulan September 2012 tercatat sebanyak 28,59 juta orang (11,66 persen). Jumlah ini turun sebanyak 1,3 juta (0,7 persen) dibandingkan bulan September 2011 yang sebanyak 29,89 juta (12,36 persen).
Jika dilihat lebih detail lagi, hingga bulan September 2012, jumlah orang miskin di kota sebanyak 10,51 juta, berkurang 0,44 juta dari bulan September 2011 sebanyak 10,95 juta. Sementara jumlah orang miskin di desa hingga bulan September 2012 mencapai 18,08 juta atau turun sebanyak 0,86 juta dibandingkan bulan September 2011 sebanyak 18,94 juta. Mencermati data-data statistik ini tentu sebuah prestasi? Namun, dalam realitasnya benarkah demikian? Tunggu dulu.
Oleh karena, data statistik BPS juga mengindikasikan bahwa indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan malah naik sepanjang periode Maret 2012-September 2012. Indeks ini penting untuk melihat kualitas dari kehidupan orang miskin. Indeks kedalaman kemiskinan naik dari 1,88 bulan Maret 2012 menjadi 1,9 September 2012.
Indeks keparahan kemiskinan naik dari 0,47 Maret 2012 menjadi 0,48 September 2012. Kenaikan ini menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran orang miskin cenderung makin menjauhi garis kemiskinan dan sekaligus menunjukkan juga bahwa tingkat ketimpangan pengeluaran makin melebar. Indeks kedalaman kemiskinan dan Indeks keparahan kemiskinan terbesar ditemukan di desa. Indeks kedalaman kemiskinan di kota relatif stagnan, tetapi hal ini bisa meningkat dimasa depan.
Statistik tersebut sekaligus menunjukkan bahwa kebijakan pembangunan ekonomi pemerintah belum secara efektif dan efisien dapat mendorong penurunan tingkat kemiskinan secara cepat dan sekaligus mendorong peningkatan kualitas hidup orang miskin.
Hal ini tentu secara jelas dapat dilihat dari pertama konsentrasi pembangunan yang masih terus difokuskan di sektor jasa yang sangat minim dalam menyediakan lapangan kerja dalam jumlah besar dan sekaligus membutuhkan tingkat skill yang tinggi dan spesifik.
Tentu orang miskin tidak memiliki kemampuan skill yang tinggi, dimana mereka sebagian besar hanya menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan, pengelolahan, dan penggalian yang justru pertumbuhannya sangat rendah, karena tidak mendapat dukungan dari pemerintah.
Kedua fokus pembangunan wilayah masih tetap terkonsentrasi di Pulau Jawa. Pulau Jawa menghasilkan kontribusi sekitar 57 persen terhadap ouput PDB. Sementara, wilayah lainnya (khususnya timur Indonesia) begitu minim. Jika tidak ada perubahan kebijakan pembangunan wilayah, maka penurunan kemiskinan akan tersendat. Sudah saatnya investasi didorong ke Wilayah timur Indonesia.
Tidak Tercermin
Sejak Februari 2005-September 2012 (tujuh tahun lebih), penurunan tingkat kemiskinan Indonesia begitu sangat rendah hanya turun 4,13 persen, dimana pada Februari 2012 sebesar 15,87 persen dan menjadi 11,66 persen pada September 2012. Pencapaian pemerintah Indonesia untuk menurunkan tingkat kemiskinan sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan Vietnam yang dapat menurunkan tingkat kemiskinan hampir 60 persen dalam kurun 10 tahun (Saparini, 2013).
Realitas ini tentu tidak mencerminkan prestasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sangat baik, dimana mampu tumbuh rata-rata 5 persen-6 persen dan tetap dapat tumbuh positif ditengah perlambatan ekonomi global. Indonesia banyak menuai pujian positif dari pencapaian kinerja ekonomi tersebut. Majalah The Economist (10/11/2012) menempatkan Indonesia sebagai negara di Asia yang akan tetap menikmati pertumbuhan tinggi (great moderation) dikala banyak negara mengalami kemerosotan.
Laporan tengah merosotnya pertumbuhan negara maju. Laporan McKinsey Global Institute memproyeksikan tahun 2030 ekonomi Indonesia akan berada di posisi 7 dunia menggeser Inggris dan Jerman. Dan, Jim O' Niel menempatkan Indonesia bersama Mexico, Turki, Korea Selatan (MITS) akan menjadi pilar kekuatan ekonomi global di masa depan yang akan diminati banyak investor global dan bahkan berpotensi menggeser posisi BRIC (Brazil, Rusia, India, China).
Sayangnya, kinerja ekonomi yang sangat baik tersebut tidak mampu membuat kehidupan dan kualitas hidup orang miskin menjadi lebih baik. Ironisnya, pertumbuhan ekonomi yang baik tersebut hanya dinikmati dan menguntungkan segelintir orang, khususnya yang memiliki akses kepada kekuasaan sebagai pemburu rente. Pemerataan hanyalah jargon yang tidak akan pernah terealisasi. Orang kaya makin kaya dan orang miskin makin melarat. Hal ini dapat dilihat dari rasio gini yang terus cenderung melebar yang telah mencapai 0,41 pada tahun 2011. Pemerintah pun tidak memiliki strategi khusus untuk menyempitkan jurang ketimpangan ini.
Anggaran Tidak Berpihak
Minimnya akselerasi untuk menurunkan tingkat kemiskinan menunjukkan bahwa belum ada kesungguhan dan keberpihakan pemerintah. Ini harus jujur diakui. Salah satu bentuk ketidakberpihakan pemerintah untuk menurunkan kemiskinan dapat dilihat dari politik anggaran (APBN). Meskipun nominal APBN terus meningkat setiap tahunnya dan telah mencapai Rp 1683 triliun di APBN 2013, tetapi jumlah tersebut tidak signifikan digunakan untuk program-program untuk menurunkan tingkat melalui kebijakan subsidi dan pemberdayaan.
Nilai subsidi dalam APBN 2013 hanya sebesar Rp 317,2 triliun (3,4 persen dari PDB). Nilai subsidi ini terbilang sangat rendah jika dibandingkan dengan AS yang notabene adalah anti intervensi pemerintah masih mampu mengalokasikan subsidi sebesar 20,5 persen dari PDB di tahun 2011. Demikian juga Kuba bisa mengalokasikan sekitar 36 persen dari PDB di tahun 2011 untuk subsidi (Kompas, 8/1).
Ironisnya, sekitar Rp 274,75 triliun atau sekitar 86,7 persen dari total nilai subsidi tersebut digunakan untuk membiayai dua jenis subsidi, yaitu subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar Rp 193,81 triliun dan subsidi Listrik sebesar Rp 80,94 triliun. Padahal, subsidi BBM yang besar itu terbukti mayoritas dinikmati oleh mereka yang justru memiliki daya beli (purchasing power) yang besar dan dinikmati oleh orang kota yang memiliki kendaraan. Dampaknya subsidi BBM yang besar ini tentu tidak dirasakan orang miskin yang sebagian besar kebutuhan belanjanya digunakan untuk membeli beras dan rokok. (BPS, 2012).
Sementara, alokasi subsidi non-energi yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan orang miskin hanya Rp 42,5 triliun (13,4 persen) untuk subsidi pangan (17,2 triliun), subsidi pupuk (Rp 16,22 triliun), subsidi benih (Rp 1,45 triliun), Public Service Obligation (Rp 1,52 triliun) dan subsidi kredit program (Rp 1,25 triliun).
Bahkan, nilai subsidi BBM jauh melampaui nilai belanja infrastruktur pemerintah tahun 2013 sekitar Rp 203 triliun (dibawah 3 persen dari PDB). Juga lebih rendah dari belanja pegawai Rp 241 triliun. Minimnya, belanja infrastruktur, selain akan menghambat percepatan pertumbuhan ekonomi secara nasional, juga membuat upaya menurunkan tingkat kemiskinan bisa terhambat. Oleh karena, infrastruktur cukup efektif sebagai stimulus untuk pemberdayaan masyarakat miskin, khususnya pembangunan infrastruktur desa.***
Penulis adalah Analis PT. Millenium Danatama Indonesia Asset Management
0 comments:
Post a Comment