(SH/Aju)
Batavia Air di Supadio-Pesawat komersial Batavia Air masih mangkrak di Bandar Udara Supadio, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat, Sabtu (9/2) pagi. Pihak maskapai pen
JAKARTA - Berhenti operasi maskapai urutan keempat di Indonesia, Batavia Air, menambah sederet catatan kelam industri penerbangan di Tanah Air yang "bangkrut" dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Di tengah persaingan yang sangat ketat, kegagalan manajemen dalam mengelola bisnis perusahaan akhirnya menyebabkan perusahaan harus gulung tikar. Seperti kata pepatah, di tengah rimba, yang kuat yang bertahan.
Kejatuhan Batavia Air setelah digugat pailit International Lease Finance Corporation (ILFC) karena tidak membayar utang US$ 4,69 juta, menjadi contoh pengalaman kegagalan manajemen maskapai penerbangan dalam mengelola perusahaan.
"Tak mudah membangun maskapai, butuh kemampuan manajerial yang baik. Bagaimana agar cash flow tertib, efisien dalam perusahaan, termasuk mengatur utilisasi pesawat," kata pengamat penerbangan Dudi Sudibyo, kepada SH, di Jakarta, Jumat (8/2).
Menurut Dudi, sistem manajemen menjadi kunci pengelolaan sebuah maskapai untuk menghindari kondisi pailit. "Untuk kejadian Batavia Air, memang manajemen kurang andal. Berjalan atau tidaknya penerbangan tergantung dari pengelolaan manajemen maskapainya," ujarnya.
Sebagai contoh, dulu Rusdi Kirana hanya bermodalkan dua pesawat saat mendirikan Lion Air, tetapi sekarang bisnisnya berkembang pesat dengan pesanan ratusan pesawat.
Demikian pula, Tony Fernandez yang kini menjadi CEO AirAsia. Dulu, ketika mengambil alih AirAsia, maskapai dalam kondisi memiliki utang yang banyak. Namun, Tony mampu membawa AirAsia dengan manajemen yang sangat bagus. Terbukti, kurun waktu satu tahun, utang dari manajemen AirAsia bisa terselesaikan.
"Itulah kecerdasan dari Tony yang bisa membawa manajemen ke arah yang lebih baik. Hal itu juga bentuk dari pengelolaan yang andal, yang dibentuk pengelolaan manajemen secara bagus. Kebetulan basic Tony adalah seorang akuntan," tutur dia.
Namun, Dudi menambahkan, kasus Batavia ini harus menjadi "warning" bagi maskapai lainnya di Indonesia.
Tidak menutup kemungkinan hal yang sama terjadi, sekalipun terhadap maskapai dengan jumlah penumpang atau pemilik armada pesawat terbanyak. Pengelolaan manajemen dan penetapan strategi bisnis yang tepat harus dilakukan, tentunya dengan tetap mengutamakan aspek keselamatan penerbangan.
Tidak Mudah
Sejumlah perusahaan maskapai penerbangan di Indonesia yang juga setop operasi karena mengalami "bangkrut" antara lain Sempati Air, Bouraq Airlines, Adam Air, Mandala Airlines (terbang kembali 2012), dan yang masih hangat saat ini Batavia Air.
Direktur Angkutan Udara Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Djoko Murdjatmojo mengatakan, dalam membangun maskapai harus memiliki modal disetor, sekurang-kurangnya biaya investasi dan biaya operasi di tahun pertama.
Sebagai ilustrasi, kata Djoko, perusahaan seperti Lion Air yang menggunakan pesawat Boeing 737-900ER. Anggaplah harga pesawat US$ 80 juta per unit. Sesuai aturan, maskapai wajib memenuhi syarat kepemilikan pesawat 10 unit, lima wajib dimiliki dan lima unit sisanya bisa sewa.
Makna perhitungannya, Lion harus menyediakan dana untuk pembelian pesawat sekitar US$ 400 juta (sekitar Rp 4 triliun), ditambah biaya operasional yang setara dengan biaya pembelian pesawat Rp 4 triliun. Oleh karena itu, dibutuhkan dana minimal Rp 8 triliun untuk membangun bisnis maskapai.
"Nanti, ketika bisnis sudah mulai berkembang, manajemen baru kembali mempertimbangkan penambahan pesawat baru atau yang lainnya," kata Djoko.
Sekretaris Jenderal Indonesian National Air Carriers Association (INACA), Tengku Burhanuddin berpendapat, pailit merupakan tantangan terbesar di dunia penerbangan. Dengan pailitnya Batavia Air maka aset nasional hilang karena tidak bisa beroperasi lagi, apalagi market share Batavia Air untuk penumpang domestik mencapai 11 persen.
Menurutnya penyebab pailitnya Batavia Air ini salah strategi, yakni mengapa mereka menyewa pesawat A 330 yang tidak bisa bayar selama tiga tahun berturut-turut. Dengan kewajiban tersebut dia tidak bisa memenuhi, itulah pemicunya. Seharusnya Batavia memiliki plan A dan B untuk mengantisipasi.
"Indikator lain adalah karena mereka tinggal memiliki tujuh pesawat dari 14 pesawat. Dengan tujuh pesawat dan 44 rute tersebut dia tidak mampu melayani rute-rute itu. Terakhir sebelum penutupan ini, tahun lalu dia mengurangi penerbangan ke China, Hangzhou. Ini salah karena pasar kita ke sana tidak terlalu melihatnya," katanya.
Tengku juga mengungkapkan bahwa masalah lain yakni waktu AirAsia Berhad batal mengakuisisi Batavia Air, ada dua kemungkinan apakah AirAsia tidak jadi beli atau memang tadinya AirAsia menawarkan untuk mengambil alih semua utangnya, tapi kemudian membatalkan untuk mengambil semua utangnya. Mungkin di situ kesalahannya.
"Ke depan, persaingan bisnis penerbangan semakin ketat dan harus pandai-pandai melihat pasarnya. Garuda Indonesia yang bekerja sama dengan maskapai asing seperti Etihad Airways, itu langkah yang bagus," tuturnya.
"Menginginkan" Pailit
Namun, Djoko memiliki pandangan lain, Batavia Air diduga justru sengaja memailitkan perusahaannya. Dugaan tersebut terlihat dari tidak dilakukannya upaya hukum melalui kasasi kepada Pengadilan Niaga (PN) Jakarta Pusat yang telah memutus pailit pada Rabu (30/1) lalu.
Sempat beredar spekulasi jika sesungguhnya keadaan "pailit" tersebut justru diinginkan. Belakangan diketahui, nilai utang Batavia Air melebihi aset yang dimiliki. Kurator menyebutkan utang maskapai tercatat Rp 1,2 triliun, sedangkan sisa uang yang dimiliki Batavia di rekening perusahaan tercatat sebesar Rp 1 miliar. Ini memang belum termasuk aset lainnya.
"Kenapa setelah dijatuhkan pailit mereka tidak mengajukan kasasi, hal ini bisa langsung ditanyakan kepada yang berkepentingan (Batavia Air)," kata Djoko.
Meskipun utang Batavia Air kepada sejumlah kreditur hingga saat ini telah mencapai Rp 1,2 triliun, namun menurut dia, maskapai yang telah berdiri sejak 2002 lalu ini masih tetap bisa beroperasi dan mengangkut sejumlah penumpang. Upaya yang harusnya dilakukan Batavia Air, kata dia, yaitu melalui pengaturan manajemen.
"Mereka bisa saja mencari rute yang tidak banyak persaingannya. Selain itu, dengan cara restrukturisasi perusahaan seperti halnya Mandala Air dengan mengurangi karyawan beberapa waktu lalu," ia mengimbuhkan.
Pemerintah sempat memanggil jajaran direksi Batavia Air pada saat maskapai tersebut mengurangi rute penerbangannya, dari 65 rute pada Maret-Oktober 2012 menjadi 36 rute pada Oktober 2012-Maret 2013. Pada saat itu, kata dia, Batavia Air mengaku sedang melakukan restrukturisasi perusahaan.
"Perusahaannya sempat akan memperoleh suntikan dana yang besar, mereka bahkan menunjukkan bukti pinjamannya. Kesalahan utama mereka adalah pengaturan manajemen, dana yang masuk harus dikelola dengan baik, karena keuntungan untuk industri penerbangan kecil," dia mengakuinya.
Dengan armada yang beroperasi sebanyak 33 pesawat dan 16 milik sendiri, menurut Djoko, logikanya Batavia Air masih memiliki kepercayaan besar termasuk lessor (perusahaan penyewa pesawat). Ia mengatakan pemerintah juga tidak memiliki kewenangan untuk masuk terlalu dalam ke masalah manajemen perusahaan karena tidak memiliki mekanismenya.
"Setelah dinyatakan pailit yang akan kita lakukan adalah mengatasi pangsa pasar penumpang yang ditinggalkan Batavia Air. Jumlah pangsa pasar sebesar 11 persen itu tidak sedikit, jangan sampai memengaruhi pertumbuhan ekonomi penerbangan," ujarnya.
Dudi Sudibyo menambahkan Batavia Air terlihat tidak mempunyai iktikad baik terkait utang yang diemban perusahaan sebanyak Rp 1,2 triliun. Selain itu, maskapai tersebut terlihat menghindari kewajiban membayar utang dan mengganti tiket penerbangan calon penumpangnya yang telah dibeli, baik melalui agen penjualan tiket maupun dibeli langsung.
"Batavia Air berpikir, jika kasasi dan dilanjutkan dengan operasi utangnya akan tambah banyak lagi. Di situ terlihat tidak ada iktikad baik dan terlihat cuci tangan, jadi kurator yang tanggung jawab," kata dia.
PT Metro Batavia Airlines diputuskan pailit oleh PN Jakarta Pusat. Sejak pukul 00.00 WIB dini hari, Kamis (31/1), seluruh kegiatan operasional maskapai tersebut berhenti. Keputusan PN Jakarta Pusat itu berdasarkan gugatan pelapor yang diajukan perusahaan penyewa pesawat asal Amerika Serikat, International Lease Finance Corporation (ILFC) pada 20 Desember 2012.
Gugatan pailit ini menyangkut ketertarikan Batavia Air untuk mengambil pesawat wide body (berbadan besar) jenis Airbus A330 untuk pengangkutan penerbangan haji. Total tuntutan ILFC sebanyak US$ 4,69 juta dalam masa sewa tiga tahun.
Selain ILFC, Batavia Air juga memiliki utang jatuh tempo pada Sierra Leasing Limited US$ 4,94 juta. Dari dua kreditur ini total utang Batavia Air mencapai US$ 9,63 juta atau Rp 86,6 miliar. Utang Batavia Air kepada calon penumpang berdasarkan data kurator mencapai Rp 90 miliar.
Berniat Dijual
Sementara itu, Direktur Komersial Batavia Air Sukirno Sukarna, beberapa waktu lalu, menuturkan dengan adanya putusan pailit ini, tidak menutup kemungkinan jika ada pihak investor yang ingin membeli maskapai swasta nasional ini. "Tetapi, sekarang ini sudah ditangani oleh kurator. Jadi, kalau ada pihak investor yang berminat maka akan kita arahkan ke kuratorlah," ujarnya.
Saat disinggung apa pihaknya berniat negosiasi ulang ke pihak AirAsia, dikatakannya itu semua kembali ke kurator. Wewenang sudah dilimpahkan ke kurator maka nanti pihaknya akan berkoordinasi dengan kurator. "Kalau ada pendapat dan opsi, akan disampaikan semua ke kurator, kalau kita sudah mendata kreditur, debiturnya," katanya.
Ia menambahkan, walaupun saat ini pihak perusahaan sudah berhenti operasi, pihaknya akan bertanggung jawab terhadap penumpang dan karyawan yang harus diselesaikan.
"Sebagian karyawan kontrak, ada yang tidak diperpanjang kontraknya oleh perusahaan. Total sekitar 600 karyawan kami yang keluar, tapi memang tidak ada pemecatan," tuturnya. Terkait masalah refund tiket dan kewajiban piutang lain, ia sudah meminta ke petugas untuk mendata semua penumpang dan nanti akan diserahkan dan dikoordinasikan dengan kurator.
Dalam membangun maskapai penerbangan, memang tak semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan modal yang sangat besar, perhitungan yang matang atas risiko untung rugi yang akan dihadapi. Apalagi, besar keuntungan pada bisnis penerbangan sesungguhnya hanyalah setipis rambut.
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment