Advertising

Sunday 31 January 2010

[wanita-muslimah] [Dokumen Tercecer]: Tom anwar & bintang timur oleh A. Kohar Ibrahim

 

--- On Thu, 10/20/05, A. Kohar Ibrahim <abe@chello.be> wrote:

From: A. Kohar Ibrahim <abe@chello.be>

Subject: tom anwar & bintang timur

To: la_luta@yahoo.com

Cc: herilatief@yahoo.com

Date: Thursday, October 20, 2005, 2:42 PM

Gelap Terang Bintang Timur

Catatan dari Brussel oleh :

A. Kohar Ibrahim

Datang berita dari Jakarta malam ini : Jurnalis senior mantan-tapol Pulau Buru, Tom Anwar, telah meninggal dunia tanggal 20 Oktober jam 11 pagi di Jakarta dalam usia 84 tahun karena menderita sakit jantung. Menyusul rekan-rekan sejawatnya sebagai pengelola utama Harian Bintang Timur dan Bintang Minggu seperti Armunanto, S. Tahsin dan Hasyim Rachman. Semuanya sebagai pendekar pendukung garis politik Bung Karno yang memang sudah selayaknya lantaran koran yang dipimpin mereka dikenal sebagai suara Partindo.

Koran Bintang Timur bagi saya merupakan bermakna amat signifikan dan amat mengesankan, lantaran di koran itulah saya memulai kegiatan tulis menulis mulai dari sebagai anggota ruang muda-mudi-nya sampai mengisi ruang cerpen dan cerber, selain banyak belajar dari ruang kebudayaan « Lentera » yang dikelola Pramoedya Ananta Toer. Salah satu cerpen saya berjudul « Ayah » justeru dimuat di edisi minggu : Bintang Minggu (1959).

Sesungguhnyalah, bagi saya Bintang Timur mengandung makna istimewa.  Oleh karena itulah, dalam  serial tulisan « Catatan Dari Brussel », dari 40 naskah, salah satunya (n° 9) berjudul « Gelap Terang Bintang Timur ». Naskah dari serial tulisan CdB yang pertama-tama disiarkan koran Sijori Pos / Batam Pos itu  dan yang disiar-ulang oleh Cybersastra 10 Mei 2003, bersama ini kami siar-ulang selengkapnya seperti di bawah ini. Sekedar pertanda Hommage kepada sang almarhum yang menjadi Pemimpin Redaksinya. (AKI).

                            ***

BAGIMU dimatikannya "Bintang Timur" dan "Lentera" merupakan pertanda datangnya kegelapan? Begitulah kurang-lebih pernyataan yang aku uraikan di depan Edouardo, pelukis eksilan Chili itu. Yang dijadikan pertanyaan untuk lebih meyakinkan dirinya. Bahwasanya memang benarlah fenomenanya di mana-mana pun juga kediktatoran itu tak menyukai pers yang memberikan penerangan sekaligus pencerdasan masyarakat manusia. Suatu fenomena perjalanan kehidupan yang adalah rangkaian panjang perjuangan gelap terang dalam beragam variasi dan nuansanya.

"Perampok kekuasaan politik itu perilakunya memang tiada beda dengan perampok yang macam-macam," ujarku. "Penjahat!"

"Penipu. Pendusta. Pemfitnah," kata Edouardo seraya menegaskan, bahwa di negerinya pun, kaum militer pimpinan Jenderal Agusto Pinochet pada hakekatnya melancarkan tindakan serupa sebagaimana dilakukan kaum militer pimpinan Jenderal Suharto. "Maka untuk menutupi kejahatan sekalian mempersolek citranya sendiri sang perampok itu menghegemoni pers. Setelah memberangus dan malah mematikan pers yang dianggap lawan politiknya."

Maka penggelapan pun terjadi, menjadikan masyarakat hidup di alam kegelapan yang pengap dengan udara dusta, fitnah, syak wasangka dan kebencian  serta kemunafikan antara sesama manusia.

"Benarlah begitu, Edouardo," ujarku menegaskan. "Bahwasanya, terutama sekali bagiku sendiri, dimatikannya Bintang Timur dan Lentera merupakan simbol datangnya kegelapan."

Lalu aku jelaskan pula, selain aku banyak belajar dari Pramoedya akan semangat dan kreativitasnya, juga aku sangat menghargai sosok sosok jurnalis seperti Tom Anwar yang jadi pemimpin umum "Bintang Timur". Seperti juga aku menghargai rekannya, jurnalis S. Tachsin yang kemudian menjadi diplomat. Dan seperti  juga aku menghargai jurnalis sekaligus pejuang seperti Djawoto.  Yang kemudian jadi Dutabesar Republik Indonesia di Republik Rakyat Tiongkok. Dari bukunya tentang kewartawanan itulah aku belajar bagaimana menjadi reporter yang baik.

"Kenapa aku tak bisa melupakan peran penting koran "Bintang Timur" dan "Lentera"nya?" tanyaku  kepada Edouardo, sekedar untuk menegaskan lagi: Karena dari situlah aku beranjak melangkah lebih jauh dan lebih luas lagi. Sebagai penulis muda,  yang cukup produktif, tulisan-tulisanku lalu disiarkan pula di koran-koran seperti "Wartabhakti", "Harian Rakyat", "HR Minggu" dan "Zaman Baru". Dalam proses kreativitas itu pula aku berkenalan dengan para penulis lainnya, hingga diterima menjadi anggota Lembaga Sastra Indonesia, Lekra, yang berkantor di Jalan Cidurian 19,  Jakarta. Berkenalan dengan Joebaar Ajoeb, Hr Bandaharo, Bakri Siregar, Boejoeng Saleh, Utuy Tatang Sontani, S. Rukiah, S. Anantaguna, Agam Wispi dan Pramoedya yang kukenal sejak di "Bintang Timur" serta yang lainnya lagi.

"Kau tahu sekali, Edouardo," sambungku, "salah satu kebutuhan  seseorang yang azasi adalah untuk menyatakan perasaan dan pikirannya. Selaras kemauan dan kemampuannya. Kapan dan di mana saja. Dan kau bisa membayangkan betapa girangnya seorang pemuda remaja menyimak pernyataannya yang tertulis di halaman koran."

"Iya," ujar Edouardo menyambut. "Aku ingat betapa senangnya ketika sketsa dan gambar-gambarku dipasang di dinding sekolah. Lantas aku jadi tambah antusias..."

"Seperti aku juga begitu," kataku. "Sejak di sekolah dasar. Menghias ruang kelas dengan gambar-gambar kreasiku. Tapi juga deklamasi. Ketika di sekolah menengah, aku mulai nulis puisi dan dimuat di ruang Indonesia Muda... Bintang Timur!"

"Kamu lagi jatuh cinta?" tanya Edouardo senyum usil.

"Pada Ibu Pertiwi," jawabku lugas. Wajar saja, memang, selaras pertumbuhan jiwa raga, orang tertarik juga pada lawan jenis. Aku pernah tertarik pada sekretaris redaksi koran "Bintang Timur", selain jurnalis yang memang juga turut mengurus ruang "Indonesia Muda". Wanita-wanita yang terutama menarik hatiku adalah yang memang berkecimpung di dunia tulis menulis. Seperti S. Rukiah, Sugiarti, Dini dan beberapa lagi. Tapi terus terang, hanya tertarik begitu saja. Pada nama dan kreativitasnya sebagai penulis. Bukan lantaran kelainan jenis atau keromantikannya. Bagaimanapun juga, memang aku akui, sudah sejak saat itu, aku menanam idaman hati yang pada saatnya nanti bisa menjadi teman hidup di alam dunia yang sama. Dunia tulis-menulis.

"Kau tahu, Edouardo, di zaman Nasakom Bersatu Sukarno yang gegap gempita itu kami sangat sibuk sekali," kataku pada Edouardo. "Sibuk dibidangnya masing-masing. Dan kesempatan aku gunakan untuk mencurahkan segenap tenaga dan pikiranku untuk berkiprah sekaligus menyatakan diri. Menulis. Menulis. Sekali lagi menulis. Untuk disiarkan di beberapa koran yang kusebutkan itu. Ah, jadinya aku tak sempat berpacaran dengan lawanjenis. Sepertinya aku lagi jatuh cinta pada bidang garapan...."

"Kau memang lagi tergila-gila, begitu?" tanya Edouardo penasaran sekalian usil.

"Iya. Pada Ibu Pertiwi. Pada tugas Ibadahku sebagai kuli tinta!" jawabku lugas. "Gara-gara kena komporan Presiden yang juga Guru Besarku Bung Karno. Gara-gara Pram dan Tom Anwar. Lantas Naibaho, Dahono dan Bandaharo serta Rivai Apin..."

"Ouah, banyak juga yang ngomporin kamu tuh!" Edouardo malah kini nimbrung ngomporin obrolanku.

Aku senyum mengiyakan. Bung Kanro yang proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia memang orang pertama Indonesia yang paling aku kagumi. Kerna perjuangannya sebagai pembina dan guru bangsa untuk mencapai kemerdekaan dan kehidupan yang aman sentosa. Berkat kegiatan tulis-menulis di koran "Bintang Timur" dengan "Lentera"nya itu juga aku tambah tahu yang dia juga sastrawan dan bahkan pelukis! Lagi pula, bintang kelahirannya sama dengan bintangku. Beliau kelahiran 6 Juni dan aku 16 Juni.  Sama-sama bintang Gemini. Begitu kagumnya aku pada pemimpin bangsa Indonesia itu, yang juga menjadi salah seorang sosok besar di arena Internasional, khususnya di Asia-Afrika, aku kerap kali mimpi bertemu dengan beliau.

"Tahukah kau, Edouardo?" tanyaku. Untuk melanjutkan:  "Kadang kala impian itu berubah kenyataan. Buktinya pada suatu hari sejumlah pekerja kebudayaan, seniman dan sastrawan diterima di Istana Negara. Pada saat itulah impianku jadi kenyataan. Kerna salah seorangnya yang hadir di ruang besar Istana itu adalah aku sendiri. Dalam pertemuan itu, selain menerima sajian minuman dan nyamikan, juga semangat Bung Karno yang dalam pidatonya mendorong kami untuk turut aktif membina kebudayaan nasional. Selain itu sajian musik dan semua hadirin bergerak menari lenso -- tarian kesenangan beliau.  Tarian yang ternyata juga disukai puterinya,  Megawati."

Kerna tujuanku yang utama adalah untuk bisa menyatakan perasaan dan pikiranku agar pula bisa disiarkan, maka aku menulis dan menulis. Mengirimkannya ke beberapa penerbitan. Tak peduli yang mana, koran apapun. Asal mau menerbitkan karyaku. Baru kemudian aku tahu, bahwa koran "Bintang Timur" itu "koran"nya Partindo. Dan partai itu dulunya, di zaman penjajahan Belanda,  didirikan oleh Bung Karno. Jadi secara kebetulan dan beruntung saja aku bisa memulai jejak langkahku sebagai penulis di koran itu.

Maka selaras semangat zaman "Nasakom Bersatu", pada tahun enampuluhan abad lalu itu, sewajarnyalah terjadi pergaulan yang erat dengan jurnalis atau penulis yang aktif berkiprah di koran-koran lainnya. Seperti "Sulindo", "Duta Masyarakat", "Harian Rakyat", "Wartabhakti" dan sebagainya lagi. Pada masa itulah aku sempat mengenyam rasa persatuan yang besar, bahkan di kalangan jurnalis-penulis, dengan semangat dan tujuan yang jelas selaras garis politik Bung Karno itu. Selaras semangat Revolusi Agustus dan aspirasi kemerdekaan bangsa Indonesia.

"Itulah latar belakang sekedarnya, kenapa aku tak sempat berpacaran dengan lawanjenisku, Edouardo," kataku menegaskan. Menampak teman pelukis eksilan Chili itu senyum-senyum saja, aku menegaskan. Bahwa memang benar begitulah adanya. Waktu kucurahkan di bidang tulis-menulis. Beragam macam. Puisi, prosa, berita, reportase, resensi seni dan sebagainya lagi. Bahkan kadang kala jadi korektor.

Sering pulang telat. Bahkan tidur pulas di atas meja redaktur berbantal pak-pakan koran. Dekat mesin cetak. Memang aku seneng sekali menjadi salah seorang pembaca  pertama koran yang dicetak dinihari. Apa lagi yang headline-nya itu hasil reportaseku sendiri. Hal itu sering terjadi ketika aku menjadi reporter "Harian Rakyat" merangkap anggota redaktur majalah "Zaman Baru" yang pimpinan Dewan Redaksinya adalah penyair Rivai Apin.

Begitulah, kiranya bisa dimaklumi kenapa aku memberi makna penting pada harian "Bintang Timur" dengan "Lentera"nya. Bukan saja sebagai titik awal-mula aktivitas-kreativitasku sebagai penulis, juga memang patut dicatat sebagai tonggak sejarah dalam perjalanan kehidupan yang berupa perjuangan gelap terang dengan beragam variasi dan nuansanya itu. ***

Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/  
http://sastrapembebasan.wordpress.com/


[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment