Advertising

Friday 29 January 2010

[wanita-muslimah] Fwd: [PasarBuku] Matabaru Gerakan Membaca

Berbagai gerakan dan kampanye untuk menggerakan dan meningkatkan minat baca
sudah dilakukan, baik oleh IKAPI maupun berbagai organisasi seperti
"Indonesia Membaca"
Berbagai promosi berupa Pameran Buku baik yang formal maupun yang menawarkan
diskon gila-gilaan pun sudah dilakukan.
Demikian pula pemerintah sudah mendirikan ratusan Rumah Baca dan istri-istri
Menteri Kabinet Indonesia bersatu sudah membelikan Mobil Pintar, motor
pintar dan bahkan Kapal Pintar dan Rumah Pintar untuk dijadikan tempat
mebaca bagi anak dan masyarakat.
Sudah pula diundangkan di tahun 2007 Undang-undang no 43 tahun 2007 tentang
Perpustakaan, dimana 5% Anggaran Belanja Sekolah wajib digunakan untuk
pengembangan PERPUSTAKAAN SEKOLAH.

Artinya, kalau ada tokoh yang menuding harga buku sebagai penyebab, kan
sudah dibelikan oleh Sekolah maupun Taman Bacaan, Perpusda dan Mobil Pintar.
Lalu apa lagi???????
Sangat perlu urun rembuk agar para penggiat Buku dan Perpustakaan
bersemangat.

Salam,

Dharma

---------- Forwarded message ----------
From: indonesiamembaca <indonesiamembaca@yahoo.com>
Date: 2010/1/29
Subject: [PasarBuku] Matabaru Gerakan Membaca
To: pasarbuku@yahoogroups.com


Matabaru Gerakan Membaca
: agus m. irkham

"Tidak ada komunitas
yang melewati persaingan
untuk memperoleh identitasnya"
(Goenawan Mohammad)

[ 1 ]
Prasyarat bagi suatu bangsa agar dapat maju dan berkembang adalah adanya
masyarakat pembelajar. Dan salah satu basis dukungan terpenting bagi
pembentukan masyarakat pembelajar adalah masyarakat yang gemar membaca.
Kesadaran demikian naga-naganya semakin dimengerti oleh publik luas.
Rekognisi itu dapat dicandra melalui maraknya gerakan membaca (dan menulis).
Baik yang diprakarsai oleh individu, kelompok masyarakat, media, lembaga
pemerintahan maupun institusi bisnis. Mulai dari pameran buku yang
diselenggarakan lebih dari dua kali dalam setahun di banyak kabupaten dan
kota, pelatihan menulis, peluncuran dan diskusi buku, penyelenggaraan lomba
menulis, pengoperasian perpustakaan berjalan, munculnya rubrik perbukuan
(daftar buku baru, resensi buku, dan kabar di balik dunia perbukuan) di
koran, pemilihan duta baca, hingga pendirian perpustakaan warga.

Khusus untuk terakhir disebut, sekarang ini nyaris ada di tiap kabupaten dan
kota. Namanya pun macam-macam. Sekadar contoh, ini yang berada di Jawa
Tengah: Taman Pintar (Kota Semarang), Rumah Pelangi (Ungaran dan Muntilan),
Pondok Baca (Magelang), Rumah Belajar (Wonosobo), Pondok Maos (Kendal), Jala
Pustaka (Pekalongan), Mentari Pagi (Blora), Forum Pinilih (Solo), dan
Oasebaca (Batang). Dan ikatan yang digunakan untuk menyebut itu semua bukan
lagi "perpustakaan warga" tapi "komunitas literasi."

Pamrih yang hendak disasar dari berbagai macam variasi nama komunitas
literasi itu adalah agar hambatan psikologis antara masyarakat dengan
perpustakaan (tempat banyak buku dihimpun) jadi hilang. Penyebutan "Pondok
Baca" atau "Taman Pintar" saya kira memang terdengar lebih ramah,
bersahabat, lumer, dan mendatangkan kesan nyaman, sekaligus merangkul,
dibandingkan "Perpustakaan".

Kecenderungan demikian, rupa-rupanya juga tengah terjadi pada komunitas
literasi di tingkat yang lebih luas, di belahan propinsi lain di Indonesia.
Sekadar menyebut contoh: Rumah Dunia (Serang), Perahu Baca (Tangerang),
Rumah Cahaya (Depok), Lentera Kalbu (Pandeglang), Teras Puitika (Banjar
Baru), Sanggar Matahari Martapura (Kalimantan), Komunitas Bunga Matahari
(Jakarta), Warabal (Bogor), Cahaya Lentera (Bandung), dan Kandangpati
(Sumatra).

[ 2 ]
Namun di tengah kemerebakan komunitas literasi tersebut, muncul beberapa
persoalan penting. Dari soal definisi komunitas dan literasi, hingga
sangkaan keberadaan komunitas literasi yang hanya menjadi skrup dari mesin
kapitalisme buku. Terlebih ketika literasi dimaknai dengan melek huruf latin
saja dan melulu aktivitas membaca buku.

Padahal ketika makna literasi disamakan dengan buku, risikonya ia akan ikut
terimbas pula dengan masalah yang dihadapi dunia perbukuan itu sendiri, baik
dari sisi produksi, terlebih segi distribusi.
Oleh karena itu sebelum saya berbicara lebih jauh tentang seberapa besar dan
penting peran yang telah dimainkan Komunitas Literasi dalam gerakan membaca
(dan menulis) di Indonesia, ada baiknya Anda akan saya ajak terlebih dahulu
untuk memahami arti komunitas dan literasi itu sendiri. Pemahaman terhadap
simpul-simpul penanda kedua lema atau entri itu penting, agar Anda tidak
tersesat.

Saya mulai terlebih dahulu dengan lema pertama, yaitu KOMUNITAS.
"Komunitas adalah sekelompok orang yang peduli satu sama lain lebih dari
yang seharus," Jelas Putu Laxman Pendit dalam bukunya Mata Membaca, Kata
Bersama. "Sehingga terjadi relasi pribadi yang erat antar anggotanya karena
kesamaan interest atau values."

Dengan kata lain komunitas adalah suatu bentuk identifikasi dan interaksi
sosial yang dibangun dengan berbagai dimensi kebutuhan fungsional. Kekuatan
pengikat suatu komunitas, terutama, adalah kepentingan bersama dalam
memenuhi kebutuhan sosialnya yang umumnya didasarkan atas kesamaan latar
belakang budaya, sosial, dan hobi.

Itu komunitas, bagaimana halnya dengan LITERASI?
Secara harfiah literasi bermakna melek huruf (literate). Sedangkan secara
istilah, seperti yang pernah diungkap Body dan Luke (2003): Literasi
mencakup semua kemampuan yang diperlukan oleh seorang atau sebuah komunitas
untuk ambil bagian dalam semua kegiatan yang berkaitan dengan teks dan
wacana (diskursus). Menjadi orang yang literate berarti menjadi orang yang
mampu berpartisipasi secara aktif dan mandiri dalam komunikasi tekstual,
termasuk dalam komunikasi menggunakan media cetak, visual, analog, dan juga
media digital.

Dengan deskripsi yang berbeda: Literasi tidak semata-mata mencakup persoalan
membaca dan menulis, namun bergandengan pula dengan aspek lain, seperti
ekonomi, politik, hukum, pendidikan, sejarah, teknologi, gaya hidup, dan
sebagainya.

Semula literasi diartikan sebagai kemelek-hurufan. Menurut Ignas Kleden
dalam esai berjudul Buku di Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik tentang
Kebudayaan yang kemudian dihimpun dalam buku suntingan Alfon Taryadi, Buku
dalam Indonesia Baru (1999), melek huruf itu adalah tiga kategori.

Pertama, melek huruf teknis (performative). Yaitu mereka yang tergolong
secara teknis dapat membaca tetapi secara fungsional dan secara budaya
sebetulnya buta-huruf. Penyebabnya bisa karena jarangnya bahan bacaan, atau
sifat pekerjaan mereka yang menyebabkan tidak punya waktu untuk mempraktikan
kemampuan membaca yang dimiliki. Jadi hanya sekadar melek huruf belaka.

Kedua, melek huruf fungsional (fuctional). Yaitu mereka yang tergolong
membaca dan menulis sebagai fungsi yang harus dijalankan karena konsekuensi
pekerjaan. Akan tetapi, sangat kurang sekali menjadikan membaca dan menulis
sebagai kebiasaan untuk berkomunikasi dan berekspresi. Jadi ketika Anda
misalnya memiliki kebiasaan membaca, namun teks (buku) yang dibaca hanya
melulu yang berkaitan dengan pekerjaan atau profesi Anda, maka dengan berat
hati saya katakan Anda memang telah melek huruf teknis dan fungsional, tapi
secara budaya masih buta huruf.

Ketiga, melek huruf budaya (informational-epistic). Yaitu orang-orang yang
di samping mempunyai kesanggupan baca-tulis secara teknis dan fungsional, ia
menjadikan pula baca-tulis sebagai kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan
membaca dan menuliskan hal-hal yang tidak hanya terbatas pada pekerjaan.
Dalam kategori ketiga ini, kebutuhan untuk mendengar dan berbicara tidak
selalu lebih besar dari kebutuhan untuk membaca dan menulis.

Untuk mengetahui apakah secara budaya Anda tergolong sudah melek huruf atau
sebaliknya, adalah dengan cara bertanya pada diri Anda sendiri: Apakah saya
telah menulis surat pribadi—surat pembaca ke media, surat untuk teman,
keluarga, dan kerabat dekat, menulis diary—secara rutin?
Apakah setiap bulannya saya telah menganggarkan sekian persen dari gaji
untuk membeli buku? Apakah saya sudah menjadikan baca-tulis sebagai
kebutuhan hidup sehari-hari, dengan membaca dan menuliskan hal-hal yang
tidak hanya terbatas pada pekerjaan?

Jika jawaban atas serangkaian pertanyaan tersebut adalah: Tidak! Maka
sejatinya Anda masih tergolong buta (huruf secara) budaya.
Peta kategori melek huruf yang dibentangkan Ignas Kleden di atas sekaligus
menegasi pandangan umum bahwa literasi itu bermakna kemelek-hurufan. Lantas,
kata apa yang tepat untuk menerjemahkan entri literasi itu?

KEBERAKSARAAN. Ya sekali lagi keberaksaraan. BUKAN kemelek-hurufan. Karena
kemelek-hurufan hanya menyangkut kemampuan seseorang dalam hal baca tulis
secara teknis belaka. Padahal, selaras dengan pandangan Body dan Luke
keberaksaraan tidak hanya itu, tapi melingkupi segi-segi fungsional dan
budaya.

Mengartikan literasi sebagai kemelek-hurufan juga dapat berakibat terjadinya
anomali melek huruf. Sebagai contoh, secara nasional, tahun 2007 tak kurang
dari 10,1 juta orang mampu dientaskan dari kegelapan aksara. Padahal di
tahun-tahun sebelumnya, rerata kurang dari 1,7 juta orang. Dengan demikian
angka melek huruf Indonesia sekarang ini lebih dari 90 persen. Jauh di atas
rerata negara berkembang yang hanya 69 persen. Meskipun anga melek huruf
tinggi, pada saat yang sama tingkat kemiskinan di Indonesia juga masih
tinggi. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik per Maret 2007 saja,
angka kemiskinan di Indonesia lebih dari 17 persen atau lebih dari 40 juta
jiwa. Padahal dalam berbagai publikasi riset literasi, ada linearitas antara
melek aksara tinggi dengan perbaikan kehidupan ekonomi. Seperti yang pernah
di lansir UNESCO dalam laporan tahunannya berjudul Literacy for Life.
Anomali itu terjadi lantaran pusat perhatian program literasi yang hanya
tertuju pada teknis, bukannya pada fungsi, dan budaya. Ukuran kesuksesan
yang digunakan adalah pada saat seseorang telah mengenal huruf, dan dapat
mengeja kata. Bukan pada pemanfaatan kemampuan membaca itu, dan bagaimana
posisi aktivitas membaca itu dalam jelujur waktu hidup keseharian (life
style) seseorang. Jadi yang dikejar hanya melek aksara secara alfabetis.
Padahal pengertian itu lazimnya hanya berguna untuk keperluan penghitungan
teknis statistik belaka.

Melek aksara secara teknis tidak akan banyak membantu masyarakat untuk
survive—dalam pengertian harfiah dan mendasar yaitu melawan kelaparan
bukannya kemiskinan—jika tidak disertai pula dengan kemampuan melek aksara
(keberaksaraan) secara fungsional. Pengetahuan tentang sesuatu (declarative
knowledge) tidak cukup, masyarakat harus pula memunyai pengetahuan melakukan
sesuatu (procedural knowledge).

[ 3 ]
Situasi seperti apa yang memicu munculnya beragam komunitas literasi? Apa
yang hendak dicari/tujuan dari pembentukan komunitas literasi tersebut?

Paparan berikut adalah jawaban atas pertanyaan itu.
Buku tak pernah sendiri. Ia senantiasa berkumpul dengan buku lainnya. Baik
secara fisik, yang tertata di rak buku, perpustakaan, dan toko buku, maupun
secara substansial (isi). Maka benar jika ada yang mengatakan buku yang
terbit saat ini, sejatinya merupakan hasil pembacaan atas buku yang terbit
di masa lalu. Sejak kelahirannya, buku tak pernah sendirian. Setiap buku
selalu lahir bersama, dan melahirkan buku-buku lainnya.

Tidak ada satu pun buku di dunia ini yang berdiri sendiri. Ia selalu menjadi
bagian dari buku lainnya. Kita cenderung mengait-kaitkan/menggandengkan isi
buku satu dengan lainnya. Adalah tugas penulis untuk mencari, dan menemukan
ragam ucap dan ekspresi kebahasaan yang berbeda (baru) atas satu subjek
pembahasan yang sama. Itu sebab dalam dunia perbukuan muncul istilah buku
berbalas buku.
Sebagaimana lahirnya suatu teori: tesis, antitesis, sintesa. Demikian pula
buku. Dengan begitu, buku yang lahir saat ini, merupakan himpunan upaya
manusia mencari kebenaran suatu teori, dalam tingkat yang lebih tinggi.
Lahirnya suatu buku bukanlah sesuatu yang sudah jadi/final/selesai.
Melainkan sedang menjadi (becoming). Maka jangan heran, di waktu bersamaan,
ada sementara pihak yang fanatik terhadap satu buku, tapi ada juga yang
mengharamkannya. Karena dinilai sebagai bentuk pemaksaan secara halus
(hegemoni) satu kelas (ideologi) kepada kelas (ideologi) lainnya.

Ada tiga nilai dasar yang harus dipahami dari kenyataan buku yang tak pernah
sendiri itu. Pertama, buku memunyai nilai di luar bentuk fisiknya. Bukti
yang paling bisa dilihat dari value ini adalah, penataan buku di rak buku.
Mereka tidak diletakkan berdasarkan ukuran fisik (tebal-tipis,
panjang-pendek, lebar-sempit), tapi berdasarkan kesamaan isi. Mereka
memunyai hak yang sama untuk didaras.

Kedua, ketika satu buku diterbitkan, maka sudah dengan sendirinya membawa
serta dekontekstualisasi suatu teks. Artinya tiap pembacanya memunyai
kebebasan menentukan cara pembacaan dan pemberian makna terhadap buku itu.
Termasuk pilihan untuk tidak membacanya.

Ketiga, munculnya perpustakaan sebagai bentuk konsekuensi nyata perpanjangan
alamiah dari upaya terus menerus memperbesar himpunan buku (kumpulan dari
kelompok-kelompok buku—terciptanya berbagai bentuk data, informasi, dan
pengetahuan— yang saling bertalian satu sama lain).

Mengingat perpustakaan, awalnya merupakan wadah bagi buku yang tak pernah
sendiri, otomatis ia menjadi lembaga yang bersifat terbuka pula. Terbuka
bagi pembaca buku yang memunyai latar belakang sosial, ekonomi, budaya,
minat dan ketertarikan berbeda. Semua orang memunyai kesempatan yang sama
dalam membaca hal yang, baik berbeda maupun sama.
Dari sinilah mulai muncul gerakan minat baca (dan tulis) dari komunitas
literasi. Basis gerakan komunitas literasi biasanya bermula dari pembentukan
perpustakaan. Hingga disebut sebagai perpustakaan komunitas. Perpustakaan
komunitas adalah gerakan keberaksaraan yang berpamrih menghilangkan batas
antar anggota masyarakat dalam membaca. Serta mengembalikan fungsi
perpustakaan sebagai tempat di mana seseorang dapat memperoleh kembali
haknya untuk membaca buku yang ingin dibacanya. Pada titik ini, perpustakaan
komunitas hendak mengembalikan kemerdekaan fungsi dan peran perpustakaan itu
sendiri.

[ 4 ]
Meskipun target groups atau kelompok sasaran tiap-tiap komunitas literasi
berbeda-beda, namun mayoritas menjadikan remaja dan golongan muda sebagai
kelompok sasaran. Mulai dari pelajar SMP hingga mahasiswa. Jika sebelumnya
kendala terbesar dalam memarketingkan (minat baca) buku adalah kemiskinan;
tidak ada waktu senggang akibat bekerja di sektor kasar; tingkat pendidikan
yang rendah; dan akses ke buku yang sulit; baik kualitas maupun kuantitas,
maka sekarang ini kendala yang dihadapi—dalam konteks kehidupan anak muda
sekarang dan perkembangan teknologi informasi yang sedemikian maju—jadi agak
sedikit berubah.

Kini, kegiatan membaca harus bersaing dengan televisi, game (online), film,
animasi, musik, kuliner, bermain, nongkrong-ngobrol, situs jejaring sosial,
dan jalan-jalan (traveling)—yang dalam disiplin studi budaya disebut sebagai
ikon budaya pop.

Karena situasi dan kondisi yang dihadapi berubah, maka strategi, pola, dan
bentuk gerakan keberaksaraan yang dilakukan komunitas literasi pun berubah.
Dan efektifitas program keberaksaraan sekarang ini, tergantung pada
kelincahan dan kecerdikan para penggiatnya untuk membonceng atau menindih
beragam aktivitas yang disebut sebagai ikon budaya pop itu. Inilah yang saya
maksud sebagai mata baru gerakan membaca. Gerakan memasyarakatkan minat baca
tidak melulu dijalankan melalui pola-pola linear (dari content ke context).
Tapi juga mengikuti arketipe bersifat lateral (dari context ke content).

Berikut adalah beberapa contoh yang bisa saya ajukan:
KOMUNITAS INDOHOGWART
IndoHogwart merupakan komunitas penggemar (novel) Harry Potter. Mereka,
kebanyakan anak usia SMA, dan mahasiswa. Mereka membangun sebuah sistem game
online berupa permainan karakter dalam bentuk tulisan. HP hanya digunakan
sebagai pintu masuk, setelah itu mereka tinggalkan. Sebagaimana kita tahu
bahwa Hogwarts adalah nama sekolah sihir-nya Harry Potter. Karena itu,
"dunia sihir" di dalam komunitas ini pun diatur sedemikian rupa agar setiap
orang dapat berkompetisi dan memacu adrenalin untuk terus menulis dan
menulis lagi. Mengembangkan kemampuan dalam bidang penulisan kreatif.

Harapan terjauh dari game online ala Komunitas IndoHogwart adalah
menghasilkan cerita (novel) yang bisa diterbitkan.Persis bunyi tagline
mereka: Empowering, Netwriting and Get Value. Jadi game online mereka
tempatkan sebagai cara mereka belajar menulis. IndoHogwart merupakan
representasi komunitas literasi generasi kedua yang naga-naganya akan
mendominasi bentuk dan arah gerakan komunitas-komunitas literasi di masa
mendatang.

Tidak hanya game online. Mereka juga bermain Quidditch layaknya HP. Dengan
bermodalkan sapu lidi yang dikempit, mereka berlari kesana-kemari disertai
senyum lebar, dan suara ketawa yang keras. Mereka "mempratikkan" apa yang
mereka baca. Dengan begitu membaca menjadi aktivitas sangat menyenangkan
sekaligus menjadi "magnet" tersendiri buat orang lain untuk masuk, menjadi
anggota komunitas.

KOMUNITAS HISTORIA
Tentang Komunitas Historia (Komunitas Peduli Sejarah dan Budaya Indonesia),
kebetulan saya mempunyai cerita menarik. Sabtu pagi, 26 April 2008 saya
berkesempatan mengikuti Jakarta Trail Exploring Jakarta Heritage. Bersama
kurang lebih 50 orang lainnya yang dibagi dalam empat kelompok, saya diajak
menyusuri Museum Bank Mandiri, Museum Bank Indonesia, Taman Fatahilah, PT.
Pos Indonesia, Museum Sejarah Jakarta, Museum Wayang, Museum Seni Rupa dan
Keramik. Tiap kelompok ditemani oleh dua orang pemandu. Dari tuturan dua
orang pemandu itulah, saya tidak saja dikenalkan dan melihat beragam situs
bersejarah, tapi juga menjadi tahu sejarah/cerita di balik artefak tiap-tiap
situs. Jadi, sumber keasyikan bukan hanya dari terbukanya kesempatan
berfoto-foto ria, lebih penting dari itu, tahu ceritanya.
Acara yang digagas Komunitas Historia dalam rangka World Book Day 2008 itu
sungguh menarik. Tak kalah menarik—masih dengan Komunitas Historia—malamnya
saya mengikuti Jakarta Night Trail bertajuk Wisata Malam Kota Tua Jakarta.
Bersama rombongan yang lebih besar lagi, sekitar 120-an orang, saya diajak
menguak sejarah kota di kegelapan serta menelusuri jejak yang tersembunyi di
dalam gedung tua. Kali ini rute perjalanan bermula dari Museum Bank Mandiri,
Museum Bank Indonesia, Gedung Toko Merah, Jembatan Kota Intan, hingga
Kawasan Kali Besar. Tiap tempat menyimpan ceritanya sendiri.

Traveling sejarah dapat dijadikan sarana untuk mengkonfirmasi atas apa-apa
yang pernah dibaca berkaitan dengan suatu situs sejarah tertentu. Atau
sebaliknya, memberikan bekal kepada para eksponennya untuk mencari
kelengkapan penjelasan dari artefak sejarah itu melalui teks (buku). Selain
itu, Komunitas Historia juga mendokumentasikan temuan-temuan mereka saat
meng-explore suatu situs sejarah. Dokumen itu ada yang dalam bentuk foto,
video, dan teks (tertulis). Dan semua bentuk dokumen itu bisa menjadi bahan
atau materi sangat berharga ketika, misalnya akan menulis buku tentang
(kajian) sejarah.

Ide dasar didirikannya Komunitas Historia sebenarnya sebagai upaya dalam
membentuk wahana belajar kaum muda dalam mencari format dan strategi
bagaimana sesungguhnya menjadikan sejarah dan budaya itu menjadi objek yang
menarik, menyenangkan, dan bermanfaat. Kemudian, muncullah konsep kegiatan
yang "rekreatif, edukatif dan menghibur" sebagai strategi utama Komunitas
Historia dalam mengembangkan pola pikir masyarakat terhadap sejarah dan
budaya sehingga tercipta suasana yang menyenangkan, enak dan membekas di
hati mereka.

Kalau biasanya mereka membenci sejarah dan menganggap sejarah itu
membosankan, garing, ngebetein, bikin ngantuk dan seribu ejekan lain, maka
dengan bergabung di dalam Komunitas Historia, mereka akan menemukan tempat
dimana mempelajari dan mencintai sejarah dan budaya itu tanpa paksaan dan
apa adanya. Sejarah menjadi sesuatu yang gaul dan enak dikonsumsi. Kondisi
demikianlah yang dikenal sebagai kesadaran sejarah.

KOMUNITAS PASAR BUKU
Adalah Wien Muldian yang pertama kali menggagas Komunitas ini. Pada awal
berdirinya, sekitar Agustus 1998, KPB meliputi toko buku diskon, direct
selling, klub buku, jaringan perbukuan, situs perbukuan, toko buku online,
media perbukuan, program acara perbukuan, konsultasi dan informasi
perbukuan. Namun sejak tahun 2004, seiring semakin meningkatnya pengguna
internet, terutama e-mail, di Indonesia, KPB lebih fokus-menempatkan diri
sebagai wadah bagi bertemunya para stakeholders dan shareholders perbukuan,
atau lebih tepatnya keberaksaraan. Mulai dari pembaca, penulis, toko buku,
editor, penerbit, distributor, penerjermah, penggiat perbukuan. Jalinan
komunikasi berlangsung secara maya atau melalui mailinglist.

Kini, anggota milis pasarbuku tercatat sekitar 10.000 orang, dengan anggota
aktif 7.000 orang. Mereka berasal tidak saja dari Indonesia, tapi juga dari
luar negeri. Sesuai dengan namanya "pasarbuku" di milis isinya
bermacam-macam. Mulai dari penawaran naskah buku, permintaan naskah,
jual-barter buku, informasi lowongan pekerjaan di penerbitan, jadwal pameran
buku, peluncuran suatu buku, rangkaian acara kampanye membaca hingga diskusi
hangat tentang satu judul buku, kualitas penerjemahan, dan kontroversi
relasi penerbit-penulis.

Menariknya, para eksponen KPB hampir tidak pernah bertemu secara langsung
atau lazim disebut kopdar (kopi darat). Semuanya komunikasi berlangsung
secara online.

"Komunitas ini terus bergerak untuk membuat perubahan," Terang Wien saat
diwawancarai majalah UMMI. "Baik di dalam komunitas itu sendiri, maupun di
masyarakat." Tambah Wien yang pada tahun 2006 menjadi satu dari duapuluh
Pemuda Indonesia yang Mengukir Sejarah versi Kementrian Negara Pemuda dan
Olahraga RI. Titik tuju KPB, menurut keterangan Wien, bukan hanya sekadar
membuat orang menyukai kegiatan membaca. Tapi bagaimana dengan kegemaran
membaca itu, seseorang bisa membuat kehidupannya menjadi lebih baik.

KPB juga memunculkan kecenderungan baru dalam proses produksi buku.
Yaitu tidak lagi memerlukan pertemuan fisik antara penerbit, editor, dengan
percetakan dan penulis. Dengan demikian proses produksi pun jadi hemat dan
sangkil. Lantaran komunikasi, seluruhnya dapat diselenggarakan secara
online. Ada banyak buku (dan penulis) yang lahir, bermula dari milis KPB.
Sekarang ini Komunitas Pasar Buku menjadi komunitas online yang paling mapan
dan populer. Kehadirannya pun telah banyak menginspirasi orang untuk membuat
komunitas literasi online lainnya Komunitas literasi yang berbasis pada
penggunaan e-mail (mailing list)

TOBUCIL and KLABS
Sesuai dengan namanya TOko BUku keCIL, komunitas literasi ini bermula dari
pendirian toko buku kecil di Bandung. Karena milik komunitas, TOBUCIL
disebut pula sebagai Toko Buku Komunitas. Biasanya, mengingat skala
ekonominya kecil, TOBUCIL tidak ditempatkan sebagai profit centre, melainkan
murni menjadi tempat belajar bersama.

Yang disasar adalah anggota komunitas, yang tentu saja lebih mengedepankan
aspek pertemanan, persahabatan, dan kedekatan personal. Dengan kata lain,
TOBUCIL mencoba memanfaat kecenderungan para remaja dan anak muda Bandung
suka ngumpul, dan ngobrol bareng. TOBUCIL melakukan sedikit modifikasi.
Kalau semula yang diobrolkan adalah sesuatu yang tidak jelas, sekarang ada
tema khusus obrolan yang sebelumnya telah disepakati. Misalnya ngobrol
bareng tentang isi suatu novel, peluncuran album musik baru oleh suatu
kelompok band, atau tema-tema keseharian yang dekat dengan mereka.

Nah untuk mengikat para anggotanya, baik fisik berupa kehadiran maupun
emosional (agar tambah akrab, dan memiliki rasa butuh dan memiliki) TOBUCIL
menyusun program pendamping. Dengan sesanti: Literacy in Your Everyday Life.
Dikembangkanlah klab-klab kecil berdasarkan minat, hobi dan kebutuhan. Dari
mendesain kartu ucapan hingga merajut. Dari madrasah falsafah hingga klab
melipat kertas. Dari pelatihan menulis novel hingga tips presentasi bisnis.

Sistem "belajarnya" pun disusun serapih mungkin. Misalnya dari sisi waktu,
ada jadwal khusus. Agar ada kebaruan, saat klab menulis misalnya, pengurus
komunitas mendatangkan instruktur dari luar. Dan sebagainya. Jadi oleh
TOBUCIL, buku dijadikan pintu masuk untuk melaksanakan program-program
keberaksaraan yang memiliki spektrum lebih luas.

[ 5 ]
Paparan saya di atas mengenai perubahan situasi dan kebutuhan kelompok
sasaran, serta kecenderungan bergesernya pola gerakan komunitas
literasi—jika dikaitkan upaya mengoptimalkan fungsi, peran, dan layanan
perpustakaan pemerintah, baik yang berada di kabupaten/kota maupun
propinsi—merekomendasikan dua sikap penting.

Pertama, perpustakaan pemerintah harus membuka diri untuk bekerjasama dengan
komunitas literasi. Bekerjasama dalam hal: menggagas dan menelurkan
program-program kreatif keberaksaraan. Mengingat tujuan dari keduanya adalah
sama: menciptakan masyarakat yang mencintai kegiatan membaca, maka segala
bentuk sak wasangka antar keduanya harus segera diakhiri. Bentuk sak
wasangka itu misalnya, perpustakaan pemerintah memandang para penggiat
komunitas literasi sebagai petualang; memanfaatkan perpustakaan untuk
mencari keuntungan (finansial) pribadi; cenderung menerabas, tidak taat
aturan birokratis; program kerjasama yang ditawarkan lebih banyak dipandang
sebagai kedok untuk mencari ketenaran, dan mempertebal kantung saku sendiri.

Sedangkan sak wasangka yang terlontar dari komunitas literasi: perpustakaan
pemerintah lebih banyak digerakkan oleh orang-orang yang justru tidak
mencintai kegiatan membaca; memiliki motivasi yang rendah dalam bekerja;
terlalu fokus pada masalah (gelas setengah isi disebut setengah kosong),
sehingga lupa untuk segera mencari solusi; cenderung menciptakan jarak
dengan pemustaka; terlalu taat terhadap prosedur teknis dan abai terhadap
siasat substantif; tidak sensitif terhadap perubahan dan tuntutan kebutuhan
masyarakat (pemustaka).

Kedua, perpustakaan pemerintah hendaknya mau mengadopsi pola gerakan dan
strategi memasarkan program keberaksaraan yang dilakukan komunitas literasi.
Termasuk menyangkut sikap (attitude). Apa pasal? Karena sekarang ini telah
terjadi pergeseran sistem simpan dan temu-kembali, yang semula manual
(katalog, koleksi, dan pelayanan berbasis atom/kertas) berubah menjadi
digital/otomasi (berbasis image/byte/sistem komputer—library 2.0)

Ciri paling kentara dari library 2.0 adalah terjadinya relasi interaktif,
multi arah, dan partisipatif antara pengguna dan pustakawannya, serta sistem
kerja dan koleksi yang bersifat kolaboratif (dari banyak sumber) nan
dinamis. Library 2.0 mensyaratkan adanya pustakawan yang melek teknologi,
bersahabat (friendly), mau berbagi, gaul, menjadi bagian dari jamaah
facebook-iyah, prigel menulis, sekaligus narsis. Dalam logika library 2.0,
upaya "menjual" citra diri berada dalam satu tarikan nafas dengan tujuan
memasarkan perpustakaan. Oleh karenanya tiap pustakawan "wajib hukumnya"
memunyai blog atau website pribadi.

Ketiga, para para kerani perbukuan partikelir dan penggiat komunitas
literasi harus masuk ke perpustakaan pemerintah dan rela memosisikan diri
sebagai jembatan. Yaitu jembatan yang akan menghubungkan antara masyarakat
pembaca (khususnya pemustaka), perpustakaan, dan stakeholders literasi
lainnya. Misalnya melalui program-program kreatif yang dirancang berjalan
secara reguler: ketemu penulis, peluncuran buku, pelatihan menulis buku,
pelatihan meresensi buku, workshop penulisan skenario sinetron dan film,
klinik fotografi, klab bahasa asing, belajar musik klasik, menghelat bedah
buku, meluncurkan program Sahabat Perpustakaan (Friends of Library),
menggagas program pustaka di radio, dan program-program keberaksaraan
kreatif lainnya yang sejenis dengan itu.

Dengan demikian posisi para kerani perbukuan dan penggiat komunitas literasi
menjadi demikian jelas. Yaitu turut memfasilitasi dan membuka ruang
partisipasi seluas-luasnya kepada masyarakat dalam penguatan budaya baca.
Pada saat yang sama turut serta juga meningkatkan kapasitas perpustakaan
pemerintah. Memberikan advokasi dan menambah bobot posisi tawar perpustakaan
ketika berinteraksi dengan institusi layanan publik (pemerintah) lainnya.
Begitu.&#9830;

http://kubukubuku.blogspot.com/2009/11/matabaru-gerakan-membaca.html

(Esai ini secara khusus dirakit sebagai pengantar diskusi pada Workshop
Pemasyarakatan Perpustakaan dan Pengembangan Minat Baca. Diselenggarakan
oleh Badan Arsip dan Perpustakaan Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 26
November 2009. Bertempat di Aula Gedung UPT Perpustakaan Daerah, Jl.
Sriwijaya 29A Semarang)


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
wanita-muslimah-digest@yahoogroups.com
wanita-muslimah-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

0 comments:

Post a Comment