YANG DIKUAK OLEH RENCANA KERETA API KE KALTIM
Rencana pembangunan jaringan rel kereta api dari Kalteng ke Kaltim yang akan
dilakukan oleh investor Russia telah ditolak oleh Gubernur-Wakil Gubernur
Kalteng Teras-Diran. Lalu disokong oleh Dewan Adat Dayak (DAD) Kalteng, Gerakan
Pemuda Dayak Indonesia, dan oleh H.Syahrani Umbran , Ketua Fraksi Bulan
Bintang Nurani (BKN) DPRD Provinsi Kalteng. Alasan penolakan pihak-pihak ini
adalah pembangunan Kereta-api ke Kaltim sepanjang 135 kilometer , "apabila rel
kereta-api dibangun sesuai rencana akan berdampak (negatif –KS) terhadap
masyarakat sekitar. Contohnya, dari segi kerusakan hutan dan lahan, lingkungan,
sehingga dapat menimbulkan banjir bandang untuk masyarakat di wilayah Barito"
(Harian Radar Sampit, 4 Agustus 2011). Dengan alasan berbeda dari alasan Teras,
penolakan ini juga disuarakan oleh LSM:Save Our Borneo (SOB) dan Walhi Kalteng.
SOB melalui Direktur Eksekutif-nya yang juga mantan Direktur Eksekutif Walhi
Kalteng, Nordin menolak rencana pembangunan Kereta-api ke Kaltim itu dengan
alasan: "bukan karena menuju ke Kaltim. Menuju ke mana pun, jika tidak untuk
angkutan publik harus dipikirkan ulang, apalagi ini untuk fasilitas eksploitasi
sumber daya alam (SDA) secara massif". Menurut Nordin, "rencana pembangunan rel
kereta-api dari Kalteng ke provinsi lain di Kalimantan bukan isu utama, tapi
yang substansial adalah moda tranportasi yang dibangun, apakah dari wilayah hulu
eksploitasi menuju hilir (pelabuhan). Biasanya , moda demikian akan menuju pada
eksplotasi SDA dan pengerukan skala masif serta jangka panjang. Kemudian apakah
moda transportasi yang akan dibangun tersebut diperuntukkan bagi fasilitas umum
dan privat".Nordin menilai yang dilakukan oleh investor Russia tersebut
tampaknya akan membangun untuk privat dengan menggunakan area umum, hutan
negara, dan lahan warga. Di samping itu, harus juga dicermati apakah
pembangunan,pengelolaan, termasuk kontrolnya ke depan membutuhkan dana publik
yang berasal dari APBN/APBD. Jika ya, maka itu masalah, karena tidak untuk
publik. Jika tidak, apa yang didapat rakyat dan negara, apakah hanya menyisakan
lubang tambang dan kota hantu nantinya". Nordin juga mendesak "agar pemerintah,
termasuk pemerintah daerah (Pemda) agar 'memaksa industri' membuat jalan khusus,
sehingga angkutannya tidak merusak jalan publik dan pada saatnya dapat di-take
over (pindah tangan) menjadi asset publik/negara" (Harian Tabengan, Palangka
Raya, 6 Agustus 2011).
Sedangkan Walhi Kalteng, melalui Direktur Eksekutifnya Arie Rompas, yang juga
menolak proyek pembangunan rel kereta-api itu dengan alasan: "proyek yang akan
mengancam keselamatan warga di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito dan
Mahakam. Menurut Rio, panggilan akrab Arie Rompas, "proyek tersebut bertujuan
untuk mempercepat eksploitasi SDA di wilayah tangkapan air (catchmen area),
sehingga harus ditinjau kembali. Rio menilai bahwa alasan Teras-Diran menolak
pembangunan proyek tersebut demi "penyelamatan lingkungan dan ekologi di
wilayah Pegunungan Schwaner sebagai argumen tidak mendasar" .Mengapa? "Karena
(sesungguhnya dibalik alasan tersebut) lebih berbicara soal kewenangan pusat
dan daerah. Bukan pada aspek penyelamatan lingkungan dan ekologi di wilayah
tersebut". Sebab, ujar Rio, "jika memang hal penyelematan lingkungan dan
ekologi yang dijadikan alasan, di daerah tersebut tidak akan terdapat izin
pertambangan yang menggunakan sistem pit mining (tambang terbuka). Berdasarkan
catatan Walhi Kalteng di wilayah tersebut sudh terdapattujuh izin konsensi
pertambangan batu bara milik BHP Biliton dan satu buah milik Asmin Kolindo Tuhup
seluas 362.733 hektar. Semuanya merupakan perusahaan asing. Dengan izin
perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) yang masa
kontraknya hingga 2033" (Harian Tabengan, Palangka Raya, 6 Agustus 2011) Dengan
pendapatnya ini, Rio agaknya mau mengatakan bahwa argumen di atas sebenarnya
tidak mengatakan yang hakiki.
Seharusnya, jika memang demi menyelamatkan lingkungan dan ekologi, izin konsesi
pertambangan batu bara tidak akan diberikan. Adanya jalur rel kereta-api dari
Kalteng ke Kaltim akan sangat membantu BHP Biliton dan Asmin Kolindo Tuhup
membawa keluar batu bara yang mereka produksinya. Pajak ekspor dinikmati oleh
Kaltim. Ide pengadaan jalur kereta-api ke Kaltim sesungguhnya bukan ide baru
dari pihak Perusahaan Besar Swasta (PBS). Dalam keadaan begini, maka Kalteng
hanya menjadi daerah eksploitasi, sedangkan hasil eksploitasi itu dinikmati oleh
provinsi lain. PBS tidak memberikan arti ap-apa bagi kenaikan Pendapatan Asli
Daerah Kalteng (PAD) Kalteng seperti halnya sekarang. Sekalipun "primadonanya
sektor pertambangan ternyata belum memberikan kontribusi signifikan bagi
PAD.Padahal ada ratusan perusahaan pertambangan yang beroperasi di Provinsi
Kalteng, tersebar di sejumlah kabupaten"(Harian Tabengan, Palangka Raya, 27 Juli
2011). Demikian juga halnya dengan sumbangan PBS perkebunan sawit. Terhadap
keadaan begini, Kalteng sudah mempunyai pengalaman buruk sebelumnya. Saat sektor
kehutanan masih primadona , ternyata yang menikmatinya bukan rakyat Kalteng,
malah provinsi tetangga seperti Kaltim, Kalsel , dan Kalbar. Karena banyak
kantor pusat perusahaan HPH yang justru berkantor di provinsi tetangga dan
mendirikan pabrik-pabriknya , sehingga otomatis transaksi bisnis lebih banyak di
luar Kalteng ketimbang di daerah yang memiliki SDA tersebut. Kalteng hanya
menonton dari jauh kesejahteraan orang lain" (Harian Tabengan, Palangka Raya, 5
Agustus 2011). Keadaan begini tidak lepas dari pilihan politik pemangku
kekuasaan pada waktu itu sejak Tjilik Riwut didepak ke atas oleh Orde Baru pada
1967.
Pembangunan jalan kereta-api ke Kaltim pun akan memelihara keadaan Kalteng hanya
sebagai daerah penyedia bahan mentah, tapi tidak mendapatkan apa-apa yang
berarti dari kekayaan SDA-nya. Karena itu ketika dalam rapat pada tahun 2009,
yang dihadiri oleh Bappenas dan sejumlah pejabat Kementerian, saat Pemerintah
Pusat menyampaikan keinginan untuk membangun jalur kereta-api lintas provinsi
dari Balikpapan-Kalipapak (Kaltim) hingga Muara Tuhup (Kalteng), rencana ini
ditanggapi oleh Gubernur Kalteng sebagai "lebih cenderung ke pendekatan bisnis
dibandingkan untuk menyejahterakan rakyat" (Harian Tabengan, Palangka Raya, 5
Agustus 2011). Berangkat dari kepentingan daerah masing-masing dan tidak saling
merugikan, maka sebelum rencana jalan kereta-api yang mau dilakukan oleh
investor Russia, antar gubernur Kalimantan telah tercapai kesepakatan bahwa
masing-masing provinsi membangun rel kereta-api di wilayah masing-masing.
Kalteng pun segera membuat rencana pembangunan rel kereta-api sepanjang 180 km
dari Kabupaten Murung Raya menuju Kabupaten Barito Selatan. Bangunan ini akan
selesai pada tahun 2014. Prioritas tahap pertama diletakkan pada ruas rel
kereta-api Palaci-Puruk Cahu-Bangkuang, sepanjang 185 kmi, lalu dilanjutkan
jaringan lain hingga tahap keempat. Ruas ini melintasi tiga kabupaten, yaitu
Murung Raya, Barito Utara dan Barito Selatan, melintasi delpan kecamatan yaitu
Muara Laung, Lahei, Teweh Tengah, Montalaat, Dusun Utara, Dusun Selatan , Karau
dan Kecamatan Dusun Hilir (Harian Radar Sampit, 4 Agustus 2011).
Diharapkan dengan adanya jalur jaringan rel kereta-api di dalam Kalteng sendiri,
paling tidak melalui pajak ekspor, Kalteng bisa meningkatkan PAD-nya. Apakah
dengan meningkatnya PAD rakyat Kalteng bisa turut menikmati arti kekayaan
SDA-nya, tergntung pada RAPBD yang disusun. Kenaikan PAD tidak otomatis rakyat
turut menikmatinya, tergantung pada resdistribusi PAD tersebut.Di sinilah
terletak arti penting bagi rakyat mengawal RAPBD. Di sinilah terletak arti
penting bagi rakyat mengawal RAPBD dan pelaksanaannya, misalnya melalui
Musrenbang berbagai tingkat.Oleh sebab itu memahami RAPBD dan mengawal
pelaksanaan ABPBD merupakan kewajiban semua warganegara.
Sekiranya mau meningkatkan PAD Kalteng, kiranya sinerjitas kerja antara provinsi
dan kabupaten adalah suatu keniscayaan. Sangatlah tidak sinerji jika provinsi
ingin membangun jaringan rel kereta-api di dalam Kalteng sesuai dengan
kesepakatan antar gubernur se-Kalimantan, tapi di pihak lain ada kabupaten yang
nylonong ke Jakarta atau provinsi tetangga lain dengan hanya mempertimbangkan
kabupatennya tanpa mengindahkan kepentingan keseluruhan. Sinyalemen ini terbetik
di benak saya ketika membaca berita Harian Kalteng Pos (5 Agustus 2011) yang
menulis: "Yuliansyah: Jalan Tembus ke Kaltim Prioritas Dilaksanakan". Tapi
penylonongan memang dimungkinkan oleh UU RI No.32 & 33 Tahun 2004 Tentang
Otonomi Daerah. Menurut UU ini Pasl 37 , Gubernur "berkedudukan juga sebagai
wakil Pemerintah (Pusat –KS) di wilayah provinsi yang bersangkutan". Sedangkan
tugas dan wewenangnya ditetapkan oleh Pasl 38: a. pembinaan dan pengawasan
penyelenggaran pemerintahan daerah kabupaten/kota; n. kordinasi penyelenggaraan
urusan Pemerintah (Pusat—KS) di daerah provinsi dan kabupate/kota. c. koordinasi
pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan
kabupaten/kota. Tugas dan wewenang ini seperti yang dikatakan oleh Rahmadiansyah
Bagan dari Universitas Palangka Raya: ''gubernur hakikatnya wakil pemerintah
Pusat di daerah. Semua kebijakan Pusat seharusnya diamankan oleh Gubernur"
(Harian Kalteng Pos, 4 Agustus 2011). Jika dilihat dari segi pemimpahan
wewenang oleh Pemerintah Pusat kepada Gubernur, maka nyata wewenang dan tugas
Gubernur sangat terbatas. Gubernur tidak lebih dari pengaman kebijakan Pusat.
Kewenangan terbatas ini juga bisa dilihat pada Pasal 13 UU No.32/2004.
Dalam hal pembangunan jalan kereta-api dari Kalteng ke Kaltim, jika hal tersebut
sudah menjadi keinginan Pusat maka secara UU , Gubernur "sebagai wakil
Pemerintah Pusat" hanya bisa harus mengamankannya. Harus melaksanakannya.
Tapi baik Pemerintah dari tingkat apa pun, termasuk Pemerintah Pusat, tidak
luput dari tugas dan kewajiban mengejawantahkan UUD '45 Pasal 33 yang
menetapkan bahwa "(3).bumi dan air dan kekayan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat". Kewajiban yang juga diulangi oleh UU No.32/2004 Pasal 13, ayat 2 "….
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan
potensi unggulan daerah yang bersangkutan".
Dilihat dari sejarah dan kepentingan rakyat Kalteng, menjadi pertanyaan besar
apakah rencana membangun jalan kereta-api dari Kalteng ke Kaltim sudah "sesuai
dengan kondisi, kekhasan , … yang bersangkutan"? Jika tidak, dan saya kira
memang tidak sesuai, artinya Pemerintah Pusat memaksakan kepentingan dan
kehendaknya tanpa mengindahkan sejarah, dan kekhasan Kalteng. Sikap Pemerintah
Pusat yang kurang memperhatikan kepentingan rakyat Kalteng antara lain
diperlihatkan pada saat perjuangan membentuk Kalteng sebagai provinsi tersendiri
sehingga terpaksa menggunakan pressing group berupa Gerakan Mandau Talawang
Pancasila (GMTPS). Artinya, kelahiran dan kegiatan GMTPS adalah jawaban atau
reaksi terhadap apa yang diturunkan oleh kendaraan politik pemerintah. Sumber
gerakan separatisme pun sebenarnya tidak terdapat di daerah, tetapi ada di
Jakarta.
Jika Pemerintah Pusat tetap melaksanakan rencana ini, berarti ia tidak
mengindahkan kepentingan Kalteng (baca:daerah), wujud dari otonomi kepalang
tanggung. Sisa dari NKRI yang sentralistik yang oleh sejarah ditunjukkan sudah
berdarah-darah, tidak sesuai keadaan negeri dan bangsa ini. Gubernur yang setia
pada kepentingan rakyat provinsinya tidak punya pilihan lain selain menolaknya
dengan tegas. Tapi kalau menolak maka ia tidak lagi melaksanakan fungsi sebagai
"wakil Pemerintah Pusat". Dalam dunia militer, tindakan begini disebut
indispliner. Jalan terbaik memang mundur ataspermintaan sendiri. Tapi inipun
tidak gampang jika menggunakan jalur UU No.32/2004. Apakah DPRD Kalteng akan
memenuhi permintaan mundur ini? Hanya saya kira, lepas dari kesulitan untuk
mundur, permintaan mundur adalah yang terbaik. Baik dari harkat diri (dignity) ,
juga baik sebagai bentuk protes keras pada Pemerintah Pusat. Sikap mundur inilah
yang akhirnya telah dipilih oleh Brigjen Polisi , mantan Kapolda Kalteng
Lodewijk Penyang, ketika ia berhadapan dengan dilema antara menjalankan perintah
atau mematuhi kata nuraniya pda masa Tragedi Sampit tahun 2000. Ketika Lodewijk
mundur dari jabatan, ia memberikan makna dan nilai pada bahasa.
Sekarang, apa-bagaimana sikap yang akan diambil oleh Teras-Diran sebagai
Gubernur-Wakil Gubernur Kalteng seandainya "pendekatan bisnis" yang merugikan
rakyat Kalteng ini tetap dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan menempatkan
keduanya di hadapan sebuah dilemma? Pertanyaan ini dijawab oleh A.Teras Narang
dengan lugas: "Perkenankan saya menyampaikan kepada rakyat Kalteng dan
Pemerintah Pusat. Gubernur dan Wagub Kalteng tidak akan mau dan tidak akan
bersedia menyetujui rencana pembuatan rel kereta-api tersebut. Jika tetap
dilaksanakan, saya bersama Achmad Dirn akan mengundurkan diri dari jabatan".
"Kalau pemerintah Pusat memaksa, kami minta rakyat Kalteng legawa dan merelakan
saya dan Achmad Diran mengundurkan diri", ujar Teras di depan para wartawan di
kantor Gubernur , Rabu tanggal ,3 Agustus 2011.( Harian Kalteng Pos, 4 Agustus
2011).
Bagi masyarakat Kalteng, pernyataan Teras Narang akan mundur dari jabatannya ,
mungkin tidak asing lagi. Sejak awal menjabat tahun 2005 lalu hingga saat ini
sudah beberapa kali Teras mengancam akan mengundurkan diri dari jabatannya
dengan berbagai alasan. Menurut catatan dalam dua tahun terakhir ini saja,
setidaknya sudah tiga kali ia melontarkan pernyataan akan mundur. Pertama ,
mengenai persoalan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalteng yang
belum rampung. Dalam janji kampanyenya saat pencalonan untuk periode kedua,
pertengahan 2010 lalu, Teras menyatakan akan mundur apabila tidak mampu
menyelesaikan RTRWP (Harian Palangka Post, 6 Agustus 2011).-Yang kedua kali,
saat menghadapi soal NIP- PNS. RTRWP belum juga disahkan sampai sekarang,
NIP-PNS diberikan oleh Pusat, dan Teras masih menduduki jabatan Gubernur.
Ancaman mundur dari jabatan kali ini adalah ancaman yang ketiga kalinya. Sebelum
itu, ancaman serupa juga diucapkan dalam kampanye pemiluhan caleg di
kabupaten-kabupaten. Dengan latar belakang demikian maka media massa ibukota
Provinsi dan sementara anggota DPRD Provinsi Kalteng berkomentar setengah tidak
percaya bahwa pengunduran diri itu akan terjadi jika jalan kereta-api senilai
US$.2,5 miliar itu tetap dibangun. Harian Palangka Post misalnya, menulis
''Ancaman Mundur ? Ah, Sudah Biasa !'' (4 Agustus 2011). Harian Palangka Post
juga menulis « Terlalu mudahnya Gubernur Kalteng Teras Narang mengancam mundur
dari jabatan bila terbentur persoalan daerah atau dengan lebijakan pusat,
ternyata menjadi sorotan wakil rakyat di DPRD Kalteng. Mereka menilai kebiasaan
Teras itu tidak baik'' (5 Agustus 2011). Legislator H.Syafrudin H.Husin, anggota
Komisi D DPRD menasehati Teras agar lebih berhati-hati berbicara mengungkapkan
sesuatu, agar tidak terlalu emosional'' (Harian Palangka Post, 5 Agustus 2011).
Sedangkan H.Syahrani Umbran , Ketua Fraksi Bulan Bintang Nurani (BKN) DPRD
Provinsi Kalteng menghimbau agar Gubernur dan Wakil Gubernur tidak mudah
melontarkan pernyataan-pernyataan kontraproduktif yang belakang hari justru
mengakibatkan rusaknya kredibilitas mereka sendiri di mata masyarakat Kalteng
serta dinilai inkonsisten'' (Harian Palangka Post, 6 Agustus 2011). ''Kebiasaan
Teras Itu Tidak Baik'', tulis headline Palangka Post (5 Agustus 2011) dengan
huruf-huruf besar. Pendapat Syahrani ini jugalah yang terdapat di kalangan men
in the street Palangka Raya. Barangkali yang patut benar diperhatikan oleh
tokoh-tokoh kunci suatu daerah mana pun adalah apa yang disebut Syahrani
"kredibilitas" dan sebagai "jenderal", "pemegang jentera" atau komando, pasukan
akan berantakan jika emosi berkuasa. Heroisme tidak lagi menjadi heroisme tapi
fatalisme. Barangkali para jenderal yang lama di lapangan sangat paham makna
mengusai emosi ketika memimpin pertempuran atau perang.
Mengetahui reaksi Teras-Diran yang demikian, Menteri Menko Perekonomian, Hatta
Rajasa akan mengajak Teras berdialog. ''Itu kan orang mau berinvestasi di
sini, tidak perlu ada satu perbedaan. Itu bisa dibicarakan wong ini negara kita
untuk kepentingan masyarakat kita. Nggak perlu , pokoknya begini, semua bisa
duduk sama-sama", kata Hatta. "Kalau tidak suka dengan ini bagaimana baiknya.
Kan bisa duduk sama-sama, kan pembangunan itu untuk Kalimantan juga. Kalau ada
investasi jangan kita tolak, kita dengarkan yang terbaik, kasihan rakyatnya",
lanjut Hatta. "Prinsipnya investasi itu kan untuk kemajuan. Orang sekarang
investasi di negeri kita itu luar biasa, mesin produksi cepat", tegas Hatta
(Harian Palangka Post, 6 Agustus 2011).Apa benar Hatta begitu prihatindan
perhatian pada nasib rakyat kalau berkata ''jika tak bisa beli cabai ya jangan
makan cabai?"
Apa-bagaimana hasil dari perbincangan Hatta-Teras ketika duduk bersama akan
mengatakan secara persis apakah kepentingan rakyat Kalteng jadi hitungan atau
tidak. Tapi yang nyata bahwa dengan rencana pembangunan jalan kereta-api ke
Kaltim, Pemerintah Pusat telah sangat tergiur akan investasi senilai US$.2,5
miliar sehingga Pemerintah Pusat sanggup untuk tidak mengindahkan kesepakatan
antara para gubernur se-Kalimantan tentang masalah pembangunan jalan kereta-api
di Kalimantan Republik Indonesia. Artinya yang jadi panglima dalam pilihan
rencana, tidak lain dari uang. Kepentingan rakyat daerah menjadi nomor
sesudahnya, entah yang keberapa. Kepentingan rakyat hanya jadi bedak pewangi dn
penutup wajah rencana sesungguhnya. Karena "prinsipnya investasi kan untuk
kemajuan", tanpa membedakan kemajuan untuk siapa dan siapa mengendalikan siapa.
Prinsipnya demi uang, sehingga demi uang, jadi budak pun boleh. Menjadi bangsa
koeli di antara para koeli pun tidak apa-apa. Investor harus dilayani sebaik
mungkin. Investor adalah raja. Berdasarkan basis ekonomi investor ini maka
muncul bangunan atas (superstructure) yang Machevellian. Bangunan atas yang
Achevellian senantiasa bersifat neo-feodal, ototoriter dan arbitrer.Uukuran
kebenaran adalah dirinya sendiri.
Bagi Machiavelli, seseorang bisa jadi pengeran dalam sebuah negera (kerajaan)
karena ia memang diberkahi keberuntungan. Tetapi, keberuntungan itu tidak
didukung oleh "kemampuan", sehingga keberuntungan itu akan sirna. Dengan kata
lain, keberuntungan itu harus ditopang dengan kemampuan besar, otak genius, tahu
cara memimpin, bertahan, dan bahkan bertindak demi mempertahankan kekuasaan itu.
Dan tindakan kejam (meski pun tidak bermoral, dan tidak beragama), tetap
dibutuhkan untuk memberikan sebuah kekuatan. Sekali pun langkah itu tidak
mengantarkan sang pangeran pada kemuliaan. Keberuntungan begini disebut
keberuntungan yang luka atau keberuntungan yang invalid.
Tetapi sejarah menorehkan segudang kisah. Ketika sang pangeran (negara kerajaan)
mengandalkan keberuntungan semata, pastilah akan berujung tragis --tersungkur
dari tahta. Pasalnya, tatkala rakyat ditikam duka lara kelaparan, dan elite
politik hanya mengurus perut sendiri, bahkan ketidakadilan teronggok di
sudut-sudut kota, benih pemberontakan pun meneguhkan tindakan brutal di luar
konstitusi untuk menumbangkan "kursi kekuasaan" sang pangeran.(N.
Mursidi,''Arogansi Penguasa dan Spirit Pemberontak'', in : Kompas, Minggu 31
Juli 2011).Keadaan begini, saya namakan keadaan berisko tinggi.
Keresahan sosial di Kalteng sekarang, tidak lain dari produk keadaan sosial atau
hubungan produksi yang ada, yang membelenggu tenaga produksi. Petunjuk bhwa
Kalteng merupakan derah beresiko tinggi. Saya khawatir jika hal ini dikelola
berdasarkan "prinsipnya investasi kan untuk kemajuan",bukan menggunakan Pasal 33
UUD '45 maka ''tindakan brutal di luar konstitusi'' bakal berkembang.
Petunjuk-petunjuk ke jurusan ini sudah mengkelebat di hadapan mata.
Pertanyaannya: Apakah "prinsipnya investasi kan untuk kemajuan", prinsip yang
sesuai dengan ketetapan UUD'45, cq Pasal 33, prinsip demokrasi ekonomi alias
ekonomi kerakyatan prinsip berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang
ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan ? Keadaan beginilah yang saya
namakan mengundang investor tanpa prinsip yang menjadikan negeri ini sebagai
negeri etalase kemajuan semu, . seperti halnya dengan Republik Viêt Nam
(Selatan) pada masa Nguyen Van Thieu tapi membuat korek api sekali pun tidak
mampu.
Sekarang kita cermati lebih lanjut tanggapan Hatta Rajasa terhadap kasus ini
yang antara lain mengatakan "Kalau tidak suka dengan ini bagaimana baiknya''.
Seperti yang dikatkan oleh Acep Iwan Saidi, jika diselisik lebih jauh, konjugasi
kalau itu menunjukkan ambivalensi pemikiran penuturnya. Pada satu sisi ia telah
mengembangkan substansipersoalan dalam bahasa sehingga menjebak publik untuk
berpolemik di permukaan, sedangkan pada sisi lain merepresentasikan cara
berpikir pertentangan, oposisi biner, yang bertendensi untuk terdapatnya
kejelasan : ''kalau tidak baik maka buruk , kalau tidak kredibel maka
bubarkan''. Cara berpikir kategorisasi demikian mengndung bahaya . Ia telah
menempatkan realitas pada jalan pintas yang memotong interval jarak antara yang
putih dan yang hitam, antara baik dan buruk. Realitas politik sendiri bukankah
justru penuh dengan ketidak jelasan? (Harian Kompas, Jakarta, 6 Agustus 2011).
Dengan "memotong interval jarak antara yang putih dan yang hitam, antara baik
dan buruk" ini bahasa menjadi "ruang gelap tafsir, bahasa juga menjadi ruang
gelap kebenaran". Bahasa telah digerus dari realitas, jika kita mengacu pada
pandangan Ferdinad de Saussure dalam A Course in General Linguistic. Penggerusan
realita, nilai dan makna nampaknya di negeri ini merupkan salah satu ciri dari
bahasa politik yang digunakan oleh para politisi, termasuk di Kalteng. Dengan
begitu , seperti tulis Acep Iwan Saidi, "sekaligus dicabut dari keadabannya"
(ibid). "Segala soal ditumpahkan ke dalam bahasa dan dengannya ia dianggap
tuntas". Contoh: Berbagai kasus "kriminal" di kalangan pejabat dan politisi kita
bukankah hanya berhenti dalam bahasa? Semua seolah-olah tuntas setelah
percakapan selesai. Bahasa hanya dilihat sebagai ruang atau alat penyampai pesan
tapi steril nilai dan makna. Barangkali ancaman mundur A.Teras Narang yang
dilakukan berulang kali , bisa juga dilihat secara linguistik begini.
"Pencerabutn bahasa dari realitas pada satu sisi dan pengtegorisasian nilai
pada sisi lain adalah cara berpikir modernis yang hari ini telah banyak
ditinggalkan sebab terbukti kering dan malah sering terjebak pada "anarkisme
intelektual", merasa menjadi pemilik kebenaran. Sementara itu, realitas zaman
ini sangat plural, kompleks, dan karena itu tidak bisa disistematissi. Dalam
pluralisme, parole, ujaran individu, menjadi sangat penting ketimbanglangue,
bahasa yang telah tersistematisasi'', tulis Acep.
Saya sangat khawatir bahwa pernyataan Hatta Rajasa: "Kalau tidak suka dengan ini
bagaimana baiknya. Kalau ada investasi jangan kita tolak, kita dengarkan yang
terbaik, kasihan rakyatnya", "Prinsipnya investasi itu kan untuk kemajuan.
Orang sekarang investasi di negeri kita itu luar biasa, mesin produksi cepat",
tergolong bahasa politik yang menggerus nilai, makna, realita dari bahasa.
Pluralisme yang mestinya mengindahkan sejarah, kepentingan rakyat, budaya yang
khas, turut digerus dan disterilkan dengan sterilisme bahasa politisi.
Sterilisme bahasa para politisi, hanyalah salah satu wujud lain dari
Macheviallisme di bidang budaya dan cara berpikir. Sterilisme bahasa para
politisi akan membawa Kalteng lari ke belakang. Bangunan atas yang
Macheviallistis hanyalah pertanda kemandekan, awal dari saat meluncur ke dasar
jurang.
Kasus rencana membangun jalan kereta- api ini kembali dan lagi-lagi
memperlihatkan kelemahan UU Otonomi Daerah No.32/2004, kelemahan akibat
enggannya memberikan otonomi penuh oleh keasyikan dan kebiasaan pada sistem
sentralisme yang ketat. Padahal NKRI tidak mesti dilaksanakan dengan
sentralisme yang terbukti gagal. Beberapa negara bahkan menunjukkan bahwa
federalisme tidak membuat negara dan bangsa terpecah-belah, Pemahaman kita
tentang Negara Kesatuan, barangkali patut diperdalam dan direnungkan dengan
sungguh-sungguh, sistem apa dan bagaimana yang patut dilaksanakan guna
mewujudkan cita-cita UUD '45 Pasal 33 dan Pancasila bukanlah barang sudah jadi,
siap pakai dan bisa didapatkan dengan menghapal lima sila itu. Oleh karena
itu, sekitar tahun 70-an berlangsung polemik serius bersifat pencarian tentang
ekonomi Pancasila antara Prof. Dr. Mubyarto dan Prof. Dr.Arief Budiman. Masalah
teori, ilmu pengetahuan, kebenaran tidak pernah bisa dituntaskan dengan
pendekatan kekuasaan, atau pendekatan keamanan serta ancaman. Kebenaran didapat
oleh pencarian. Debat ide dan dialog ilmiah adalah salah satu cara terbaik.
Kalau demikian, argumen penolakan terhadap rencana pembangunan jalan kereta-api
ke Kaltim, yang paling utama terletak sistem pemerintahan negeri dan bangsa ini
serta terletak pada ide yang membimbingnya yang pasti bukan lagi Pancasila,
bukan demokrasi ekonomi.
Alasan kelestarian lingkungan dan ekologi akan mengena jika delapan izin
pertambangan dicabut,sebab justru kehadiran delapan tambang itu akan jauh lebih
merusak lingkungan dan ekologi daripada pembangunan jalan kereta-api.
PBS memang punya pola pikir berbeda dengan negara. Negara yang dikelola oleh
pemerintah akan bertemu jika terjadi kompromi dalam berbagai bentuk, termasuk
kolusi. Kolusi ini sangat gampang terjadi karena PBS dan negara mempunyai
kecenderungan arbritrer , mempunyai dasar budaya Machevellian yang serupa. Yang
satu berdasarkan kekuatan dan kekuasaan uang, yang lain berdasarkan kekuasaan
dan aparat pemaksaan. Untuk menghadapi arbriterisme ini, bisa berfungsi sebagai
kekuatan penyeimbang. Karena itu, misalnya dalam soal lokasi PBS, dan hal-ikhwal
yang menyangkut kepentingan MA, PBS dan pemerintah, niscayanya dirundingkan
oleh tiga pihak, yaitu pemerintah, Masyarakat Adat (MA) dengan lembaga-lembaga
adatnya dan PBS. LSM bisa diikutsertakan. PBS tidak bisa beroperasi dengan
tenang jika berada di tengah ketidaktenangan. Apabila kehadirannya menimbulkan
keresahan sosial. Keresahan sosial tidak menguntungkan siapa pun sehingga peran
negara sebagai pengelola kehidupan berbangsa, benegara dan bermasyarakat
secara beradab sangat ditunggu. Dalam keadaan negara tidak memainkan perannya,
niscayanya MA patut diperkuat dengan berbagai cara, antara lain pendidikan dan
pelatihan periodik serta sistematik jadi mencuat. Dalam kondisi Kalteng
sekarang, MA adalah patner sosial dan patut diperlakukan sebagai patner sosial.
Kehadiran PBS yang sesuai dengan UU mana pun di negeri ini harus sejalan dengan
UUD '45 Pasal 33, patut untuk mendorong pengembangan demokrasi ekonomi alias
ekonomi kerakyatan, jika menggunakan ungkapan umum sekarang, sehingga negeri
dan bangsa ini benar-benar merdeka dalam bidang ekonomi.
Rencana pembangunan jalan kereta-api dari Kalteng ke Kaltim telah menguak
serngkaian realita, kelemahan sistem negara ini, masalah pola dan metode
berpikir, komitmen merakyat (untuk siapa dan untuk apa terutama jalan kereta-api
dibangun), politik ekonomi, politik lingkungan dan ekologi, politik investasi,
sinerjitas kerja, watak politisi, dan tajam tidaknya pisau analisa masyarakat
pengelola kekuasaan. Kasus jalan kereta api ke Kaltim hanyalah satu puncak dari
sebuah pegunungan es. Kalau diusut lebih jauh, kasus ini,memperlihatkan seluruh
permasalahan daerah yang merupakan cerminan dari karakteristik masyarakat daerah
dan negeri ini juga. Kalau Republik Indonesia adalah sebuah program agung maka
untuk mewujudkannya, kerja keras ditagih sehingga antara kultur dan struktur
benar-benar rasuk. Tapi seperti yang ditunjukkan oleh kasus rencana jalan
kereta-api ke Kaltim ini, ke-rasuk-an antara keduanya masih sangat berjarak.
Apalagi karena kerasukan yang dicari itu tidak bermodel tentu saja, maka hanya
pencarian dan pencarian yang bisa mengantar si pencari menemukan keserasian
demikian. Adakah pencari-pencari dengan watak pencari kebenaran sesungguhnya
itu di sini? Hanya pencari yang mempunyai hari esok karena yang mencari akan
mendapat, yang mengetok akan dibuka. Adakah para pencari begini di tampuk
kekuasaan daerah ?***
KUSNI SULANG
Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah, Palangka Raya.
[Non-text portions of this message have been removed]
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment