Advertising

Sunday 17 January 2010

[wanita-muslimah] Sakinah Mawaddah waRahmah (2/2)

 

MAWADDAH WA RAHMAH

Eyang Quraish Shihab mendapati bahwa kata `cinta' dalam kamus Bahasa Indonesia bukan padanan yang utuh buat `mawaddah'. Oleh karena itu Eyang memaknai `mawaddah' ini dengan `cinta plus'.

Dampak `mawaddah' bila telah bersemi di hati kita adalah ketika kita tidak rela pasangan kita yang kita tuangkan `mawaddah' tsb, disentuh oleh sesuatu yang mengeruhkan pasangan kita, kendati boleh jadi kita memiliki sifat dan kecenderungan kejam. Seorang penjahat yang bengis sekalipun, namun hatinya dipenuhi `mawaddah', tidak akan rela bila pasangannya disentuh suatu yang buruk, bahkan dia bersedia menampung keburukan itu, atau mengorbankan diri demi kekasihnya. Ini karena makna asal kata `mawaddah', mengandung arti `kelapangan' dan `kekosongan'. Ia adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. "Kalau kita menginginkan kebaikan dan mengutamakannya utk org lain, maka kita telah mencintainya. Tetapi jika kita menghendaki untuknya selain itu – apa pun yg terjadi – maka `mawaddah' telah menghiasi hati kita" `Mawaddah' adalah jalan menuju terabaikannya pengutamaan kepentingan dan kenikmatan pribadi untuk siapa yg tertuju kepadanya `mawaddah' itu, dan karena itu, maka siapa yang memilikinya, dia tidak pernah akan memutuskan hubungan, apapun yang terjadi. Jika demikian, kata ini mengandung makna `cinta', tetapi `cinta plus'. Makna kata ini mirp dengan `rahmat, hanya saja rahmat tertuju kepada yang dirahmati, sedang yg dirahmati itu dalam keadaan butuh. Dengand emikian kita dapat berkata bahwa `rahmat' tertuju kepada yang `lemah'. Sedang `mawaddah' bisa juga tertuju kepada yang kuat.

Sekian banyak hal yang perlu digaris bawahi menyangkut unsur unsur cinta, agar ia dapat meningkat menjadi `mawaddah'. Siapa yang tidak mengindahkannya, maka dia tidak pernah dapat bercinta apalagi meraih `mawaddah'. Kita mengenal ungkapan,"Tak kenal maka tak cinta." Dengan demikian, semakin banyak pengenalan, semakin dalam pula cinta. Dari sini cinta harus bermula dari adanya `perhatian'. Unsur kedua dari `cinta' yang mampu melahirkan `mawaddah' adalah `tanggung jawab'. Ketika kita mengatakan cinta, kita dituntut, bukan sekedar `perhatian', tapi ikut `bertanggung jawab' memenuhi kebutuhannya walau tanpa diminta. `Tanggung jawab's eringkali disalahpahami sehingga menimbulkan kesewenangan, karena itu unsure ini harus didampingi dengan unsure ketiga, yaitu `penghormatan'. Seorang pecinta, harus menghormati yang dicintainya sebagaimana ia membutuhkan penghormatan. Jika unsure unsure ini telah bergabung dalam diri kita, maka cinta akan tumbuh menajdi `mawaddah'. Ketika itulah kita tidak akan menampung di dalam hatinya sesuatu yang dianggap buruk pada diri kekasihnya, karena `mawaddah' (seperti telah disebut diatas) adalah `kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk'. Di sisi lain, karena yang mecintai dan dicintai telah menyatu, maka sering kali tidak lagi diperlukan untuk menanyai pasangan apa yang dia sukai dan tidak dia sukai, karena masing2 telah menyelam kedalam lubuk hati pasangannya. Masing2 telah menggunakan mata kekasihnya untuk memandang, lidah kekasihnya untuk berbicara, telinga kekasihnya untuk mendengar dan seterusnya. Demikian `mawaddah' yang kemudian membuahkan `sakinah'.

Memang AlQur'an menegaskan bahwa tujuan disyariatkannya pernikahan adalah menggapai `sakinah'. Namun itu bukan berarti bahwa setiap pernikahan otomatis melahirkan `sakinah, mawaddah dan rahmat'. Allah menciptakan lelaki dan perempuan dengan sifat dan kecenderungan kecenderungan tertentu yang tidak dapat menghasilkan ketenangan dan kesempurnaan kecuali dengan memadukan kecenderungan2 itu, lalu menjadikan antara mereka `mawaddah' dan `rahmat', yakni menganuerahi mereka potensi yang harus mereka asah dan kembangkan, sehingga dapat lahir dari pernikahan mereka `mawaddah dan rahmat'.

Kelirulah yang beranggapan bahwa dengan pernikahan otomatis Allah menganugerahi pasangan itu `mawaddah dan rahmat', karena jika demikian pastilah kita tidak akan menemukan pernikahan yang gagal.

`Mawaddah' harus diusahakan, karena hati berada di"tangan" Tuhan, yang Kuasa membolak-balikkannya, antara cinta dan benci, suka dan tidak suka. Nabi SAW menegaskan bahwa cinta berada dalam kuasa Allah:"Inilah kesanggupanku (menerapkan keadilan bidang non-cinta terhadap istri-istriku), maka janganlah tuntut aku (menyangkut keadilan cinta) yang menajdi milik dan wewenangMU dan bukan dalam kemampuanku".(Riwayat pengarang kitab Sunan melalui Aisyah ra). Nabi SAW sering memanjatkan doa,"Wahai Tuhan Yang Membolak Balikkan hati, mantapkan hatiku dalam memeluk/melaksanakan agama-MU.

Hati adalah wadah perasaan, seperti amarah, senang, benci, iman, ragu, tenang, gelisah dsb. Kita sering merasakan gejolak perpindahan dari senang ke susah dll. Kita pernah mengalami hati kita menginginkan sesuatu, tetap akal kita menolaknya. Ini bukti bahwa kita tidak menguasai hati kita, Allah yang menguasainya. Ketika terjadi gejolak yang bolak balik itu, maka itu adalah bukti adanya peranan Tuhan dan kedekatanNYA kepada hati manusia.

Tetapi tidak berarti semua yang tertampung di dalam hati atau perubahan terbolak baliknya perasaan adalah hasil perbuatan Tuhan yang berlaku sewenang wenang. Tetapi ada campur tangan setan dalam gejolak hati. Ada was was dan rayuannya. Jika bisikan berkaitan dengan Tauhid atau ajakan Nabi SAW, maka ketika itu pilihlah ajakan tsb, krn yg menyeru kita ketika itu adalah hati yg digerakkan oleh Allah.

Kini banyak sekali orang yang dinilai telah terjalin cinta sebelum pernikahan, tetapi ternyata setelah pernikahan mereka, cinta itu layu, bahkan terjadi perceraian dan permusuhan. Sebaliknya, pernikahan yang tidak didahului cinta, tetapi kehidupan rumah tangga mereka sedemikian kokoh. Kenyataan di atas membuktikan bahwa ada keterlibatan Allah dalam langgengnya cinta yang dianugerahkan-Nya kepada mereka yang beriman dan beramal saleh, atau dengan kata lain yang mengikuti tuntunanNYA.

Nikah dinamai `zawaj' yang berarti `keberpasangan' dan berarti juga `penyatuan rohani dan jasmani'. Penyatuan ini harus diperjuangkan. Agar Nikah ini langgeng dan diwarnai dengan `sakinah' maka agama menekankan sekian banyak hal, antara lain:

1. Kesetaraan 2. Musyawarah 3. Kesadaran akan kebutuhan pasangan

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa indicator indicator untuk mengukur kebahagiaan pernikahan, antara alin adalah :

1) Bila keikhlasan dan kesetiaan merupakan inti yang merekat hubungan kita berdua
2) Bila satu-satunya tujuan kita yang tertinggi adalah hidup langgeng bersamanya di bawah ridha Ilahi
3) Bila kita ingin keikutsertaannya bersama kita dalam segala kesenangan dan ingin pula memikul segala kepedihan yg dideritanya
4) Bila kita ingin memberinya serta menerima darinya segala perhatian dan pemeliharaan
5) Bila dari hari ke hari kenangan2 indah dalam hidup kita, jauh lebih banyak dan besar daripada kenangan buruk.
6) Bila pada saat kita tidur sepembaringan dengannya, kita merasa ketenangan sebelum kegembiraan, damai sebelum kesenangan dan kebahagiaan sebelum kelezatan.
7) Bila isi hati kita yang terdalam berucap:"Aku ingin hidup bersama manusia ini sampai akhir hidupku, bahkan setelah kematianku". Ini karena kita tidak ingin mengenal manusia lain sebagai teman hidup kecuali dia semata, tanpa diganti dengan apa dan siapapun.

__._,_.___
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment