Advertising

Thursday 25 October 2012

[wanita-muslimah] IBRAHIM ISA -- Debat Publik Pro-Kontra Rekomendasi Komnas HAM.

 

*IBRAHIM ISA*
*Jum´at, 26 Oktober 2012*
-------------------------

*Baru saja kuterima LIPUTAN yang dikirimkan seorang mailist mengenai
Debat Publik Pro-Kontra Rekomendasi Komnas HAM.*

*Selamat membaca!*

** * **

KOMPSIANA

Penghakiman terhadap korban 65

OPINI | 24 October 2012 | 22:02 Dibaca: 44 Komentar: 0 Nihil

Didalam ruangan berkapasitas kurang lebih 400 orang, sebuah debat tersaji di

hadapan audience yang hadir. Mereka yang hadir didalam ruangan terdiri dari,

mahasiswa, anggota LSM 'pembela' pancasila, anggota parpol islam, dan korban

kekerasan tragedi 65-67 -- orang tua renta yang menuntut keadilan -- . Tema

dalam debat tersebut ialah Pro Kontra rekomendasi Komnas HAM terkait

pelanggaran HAM berat yang terjadi pasca peristiwa 1 Oktober 1965 -- Acara

ini sendiri, sedianya akan ditayangkan pada tanggal 29 Oktober 2012 -

Narasumber adalah mereka yang pro terhadap rekomendasi Komnas HAM dan mereka

yang kontra, serta anggota Komnas HAM, Joni Nelson Simanjuntak. Debat ini

sendiri di 'promotori' oleh media ternama yang dikenal membuat konflik atas

satu fenomena sosial, Tv-One.

Di awal diskusi, pembawa acara (Alfito Dinova) mengajukan pertanyaan ke

salah satu korban 65. Bedjo Untung namanya. Ia sedari umur 17 tahun di

tangkap ketika tragedi 65-67 meletus. Ia harus mendekam di penjara Salemba

dan terus berpindah dari penjara satu ke penjara lainnya, tanpa mengetahui

sedikitpun kesalahan apa yang ia diperbuat. Selanjutnya, pembawa acara

beralih ke 4 narasumber yang berdiri di depan audience. Pertanyaan pertama

dilemparkan ke Komisoener Komnas HAM, Joni Nelson. Pertanyaan singkat, latar

belakang Komnas menyebut peristiwa 65-67 sebagai bentuk pelanggaran HAM

berat. Joni Nelson memaparkan secara singkat apa yang isi dari rekomendasi

Komnas HAM serta latar belakang anggota Komnas HAM yang sekarang mengungkap

ke publik persoalan tragedi 65-67.

Debat (red: penghakiman) pun terjadi di tengah-tengah penjelasan dari

anggota Komnas HAM. Dua orang yang anti rekomendasi, dari purnawirawan TNI

(mantan Jendral) dan golongan ulama. Dengan argumen liar dan penggiringan

opini, mereka menghardik dan menyangkal rekomendasi Komnas HAM. Bualan dan

pepesan kosong pun mereka sajikan ke hadapan audience, mulai dari peristiwa

Madiun 1948, sampai pada aksi congkel mata yang mereka sebut dilakukan oleh

orang PKI terhadap para Jendral di 1 Oktober 1965. Mereka menganggap bahwa

yang dilakukan Komnas HAM terkait tragedi 65 adalah bentuk keberpihakan

Komnas HAM terhadap orang-orang PKI. Bagi mereka apa yang terjadi di tahun

65 adalah akibat dari sebab yang dilakukan oleh PKI karena telah membunuh

para Jendral. Mereka pun menggiring opini dengan menyebut Komnas HAM membela

kepentingan PKI dan orang-orang Komunis, Singkatnya, mereka menolak jika

tragedi 65-67 adalah pelanggaran HAM Berat.

"Komnas HAM tidak memiliki kepentingan politik dan dorongan untuk membela

kepentingan politik siapa pun, entah PKI atau pun bukan. Yang dilakukan

Komnas adalah penyelidikan yang dilakukan sudah lebih dari 1 tahun, dan itu

untuk membela orang-orang yang tercerabut hak dan rasa keadilannya pasca 1

Oktober 1965 sampai sekarang," jelas Joni Nelson merespon pernyataan liar

tersebut.

Disisi lain, fakta sejarah yang coba ditampilkan golongan ini sangat mudah

terbantah, bisa terlihat ketika salah satu audience yang berasal dari korban

65, menyebutkan keterlibatan TNI dengan menggunakan ulama, santri, kaum

nasionalis sempit, musuh politik PKI, untuk membantai orang-orang PKI.

Argumen yang dilemparkan audience dari korban 65 bersandar pada pengakuan

(alm) Sarwo Edhi Wibowo, mantan panglima RPKAD -- fakta sejarah yang tak mau

diterima --

"Kamu menyebut PKI tidak terlibat, dan menyalahkan TNI dan kaum ulama karena

memang kamu PKI," hardik mantan jendral merespon argumen tersebut.

Tepuk tangan meriah pun menggema setelah hardikan itu, tepuk tangan yang

berasal dari mahasiswa dan audience yang sesungguhnya tak pernah mau untuk

mencari fakta lain soal tragedi 65. Mereka masih 'nyaman' dengan fakta

sejarah yang mereka dapat, tanpa pernah dan mau mengkritisi.

Salah satu narasumber debat, putra dari DN.Aidit, Ilham Aidit pun memberikan

argumen yang cukup mendasar soal tragedi 65. ia memaparkan bagaimana Negara

memiliki kewajiban untuk mengakui dan bertanggung jawab dengan adanya

tragedi tersebut. Ia juga menyebutkan bagaimana fakta sejarah di tahun 65

dari versi korban PKI, bahwa tidak ada aksi kekerasan terhadap para ulama

dan santri di tahun-tahun sebelum peristiwa 1 Oktober 1965, bahwa sudah ada

bukti forensik yang menyebut tak pernah ada pencongkelan mata atau bentuk

penyiksaan lainnya terhadap tubuh para Jendral. Ia juga mempertanyakan bukti

sejarah yang kuat dari argumen yang dilontarkan narasumber lain terkait

peristiwa Madiun 1948. Dimana disebutkan oleh narasumber itu bahwa ratusan

ribu ulama di daerah Madiun dan sekitarnya dibantai oleh orang PKI.

Tapi yang kemudian respon yang tersaji adalah,

"Beginilah orang PKI selalu mengelurkan argumen tak jelas. Mereka sebenarnya

ingin seperti dulu lagi. Anda anak DN Aidit, pasti memiliki niat-niat lain,"

kata salah satu audience terhadap paparan yang di sampaikan Ilham Aidit.

Boleh dikatakan bahwa debat tersebut sebenarnya sekedar penghakiman

orang-orang yang anti korban tragedi 65. Mereka berasal dari kalangan eks

TNI dan eks tukang jagal dari background agama, yang dulu tangan mereka

berlumuran darah jutaan orang tak berdosa. Dengan semangat 'membela'

keutuhan negara dan menginginkan negara ini maju ke depan mereka menghardik

dan menghina terkait rekomendasi Komnas HAM. Mereka beragumen dengan sangat

barbar, tanpa peduli dengan deretan bangku yang diisi orang-orang tua korban

tragedi 65. Benar-benar menjijikkan.

Argumen yang dilemparkan mereka seolah-olah membenarkan apa yang terjadi

pasca 1 oktober 1965. Bagi mereka itu hal yang wajar harus terjadi. Artinya

pembantaian, penyiksaan, perebutan paksa, dan perbudakkan yang terjadi

terhadap jutaan orang pasca 1 Oktober 1965, bagi golongan yang memiliki

simbol TNI dan agama ini menjadi lumrah terjadi dan tidak harus diungkap

lagi saat ini.

"Luka lama itu biarkan terus membusuk. Ia akan hilang dengan sendirinya,"

tutur salah satu peserta debat yang berasal dari parpol Islam.

"Apa yang terjadi di tahun 65-67 adalah akibat dari suatu sebab. Penyebabnya

apa? Karena orang PKI, entah itu dari Gerwani, Pemuda Rakjat, dll membunuh

para Jendral dan menghina ulama. Jadi wajar terjadi aksi balas dendam di

tingkatan masyarakat terhadap orang-orang PKI," tambah audience lain.

Pertanyaannya apakah begitu barbarnya masyarakat Indonesia di era itu?

Menghambisi tanpa pandang bulu, darah di balas darah. Sungguh barbar. Mereka

menolak jika rekomendasi Komnas HAM terus digulirkan sampai ke ranah hukum

atau sampai pada negara mengakui bertanggung jawab atas terjadinya

pembantaian di tahun 65-67. Alasan penolakan mereka tak berdasar. Tak

memiliki argumen yang sangat ilmiah, bahkan terkesan liar dan barbar. Mereka

menutup hati, telinga, mata, serta akal pikiran mereka terhadap fakta-fakta

menyakitkan yang dialami oleh para korban tragedi 65 -- Fakta yang bisa

mereka lihat langsung, ketika belasan sepuh korban 65 masih rela datang

hanya untuk mendengar hinaan dan makian terhadap mereka di debat itu, tanpa

sedikit pun mengeluarkan kata makian dan pembelaan -- Sungguh miris.

Di tahun 65-67, negeri ini sudah berumur 20an lebih. Artinya kedewasaan

dalam berpikir tentu (wajib) dimiliki oleh masyarakatnya, namun fakta justru

memperlihatkan bahwa masyarkat kita masih jauh dari kata manusia dan

kedewasaan, ketika tragedi itu terjadi. Atas nama dendam pribadi, beralasan

'ancaman' dari tentara, berkedok penyelamatan diri sendiri, mereka para

tukang jagal rela menuntup hati nurani mereka untuk kemudian menggorok,

menyiksa, memperkosa, merebut paksa mereka yang dicap sebagai bagian dari

PKI. Dan 43 tahun berlalu, keturunan para tukang jagal ini masih belum rela

jika kotak pandora 65 yang berisi dosa-dosa itu diungkap dan diakui ke ranah

publik.

Pembunuhan para Jenderal di 1 Oktober 1965 memang fakta sejarah, tak bisa

ditampik. PKI sebagai partai dituduh sebagai otak dari pembunuhan itu adalah

isu yang masih bisa diberdebatkan kebenarannya. Pelanggaran HAM berat

terhadap jutaan orang yang dituduh PKI, adalah fakta yang juga tak bisa

ditampik

* * *

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment