----- Original Message -----From: AriSent: Sunday, December 02, 2012 9:07 AMSubject: [wanita-muslimah] Pangeran Wangsakerta dan Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantarapak chodjim biasanya semangat mengutip Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara
ini nih. saya barusan baca baca tentang buku ini. ternyata jenius banget,soalnya merupakan naskah sejarah yg dibuat di tahun 1700andan sudah memakai sistem rujukan (citation) dan penelitian ilmiah,sampai dianggap terlalu maju bagi jamannya.menarik deh artikel di bawah ini. buat penyuka sejarah, wajib baca.cuman yg jadi kontroversi, yg jadi rujukan karya beliau saat iniadalah naskah salinan yg usianya baru 100 tahun(kalau naskah asli harusnya sudah 300 tahun),dan isi naskah ndilalah sesuai dengan penelitian para sarjana belanda.jadi justru ada kecurigaan kalau naskah dibuah dengan merujuk karya sarjana belanda.wallahu a'lam.===Pangeran Wangsakerta ~Sejarahwan Kontroversi~
Dalam beberapa hari aku berupaya sekuat tenaga sampai akhirnya semua kesulitan dapat diatasi dan naskah yang kami susun dapat disetujui seutuhnya. Walaupun demikian, maafkanlah seandainya terdapat kekeliruan dalam penyusunan pustaka ini.
Lebih,dahulu aku berdoa kepada Hyang Tunggal Yang Maha Kuasa: semoga selamat sentosa. Hindarkanlah kami dari perbuatan dosa dan malapetaka. Hilangkanlah segala perbuatan jahat dan bahaya perbuatan khianat yang akan merusak negara kami semua, dan semoga berikanlah kesejahteraan kepada kami peserta musyawarah yang menyusun pustaka ini sebagai bahan pengetahuan bagi masa yang akan datang dan masa kini (natgata wartanana), terutama sebagai pengetahuan tentang raja‑raja beserta kerajaannya, agamanya, tanahnya dan masyarakatnya dalam kehidupan di bumi Nusantara ini.
Pustaka ini hendaknya dijadikan tonggak segala kisah, dan kami sama sekali tidak menyimpang dari kisah yang sebenarnya karena hal itu telah merupakan hasil penelitian yang seksama mengenai kebenarannya serta senantiasa akan berguna sebagai penuntun bagi masyarakat dan segala lapisan sejak saat ini sampai masa yang akan datang. ~Pangeran Wangsakerta dalam Pendahuluan "Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantaraparwa IV sarga 1″~
Pangeran Wangsakerta dari Cirebon mungkin merupakan orang Indonesia yang pertama kali berusaha menyusun sejarah bangsanya selengkap mungkin. Untuk keperluan penyusunan "buku induk" sejarah itu, ia melakukan hal-hal positif yang bahkan menurut penilaian orang Indonesia sekarang masih terlalu "ilmiah" sehingga diragukan. (Ayotrohaedi 1981)
Sejak awal tahun 1980-an Ayatrohaedi, Saleh Danasasmita, dan Yoseph Iskandar melalui media massa mengumumkan tentang penemuan naskah-naskah Pangeran Wangsakerta beserta isinya. Sambutan masyarakat terhadap informasi tersebut dapat dibagi dua, yang satu sama lain kontradiktif. Di satu pihak, mereka menyambut baik dan sangat mengharapkan sumbangan naskah-naskah itu terhadap kelengkapan sejarah Sunda dan Sejarah Indonesia pada umumnya. Di pihak lain sambutan mereka bernada negatif dengan menyatakan bahwa naskah tersebut palsu dan isinya tak dapat dipercaya sebagai gambaran sejarah. Kontroversi itu menggegerkan berbagai kalangan.
Siapa Pangeran Wangsakerta ?
Saleh Danasasmita, pada tahun 1986 telah berhasil mengidentifikasi Pangeran Wangsakerta, melalui tulisan ilmiah Pangeran Wangsakerta. Sebagai Sejarawan Abad XVII. Tulisan tersebut berupa makalah, pernah disampaikan dalam Seminar Kebudayaan Sunda Proyek Sundanologi Depdikbud di Bandung, pada tanggal 9‑11 Maret 1986.
Menurut Saleh Danasasmita, tokoh Pangeran Wangsakerta, nyaris tidak dikenal oleh umum. Bahkan di lingkungan kerabat keraton Cirebon, ia hanya dikenal sebagai Panembahan Cirebon I, tanpa nilai khusus, kecuali sebagai Asisten Sultan Sepuh.
Di gedung Arsip Nasional, tersimpan sebuah dokumen, berupa naskah perjanjian antara Cirebon dengan Kompeni Belanda tanggal 7 Januari 1681. Dokumen tersebut ditulis dalam dua bahasa. Pada bagian kiri berbahasa Melayu Arab, pada bagian kanan berbahasa Belanda dengan huruf latin.
Di bagian bawah naskah sebelah kiri, terdapat 9 nama penandatangan perjanjian dari pihak Cirebon. Pada urutan ketiga, tertulis nama Wangsakerta dalam huruf cacarakan. Dalam naskah tersebut, dicantumkan dengan tegas, bahwa pemegang kekuasaan di Cirebon ada tiga orang, termasuk Pangeran Wangsakerta di antaranya. Berdasarkan dokumen tersebut dapat dipastikan, bahwa tokoh Pangeran Wangsakerta, sebagal salah seorang penguasa Cirebon, dalam pertengahan kedua abad ke‑17, ternyata benar-benar ada.
Wangsakerta adalah anak ketiga Panembahan Girilaya dari Cirebon. Girilaya yang meninggal tahun 1662 adalah cucu Sunan Gunung Jati dan berkuasa di Cirebon menggantikan kakeknya karena ayahnya sendiri sudah meninggal ketika Sunan Gunung Jati masih berkuasa. Girilaya menikah dengan seorang putri Mataram, dan perkawinan itu menghasilkan tiga anak lelaki. Anak sulung bernama Pangeran Martawijaya yang kemudian menjadi Sultan Sepuh I dan menurunkan para penguasa kesepuhan, anak kedua bernama Pangeran Kartawijaya yang menjadi Sultan Anom I dan menjadi leluhur para sultan Kanoman, sedangkan anak ketiga Pangeran Wangsakerta, tidak memperoleh warisan daerah. Ia kemudian menjadi "tangan kanan" abangnya, Sultan Sepuh I (Kosch 1979; 85; PS Sulendraningrat 1974; 66).
Hubungan baik dengan Mataram berkat perkawinan Girilaya dengan putri Mataram itu rupanya tidak berjalan mulus. Sultan Mataram tidak urung mencurigai Panembahan Girilaya sehingga akhirnya berhasil menawan Girilaya dan kedua anaknya di Mataram. Girilaya diuntang ke Mataram, disertai Martawijaya dan Kartawijaya, tetapi sesampai disana tidak diperbolehkan kembali ke Cirebon. Karena Wangsakerta tidak ikut ke Mataram, ia pun tidak ditawan (Edi S Ekajati 1984…).
Setelah Panembahan Girilaya meninggal di Mataram, kedua anaknya kembali ke Cirebon, dan dengan persetujuan Sultan Banten, Cirebon dipecah menjadi Kasepuhan dan Kanoman. Walaupun Wangsakerta juga menperoleh daerah, ia tidak diangkat sebagai sultan.
Pangeran Wangsakerta rupanya seorang "kutu buku". Petunjuk kearah itu kita peroleh dari jilid terakhir karya utamanya yang bernama Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara 'Kitab tentang kerajaan-kerajaan di Nusantara'. Jilid terakhir yang merupakan daftar pustaka itu menyebutkan tidak kurang dari 1.700 judul naskah atau karangan yang pada masa itu terdapat di perpustakaan kerajaan Cirebon, terutama Kasepuhan, mengingat Wangsakerta menjadi pembantu utama Sultan Sepuh I (Ayatrohaedi 1983.. ).
Pangeran Wangsakerta ternyata mempunyai nama lain, Abdulkamil Muhammad Nasaruddin, yaitu namanya setelah ia berkedudukan sebagai Panembahan Carbon. Nama lainnya lagi, yang kurang dikenal, ialah Panembahan Agong Gusti Carbon dan Panembahan Tohpati. Di kalangan Cirebon sendiri, Wangsakerta lebih dikenal sebagai pangeran Arya Carbon yang menyusun naskah Purwaka Caruban Nagari (1720).
Naskah Wangsakerta
Kehadiran naskah‑naskah kuno (pustaka) Pangeran Wangsakerta Cirebon abad ke‑17 Masehi, setelah diuji secara filologi oleh para akhli, Tim Penggarap Naskah Pangeran Wangsakerta (dipimpin oleh Prof Dr. H. Edi S. Ekadjati, Program Kerja Yayasan Pembangunan Jawa Barat, 1989‑1991), telah menjadi sumber yang berharga bagi ilmu pengetahuan sejarah.
Nama Pangeran Wangsakerta mulal menarik minat kalangan sejarah, setelah diterbitkan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, yang ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon dalam tahun 1720. Pangeran Arya Cirebon alias Pangeran Adiwijaya, adalah putera bungsu Sultan Kasepuhan pertama. la kemenakan Pangeran Wangsakerta.
Dalam percaturan Sejarah Tatar Sunda, Priangan khususnya, nama Pangeran Arya Cirebon cukup dikenal, karena sejak tahun 1706 ia ditunjuk oleh Kompeni Belanda menjadi opzichter para bupati di Priangan. la dinilail amat berhasil dan amat pandai, sehingga, setelah wafat dalam tahun 1723, Kompeni Belanda tidak sanggup mencari penggantinya, karena dianggap tidak ada tokoh yang mampu menyamainya.
Naskah Purwaka Caruban Nagari, memiliki kadar kesejarahan yang jauh lebih tinggi (jika dibandingkan dengan naskah babad atau sejenisnya), karena menyebutkan sumber penulisnya. Kalimat terakhir naskah tersebut memberitakan, bahwa cerita itu disusun oleh Pangeran Arya Cirebon, berdasarkan naskah Pustaka Nagara Kretabhumi karya Pangeran Wangsa kerta.
Sebenarnya masih ada sebuah naskah lain, yang menyebutkan Pustaka Nagara Kretabhumi sebagai sumber, yaitu Pustaka Pakungwati Cirebon (1779 M) yang disusun oleh Wangsamanggala (Demang Cirebon) bersama Tirtamanggala (Demang Cirebon Girang). Dalam naskah ini, hanya pada halaman akhir disebutkan sebagai kutipan dari Pustaka Nagara Kretabhumi, yaitu mengenai pernah adanya Kerajaan Tarumanagara, dengan raja-rajanya yang memakal nama Warman sebagal pendahulu Kerajaan Pajajaran. Bagian selebihnya, tampil dalam gaya sastra babad biasa, yang penuh dengan hal-hal sensasional dan dibumbui supranatural.
Sejak naskah Purwaka Caruban Nagari diterbitkan tahun 1972, mulallah nama Pangeran Wangsakerta dikenal umum, sebagai pujangga penyusun naskah Pustaka Nagara Kretabhumi. Namun tak seorangpun mengetahui, naskah tersebut benar‑benar pernah ada atau tidak, dan kalau ada, tak seorangpun yang mengetahui tempatnya.
Setelah pelacakan yang intensif, namun dilakukan secara diam-diam selama 5 tahun oleh Drs. Atja, akhirnya naskah Pustaka Nagara Kretabhumi mulai ditemukan dan dibeli oleh Museum Negeri Sri Baduga (Jawa Barat) dalam pertengahan tahun 1977. Setelah itu, secara berturut‑turut, naskah-naskah lain karya Pangeran Wangsakerta, disampaikan kepada Museum Negeri Sri Baduga Jawa Barat dari para pemiliknya, yang kebanyakan berdomisili di luar Jawa.
Pakar sejarah Edi S. Ekadjati, dalam buku Naskah Sunda (1988), meriwayatkan tentang penemuan 47 buah naskah Pustaka Wangsakerta. Empat buah naskah di antaranya, ditemukan di Banten, antara lain:
- Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (Parwa II, Sarga 2), dikumpulkan antara tahun 1967‑1969 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (69 lembar) dari seorang pedagang, dan di Serang (Banten) sebanyak 33 lembar. Pada tahun 1977 naskah ini dijilid dan sudah lengkap. (Pemberi keterangan Siradjudin, tanggal 5‑2‑1978);
- Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (Parwa II, Sarga 3). Sebagian naskah ditemukan pada tahun 1949 di Palembang dan sebagian lainnya di Banten, dari seorang dukun keliling penjual jamu. Beberapa naskah yang ditemukan di Palembang pada tahun 1964, sebagian terendam lumpur, akibat banjir Sungai Musi. Baru tahun 1979, naskah ini terkumpul lengkap, setelah digabungkan dengan naskah yang ditemukan di Banten;
- Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (Parwa III, Sarga 5), dari Banten tanggal 4 September 1983;
- Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa (Panyangkep), sebagian dari Palembang (Atmo Darmodjo), sebagian dari Serang (Yusuf, dan sebagian lagi dari Jambi (Hassan). Dikumpulkan tahun 1926‑1931 dan dijilid tahun 1978;
Dari 47 naskah Pangeran Wangsakerta, dapat diketahui, bahwa tebal tiap jilid bervariasi antara 100 sampal 250 halaman, dengan isi antara 21 sampal 23 baris tiap halaman. Berdasarkan laporan pengujian secara kimiawi di laboratorium Arsip Nasional (1988), kertas daluang yang digunakan dalam naskah‑naskah Pangeran Wangsakerta, sudah berusia lebih dari 100 tahun. Penelitian usia naskah‑naskah tersebut, kini sedang dilakukan di sebuah laboratorium di Jepang. Walaupun demikian, naskah‑naskah Pangeran Wangsakerta, sudah dapat dikategorikan ke dalam Naskah Kuno. Naskah‑naskah tersebut ditulis dengan tinta japaron, menggunakan aksara dan bahasa Kawi Jawa Kuno, gaya Cirebon.
Ayatrohaedi menjelaskan dalam tulisan Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, pada buku Pertemuan Ilmiah Arkeologi ke III, bahwa setiap jilid Pustaka Wangsakerta, terdiri dari tiga bagian, yaitu:
- Purwaka
- Uraian kisah sejarah dalam jilid yang bersangkutan
- Kolofon
Bagian purwaka, secara terperinci memberikan keterangan yang berkaitan dengan; nama naskah, parwa dan sarga, penyusun, sumber, alasan penyusunan, tujuan penyusunan, dan cara kerja yang lebih jauh menguraikan tentang hal‑hal yang berkaitan dengan; pembentukan panitia, pencarian sumber dan bahan, pengundangan nara sumber, penyelenggaraan sawala dan penugasan sangga, dan penyelesaian masalah yang muncul dalam sawala. Bagian inilah yang bersangkut paut dengan pertanggungjawaban ilmiah para penyusun.
Bagian kedua, merupakan uraian yang lebih banyak menyita bagian terbesar dalam tiap jilid, karena berisi keterangan kesejarahan yang sesuai dengan jilid yang bersangkutan. Sedangkan kolofon berisi keterangan mengenai akhir penulisan jilid tersebut (Ayatrohaedi,1985: 530‑557).
Ambahan atau luas jelajah kisah sejarah yang ditampilkan oleh Pangeran Wangsakerta, meliputi karun waktu yang disebutnya Purwayuga, yaitu sejak Nusantara dihuni oleh mahluk manusia hewan (satwaprurusa). Secara runtut berlangsung, kira-kira sejuta tahun sebelum tarikh Saka, sampai peristiwa perjanjian antara Cirebon dengan VOC tahun 1681. Bahkan, waktu itu ia menyebutkan tokot-tokoh yang dipusarakan di Giri Saptarengga, yaitu Gunung Sembung yang oleh umum disebut makam Gunung Jati. Disana, pada salah sebuah nisan, tertulis Sultan Sepuh I yang wafat tahun 1697.
Dari naskah‑naskah yang terkumpul, baru dapat diketahui peristiwa-peristiwa dun urutan pemerintahan raja‑raja, lengkap dengan tahun pemerintahamrya di beberapa daerah yaitu: Perelak, Samudera Pasai, Sriwijaya, Tatar Sunda, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banjarmasin dun Nusa Bali. Kita pun dapat menemukan kisah patriotik Sultan Ageng Tirtayasa dari Kerajaan Islam Surasowan Banten, juga tokoh Laksamana wanita Malahayati dari Kerajaan Aceh Darussalam, dun Patih Lambung Mangkurat dari Kerajaan Banjar.
Penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, dipaparkannya sejak masa pemerintahan Darmawangsa. lengkap dengan mazhab yang dianut oleh para penyiarnya. Juga ia menguraikan siapa sesungguhnya tokoh Fatimah binti Maimun, yang kehadiran makamnya di Desa Leran, masih merupakan salah satu misteri sejarah di Indonesia. Menurut pendapat Saleh Danasasmita (1984), dalam beberapa hal, uraiannya tepat sejalan dengan isi prasasti yang telah dikenal. Sedangkan beberapa hal lainnya, dapat dikatagorikan logis, dalam arti tidak bertentangan dengan prasasti yang ada.
Ciri gaya penulisan umum dalam jamannya, hanya tampak bila ia melukiskan kecantikan seorang wanita, atau melukiskan peran dengan ungkapan yang hampir selalu sama. la menyisipkan kata "meriam" sebagal peralatan perang pasukan Demak, saat mereka membantu Cirebon berperang dengan Kerajaan Galuh di Palimanan, dekat Bukit Gempol tahun 1528.
Dalam ambahan sumber, Pangeran Wangsakerta pun sering tertumbuk kepada perbedaan keterangan. Dalam hal yang demikian, ia berusaha mengambil jalan tengah (kalap langkah tengah), dengan cara mengkompromikannya. Bila hal itu tidak mungkin, maka ia menyajikan semua keterangan menurut versinya musing-masing, dengan menyebutkan siapa yang menjadi sumbernya.
===
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (3) |
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment