Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang pada 2007 gagal mengajukan usul perubahan lanjutan karena dianggap terlalu parsial dan mementingkan diri sendiri, berhasil menyiapkan naskah komprehensif tentang perubahan lanjutan atas-UUD 1945 lengkap dengan naskah akademiknya.
Di pihak pemerintah Komisi Hukum Nasional (KHN) menyerahkan buku khusus kepadapresideD yang berisi pemi-kiran dan rekomendasi tentang araii dan substansi perubahan UUD 1945.
Langkah serupa dilakukan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) yang kini giat menghimpun berbagai sikap dan pandangan mengenai perubahan konstitusi. Menurut Gubemur Lemhanas Muladi, hasil kajian mendalam itu akan diserahkan kepada presiden untuk diramu secara komprehensif dengan bahan-bahan lain dalam rangka peru¬bahan lanjutan atas UUD 1945.
Langkah KHN dan Lemhanas itu merupakan respons atas gagasan presiden bahwa pihaknya akan menyiapkan naskah perubahan lanjutan atas UUD 1945 sebagai akomodasi atas aspirasi rakyat tentang perubahan konstitusi yang terus marak.
Semula, lontaran presiden tentang rencananya menyiapkan naskah amandemen lanjutan atas UUD 1945 itu mendapat serangan dari sementara kalangan di MPR. Menurut mereka, bukanlah kewenangan presiden untuk memikirkan perubahan UUD. Sebab, menurut pasal 37 UUD 1945, yang berwenang melakukan perubahan UUD adalah MPR.
Proporsionalitas Reran MPR
Bagi banyak kalangan, respons orang-orang MPR atas gagasan presiden merupakan reaksi yang tidak proporsional. Mereka dinilai cenderung ingin memonopoli secara negatif proses pembenahan konstitusi.
Memang secara formal prosedural, perubahan UUD hanya dapat dilakukan MPR. Tetapi, karena konstitusi merupakan kontrak sosial dan politik bangsa yang paling tinggi, secara substansial bahan-bahannya bisa disiapkan siapa pun, lebih-lebih oleh presiden yang mempunyai perangkat dan ahli yang jauh lebih banyak dan permanen. Lagi pula presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Tidaklah salah, bahkan akan lebih objektif, jika MPR tidak mengerjakan sendiri secara langsung perubahan UUD itu. Bahan bisa disiapkan satu lembaga yang terdiri atas orang - orang yang ahli dan politik, sedangkan MPR tinggal mengesahkan atau menolaknya sesuai dengan ketentuan pasal 37 UUD 1945 itu sendiri.
Cara ini dianggap lebih baik. Sebab, jika dikerjakan oleh MPR sendiri, akan sulit dihindari masuknya kepentingan-kepentingan politik jangka pendek dan sempit Apalagi jika diingat bahwa MPR itu berisi para politisi yang sebagian besar tidak memahami betul persoalan-persoalan politik, hukum, dan konstitusi. Persoalan seperti ini memang terjadi pada proses amandemen UUD 1945 periode 1999-2002.
Pembahasan dan penyiapan naskah perubahan UUD yang tidak perlu langsung dilakukan sendiri oleh MPR ini dapat menyinergikan secara baik dengan kenyataan bahwa pada saat ini sudah bermunculan berbagai pusat kajian konstitusi secara sangat marak, baik di perguruan tinggi maupun di lembaga swadaya masyarakat.
CC dan Kompetensi MK
Selain perubahan lanjutan atas UUD 1945 yang sifetnya konseptual pada 2D08, banyak juga'muncul kasus kohkret yang tfeikait konstitusi Ketika mencuat ribut-ribut soal Ahmadiyah, banyak orang yang menganggapnya sebagai persoalan hak dasar atau konstitusional warga negara yang harus diselesaikan Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal, meskipun benar merupakan persoalan hak konstitusional, masalah itu bukan menjadi kewenangan MK untuk menanganinya.
Dalam kenyataan sehari-hari banyak juga kasus pengaduan ke MK yang memang merupakan masalah hak konstitusional, tetapi tidak menjadi kewenangan MK untuk menyelesaikannya.
Misalnya, adanya vonis-vonis yang sudah berkekuatan hukum tetap melalui upaya peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung, tetapi ternyata vonis itu salah, baik substansi maupun prosedumya, Banyak yang kemudian membawa kasus ini ke MK. Banyak. juga laporan ke MK tentang adanya vonis-vonis pengadilan yang sudah bericekualan hukum tetap, tetapi tidak dapat dieksekusi dengan berbagai problemnya. Ada yang karena politik, ada yang karena administratif, dan ada yang karena objek-nya sudah berpindah tangan berkali-kali sehingga mengalami tumpang tindih hukum. Para pelapor meminta agar masalah tersebut diselesaikan oleh MK, padahal masalahnya bukan kewenangan MK.
Karena banyaknya kasus seperti ini, muncul gagasan agar kewenangan MK ditambahdengan kewenangan menangani "pengaduan konstiftisional" atau constitutional complaint (CC). Gagasan pemberian kewenangan CC itu diinspirasi Mahkamah Konstitusi Jerman yang memang mempunyai kewenangan untuk itu.
Melalui CC setiap warga negara yang hak konstitutionalnya dilanggar, tetapi tidak adalagi jalur pengadilan yang dapat menyelesaikannya karena semua upaya hukum sudah ditempuh dan sudah final, yang bersangkutan dapat mengajukan perkara ke MK melalui CC. []
Moh. Mahfud MD, Akademisi
Sumber:
http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.OpiniLengkap&id=24
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment