Sepak Bola Menyerang di Bawah Terik Brasil
Oleh: Budiarto Shambazy
SAAT jeda final Piala Dunia 1990 di Stadion Olimpiade, Roma, Italia, kolumnis Kompas, Ronny Pattinasarani, iseng bertanya kemungkinan skor akhir. Kami kurang bergairah menyaksikan babak pertama final Jerman Barat-Argentina yang masih 0-0 dan saya asal jawab, "Paling wasit ngasih penalti untuk Jerman Barat."
Kebetulan itu yang terjadi. Andreas Brehme mencetak satu-satunya gol lewat titik putih. Jerman Barat merampas gelar juara dari Argentina. Aura Piala Dunia 1990 negatif sejak awal. Baru di partai perdana, dua pemain Kamerun diusir wasit. Total 16 kartu merah dikeluarkan sang pengadil. Pecah rekor jumlah gol terendah dalam sejarah—2,21 gol per partai. Satu partai perdelapan final, satu perempat final, dan dua semifinal diselesaikan lewat adu penalti. Rekor negatif lain, pertama kalinya pemain diusir wasit di final, yakni Pedro Monzon (Argentina).
Satu-satunya gol tercetak di menit ke-84 ketika wasit Edgardo Codesal (Meksiko) menunjuk titik putih setelah Rudi Voeller "dijatuhkan" Roberto Sensini di kotak penalti. Brehme mengakui Voeller diving.
Tak lama kemudian giliran Gustavo Dezotti diusir wasit menyusul Monzon. Satu lagi rekor negatif pecah: Argentina negara pertama yang gagal mencetak gol di final. Dan, Diego Maradona yang berurai air mata menolak uluran jabat tangan Presiden FIFA Joao Havelange dalam upacara pemberian medali karena merasa "dikerjai" tuan rumah dan FIFA, seolah ada persekongkolan "asal bukan Argentina" yang juara.
Ada kesepakatan pada pimpinan FIFA, terutama seperti dilaporkan Laporan Teknis Piala Dunia 1990 FIFA, kualitas Piala Dunia 1990 menurun drastis. Tim-tim bermain lebih defensif karena khawatir kalah atau minimal menargetkan hasil seri untuk melangkah ke babak-babak selanjutnya. Ada pula kecenderungan tim gemar buang waktu dengan back-pass mengamankan skor, terutama di menit-menit terakhir.
Untuk mencegah terulangnya debacle 1990, FIFA memutar otak. Sejak 1992, FIFA mengubah drastis beberapa aturan yang menghambat sepak bola menyerang. Pertama, melarang back-pass. Kedua, mengganjar 3 poin (dari sebelumnya 2) untuk tim pemenang pertandingan dan 1 (dari sebelumnya 2) untuk tim yang bermain seri. Lebih dari itu, FIFA menyiapkan Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat yang diharapkan lebih jadi hiburan global dengan bantuan kecanggihan manajemen ala negeri adi daya.
Adalah Alan Rothenberg, pengacara dan aktivis olahraga, yang berhasil menyulap kompetisi sepak bola di AS lebih populer, yang memimpin penyelenggaraan Piala Dunia 1994. "Pesta gol" yang diharapkan cukup berhasil karena jumlah gol per partai naik ke angka 2,71. Tercatat pula rekor baru jumlah penonton: rata-rata 69.000 penonton per pertandingan. Hebatnya, kedua rekor itu belum terpecahkan sampai kini.
Sayang, sukses 1994 gagal terulang pada Piala Dunia Perancis 1998, Korsel-Jepang 2002, Jerman 2006, dan Afrika Selatan 2010. Padahal, sejak 1998, jumlah peserta ditambah dari 24 menjadi 32 negara dan jumlah pertandingan juga ditambah dari 52 ke 64 partai untuk membuat Piala Dunia lebih semarak. Di Perancis, jumlah gol yang tercipta mencapai 171 gol, tetapi hanya 2,67 gol per partai. Di Korsel-Jepang tercipta 161 gol (2,52 per partai), di Jerman 147 gol (2,3 per partai), dan di Afsel 145 gol (2,27 per partai).
Nah, dalam 16 partai putaran pertama penyisihan grup Piala Dunia 2014 yang melibatkan 32 peserta, telah tercipta 49 gol. Pecah sudah rekor jumlah gol putaran pertama sejak 1998 (37 gol), 2002 (46), 2006 (41), dan 2010 (25). Masih ada 32 partai babak penyisihan grup, 8 partai 16 besar, 4 perempat final, 2 semifinal, 1 final, dan 1 perebutan juara ketiga. Kita lihat saja apakah jumlah gol per partai akan menembus angka 3.
Piala Konfederasi 2013
Jika merujuk pada Laporan Teknis Piala Konfederasi 2013 FIFA, tim-tim pada Piala Dunia 2014 memang diramalkan akan bermain lebih menyerang. Salah satu indikatornya, pada Piala Konfederasi 2013, yang juga berlangsung di Brasil, tercipta 4,25 gol per pertandingan. Total 68 gol tercetak dalam 16 partai.
Memang turnamen ini lemah sebagai referensi karena salah satu pesertanya, Haiti, digunduli Spanyol 0-10 dan Uruguay 0-8. Tim lainnya adalah Brasil yang akhirnya juara dengan mengalahkan Spanyol 3-0 di final, Italia, Meksiko, Jepang, Uruguay, dan Nigeria. Namun, selama sekitar 35 tahun terakhir semua tim memeluk ideologi sepak bola menyerang jika ingin berbicara banyak di tingkat dunia.
Di era 1970-an sampai 1980-an, sistem gerendel Italia atau sepak bola negatif ala Uruguay masih punya kiprah. Setelah jadi juara pada 1982, Italia ogah memakai sistem gerendel dan pemain genius Uruguay, Enzo Francescoli, menyesal menjadi sutradara gagal yang melakoni sepak bola negatif yang ditinggalkan sejak 1990.
Terbukti pula cuaca Brasil di Piala Konfederasi 2013 tergolong terik sehingga pemain cenderung mengendurkan tekanan terhadap pemain lawan. Selain itu, tim-tim yang menang terbukti lebih sering membuat si kulit bundar yang "jalan", bukan pemain yang "lari". Itu sebabnya, permainan possession football bukan lagi menjadi opsi yang menarik.
Data Piala Konfederasi 2013 juga menunjukkan, sepertiga dari 68 gol yang tercetak merupakan hasil set-piece yang dirancang saat latihan. Dan, 25 persen gol tercipta dalam 15 menit terakhir, sekali lagi bukti betapa cuaca di Brasil cukup menyiksa sehingga pemain kehilangan konsentrasi di saat akhir. Bukti lain, pemain belakang berperan besar membangun serangan.
Lebih penting lagi yang disimak dari data kuantitatif adalah kualitas tim peserta Piala Dunia kali ini. Empat favorit yang sering disebut-sebut bakal jadi juara adalah Brasil, Argentina, juara bertahan Spanyol, dan Jerman. Kalaupun ada tim "kuda hitam", yang sering disebut cuma Belgia.
Dari keempat tim itu, dunia terenyak menyaksikan berakhirnya era tiki-taka. Sebetulnya ini tak mengejutkan karena sebagian pemain "La Furia Roja" mulai menua dan tiki-taka bukan teka-teki lagi. Gaya ini sangat fenomenal membawa Spanyol menjadi juara Eropa 2008 dan 2012 serta juara dunia 2010. Namun, tiki-taka kini dianggap tak lebih dari sekadar "saling oper bola sesering mungkin tanpa tujuan".
Adalah Belanda yang menghancurkan Spanyol. Namun, "the Flying Dutchmen" sering galak di babak penyisihan grup lalu melempem di 16 besar. Lionel Messi masih perlu pembuktian ia mampu mengangkat tim "Tango" seperti Maradona, hal yang tampaknya agak muskil ia lakukan. Tim "Panser" tak pernah absen disebut sebagai calon juara yang meyakinkan, tetapi sudah 24 tahun gagal jadi juara. Mungkin itulah keuntungan tim "Samba" yang main di depan publik sendiri dengan penampilan galau karena sudah lama gagal memainkan sepak bola indah tanpa playmaker yang inspiratif dan ujung tombak yang produktif. []
KOMPAS, 19 Juni 2014
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior KompasPosted by: Kinantaka <kinantaka@gmail.com>
Reply via web post | • | Reply to sender | • | Reply to group | • | Start a New Topic | • | Messages in this topic (1) |
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment