Advertising

Sunday 4 July 2010

Mia tahunya ngeuel saja <= Re: mesttinya ranggas <= Re: [wanita-muslimah] FPI Akan Bongkar Patung Naga di Kota

 

Mia wrote:
Jadi kesimpulannya HMNA ulama makar yang mendukung teroris? Kapan ditertibkan ulama kayak gini?
######################################################
HMNA:
Mia ngeyel lagi, dasar cerewEt. Dalam perbendaharawan sastra klasik Makassar tertulis:
-- Buru'nea bajiki pikkiranna karuai ulunna, bainea tau nibaia jai bicaranna karuai bawana, artinya:
-- Laki-laki pandai berpikir karena dua kepalanya, perempuan (baine) yaitu yang dikendarai (tau nibai) banyak bicaranya karena dua mulutnya. Cobalah Mia buktikan bahwa sastra klasik Makassar spesifik ini tidak benar DENGAN CARA MIA JANGAN CUMA NGEYEL SAJA secara sporadis, TULISLAH ARTIKEL UNTUK MENUNJUKKAN HMNA ITU TERRORIST (huruf kapital maksudnya bagian yang digaris bawahi).

***

Catatan Jubir HTI: The Jakarta Post dan Bias Media (iasma)

Menurut para pakar komunikasi, apa yang iasma pada media massa cetak, atau yang kita lihat di media elektronik, sesungguhya adalah realitas tangan kedua (second-hand reality). Maksudnya, apa yang iasma atau kita lihat dan kita dengar itu bukanlah realitas sesungguhnya melainkan formulasi atas realitas yang ada, yang dihasilkan melalui proses-proses olah jurnalistik baik dalam penulisan, pengambilan gambar, editing, sorting (penyaringan) dan sebagainya. Semua itu tentu sangat bergantung pada person-person yang melakukan tugas itu. Oleh karena itu, meski dalam teori pers harus bersikap netral, dalam kenyataannya pemberitaan media iasm selalu mengalami bias.

Seberapa bias dan kemana pembiasan itu terjadi sangatlah dipengaruhi oleh iasma dan kepentingan dari media tersebut. Semakin besar ketidakselarasan iasma dan kepentingan media terhadap obyek pemberitaan, maka kemungkinan terjadinya bias akan semakin besar. Itu terjadi pada banyak media, di antaranya ias The Jakarta Post. Lihatlah bagaimana ias ini menulis soal syariah, Khilafah dan kegiatan gerakan Islam, termasuk Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Dalam kasus gugatan kelompok AKKBB terhadap UU Nomer 1 PNPS Tahun 1965 misalnya, ias The Jakarta Post (TJP) pada tanggal 2 Februari 2010 memberitakan penolakan yang dilakukan oleh HTI dengan judul, "Militant Groups Ready to Defend Controversial Law. TJP menulis, "The Islamic Defenders Front (FPI) and Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) said they would defend the controversial blasphemy law, calling the move to scrap the 45-year-old law as an attempt to "liberalize" and destroy Islam. The two radical groups have met with Religious Affairs Minister Suryadharma Ali to lend their support to the government to fight against the plan of human rights groups to have the law reviewed by the Constitutional Court."

Penggunaan istilah 'militant groups' atau 'radical groups' tentu sangat tendensius karena istilah ini memberikan konotasi yang buruk; seolah HTI adalah kelompok yang anti dialog dan cenderung pada kekerasan. Lagi pula yang menolak bukan hanya HTI. Banyak ormas Islam lain seperti NU dan Muhammadiyah yang juga menolak, tetapi tak terlalu ditonjolkan.

Bukan hanya menyebut HTI sebagai kelompok iasma atau kelompok radikal, TJP juga menyebarkan kabar insinuatif yang mengatakan bahwa HTI turut serta dalam pertemuan dengan Menteri Agama. Meski ias ini hanya mengutip kuasa ias kelompok AKB, Uli Parulian, tidak tampak usaha TJP untuk melakukan pengecekan kepada HTI. TJP pada 4 Februari 2010 menulis: Uli Parulian Sihombing, a lawyer for the review petitioners, deplored the meeting between the religious minister and the militant groups. "A minister should not conduct such a meeting. The worst thing is, we are also informed that the meeting used state funds," he told the Post.

Lebih keji lagi, TJP juga menulis kabar fitnah, bahwa demo AKKBB pada Juni 2008 lalu diserang oleh anggota HTI: In 2008, a pro-Ahmadiyah group called the National Alliance for the Freedom of Faith and Religion, was attacked by FPI and Hizbut Tahrir members, who strongly supported the government's move to ban Ahmadiyah. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.

Untuk menambah kuatnya opini terhadap buruknya tindakan HTI dan berbagai ormas Islam yang menolak judicial review terhadap UU Nomer 1 PNPS Tahun 1965, TJP memuat sejumlah komentar dari Pembaca yang tentu saja kebanyakan
mendukung kelompok AKKBB itu. Di antaranya:

"Way to go, NGO! Crush the law (Hancurkan UU itu), it's so out-of-date (Itu UU kuno)." (Jeffrey, Jakarta).
"This is the problem when religious entities obtain political power (Inilah problem ketika kelompok agama mendapatkan kekuasaan politik." (Sheldon Archer, Probolinggo, East Java).
"This is a battle between an ultra-conservative theocratic dictatorship versus a liberal democracy which upholds human rights and freedom even for the minorities (Ini adalah pertempuran antara kediktatoran teokratik ultrakonservatif versus demokrasi liberal yang membela hak asasi manusia dan kebebasan terhadap minoritas)."
++++
Bukan hanya soal judicial review, TJP juga sangat bias dalam pemberitaan mengenai Ahmadiyah. Dalam setiap tulisan dan pemberitaannya, tampak sekali pembelaannya terhadap Ahmadiyah. Di antaranya dengan memuat opini berjudul
Comparing the Ahmadiyah and the Hizbut Tahrir yang ditulis Bramantyo Prijosusilo pada 16 April 2008. Bukan hanya membela Ahmadiyah, artikel ini sekaligus menohok HTI.

Dalam tulisannya, Bram berusaha membandingkan antara Ahmadiyah dan HT. Bahwa Ahmadiyah, sebagaimana HT, juga menjadikan khalifah dalam kepemimpinannya. Bedanya, dalam Ahmadiyah, khalifah adalah kepemimpinan kelompok, sedangkan dalam HT, khalifah adalah kepala iasm dari sebuah iasm yang memiliki konstitusi tersendiri, kekuatan angkatan bersenjata dan batas-batas geografis.

Selanjutnya Bram menyatakan, tentu ada banyak perbedaan fundamental antara Ahmadiyah dan HT. Perbedaan utamanya adalah HT bertujuan untuk menegakkan Khilafah. Di mana saja HT selalu aktif menyatakan bahwa demokrasi adalah
pandangan hidup Barat. Sangat jelas dalam website-nya, HT menampakkan kebencian terhadap Yahudi dan Barat yang digambarkan sebagai penjahat yang mengontrol dunia, yang hanya dapat dikalahkan melalui tegaknya Khilafah. Sebaliknya Ahmadiyah dalam websitenya memproklamirkan moto, "Love for All, Hatred for None" dan tidak bertujuan untuk meruntuhkan pemerintahan manapun dan bentuk pemerintah apapun.

Menurut Bram, Ahmadiyah dan HT dilarang di sejumlah iasm dengan iasm yang berbeda. HT dilarang di banyak iasm Timur Tengah karena hendak menggulingkan pemerintahan. Di sejumlah iasm Uni Eropa, HT dilarang karena
mengembangkan pandangan Anti Semit, dan beberapa teroris ditengarai mempunyai link dengan HT. Ahmadiyah dilarang di sejumlah iasm Islam karena mereka dinilai sebagai kelompok menyimpang dari Islam, khususnya pada keyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mesiah yang dijanjikan. Di Indonesia, MUI meminta agar Ahmadiyah dilarang, dan sejumlah organisasi Islam telah menyerang dan menutup masjid Ahmadiyah. Sebaliknya, HTI justru menikmati dukungan dari beberapa menteri dan sejumlah organisasi Islam.

Kemudian Bram secara provokatif mengatakan, ada satu hal yang patut dipertanyakan, jika Ahmadiyah yang menyerukan cinta kepada semua dan tanpa kebencian kepada seorang pun, sementara HT menyerukan kebencian terhadap demokrasi dan menyerukan penghancuran terhadap iasm-negara yang ada, mengapa yang terjadi di Indonesia, orang lebih khawatir terhadap Ahmadiyah ketimbang kepada HT yang berideologi anti demokrasi? Mengapa pula ada menteri dalam iasm (SBY) yang mendukung iasma yang teokratik dan anti demokrasi dengan tujuan untuk menghancurkan iasm untuk menggantikannya dengan Khalifah. Bukankah ini sebuah sikap hipokrit?

Di bagian lain, Bram juga menuduh, dengan mengutip Ed Husain (yang pernah hanya beberapa saat ikut halqah bersama HT Britain), bahwa HT banyak menggunakan metode Lenin dan Trotsky. Mungkin karena pemikiran Lenin sudah puluhan tahun dilarang di sini, maka tidak seorang pun ias menunjukkan ada pengaruh Lenin dalam metode HT. Hanya karena HT mengemas ide Lenin dalam jargon Islam, tidak berarti Leninisme tidak ada.

Baik Ahmadiyah maupun HT keduanya memang mengajak orang untuk mempercayai Islam yang menjadi versinya. Bedanya, Ahmadiyah lebih concern pada aspek spiritual, sedangkan HT pada aspek politik. Ahmadiyah akan bahagia melihat Republik Indonesia menjadi lebih damai dan sejahtera, sedangkan HT akan merasa senang bila berhasil menghancurkan Republik Indonesia dan menegakkan Khilafah. Jadi mana yang lebih berbahaya untuk iasm ini?
++++
Tulisan Bram itu jelas salah besar, sangat tendensius dan provokatif. Metode perjuangan HT murni dipetik dari metode dakwah Rasulullah saw. Tidak sedikitpun tercampuri metode di luar Islam, apalagi dari tokoh komunis seperti Lenin. Bagaimana pula ias menyimpulkan bahwa HT ingin menghancurkan Indonesia? HT, melalui penerapan syariah di bawah naungan Khilafah yang tengah diperjuangkannya itu, justru ingin menyelamatkan Indonesia. Justru sekularisme dengan Kapitalisme itulah yang sesungguhnya telah menghancurkan Indonesia sebagaimana tampak dewasa ini dengan maraknya berbagai persoalan tengah melanda negeri ini dalam seluruh aspek seperti kemiskinan, kerusakan moral, korupsi, ketidakadilan dan sebagainya.

Tulisan ngawur seperti itu tidak akan mungkin muncul di ias yang banyak dibaca oleh para ekspatriat dan diplomat asing di Jakarta kecuali bahwa pengelola ias ini memang berideologi iasm dan anti ide-ide Islam yang dikembangkan oleh HT, serta bertujuan mengembangkan kebencian pada kelompok dan ide politik Islam. Di sinilah bias itu terjadi, dan akan terus terjadi, karena itu memang telah menjadi tugas suci mereka.
Waspadalah!
----------------------------------------------------------
(*)
Update
MK Tolak Permohonan Uji UU Penodaan Agama
Ketua Majelis Hakim Mahfud MD mengetuk palu sebagai tanda telah diputuskannya Pengujian UU Penodaan Agama, Senin (19/04) di ruang Sidang Pleno MK.

Jakarta, MK Online - Setelah melalui proses persidangan yang panjang akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohononan uji materi UU 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama), Senin (11/04), di ruang sidang pleno MK. Pembacaan putusan ini dibacakan oleh sembilan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Moh. Mahfud MD.
Perkara No.140/PUU-VII/2009 ini dimohonkan tujuh Pemohon badan hukum (organisasi non pemerintah), yakni Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara (Desantara Foundation), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan tiga Pemohon perorangan, yakni, (Alm) K.H. Abdurahman Wahid, Prof. DR. Musdah Mulia, Prof. M. Dawam Rahardjo, dan KH. Maman Imanul Haq. (RN Bayu Aji)

(**)
BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
831 AS Tak Pantas Ikut Campur Urusan FPI dan Klarifikasi

Fraksi-PKS Online: Kecaman Duta Besar AS terhadap insiden Monas mendapat reaksi dari anggota komisi III DPR RI Ma'mur Hasanuddin. Menurutnya AS tak pantas turut campur persoalan dalam negeri Indonesia. "AS tidak patut ikut campur dan turut mengecam FPI, karena mereka selalu diam menyaksikan pembantaian Israel terhadap anak-anak dan wanita Palestina. Dunia juga melihat bagaimana tangan AS berlumuran darah di Afgan dan Irak", kata Ma'mur usai rapat pleno Fraksi PKS di Senayan. Ma'mur juga mengingatkan agar AS tidak ikut memperkeruh opini terhadap apa yang terjadi di dalam negeri Indonesia. Menurutnya persoalan kekerasan yang terjadi harus dilihat secara proporsional, jangan hanya melihatnya secara sepihak. Dia juga menyayangkan sikap Presiden yang over acting dalam menyikapi kejadian di Monas, yaitu bicara keras tanpa mengumpulkan bukti-bukti terlebih dulu.

Pakar komunikasi Universitas Hasanuddin, Aswar Hasan mengatakan, fenomena bentrokan antara Front Pembela Islam (FPI) dan Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) adalah efek dari "kekerasan simbolik" yang selama ini terjadi. Menurut Aswar antara FPI dan AKKBB adalah dua titik ektrem yang harus sama-sama dilihat secara fair dan jujur. Apa yang dilakukan FPI belum tentu sepenuhnya salah dan apa yang dilakukan AKKBB juga belum tentu sepenuhnya benar. Akar persoalan ini, menurut Aswar tak pernah dilihat secara adil dan fair. Terutama oleh media massa dan pemerintah.

"Secara hukum, kekerasan berupa serangan itu bisa disalahkan. Namun secara psikologis, apa yang dilakukan itu harus bisa kita pahami bersama. Agar 'kekerasan simbolik' segelintir kelompok tidak terjadi lagi, maka, negara harus segera turun tangan atas setiap tindakan pelecehan terhadap simbol-simbol agama yang diyakini mayoritas umat. Adalah tak adil jika media dan pemerintah hanya mengikuti pendapat seorang Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) sementara mengabaikan pendapat jutaan orang. Mana suara NU dan Muhammadiyah? Mana suara ormas-ormas Islam yang lain, yang dalam hal ini sebagai representasi riil keberadaan umat?", demikian Aswar.

Karenanya, menurut Aswar, "semua pihak--terutama media massa--harus melihat persoalan secara adil dan fair. Sebab ketidak-adilan yang dibangun pers dalam kasus seperti ini, hanya akan melahirkan 'tirani minoritas' dan akan terus-menerus berulang," ujarnya. Yang lebih berbahaya, menuurut Aswar, dibanding kekerasan fisik, kekerasan simbolik jauh lebih menyakitkan dan berimplikasi panjang.

***

Karena mas media, baik elektronik maupun grafika dalam pemberitaannya berat sebelah kepada kelompok liberal, mengadu-domba NU vs FPI, bahkan dalam sebuah talk show telah merusak citra NU, yang seyogyanya anti terhadap Ahmadiyah, maka eloklah jika dikemukakan Firman Allah:
-- YAYHA ALDZYN AMNWA AN JAaKM FASQ BNBA FTBYNWA (S.ALHJRAT, 49:6), dibaca:
-- ya-ayyuhal ladzi-na a-manu- in ja-kum fa-siqum binabain fatabayyanu-
-- Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasiq dengan berita, maka lakukanlah klarifikasi.

[http://www.detiknews.com/indexfr.php?] Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi menyatakan akan memberi sanksi pada oknum-oknum NU yang mengadu-domba NU dengan FPI. Hasyim menyatakan pula bahwa NU tidak membela Ahmadiyah yang jelas-jelas sesat sebagaimana yang dilakukan AKKBB. Hasyim juga menyinggung oknum-oknum NU pro Gus Dur dan Ulil seperti Lakspedam, GP Ansor, dan Garda Bangsa yang berpikiran Liberal sehingga dalam membela aliran sesat bahkan sampai-sampai menyerang sesama Muslim.

Apel Akbar AKKBB bukan untuk peringatan hari Pancasila, melankan pembelaan terhadap Ahmadiyah. Komisaris Besar Heru Winarko, menyesalkan apel tsb, karena pertama, sebelumnya, menurut Heru, pihak Polda telah menyarankan kepada AKKBB agar apel akbar tidak dilakukan pada hari 1 Juni tsb. Kedua karena AKKBB ngotot untuk tetap melakukan aksinya juga pada 1 Juni itu, maka ditunjukkan untuk di Bundaran Hotel Indonesia saja, tahu-tahu mereka apel di Monas.

Komandan Komando Laskar Islam (KLI), Munarman menegaskan bahwa apa yang terjadi di sekitar Monas pada Ahad (1/6) justru disebabkan karena provokasi yang dilakukan oleh para pendukung Ahmadiyah. "Kami memiliki bukti video bahwa di antara para pendukung Ahmadiyah yang tergabung dalam AKKBB ini ada yang membawa senjata api dan bahkan sempat diletuskan. Selain itu mereka juga menghina, menjelek-jelekkan bahkan memaki-maki kami terlebih dulu," tegas Munarman dalam konferensi pers di markas FPI, Jakarta Senin (2/6). "Saya juga tegaskan bahwa itu bukanlah FPI, namun beberapa laskar ormas Islam yang tergabung di bawah KLI yang dikomandani saya sendiri," tegas Munarman.

Pernyataan senada dilontarkan juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto. "Mereka mengumpat dan memaki-maki, mereka katakan Laskar Kafir, Laskar Syetan dan sebagainya. Ada bukti video yang memperlihatkan seorang peserta aksi berkaos putih dengan sebuah pita merah putih di lengan kirinya sempat mengeluarkan sebuah senjata api dan menembakkannya," kata Yusanto.

Saidiman, Korlap AKKBB, yang aktivis JIL Utan Kayu menyebut "Islam anjing!". Lihat beritanya => http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=6944&Itemid=1

***

Lambatnya pemerintah dalam menyelesaikan kasus Ahmadiyah menjadi pangkal konflik sosial yang terjadi. Kekerasan yang dilakukan oleh beberapa laskar ormas Islam yang tergabung di bawah KLI--jadi bukan FPI, yang berhari-hari menjadi bulan-bulanan mas media neolib--harus dilihat sebagai reaksi atas ketidak-tegasan pemerintah terhadap Ahmadiyah.

Ala kulli hal, Pemerintah dihimbau untuk segera mengambil keputusan tegas mengenai keberadaan aliran-aliran sesat agama di dalam agama di Indonesia seperti Ahmadiyah. Karena jika hal itu tidak dilakukan, maka konflik horisontal akibat reaksi atas tindak kekerasan non-fisik (simbolik), tidak mustahil akan berulang terus. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 8 Juni 2008
[H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/2008/06/831-as-tak-pantas-ikut-campur-urusan.html

----- Original Message -----
From: <aldiy@yahoo.com>
To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
Sent: Monday, July 05, 2010 21:28
Subject: Re: mesttinya ranggas <= Re: [wanita-muslimah] FPI Akan Bongkar Patung Naga di Kota

Jadi kesimpulannya HMNA ulama makar yang mendukung teroris? Kapan ditertibkan ulama kayak gini?

Salam
Mia

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment