Advertising

Thursday 29 July 2010

[wanita-muslimah] [FBNews] In Memoriam: Bapak yang Bersahaja

 

Har Wib: In Memoriam: Bapak yang Bersahaja
Oleh Harry Wibowo

In Memoriam: Bapak yang Bersahaja

 Today at 02:52

Hampir sepuluh tahun yang lalu atas prakarsa dan dorongan Arya
Wisesa, Nug Katjasungkana dan Gung Ayu -- saya dan Wit berupaya
'membujuk' bapak Setiadi Reksoprodjo untuk bercerita atau menulis
tentang perjalanan hidupnya sejak zaman revolusi kemerdekaan hingga
beliau ditahan dan dipenjara rezim Soeharto sejak 1966 tanpa dakwaan dan
proses pengadilan selama 13 tahun. Tidak mudah membujuk bapak bicara
karena beliau menganggap bahwa dirinya hanyalah orang biasa dan tidak
mengetahui apa-apa apalagi berperan dalam peristiwa besar sejarah
republik ini. Meskipun dalam catatan umum/ resmi, Ir. Setiadi pernah
menjabat sebagai Menteri Penerangan dalam Kabinet Amir Sjarifuddin
(1947), anggota Konstituante (1955-59) dan kemudian sebagai Menteri
Listik dalam Kabinet Dwikora (1965-66).

Dengan berbagai macam cara, juga dorongan dari teman-temannya para
korban/ survivor 1965-66, akhirnya bapak mulai sedia untuk diwawancarai
oleh suatu tim komplit yang terdiri dari Arya Wisesa, Gung Ayu, Hilmar
Farid, M. Fauzi, Langgeng Budi, Witaryono, dan saya. Hasil wawancara
ditranskrip dan menghasilkan 3 odner setebal lebih 500 halaman.
Periodenya mencakup pada masa penjajahan Belanda hingga Orde Baru. Saat
itu kami masih bimbang dan terus berdiskusi, apakah hendak menulis suatu
autobiografi, memoar politik, atau suatu 'sejarah lisan' yang ditulis
dalam kerangka tertentu, misalnya "sejarah gerakan kiri di Indonesia".

Saat draft pertama ditulis oleh tim tersebut di mana bapak juga ikut di
dalamnya, kesulitan mulai terasa. Sebagai kerja keroyokan, meskipun
sudah dengan kerangka pendekatan dan pembabakan yang ketat, dan
masing-masing anggota tim penulis memiliki bingkai yang sama tentang
peran dan posisi bapak dalam setiap periode sejarah (sebagai salah satu
pimpinan Pesindo, pendiri Pemuda Rakyat, dsb) dan diberi tugas untuk
setiap babakan yang berbeda, namun sangat terasa gado-gadonya. Draft
pertama telah disusun, namun kemudian diputuskan agar bapak tak hanya
mengedit bahkan menuliskan kembali.

Karena kesibukan kami masing-masing yang 'muda-muda" ini, proses
penulisan draft kedua berjalan lambat dan tertunda-tunda. Tim juga sudah
mulai jarang berkomunikasi. Sebagaian karena bapak belakangan semakin
aktif dalam berbagai kegiatan Pakorba (Paguyuban Koban Orde Baru) yang
terus berjuang untuk redress dan rehabiitasi korban 1965-66. Namun, pada
2006 diam-diam bapak mulai menuliskan kembali 'catatan sejarah'nya
berdasarkan transkripsi wawancara kami, draft pertama, dan sumber-sumber
lain yang digali atu diperolehnya sendiri. Sering saya sambil lalu
mengetahui bapak pergi ke Perpustakaan Nasional dekat rumah untuk
mencari bahan, dan mulai menulis di tengah-tengah aktivitasnya dalam
kerja profesinya sebagai kontraktor/ konsultan sipil maupun di Pakorba.

Belakangan, di pertengahan 2007, bapak mulai sibuk mondar-mandir ke
percetakan. Saya teringat, di suatu hari seminggu menjelang ulang
tahunnya yang ke-86, di teras rumah sudah menumpuk barang cetakan yang
tak lain adalah "Jilid I" dari catatan reflektifnya. Ia sudah menyiapkan
buku tersebut untuk dibagikan sebagai cindera mata ulang tahunnya bagi
adik-adiknya, sahabat dan kawan-kawan seperjuangannya, keponakan serta
cucu-cucunya, dan tentu saja kami: "tim penulis" yang hanya berhasil
mendobrak dan menyemangati bapak untuk bersuara, tapi 'belum' berhasil
menyelesaikan draftnya.

Bapak selalu menyelesaiakan pekerjaannya tanpa harus sempurna. Sesuatu
yang pasti berharga dan berarti bagi orang lain. Namun hari ini bapak
telah menuntaskan hidupnya secara sempurna. Seperti sms Gung Ayu kepada
Niken dan saya, mengucap belasungkawa siang kemarin: "..orang besar yang
bersahaja."

***

Sebuah
catatan reflektif yang pertama (1921-1949) dari 3 'jilid' yang
direncanakan ditulis bapak Setiadi (diterbitkan Sekertariat DPP-Pakorba,
September 2007).

Sambil terus masih bekerja dalam profesinya
sebagai insinyur sipil dalam usia lanjut, bapak masih terus menulis
jilid yang kedua (1949-65). Sayang, tak sempat dituntaskannya, karena
sejak Oktober tahun lalu bapak diketahui mengidap 'lukemia akut'. Sangat
beresiko merusak sel-sel yang sehat untuk melakukukan chemotherapy
untuk seusianya. Yang dapat dilakukan hanya 'mengelola' kesehatan dan
mengendalikan 'komposisi darahnya' di bawah pengawasan ahlinya: dr A.
Haryanto Reksodiputro. Rabu 28 Juli 2010, pukul 10:05, bapak pergi
dengan tenang menuju keabadianNya....

Kami belajar dari
kegigihan, rasionalitas dan kebersahajaanmu. Kami bukan hanya
mengenangmu tapi coba menarik teladan dari perjuanganmu dalam hampir
sepanjang hayat. Selamat jalan bapak.
Cuplikan salah satu bab dari buku catatan-refektifnya

"Tiba di Yogyakarta"

Saya tiba di Yogyakarta pada bulan Maret 1947. Kota ini sejak lebih
kurang setahun sebelumnya menjadi tempat kedudukan yang baru dari
Pemerintah Pusat Republik Indonesia dengan semua kementeriannya (kecuali
Kementerian Luar Negeri), Markas Besar Angkatan Bersenjata, Angkatan
Kepolisian serta Lembaga-Lembaga Tinggi Negara lainnya. Kementerian
Pekerjaan Umum mendapat tempat di sebuah gedung bekas Sekolah Menengah
Katholik di tengah kota dekat alun-alun utara.

Karena kota Yogyakarta sendiri ketika itu tidak terlalu besar, banyak
kantor-kantor lainnya tersebar di berbagai tempat luar kota.

Kondisi "kehidupan di masa perang" dari zaman pendudukan Jepartg masih
harus berlanjut dalam tekad perjuangan untuk merdeka dan melawan
kembalinya kekuasaan penjajah Belanda. Berdasarkan semangat berbakti
tersebut, khususnya bagi sebagian besar golongan pemuda dan masyarakat
umum yang telah memperoleh kesadaran politik, maupun berdasarkan
kesadaran bahwa kehidupan harus diusahakan untuk berjalan terus,
berbagai layanan publik seperti: pemerintahan, penjagaan keamanan,
layanan pos dan transportasi umum, listrik, radio, dan media pers, dapat
berfungsi optimal menurut kondisi yang ada.

Transportasi kendaraan bermotor untuk umum praktis terhenti. Namun,
kereta api tetap dijalankan oleh karyawan-karvawan kereta api republik,
walaupun dengan bahan bakar kayu; di Jawa dari kota Malang lewat Solo,
Yogya, Cirebon hingga ke Jakarta dan dari Jakarta ke Sukabumi.

Transport lokal berlangsung dengan kendaraan ditarik kuda atau untuk
angkutan barang ditarik sapi. Sepeda adalah alat transportasi individual
yang umum, walaupun sering dengan memakai ban karet padat buatan dalam
negeri. Selanjutnya orang tidak segan-segan berjalan kaki, karena tidak
dikejar-kejar waktu.

Untuk bahan bakar minyak keperluan pembangkit listrak dan kendaraan
bermotor yang terbatas dimiliki oleh instansi-instansi resmi, atau pun
minyak tanah, diandalkan Bari produksi suing-sumur minyak bumi daerah
Cepu. Pabrik di beberapa tempat, antara lain Garut, diusahakan tetap
berjalan dengan produksi terbatas pada jenis kain baju yang diperlukan
untuk pakaian seragam aparat-aparat pemerintah den train "belacu" yang
dapat diwamai dengan nila (indigo) atau pewama-pewama organik lain. Juga
pabrik sepatu kulit (kambing) dengan sol karet mentah, diutamakan untuk
keperluan aparat.

Peredaran bahan makanan pokok berlangsung bebas dari satu daerah ke lain
daerah, baik dengan angkutan resmi maupun dalam usaha
perdagangan-perorangan yang masih dapat dilakukan dan pada umumnya masih
dilakukan secara jujur dan tenggang menenggang.

Selama pendudukan Jepang, hubungan ke pasaran luar negeri terputus
total; tidak ada ekspor dan impor dalam perdagangan bebas. Barang­barang
ekspor maupun impor di gudang-gudang perusahaan niaga Belanda maupun
Tionghoa dikuasai tentara Jepang. Setelah itu, Republik Indonesia hanya
dapat menguasai stock yang belum diangkut oleh tentara Jepang.

Untuk banyak komoditi terpaksa dimanfaatkan apa yang diproduksi di dalam
negeri, misalnya : rokok, sabun, kertas (dari merang padi),
barang-barang yang dapat dibuat dari karet secara sederhana dan
barang-barang hasil daur ulang atau hasil kreativitas
pengrajin-pengrajin seperti: jaket dari bahan karet atau kulit kambing,
tangkai kacamata, sisir dan lain-lain dari bahan baku tanduk
sapi/kerbau, tulang hewan, dan kayu.

Untuk kota-kota pelabuhan seperti Cirebon dan Tegal adakalanya dapat
diperoleh barang-barang luar negeri basil penyelundupan ke Singapura
dengan menerobos blokade laut dari angkatan laut Belanda. Untuk
pelaut-pelaut Indonesia hal ini tentunya tidak mudah dilakukan karena
tidak mungkin mengandalkan pada perlindungan ALRI ketika itu. Pada bulan
Februari tahun 1947 pemah terjadi penerobosan yang menghebohkan yang
dilakukan oleh pengusaha Amerika Serikat dengan kapal "Martin Behrmann"
yang tidak dapat dicegah oleh Angkatan Laut Belanda berlabuh di
pelabuhan Cirebon dan memuat karet, gula pasir dan kinine yang dijual
oleh pihak Republik Indonesia. Tetapi, kejadian tersebut langsung
diikuti oleh protes diplomatik pihak Belanda kepada pemerintah Amerika
Serikat. Usaha-usaha pengulangan yang dilakukan oleh Dr. Soemitro
Djojohadikusumo dengan mendirikan BTC (Banking and Trading Corporation)
untuk hal tersebut tenyata tidak bisa berhasil.

Penyelundupan berkala ke Singapura oleh pihak Indonesia selain dilakukan
oleh peroarngan secara kecil-kecilan, dilakukan juga oleh pemerintah
Indonesia secara terikendali untuk berbagai kebutuhan pemerintah dengan
melibatkan oknum-oknum angkatan lautnya; salah satu tenaga handal dalam
hal ini, seorang perwira keturunan Tionghoa, dikenal sebagai mayor John
Lie.

Di kemudian hari praktik penyelundupan ditiru oleh berbagai panglima
Angkatan Darat, tetapi bukan untuk menembus blokade Belanda melainkan
untuk menghindari bea dan cukai Republik Indonesia dan untuk
kepentingan-kepentingan khusus kelompok pribadinya; di Sumatera dari
Medan dan Palembang, di Sulawesi dari Manado dan juga dari Semarang
(Jawa Tengah) yang diketahui umum dilakukan oleh jenderal Soeharto
(ketika itu masih kolonel) pada tahun lima puluhan.

Dengan kondisi "kehidupan masa perang" itu masyarakat Indonesia harus
dapat bertahan selama lima tahun blokade Belanda di masa menegakkan
Republik 1945-1950 dan kemudian lebih kurang lima belas tahun blokade
yang disponsori oleh pendukung-pendukung pemberontakan PRRI, Permesta
(antara lain Des Alwi dan Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo) serta
blokade Belanda/ Inggris di masa perjuangan untuk kembalinya Irian Barat
dan perjuangan terhadap proyek Malaysia (1953-1955).

Di masa intermezo pendek pada periode Republik Indonesia Serikat dan UUD
Sementara 1951 (1950-193) masyarakat Indonesia seluruhnya terbuka untuk
pasaran intenasional dan masyarakat "kehidupan masa perang"
berintegrasi dengan masyarakat Nusantara yang (terutama elitenya) sudah
dibiasakan kembali dengan kehidupan dan pikiran "laissez fair laissez passer" di dunia liberal barat.

Seperti empat setengah tahun lalu ketika pada akhir 1942 saya tiba di
Cirebon, kini saya tiba di Yogyakarta juga hanya dengan sebuah koper
berisi pakaian dan beberapa buku teknik dan menyewa kamar sebuah
penginapan di Dagen (dekat Stasiun Tugu).

Paginya saya menghadap Bpk. Ir. Soerjomihardjo, Sekretaris Jenderal
Departemen Pekerjaan Umum; kemudian diperkenalkan kepada Bpk. Menteri
PU, ketika itu Ir. Putuhena dan Bpk. Wakil Menteri PU, Ir. F. Laoh.
Semuanya senior sekali dari saya. Tenyata saya akan ditugaskan mengurusi
Hubungan Masyarakat Departemen PU, langsung bertanggung jawab kepada
Sekjen; sebelumnya, jabatan tersebut tidak ada.

Untuk mempersiapkan diri bagi pekerjaan, saya minta lebih dahulu diberi
kesempatan meninjau keadaan jabatan PU di berbagai daerah, terutama yang
berhubungannya dengan Kantor Pusat mulai sulit dilakukan akibat
gangguan pihak Belanda.

Dapat disetujui bahwa sambil menyelesaikan urusan-urusan saya di
Cirebon, saya menghadap Ir. Altus, Kepala PU Propinsi Jawa Barat yang
kedudukannya telah dipindahkan dari Jakarta ke Cirebon, agar dapat
mengizinkan dan membantu saya mencapai kota Sukabumi di mana Bpk
Soeleiman masih bertahan sebagai Pimpinan PU Wilayah Priangan Barat.

Sementara itu di kantor PU di Yogya saya bertemu dengan Sdr. Satrio yang
saya kenal pada akhir zaman Belanda di Bandung dan tenyata sudah
mengungsi ke Yogyakarta setelah Bandung (dan gedung Kantor Pusat PU-nya)
dikuasai tentara Inggris dan NICA. Ia mengajak saya berkumpul saja di
kamar kosnya. Maka sebelum berangkat ke Jawa Barat saya pindah dari
tempat penginapan ke tempat kosnya.

Beberapa hari di Cirebon saya bereskan saja segala peralatan rumah
tangga yang tidak saya prioritaskan lagi; sisanya masuk ke suatu peti
ukuran 1x1x1m yang saya titipkan sampai nanti ada kesempatan
mengangkutnya. Ternyata peti tersebut oleh teman-teman itu telah dijaga
baik-baik, sempat diungsikan ke Jatibarang ketika dalam Aksi Militer I
Belanda masuk ke Cirebon, dan kira-kira empat tahun kemudian lengkap
dikirimkan lewat jasa angkutan kereta api ke alamat saya di Yogyakarta.
Hebat sekali teman-teman itu!

Sekitar bulan April 1947, Persetujuan Linggajati resmi sudah selesai
diratifikasi kedua belah pihak, yaitu Pemerintah Belanda dan Pemerintah
RI. Tetapi sebagaimana tersebut di muka, teori dan kenyataan lapangan
tidak sesuai. Secara diam-diam blokade angkatan laut Belanda terhadap RI
berjalan terus dengan dalih pemberantasan perdagangan illegal.
Kontak senjata terbuka dihindari, tetapi Belanda terus menambah jumlah
angkatan bersenjatanya dan memperkuat kedudukan posisi­posisinya. Mereka
juga giat membentuk negara-negara boneka baru dan mendukung berbagai
separatis di seluruh Nusantara.

Untuk menuju kota Sukabumi, Kepala PU Wilayah Jawa Barat, Ir. Altus,
mengikutsertakan saya kepada Kepala Cabang Pengairan Cianjur yang
kebetulan akan kembali ke posnya setelah selesai urusannya di Kantor
Pusat PU Jawa Barat.

Kami berkendaraan jip melalui Cirebon – Sumedang. Pada waktu itu keadaan
jalan-jalan utama pada umumnya masih baik, karena setelah berpindah ke
dalam kekuasaan balatentara Jepang selama lebih kurang 4 tahun
perawatannya tetap dijaga untuk perhubungan yang strategis, sedangkan
lalu-lintas beret sehari-haai praktis tidak ada. Juga fungsi pengairan
teknis dipelihara secara optimal demi menjaga produksi pangan, khususnya
beras.

Dari Sumedang kami tidak menuju ke Bandung; NICA sudah menduduki bagian
utara kota den menguasai jalur ke Jakarta lewat Cianjur, Puncak Bogor.
Di Cicalengka kami membelok ke selatan melalui Majalaya mencapai
Pengalengan den selanjutnya lewat jalan-jalan perkebunan di daerah
selatan Cianjur sampai ke Sukabumi. Sepanjang jalan itu kehidupan lokal
tampaknya berjalan tems. Di Pengalengan terdapat banyak warga dan
karyawan, serta pasukan yang telah mengungsi dari kota Bandung. Di
Sukabumi kehidupan lokal juga berlangsung terus dan hubungan ke
wilayah-wilayah Priangan Selatan dan ke Banten dapat berlangsung dengan
transportasi apa adanya. Pasukan bersenjata tidak begitu menonjol.
Kereta api yang awalnya menghubungkan Jakarta Bogor - Sukabumi - Cianjur
ke Bandung, masih dijalankan dengan tanda "milik RI" dari Sukabumi ke
Jakarta p.p. dan merupakan lalu lintas niaga utama. Jalan kereta api
tersebut tidak mendapat gangguan dari MICA, tetapi para penumpang pada
umumnya tidak sampai turun di stasiun Gambir; kalau tidak salah, sehabis
stasiun Manggarai masinis biasanya menghentikan kereta apinya sebentar
dan para penumpang dan pedagang kebanyakan ramai-ramai turun.

Selesai bertemu dengan Bpk Soeleiman, saya melanjutkan perjalanan dengan
kereta api hingga ke Bogor. Di sini saya ditampung oleh Sdr. Soetarjo,
seorang pelajar senasib dengan Sdr. Isnoedikarta dan La Tiworo di
Cirebon, yang tidak dapat melanjutkan studinya pada Sekolah Menengah
Pertanian tetapi ia memilih bertahan di kota Bogor.

Ia memberi petunjuk bagaimana menggunakan kereta api ke Jakarta tanpa
turun di Gambir. Di Jakarta saya bermalam pada seorang paman dan
kemudian bersama beratus pengungsi naik kereta api RI dari Jatinegara
melalui Cikampek ke Cirebon.

Untuk perjalanan-perjalanan melalui daerah-daerah NICA itu, saya
diajarkan bahwa mempunyai uang ORI (diterbitkan sejak November 1946)
masuk ke daerah NICA tidak begitu berbahaya, tetapi sebaliknya memasuki
daerah RI dengan mengantongi uang MICA hanya akan mengundang sial.

Oleh Sdr. Soetarto yang tinggal di rumah saya di Cirebon, saya
diberitahu bahwa saya dapat "indekost" pada rumah kakaknya di daerah
Beji-Yogyakarta. Maka sekembali di Yogya saya langsung pindah ke
pondokan saya yang baru itu, sebuah kamar untuk sendiri, berukuran 2 x
2,5 m.

Selain mulai rutin berkantor di Departemen PU, saya juga melaporkan
keberadaan saya di Yogya kepada Sdr. S. Lagiono yang ketika itu menjadi
Ketua Pesindo Daerah Yogyakarta dan melapor ke Sekretariat Dewan
Pimpinan Pusat Partai Sosialis yang berkantor di daerah Kotabaru. Di
Sekretariat itu saya diperkenalkan kepada Sdr. Djohan Sjahroezah yang
menjadi Sekjen Partai. Saya berkesan baik terhadap Sdr. Lagiono maupun
Djohan Sjahroezah yang cukup ramah dan bersikap pemerhati. Di Kantor DPP
Partai Sosialis selalu banyak orang bertemu, masing-masing dengan
citranya sendiri-sendiri, yang buat saya serba baru karena jelas mereka
semua termasuk orang-orang politik. Salah satu yang menjadi pengalaman
unik adalah seorang kader yang terus‑menerus mengulang kalimat-kalimat
ajaran Marxis, tetapi saya berkesan bahwa ia tidak dapat memahami betul
maknanya dan karena itu berusaha menghafalkan ucapannya.

Pada bulan April Sdr. Lagiono memberitahukan bahwa saya telah ditarik
menjadi salah satu anggota Dewan Pertimbangan DPP Pesindo (semacam Dewan
Penasehat) dan supaya hadir kalau ada rapat-spat Pleno Dewan Pimpinan
Pusat yang biasanya berlangsung di Solo. Maka saya mulai mengenal
anggota-anggota Pusat Pimpinan Pesindo ketika itu, antara lain
Krissubanu-Ketua Umum, Subroto Sekjen, Soedisman, Soekamo, Soemasono,
Roeslan, Widjajasastra-Ketua Bagian Kelaskaran; Djalaluddin, Fatkur,
Yetty Zain, Francisca Fanggidey dan lain-lain.

Soemarsono
dan Setiadi: dua kawan lama dalam lingkaran Amir Sjarifuddin pada
tahun2 revolusi kemerdekaan, dengan banyak koinsidensi sejarah: kota,
tahun, bulan dan tanggal lahir yg nyaris sama (22 & 18 sept),
berbagi bahagia bersama di hari lebaran pada usia ke 88.

Photo by HarWib | 21/09/2009 18:40:22 | Canon PowerShot TX1 | ISO Speed 320(Auto) | Lens 6.5 - 65.0 mm | Focal Length 12.2 mmMereka
pada umumnya pemuda-pemuda penuh idealisme, rata-rata selesai
pendidikan tingkat menengah atas dan aktif dalam perjuangan fisik
menghadapi tentara Sekutu di Surabaya. Selain masalah-masalah
sehari-hari, yang rupanya menjadi pikiran waktu itu adalah inisiatif
dari Kementrian Pertahanan RI untuk menampung berbagai kelaskaran dalam
satu wadah yang dinamakan TNI. Masyarakat dengan maksud memudahkan
adanya kesatuan komando dalam menghadapi ancaman agresi Belanda setelah
tentara Sekutu ditarik dari wilayah Nusantara. Pemerintah Indonesia
menyadari bahwa ada niat pihak Belanda untuk pada waktunya dengan
keunggulan persenjataannya menuju pada penyelesaian bersenjata dari
konfliknya dengan pihak Indonesia. Dalam hal demikian titik berat
perlawanan pihak Indonesia tercetak pada kemampuan menyelenggarakan
perang gerilya yang terkoordinasi dan mendapat dukungan rakyat dan
memelihara de fakto kekuasaan pemerintahan RI dari basis-basis di luar
kota.

Dalam pemilihan umum pada musim semi 1947 di negeri Belanda, Partai
Buruh (Partai van de Arbeid) yang memprakarsai Persetujuan Linggajati,
dikalahkan oleh golongan konservatif yang mengangkat perdana menteri Dr.
Beel. Selanjutnya Undang-Undang Dasar Belanda mendapat perubahan yang
memungkinkan pemerintahnya untuk mengerahkan para wajib militer Belanda
guna memperkuat angkatan bersenjatanya di Nusantara. Pimpinan militer
Belanda pun segera bersiap-siap dengan rencananya "doorstoot°
(penerobosan) ke Yogyakarta.

Pada akhir bulan Mei 1947 Belanda memberikan ultimatum kepada Pemerintah
Indonesia supaya mengakui kedaulatan Belanda sepenuhnya sampai habisnya
masa interim (sampai terbentuknya Republik Indonesia Serikat). Pada
tanggal 8 Juni pemerintah Indonesia menyatakan menolak. Sebelumnya,
partai-partai Benteng Republik sudah menyatakan menolak
kompromi-kompromi lebih jauh.

Pada tanggal 20 Juni P.M. Syahrir mengajukan usul kompromi untuk adanya
seorang wakil mahkota Belanda selama masa interin dan adanya suatu badan
bersama untuk urusan luar negeri Indonesia. Usul yang dikemukakan PM.
Syahrir tersebut, yang dilontarkan sebelum disepakati dalam partai,
tidak mendapat persetujuan baik dari partainya Syahrir sendiri maupun
dari Masyumi. Maka Syahrir meletakkan jabatannya sebagai Perdana
Menteri. Dari Aide Memoir yang diketahui sehari sesudah Syahrir mundur
tenyata bahwa pemerintah Amerika Serikat sebetulnya dapat menyetujui
usul yang dikemukan oleh Syahrir dan lebih suka berlansungnya negosiasi
dari pada perang.

Ir. Setiadi dalam salah satu rapat Kabinet Amir Sjarifuddin (1947)Presiden
Soekamo menunjuk mr. Amir Syarifudin untuk membentuk kabinet baru.
Dalam susunan kabinet yang diselesaikan pada tanggal 3 Juli dukungan
pokok terdapat dari partai-partai "sayap kiri" (Partai Sosialis, Partai
Buruh Indonesia, Partai Komunis Indone­sia) berikut ormas-ormasnya
(serikat-serikat buruh, barisan tani, . Pesindo), Mari PNI (Partai
IVasional Indonesia) dan dari Partai Sarekat Islam Indonesia (P.S.I.I.)
pimpinan Wondoamiseno. PSII yang mempunyai pengaruh kelaskaran di Jawa
Barat (S. Karto Suwirjo) dan Jawa Timur, menggantikan posisi Masyumi
yang tidak bersedia ikut dalam kabinet Amir. Dalam corak politiknya
mungkin kabinet tersebut lebih bersiap menghadapi konflik bersenjata
dengan Belanda, tetapi pada umumnya tidak jauh berbeda dengan kabinet
Syahrir.

Saya dikejutkan oleh berita radio yang menyebut nama saya dalam kabinet
sebagai Menteri Penerangan. Sementara itu kegiatan sehari­hari yang saya
lakukan telah beralih kepada tugas-tugas rutin di Departemen P.U.
Ketika saya mencari konfirmasi dan konsultasi kepada Sdr. S. Lagiono dan
Wikana, jawabannya enteng saja: "Kalau kamu telah dipilih untuk tugas
kenegaraan tersebut, ya lakukan menurut kemampuanmu". Enak saja; sekali
lagi saya dihadapkan kepada sate fait accomplit dan sekali lagi
perjalanan hidup saya menjadi berubah arah, meninggalkan kemapanan
birokrasi untuk dilibatkan lagi dalam arus kehidupan politik negara.

Umur saya ketika itu 26 tahun. Saya paham bahwa sebagai anggota kabinet
menteri, yang merupakan puncak pimpinan negara, tentunya saya adalah
yang paling muda dalam usia maupun pengalaman politik praktis.

Di kabinet itu untuk pertama kali saya berkenalan atau dapat berhubungan
lebih dekat dengan gembong-gembong pergerakan kebangsaan yang senior
termasuk Bung Kamo, drs. Moh. Hatta dan mr. Amir Syarifuddin;
selanjutnya mr. Ali Sastroamidjojo, mr. Wilopo, dr. AK. Gani, mr.
Soesanto Tirtoprodjo dari PNI, S.K. Trimurti dari Partai Buruh
Indonesia, pak Wondoamiseno, S.M. Karto Suwirjo (sebelum beliau
mengundurkan diri sebagai Menteri Muda Pertahanan dan berkonsentrasi
memimpin laskamya di daerah Priangan) dari PSII; tokoh-tokoh Perhimpunan
Indonesia yang berjasa dalam melawan fasis Jerman di negeri Belanda,
antara lain drs. Setiajid (Partai Buruh Indo­nesia), drs. Maroeto
Daroesman (PKI), mr. Abdoelmajid Djojohadiningrat dan mr. Tamzil (Partai
Sosialis) serta tokoh-tokoh masyarakat seperti Sri Sultan Hamengku
Buwono IX, panglima besar Jenderal Soedirinan. Setiap tokoh memberi
kesannya sendiri-sendiri, tetapi umumnya bersikap balk-baik saja atas
kehadiran saya.

Perasaan "asing" juga agak berkurang setelah menemui mr. Icksan sebagai
Sekretaris Negara. Ayah beliau adalah bupati Kendal ketika ayah saya
menjadi wedana di Kaliwungu yang termasuk wilayah Kendal. Walaupun
pewaris jabatan bupati tersebut, mr. Icksan, yang telah menyelesaikan
studinya di negeri Belanda, agaknya tidak tertarik untuk mengikuti
tradisi feodal yang berlaku, sehingga hal tersebut menjadi perhatian
dalam kalangan elit masyarakat ketika itu. Mungkin berdasarkan sejarah
kedaerahan itu, saya mendapat banyak bantuan beliau dalam menangani
seluk beluk protokoler dan administrasi yang masih asing bagi saya.

Saya berkonsultasi dengan Pak Syahbuddin Latif yang menjadi Menteri Muda
Penerangan walaupun beliau jauh lebih senior daripada saya, tetapi
beliau bahkan mengatakan, "Bung Setiadi atur saja bagaimana sebaiknya,
saya ditugaskan saja untuk membantu Anda dari Jakarta". Beliau memang
masih berdomisili di Jakarta bersama keluarganya.

Sementara itu situasi nasional tenyata cukup gawat. Pimpinan tentara
Belanda meyakinkan pemerintahnya bahwa setelah dengan perubahan
Undang-Undang Dasar Belanda dimungkinkan untuk melibatkart*
tenaga-tenaga wajib militer juga ke dalam operasi-operasi militer di
seberang lautan, maka dengan keunggulan persenjataan dan peralatan yang
dimilikinya, mereka sanggup menerobos dalam waktu singkat ke Yogyakarta
dan menghadapkan dunia intenasional pada fait accomplit lenyapnya
Republik Indonesia. Selain itu mereka menjadikan sasaran prioritas untuk
menguasai kembali sumber-sumber produksi seperti perkebunan-perkebunan
dan ladang minyaknya di Sumatera Utara dan Palembang,
perkebunan-perkebunan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Timur serta daerah
penghasil beras di Besuki dan Jember, agar dapat dijadikan sumber dana
operasionalnya.

Pada waktu itu anggaran belanja kerajaan Belanda untuk sebagian besar
masih bersandar pada bantuan "Marshall-plan" yang didanai oieh Amerika
Serikat dalam rangka memulihkan keadaan sosial­ekonami Eropa yang porak
poranda dalam Perang Dania II. Belanda tentu tidak dapat membiayai suatu
perang kolonial yang terlalu lama dengan mengambil sumber dana dari
program bantuan tersebut. Terlebih lagi karena iklim politik
intenasional seusai Perang Dunia Ke-2 adalah mengurangi
kekuasaan-kekuasaan kolonial yang lama yang bersifat penjajahan monopoli
suatu negara terhadap bangsa yang lain. Strategi yang tentunya hares
diusahakan dari pihak Indonesia adalalah sebaliknya, membumihanguskan
sumber-sumber daya alam yang tidak bisa dipertahankan, berikhtiar tetap
mempertahankan kekuasaan de fakto RI di luar kota-kota besar dan terus
mengganggu posisi Belanda di kota-kota tersebut serta membangkitkan
semangat internasional menentang politik agresi kolonial Belanda
tersebut.

Secara intuisi saya merasa bahwa pemerintah juga harus segera memberi
penjelasan kepada rakyatnya tentang situasi-situasi yang akan kita
hadapi dan bahwa kejadian-kejadian yang akan datang itu tidak harus
ditanggapi dengan panik. Maka belum sampai 2 minggu menjabat sebagai
Menteri Penerangan, saya memberanikan diri mengadakan suatu pidato radio
dari RRI Pusat di mana saya terangkan bahwa pemerintah mempunyai dugaan
kuat bahwa Belanda akan mengesampingkan Persetujuan Linggajati dan akan
melancarkan serangan militer besar-besaran menuju pusat Republik. Namun
pemerintah mengharapkan hal tersebut tidak membuat rakyat panik.
Pemerintah berkeyakinan bahwa Belanda hanya dapat menguasai kota-kota
besar dan jalan lintasnya, sehinga di luar itu kekuasaan de facto
Republik akan dapat dipertahankan. Begitu pula Belanda diperkirakan
tidak dapat bertahan dalam posisinya bila kita dapat mencegahnya
memanfaatkan sumber-sumber daya alam yang dapat diandalkan untuk
mendanai operasi-operasinya di Indonesia. Keadaan ekonomi negeri Belanda
sendiri belum memungkinkannya melakukan perang kolonial di seberang
lautan yang mahal untuk waktu yang lama.

Saya merasa ngeri juga setelah mendapat laporan bahwa uraian saya
menjadi perhatian dan pegangan orang sampai di daerah-daerah. Melegakan
bahwa tak lama kemudian Presiden Soekarno juga rnemberikan pidato radio
yang intinya sama. Sementara itu pemerintah juga akan mengutus Bung
Syahrir dan Haji Agus Salim ke luar negeri, Asia, Arab, Eropa dan
melobbi di PBB untuk memperoleh dukungan bagi RI. Hanya selang beberapa
saat kemudian, pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan serangan
rniliternya secara besar-besaran ke berbagai wilayah RI. Satu hari
sebelurnnya, pada tanggal 20 Juli atas jasa pendukung-pendukung RI dari
India yang telah mengirimkan sebuah pesawat terbang pribadi dengan
rnembawa bantuan obat­obatan, dapat lolos juga: Wakil Presiden Bung
Hatta dan Duta Besar pertama untuk India dr. Soedarsono menuju ke New
Delhi serta Saudara Zairin Zain, Duta Besar RI pertama untuk Amerika
Serikat, dan dr. Soebandrio, High Commisioner RI untuk Inggris, ke
pos-nya masing­masing. Bersama dengan mereka dapat berangkat dua pemuda,
yaitu Saudara Soeripno dan Saudari Francisca Fanggidey. Mereka
ditugaskan oleh Pesindo untuk menghadiri dua kongres internasional di
Praha, yaitu kongres I.U.S (International Union of Students) dan kongres
WFDY (World Federation of Democratic Youth) dan menginformasikan
tentang situasi yang sedang dihadapi pemuda Indonesia. Organisasi
memberikan tugas kepada mereka, tetapi bagaimana supaya togas itu dapat
terlaksana adalah urusan mereka masing-masing.

Sejalan dengan
perkembangan situasi di Indonesia dan semangat melawan kolonialisme yang
juga berkobar di berbagai negara terjajah, akhirnya mereka menjadi
penggerak kampanye solidaritas kaum muda dan rakyat di berbagai negara
Eropa, India dan negara-negara terjajah Asia Tenggara, Timor Tengah;
untuk perjuangan RI terhadap agresi militer Belanda.

[….]

Sumber: http://www.facebook.com/HarWib

http://sastrapembebasan.wordpress.com/
http://tamanhaikumiryanti.blogspot.com/
Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/  

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
MARKETPLACE

Get great advice about dogs and cats. Visit the Dog & Cat Answers Center.


Hobbies & Activities Zone: Find others who share your passions! Explore new interests.


Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment