Advertising

Saturday, 4 May 2013

[wanita-muslimah] Kolom IBRAHIM ISA -- Memiliki PASPOR NEDERLAND,,Karena ORBA MENCABUT PASPPORKU,,

 

*Kolom IBRAHIM ISA*
*Sabtu, 04 Mei 2013**
--------------------*

*Memiliki PASPOR NEDERLAND *

*Karena ORBA MENCABUT PASPPORKU*

*<Refleksi Atas Surat Sahabatku SALIM SAID >*

** * **

Sahabatku,*Bung Salim Said*, mantan Dubes di Ceko, merespons Kolom
Ibrahim Isa, berjudul *"BUKAN SEKADAR PEMEGANG PASPOR NEDERLAND . . . .
. . .!"*. Kolom itu ditulis dalam rangka merefleksi Kerajaan Belanda
memperoleh Raja Baru, Willem Alexander.

Intisari tulisanku itu, -- Menjelaskan bahwa memiliki paspor Belanda,
setelah pasporku dicabut sewenang-wenang oleh kekuasaan militer Orba,
--- bukanlah sekadar soal formal saja. Tidak sama halnya seperti
memiliki sebuah "creditcard". Bukan! Memperoleh paspor Belanda punya
tujuan utama untuk memperoleh domisili, yang bisa dijaikan pangkalan
selama belum mungkin kembali ke tanah air dan memperoleh kembali paspor
Indonesia, yang memungkinkan untuk meneruskan kegiatan menurut syarat
dan kemampuan yang terbatas, . . . . meneruskan kegiatan melawan rezim
Orde Baru.

* * *

Perasaanku memperoleh dokumen legitimitasi baru, dalam hal ini paspor
Belanda, kulukiskan sbb:, ( dikutip dari kolom I.I. bersangkutan):

"Ketika kami sekeluarga mengambil keputusan (1986) meninggalkan Tiongkok
: adalah mencari tempat tinggal yang cocok untuk melakukan kegiatan di
luarnegeri selama belum bisa pulang ke tanah air. Pilihan kami jatuh
pada negeri Belanda. Berbagai pertimbangan. Yang utama ialah: Selain
mengenal kultur Belanda dan bahasanya, --- di Belanda banyak sahabat
kami orang-orang Belanda progresisf, yang simpati pada perjuangan kita
melawan rezim Orba. Serta bersedia membantu kami dalam proses suaka tsb.
Belanda adalah salah satu negeri yang menandatangi sebuah konvensi
inernasional yang mewajibkannya MEMBERIKAN PERLINDUNGAN POLITIK pada
kaum disiden politik yang di negerinya mengalami persekusi dan ancaman
terhadap keamanan dirinya.

"Permintaan suaka kami diterima. Kemudian sekeluarga menjadi
warga-negara Belanda. *Tak terkatakan betapa lega dan gembiranya kami
sekeluarga. Seakan-akan memperoleh kembali identitas, legitimasi dan
pengakuan bahwa kami-kami ini berhak hidup sewajarnya serta diperlakukan
sebagai manusia yang berhak azasi manusia, sesuai Deklarasi Universal
Hak-Hak Azasi Manusia, PBB.*

"*Sebagai warga-negara Belanda, kami mendapat perlindungan yang wajar
dari pemerintah Belanda. Oleh karen itu bisa dan harus melakukan
kegiatan sosial dan politik di Belanda yang diabdikan pada perjuangan
untuk demokrasi dan HAM di tanah air. Dan hal itu memang kami laksanakan
sesuai maksud dan tujuan bermukim di Belanda.*

* * *

Dengan demikian kiranya jelas. bahwa memiliki paspor baru, dalam hal ini
paspor Belanda, sebuah megeri dengan pemerintahnya yang beranggapan
adalah kewajibannya untuk memberikan perlindungan politik pada kami yang
dpiersekusi Orba, . . . . Itu tidak sama dengan seseorang YANG MEMILIKI
CREDITCARD!! Samasekali tidak bisa disamakan.

Dikutip di bawah ni jalan fikiran sahabatku, Salim Said, terhadap
orang-orang Indonesia yang paspornya dicabut Orba, kemudian dapat paspor
asing di negeri yang bersedia memberikan perlindungan politik pada para
korban Orba tsb.

"Dari data itu saya menyimpulkan , paspor asing di tangan para Mahid itu
lebih merupakan sebuah kartu kredit dari pada sebuah paspor. Kartu
kredit adalah alat transaksi uantuk membebaskan pemegangnya membayar
kontan pada saat transaksi disamping menghindarkan kita dari bahaya
dirampok ketika membawa uang kontan untuk berbelanja di Departemen
Store." Di Kolom ini dilampirkan surat Salim Said selengkapnya:

* * *

Jelas kiranya, apa sebabnya aku memiliki PASPOR BELANDA? Menjadi
warganegara Nederland. Begitulah pula halnya dengan ratusan kawan-kawan
Indonesia lainnya, yang sekarang ini memiliki PASPOR NEGERI ASING
(Jerman, Perancis, Belgia, Inggris, Swedia, Denmark, C\nada, Australia,
dll. Penyebabnya: adalah kesewenang-wenangan kekuasaan militer rezim
Orba di bawah Jendral Suharto. Paspor mereka dicabut karena mereka
menolak disuruh meyatakan bahwa Presiden Sukarno terlibat dengan G30S.
Mereka menolak mengakui kekuasaan militer yang baru di Indonesia.

Tanpa prosedur yang sah, tanpa proses hukum apapun, kekuasaan militer
Orde Baru mencabut paspor ratusan warganegara yang sedang berada di
luarngeri. Sebagian sedang mengadakan kunjungan persahabatan ke
luarngeri. Sebagian sedang bertugas diplomasi. Sementara yang lainnya
sedang menyandang tugas melaksanakan politik luarnegeri Indonesia yang
Bebas Aktif Mendukung Perjuangan Kemerdekaan negeri-negeri Asia-Afrika
yang belum merdeka.

Sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa "Mahid"(Mahasiswa Ikatan
Dinas) . Mereka sedang dengan sungguh-sungguh melakukan tugas belajar di
luarnegeri, menurut rencana Presiden Sukarno. Yaitu mendidik sebanyak
mungkin kader dalam rangka membangun Indonesia Baru, yang Berdaulat di
Bidang Politik, Berdikari di Bidang Ekonomi dan Berkepribadian di Bidang
Kebudayaan. Dicabutnya dengan sewenang-wenang paspor mereka telah
memaksa mereka menjadi "orang yang terhalang pulang", "orang yang
kelayaban" -- istilah Gus Dur, Mereka menjadi orang "yang tidak punya
negeri", menjadi "STATELESS". Bayangkan betapa pedihnya hati dan
berangnya para pedukung Prsiden Sukarno tsb!

Ada yang mengajukan pertanyaan "Apakah mencabut paspor warganegara tanpa
prosedur yang sah dan tanpa proses hukum apapun" -- merupakan tindakan
yang MELANGGAR HAM? Tidak diragukan jawabnya ialah: Tindakan Orba
sewenang-weanang mencabut paspor warganegara, menjadikan mereka
'"stateless" *adalah tindakan PELANGGARAN HAM BERAT.* Mencabut
hak-kewarganegaraan seseorang secara sewenang-wenang adalah suatu
tindakan represi yang amat berat. Karena tindakan penguasa itu telah
mencabut hak-kewarganegaraan dan memiliki LEGITIMASI sebagai warga dari
negeri yang dicintainya. .

* * *

Sahabatku *Salim Said* mengambil sikap yang wajar dan benar, yang
seharusnya terhadap orang-orang Indonesia yang terhalang pulang. Ketika
menjabat sebagai Dubes di Ceko, beliau memperlakukan setiap orang
Indonesia diluar ngeri, yang terhalang pulang, karena pasppornya dicabut
Orba, sama sebagai warga Indonesia lainnya. Sikap mantan Dubes Salim
Said ini amat berbeda dengan sikap sementara Dubes dan Kedutaan
Indonesia lainnya.

*Chalik Hamid*, penulis dan salah seorag penggiat aktif Perhimpunan
Persaudaraan Indonesia di Belanda, menyoroti masalah ini. Diajukan
kritik tajam dan beralasan terhadap sikap KBRI di Den Haag, yang sama
sekali tidak mau tahu, yang mengeksklusifkan orang-orang Indonesia yang
terhalang pulang dari setiap kegiatan KBRI. Di lain fihak menganggap
sepi setiap undangan untuk hadir dalam kegiatan yang diselengggarakn
oleh orang-orang Indonesia yang terhalang pulang. Surat Chalk Hamid
selengkapnya seperti terlampir.

* * *

*Lampiran-lampiran: *

*SURAT SAHABATKU, -- SALIM SAID, -- *

*MANTAN DUBES DI CEKO, *Jumat, 3 Mei, 2013,

*Pak Isa Yth,*

Selama 3,5 tahun saya di Praha, teman-teman dekat saya adalah para Mahid
yang paspornya dicabut oleh Orde Baru dulu. Mereka sekarang sebagian
besar memegang paspor Ceko. Tapi meski berpaspor Ceko, mereka tergolong
rajin mengikuti acara-acara di KBRI dengan sikap layaknya warga negara
Indonesia. Saya menyaksikan betapa khusyuk mereka menyanyikan "Indonesia
Raya" saat penaikan Merah Putih pada peringatan hari proklamasi. Saya
melihat betapa bersemangat mereka berdiskusi dengan tamu-tamu KBRI (para
pejabat pemerintah dan anggota DPR yang melakukan studi banding) tentang
berbagai persoalan penting yang dihadapi Indonesia.

Saya percaya kejadian yang saya alami itu tidak khas Ceko. Teman-teman
saya para Dubes yang bertugas pada berbagai KBRI di Eropa juga punya
cerita yang lebih kurang sama. Dari data itu saya menyimpulkan , paspor
asing di tangan para Mahid itu lebih merupakan sebuah kartu kredit dari
pada sebuah paspor. Kartu kredit adalah alat transaksi uantuk
membebaskan pemegangnya membayar kontan pada saat transaksi disamping
menghindarkan kita dari bahaya dirampok ketika membawa uang kontan
untuk berbelanja di Departemen Store.

Mungkin akan lain halnya dengan keturunan mereka yang lahir dan besar di
tanah air para istri teman-teman tersebut. Itu pun kalau konsep "Tanah
Air" kelak masih penting dan relevan di dunia yang makin mengelobal kini
dan nanti. Merekalah yang akan menjadi warga negara sejati negara-negara
tempat kelahiran mereka, tempat "pengasingan" bapak mereka. Indonesia
bagi keturunan para Mahid itu akan memasuki kesadaran lewat kecanggihan
dongeng para Mahid tentang negeri "rayuan Pulau Kelapa" kepada
anak-anak cucu mereka. Tanah Air dan juga konsep warga negara memang
masih sangat berarti penting bagi generasi kita yang melihat Indonesia
memulai sejarahnya. Tapi apakah kelak masih akan demikian sikap anak dan
cucu kita?

Bung Salim

* * *

*Tanggapan Penulis CHALIK HAMID: *

Dalam tulisannya, sdr Salim Said mengatakan bahwa selama 3,5 tahun
menjadi Dubes di Praha, Rep.Ceko, ia menyaksikan betapa khusuk para
Mahid yang paspornya dulu dicabut oleh Orde Baru, menyanyikan `Indonesia
Raya`. Salim melihat para Mahid itu dengan serius berdiskusi di KBRI
dengan tamu-tamu yang datang dari Indonesia.

Saya kira masalah kesetiaan para Mahid dan orang-orang terhalang pulang
yang paspornya dirampas KBRI Orba, tak perlu disangsikan. Justru karena
kesetiaannya kepada Indonesialah mereka dilarang pulang ke tanahairnya
baik di jaman Orba maupun sekarang di jaman apa yang dinamakan Orde
Reformasi. Di mana pun mereka berada, mereka senantiasa menunjukkan
kesetiaannya kepada Indonesia. Itu kita lihat dari berbagai kegiatan
mereka di luarnegeri. Mereka merayakan dan memperingati Hari Proklamasi
17 Agustus, memperingati Hari Kebangkitan Nasional, Hari Kartini, Hari
Ulang Tahun Bung Karno, Hari Sumpah Pemuda, Hari Buruh 1 Mei dan
hari-hari bersejarah lainnya. Dengan kegiatan itu mereka membuktikan
bahwa kesetiaan terhadap tanair dan bangsanya tak pernah luntur.

Yang perlu menjadi persoalan adalah sikap Pemerintah Indonesia yang
diskriminatif terhadap mereka. Tentu kita mereasa senang dengan
inisiatif KBRI di masa sdr Salim Said mengundang mereka hadir di KBRI
Praha. Diadakan pemutaran film, malam kesenian, acara Tahun Baruan, dll.
Usaha ini tentu saja sangat baik, sebagai usaha pendekatan. Dengan
demikian Mahid yang tersingkir itu merasa tidak dicampakkan. Usaha
demikian juga saya lihat dilakukan oleh beberapa KBRI, seperti KBRI di
Rusia di jaman Hamid Awaluddin.

Tapi usaha ini agaknya hanyalah merupakan inisiatif sang duta di tempat
tersebut. Agaknya instruksi dari Kementerian Luarnegeri Pemerintah
Indonesia tidak merata. Di Belanda misalnya, KBRI tidak melakukan usaha
penedekatan seperti yang dilakukan oleh KBRI di Praha atau pun di
Moskow. Dulu di jaman Pak Abdul Irsan menjadi Dubes RI di Belanda, ia
melakukan pendekatan terhadap para Mahid dan orang-orang terhalang
pulang lainnya. Ia mengundang mereka datang ke KBRI dealam berbagai
acara. Pak Dubes Abdul Irsan juga menghadiri upara peringatan 100 Tahu
Bung Karno, bahkan ia menyampaikan pidato panjang lebar menjelaskan
siapakah sebenarnya Bung Karno bagi Rakyat Indonesia.

Dubes-Dubes setelah pak Irsan, bersikap aneh dan menggelikan terhadap
orang-orang terhalang pulang ini. Dubes-Dubes ini menjauhkan diri dari
para korban Orba Suharto ini. Bukan hanya tidak mengajak para korban itu
berkunjung ke KBRI, malah mereka tak pernah hadir jika diundang oleh
orang-orang terhalang pulang itu dalam berbagai upacara. Apakah tidak
aneh jika mereka tidak hadir dalam upacara Hari Kemerdekaan RI 17
Agustus, yang justru Hari Kemerdekaan RI. Tak satu pun staf KBRI
menampakkan mukanya dalam perinngatan Hari Kemerdekaan RI yang setiap
tahunnya di adakan oleh orang-orang terhalang pulang itu. Demikian juga
pada peringatan hari-hari bersejarah lainnya, tak seorang pun dari KBRI
Den Haag meringankan langkahnya untuk hadir dalam upacara. Sia-sia saja
undangan yang dikirimkan kepada mereka di KBRI. Apakah ini memang sikap
Pemerintah RI atau sikap Kementerian Luarnegeri RI kepada para korban
Orba Suharto yang paspornya dirampas oleh KBRI di jaman Orba.

Jadi, persoalannya bukan sekedar soal paspor yang dianggap sebagai kartu
kredit, tetapi menyangkut masalah yang lebih besar. Masalah ini
menyangkut masalah sikap Pemerintah RI terhadap para korban ORDE BARU
Suharto, yaitu orang-orang terhalang pulang, yang hingga kini masih
bergentayangan di negeri orang, yang menurut istilah Gus Dur sebagai
´´Orang-orang kelayaban``.

Salam: Chalik Hamid.

* * *

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
MARKETPLACE


.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment