Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 19 Mei - 2013
----------------------
"AMBA" KARYA LAKSMI PAMUNTJAK --
"SAYA HANYA INGIN MENCIPTA ULANG SEJARAH"
* * *
Menyanbut "HARI KEBANGKITAN NASIONAL", besok 20 Mei, Kolom Ibrahim Isa,
-- memfokuskan perhatian pada sebuah novel terbaru sastrawan
generasi baru LAKSMI PAMUNTJAK.
"AMBA"adalah Sebah roman berlatar belakar sejarah negeri ini. Karya seni
Laksmi Pamuntjak ini, amat penting, ----- justru karena ditulis oleh
seorangsastawan/budayawanyang dilahirkan (1971) dandibesarkan di
periode, -- dimana salah satu fundamen hak-hak azasi manusia, yaitu
kebebasan demokratis, . . . . ditindas oleh rezim yang berkuasa.
Termasuk di bidangmedia pers dan budaya, segala sesuatu ditentukan,
diatur dan diarahkan oleh penguasa.
Lebih 30 tahun Orde Baru melarang warga berfikir independen.Semua harus
tunduk sepenuhnya pada "apa kata dan pengarahan Bapak". Namun semua
kekangan dan penindasan mental itu --- tidak berhasil membunuh jiwa
bangsa ini. Karya Laksmi Pamuntjak membuktikan bahwa di dalam tubuh
bangsa ini tetap hidup jiwa bebas dan berani berfikir yang akan
merupakan pendorong kuat bagi kelahiran kembali dan pengokohan KESADARAN
BERBANGSA dan KEMAJUAN.
* * *
Gerakan Reformasi dan Demokrasi yang bergelora sejak 1998, telah
mendorong lebih lanjut benih fikiran bebas yang terdapat dikalangan
generasi muda, khususnya LAKSMI PAMUNTJAK.
Novel "Amba"menyadarkan semua, bahwa fikiran dan jiwa bebas berdikari
yang terdapat di bangsa kita, betapapuntidak bisa dikekang dan ditindas.
Pada saatnya ia muncul kembali dalam manifestasi yang sesuai dengan
suasana dan arah perkembangan kemajuan jiwa dan kesedaran bangsa.
Kepada sebuah stasiun Jerman Deutsche Welle, dengan singkat cekak-aos
Laksmi Pmauntjak mengatakan mengenai bukunya ":
"Sebuah novel bukan untuk mengoreksi Sejarah. Saya hanya ingin mencipta
ulang sejarah dengan huruf s kecil, tentang kisah-kisah manusia biasa
yang tidak tercatat. Tentang mereka yang tidak terlibat, tapi hidupnya
berubah dilimbur arus sejarah,"
Kata Laksmi memulai wawancaranya a.l :
Sekarang, hampir 48 tahun setelah tragedi itu, kita melihat kemunduran.
13 tahun setelah (Presiden-red) Gus Dur secara terbuka meminta maaf
kepada para korban, dan Komnas HAM mengumumkan hasil investigasi tentang
tragedi ini, sejumlah ulama NU malah menolak minta maaf dan meminta
Presiden mengikuti jejak mereka. Menko Polkam Djoko Suyanto menolak
hasil investigasi dan bersikukuh bahwa apa yang dilakukan militer pada
waktu itu 'benar' karena apa yang mereka lakukan adalah memburu "sang
musuh negara." Sementara rekonsiliasi masih jauh dari angan -- generasi
penerus akan semakin berjarak dari 65 dan berpikir tindakan seperti itu,
/human rights violations/ yang disponsori negara, sah dilakukan, karena
toh itu sebuah tugas negara. Belum lagi, ada generasi baru yang sama
sekali buta sejarah. Survey /The Jakarta Globe/ tahun 2009 menunjukkan
bahwa lebih dari separuh mahasiswa Jakarta, sama sekali tak pernah
mendengar tentang adanya pembantaian massal 1965-1966. Jadi, bagi saya,
lebih banyak orang yang mengangkat tema 65 semakin baik!
* * *
Silahkan menelusuri sebuah tulisan yang pagi ini baru saja diterimalewat
GELORA45, sbb:
*Laksmi Pamuntjak: *
Manusia dalam Kemelut Sejarah `65
Sebuah novel berjudul AMBA tentang gejolak 65 dan pulau Buru terbit 15
tahun setelah reformasi. Inilah buku tentang manusia yang tergerus
kemelut sejarah kelam Indonesia.
Sejarah kadang dan bahkan sering menempuh jalan tak terduga.
<http://www.dw.de/laksmi-pamuntjak-manusia-dalam-kemelut-sejarah-65/a-16601193#>AMBA
bercerita tentang sejarah kekerasan di Indonesia.
Apa yang terjadi setelah orde baru mengirim ribuan tahanan politik ke
Buru? Pulau itu berubah: bukan komunisme tapi hamparan sawah. Dataran
Waeapo yang dulu adalah tempat "permukiman" para tapol, kini menjadi
lumbung padi Maluku.
Lebih dari tiga dekade, orde baru mencekoki para pelajar tentang bahaya
laten Komunisme. Hasilnya? Tidak melulu prasangka, meski tentu saja
masih banyak orang Indonesia yang membaca 65 dengan kacamata orde baru.
Tapi ada banyak pula orang dari generasi itu yang "melenceng" dari
cita-cita orde baru, paling tidak itu terjadi pada Laksmi Pamuntjak,
yang baru saja menerbitkan novel "AMBA".
Laksmi Pamuntjak, lahir pada tahun 1971, ketika tahanan politik atau
tapol golongan ketiga tiba di pulau Buru. Dia lahir pada masa ketika
anak-anak diajari mendaras versi sejarah 1965-1966 yang ditulis oleh
sang pemenang: orde baru. Tragedi yang oleh dunia disebut sebagai salah
satu pembantaian massal paling biadab di abad-20.
Bertahun-tahun, generasi saya hidup dengan versi sejarah yang sepihak
dan normalisasi kejahatan. Begitu terus -- hingga bohong dan bungkam
menjadi bagian dari watak kehidupan di Indonesia," kata Laksmi Pamuntjak
kepada /Deutsche Welle/.
* * *
WAWANCARA DENGAN Radio Jerman "DEUTSCHE WELLE"
"Sebuah novel bukan untuk mengoreksi Sejarah. Saya hanya ingin mencipta
ulang sejarah dengan huruf s kecil, tentang kisah-kisah manusia biasa
yang tidak tercatat. Tentang mereka yang tidak terlibat, tapi hidupnya
berubah dilimbur arus sejarah," kata Laksmi.
*DW:* /Mengapa anda menulis tentang 1965?/
*Laksmi Pamuntjak:* Mengapa TIDAK? Sekarang, hampir 48 tahun setelah
tragedi itu, kita melihat kemunduran. 13 tahun setelah (Presiden-red)
Gus Dur secara terbuka meminta maaf kepada para korban, dan Komnas HAM
mengumumkan hasil investigasi tentang tragedi ini, sejumlah ulama NU
malah menolak minta maaf dan meminta Presiden mengikuti jejak mereka.
Menko Polkam Djoko Suyanto menolak hasil investigasi dan bersikukuh
bahwa apa yang dilakukan militer pada waktu itu 'benar' karena apa yang
mereka lakukan adalah memburu "sang musuh negara." Sementara
rekonsiliasi masih jauh dari angan -- generasi penerus akan semakin
berjarak dari 65 dan berpikir tindakan seperti itu, /human rights
violations/ yang disponsori negara, sah dilakukan, karena toh itu sebuah
tugas negara. Belum lagi, ada generasi baru yang sama sekali buta
sejarah. Survey /The Jakarta Globe/ tahun 2009 menunjukkan bahwa lebih
dari separuh mahasiswa Jakarta, sama sekali tak pernah mendengar tentang
adanya pembantaian massal 1965-1966. Jadi, bagi saya, lebih banyak orang
yang mengangkat tema 65 semakin baik!
*DW:* /Kenapa anda tertarik untuk menulis cerita tentang pulau Buru?/
*Laksmi Pamuntjak:*
<http://www.dw.de/laksmi-pamuntjak-manusia-dalam-kemelut-sejarah-65/a-16601193#>Laksmi
Pamuntjak: tugas novel bukan untuk mengoreksi sejarah.
Yang jelas bukan untuk mengoreksi sejarah atau menafsirkan siapa yang
bertanggungjawab atas pembantaian massal 65. Ketika menjalin
persahabatan dengan eks tapol, saya melihat sejarah bukanlah sebuah
narasi besar politik, atau Sejarah dengan S besar, tapi sejarah adalah
kisah-kisah manusia biasa yang tidak tercatat. Novel membuka kemungkinan
untuk menampung ruang-ruang kecil yang sering luput dari Sejarah. Saya
merasa terpanggil untuk memanggil ulang ingatan kolektif, bagaimana
memahami sejarah kelam di mana saudara dan tetangga saling membunuh.
Masa ketika yang menguasai adalah praduga, amarah, dendam dan kebencian.
Ketika mendengar kisah (tapol-red) Buru saya terharu, karena seiring
derita, ketakutan, putus asa dan rasa sakit, masih ada humor.
Kadang-kadang di antara mereka ada rasa syukur atas sebentuk kebaikan
atau keindahan yang tak terduga-duga, sesuatu yang menolak dari dendam
dan kebencian. Apa yang saya lakukan dengan berbagai bahan dan kenangan
yang dibagi secara murah hati oleh mereka yang telah mengalami Buru
adalah dengan mendengarkan mereka. Mencoba menyelami seperti apa rasanya
diam dibungkam, memendam perasaan begitu lama. /All the silences around
you/. Itu juga bagian dari duka itu sendiri. Sumber utama saya adalah
Amarzan Loebis (wartawan senior TEMPO dan eks tapol-red) yang dikirim ke
pulau Buru pada November 71. Juga kepada Hersri Setiawan dan Kresno
Saroso, sebagai orang-orang yang pada siapa selain Pram, saya berhutang
budi.
*DW:*/Ketika pertama datang ke pulau Buru, apa yang anda lihat?/
*Laksmi Pamuntjak:* Saya kaget, karena saya membayangkan begitu banyak
hal menyeramkan. Tetapi ketika sampai di sana yang ada adalah padi di
mana-mana. Kesuburan yang merupakan buah kerja keras dan keringat eks
tapol yang membuka lahan dan menjadikan Buru sebagai mini Jawa. Tak ada
lagi sisa Tefaat (Tempat Pemanfaatan istilah yang dipakai untuk
pemukiman tapol-red), kecuali sebuah gedung kesenian yang kalau tidak
diberi konteks bahwa ini bagian dari era itu, maka kita samasekali tidak
mengerti nilai sejarahnya.
*/DW: /*/Dari karakter para tapol yang anda pelajari, apakah anda
melihat para survivor ini berhasil ditundukkan oleh kekuasaan lewat
pulau Buru?/
*Laksmi Pamuntjak:* Saya melihat ada perbedaan dari masing-masing
/survivor/. Ada yang merasa bahwa mereka menang dengan tidak bersedia
tunduk kepada kekuasaan dan mempertahankan harga diri dengan mengadakan
berbagai ritual sendiri seperti mengubur surat-surat di dalam tabung
bambu dan menyembunyikannya di bawah pohon. Mereka punya cara sendiri
untuk melawan. Tapi ada hal menarik yang diungkapkan bekas Asbintal
(Asisten Pembinaan Daerah Militer-red) yang juga bekas Kepala Pengawal
di Tefaat Buru yang dikenal baik, berpikiran terbuka, dan sering membawa
majalah TIME atau TEMPO bagi para tapol. Kami kebetulan bertemu, saat
dia ingin mengadakan semacam reuni dengan eks tapol yang tetap tinggal
di Buru. Asbintal itu bercerita, saat reuni, tiba-tiba para eks tapol
ini berbaris dan /body language/nya seperti orang-orang yang dikuasai.
Padahal Asbintal ini, dulunya bukan simbol dari kekuasaaan yang paling
buruk di pulau Buru...apalagi kini konteksnya berbeda karena para eks
tapol ini sekarang manusia bebas dan setara (dengan Asbintal-red), jadi
/the power game/-nya sudah berubah. Tapi /body language/ para eks tapol
begitu kental, seperti lapis kulit kedua. Mereka kembali ke
insting-insting lama. Jadi sulit mengatakan apakah para survivor Buru
ini menang atau kalah. Saya selalu menyadari, bahwa saya menulis tentang
sebuah masa lalu yang bukan merupakan "masa lalu" saya. Apapun empati
yang tercakup dalam novel, tak pernah akan bisa mereplikasi penuh emosi
yang terkandung dalam pengalaman para survivor.
*DW: *Saat membaca AMBA saya membayangkan Zulfikar adalah Amarzan
Loebis. Apakah karakter dalam novel ini terinspirasi dari orang-orang
dekat anda?
*Laksmi Pamuntjak:* Secara tipe mungkin ya. Misalnya saya selalu bisa
membayangkan dengan mudah siapa orang yang senang membaca seperti
karakter Bhisma (yang di dalam novel adalah kekasih AMBA-red).
Orang-orang yang selalu mengalami dilema dan tidak pernah bisa berpihak.
Tidak pernah /belonging/. Dia selalu berada di tengah-tengah dan selalu
gelisah mengenai ide-ide dan kenyataan di depan batang hidungya. Tapi di
antara karakter yang paling kental memang Zulfikar.
*/DW: /*/Menurut anda, apa yang membedakan anda dengan Pramoedya Ananta
Toer dalam melihat tragedi 65?/
*Laksmi Pamuntjak:* Sulit ya... karena dia (Pram-red) terlibat.
Sementara saya bisa menulis AMBA justru karena berjarak, dan menggunakan
pengalaman orang seperti Pram sebagai titik tolak untuk memahami 65. Ego
atau ke-Aku-an saya tidak besar, karena (AMBA-red) tidak datang dari
sudut pandang saya sendiri. Soal /style/ beda, karena dasarnya saya
punya tempramen puitis. Saya juga selalu suka apa yang tidak hitam
putih, yang selalu di tengah-tengah, yang remang-remang. Mungkin itu
juga yang membuat saya menulis tentang 65, karena itu adalah episode
sejarah kita yang remang-remang tapi selalu dihitam-putihkan.
* * *
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment