Koalisi tanpa Dagang Sapi
Oleh: Eep Saefulloh Fatah
MENYAKSIKAN dinamika politik hari-hari ini adalah menonton adegan ulangan 2004 dan 2009. Belum lagi tinta bekas pencoblosan pemilu legislatif (pileg) di jari kelingking kita kering, drama politik sudah bergeser ke persiapan pemilihan presiden (pilpres).
Belum lagi bibir kita kering mempercakapkan formulaformula koalisi partai politik untuk pengajuan kandidat presiden dan wakil presiden, perbincangan sudah bergeser ke koalisi pemerintahan baru hasil pilpres. Ya, sebagaimana terjadi pada 2004 dan 2009, selepas pileg, dinamika politik bergerak sangat cepat seolah pilpres akan berlangsung sebelum ayam berkokok besok.
Di tengah dinamika yang berjalan bergegas itu, sebagaimana kita bersua menjelang Pilpres 2004 dan 2009, sejumlah kecemasan publik mencuat. Haruskah presidensialisme kita sebegitu disibukkan oleh ihwal koalisi partai? Bisakah hiruk pikuk pembentukan koalisi ini dihindari? Mungkinkah membangun koalisi tanpa dagang sapi? Apa yang harus dilakukan untuk membuat pembentukan koalisi bukan jadi sekadar arena transaksi segelintir elite partai dan membuatnya berkait dengan hajat hidup orang banyak?
Quasi parlementer
Hiruk pikuk koalisi yang mengharu biru pada dinamika politik kita hari-hari ini adalah salah satu konsekuensi yang sulit dihindari dari pertemuan dan pertumbukan sistem presidensial dengan sistem multipartai kita. Jika saja sistem presidensial kita berpadu dengan partai sederhana seperti di Amerika Serikat, tak akan ada kerepotan ihwal koalisi partai seperti ini.
Perpaduan sistem presidensial dengan sistem multipartai memang dikenal sebagai `kombinasi yang maut'. Negara-negara Amerika Latin sudah (dan sedang) membuktikannya. Di bawah kombinasi ini, presiden kerap kali dipaksa untuk bekerja dalam langgam presidensialisme yang bercita rasa parlementarian.
Dalam sistem presidensial, pemerintahan yang dibentuk presiden (dan wakil presiden) tidak bergantung pada lembaga legislatif atau parlemen. Parlemen tidak punya kewenangan membentuk pemerintahan dan tak bisa membubarkan pemerintahan. Presiden juga tidak bertanggung jawab kepada parlemen, tetapi bekerja bersama-sama untuk membentuk undangundang (fungsi legislasi) dan merancang anggaran (fungsi budgeting). Daya jangkau parlemen yang terjauh hanyalah menjalankan fungsi pengawasan terhadap lembaga eksekutif.
Dalam konteks itu, pilpres sebetulnya hanya mengikatkan presiden terpilih kepada warga negara atau para pemilih. Tak ada ikatan lain di luar itu. Namun, sebagaimana halnya di Amerika Latin, siapa pun presiden yang terpilih melalui pemilihan langsung mesti berhadapan dengan tantangan `penaklukan' parlemen yang berisi banyak partai.
Seberkuasa apa pun presiden, ia tetap memerlukan parlemen atau lembaga legislatif untuk menyokong kebijakan presiden dan bersama-sama presiden mengesahkan regulasi berbentuk undang-undang. Karena itu, presiden pun mau tak mau harus menimbang sebaran kepentingan politik dalam parlemen untuk menyukseskan kebijakan dan mengamankan jalannya pemerintahan.
Untuk itulah, presiden harus mengakomodasi partai-partai, termasuk melibatkan mereka dalam pemerintahan sehingga terbangun dukungan mayoritas yang nyaman (comfortable majority) di parlemen. Da lam keadaan itulah, koalisi partai-partai bisa membantu presiden untuk membuat jalannya sistem presidensial tak terbentur jalan buntu kelembagaan (institutional deadlock).
Dalam keadaan tertentu, parlemen bahkan bisa sebegitu kuat dan menentukan sehingga presiden seolaholah didikte oleh parlemen. Keadaan inilah yang disebut para ilmuwan politik sebagai `quasi parlementari anisme' atau `sistem parlementer semu'. Sejauh pengamatan saya, praktik presidensialisme Indonesia belum terkategorikan sejauh itu.
Walhasil, membangun koalisi partai memang bukan `kewajiban', melainkan `hak' presiden terpilih. Presiden bisa saja tidak melakukannya, tetapi dengan risiko akan menghadapi tantangan jalan buntu kelembagaan. Karena adanya risiko inilah, di dalam kombinasi sistem presidensial dan multipartai seperti di Indonesia, koalisi partai bukan keharusan, melainkan kerap kali sulit dihindarkan.
Politisi baru
Politik dagang sapi adalah transaksi politik di ruang tertutup. Praktik dagang sapi merujuk pada pertukaran pragmatis kepentingan jangka pendek di antara pihak-pihak yang berkoalisi, terutama segelintir elite partai, yang tak berkaitan dengan hajat hidup warga negara atau orang banyak.
Selama ini, publik mengeluhkan kentalnya praktik dagang sapi dalam proses pembentukan koalisi. Diduga, praktik itu terjadi dalam proses pembentukan koalisi untuk memenuhi syarat batas minimal dukungan partai untuk pencalonan presiden dan wakil presiden. Lalu, praktik yang sama terulang kembali dalam pembentukan pemerintahan selepas pilpres.
Selama ini, praktik dagang sapi terbangun di atas dua pilar utama. Pertama, negosiasi antarelite partai di dalam ruang tertutup. Kedua, praktik `berpartai secara mengambang' yang memanjakan para elite partai dengan banyak kenikmatan sempit sekaligus menjauhkan mereka dari basis konstituennya atau para pemilih.
Melawan praktik dagang sapi adalah memindahkan-sebagian atau hampir
seluruhnya--transaksi ruang tertutup menjadi pertukaran ruang terbuka. Setidaknya, ruang tertutup tempat transaksi diubah menjadi ruang pertukaran yang transparan dan tak kedap suara. Dagang sapi tak mungkin terjadi manakala partai-partai dipaksa membangun koalisi di ruang terbuka atau di dalam ruangan yang transparan dan tak kedap suara.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus membuat peraturan yang memaksa setiap koalisi partai pengusung kandidat presiden dan wakil presiden untuk bukan hanya mengajukan visi dan misi kandidat, melainkan juga memublikasi janji kampanye kandidat dan kesepakatan politik yang terjadi antarpartai politik pada saat mendaftarkan diri. Dengan demikian, publik bukan hanya tahu partai mana saja yang saling menggabungkan diri, melainkan juga mencatat dengan saksama semua janji dan mengawasi seberapa jauh koalisi itu melangkah keluar dari kesepakatan antarpartai yang sudah dipublikasi.
Dengan mekanisme itulah, kita setidaknya memaksakan transparansi yang lebih optimal dalam proses pembentukan koalisi partai prapilpres. Tentu saja, tak ada sistem politik yang mampu mentransparansikan semua urusan ini ke hadapan publik. Politik di dalam demokrasi mana pun adalah perpaduan antara seni luar ruangan dan seni dalam ruangan.
Selain terfasilitasi oleh ruang tertutup, politik dagang sapi terbangun oleh praktik partai mengambang. Umumnya, politisi dan partai politik tak membangun diri di atas modal sosial dan politik yang layak. Mereka tak berkaki, tak menjejak ke bumi, tak berakar pada konsituen yang terjaga. `Ideologi' mereka umumnya hanya pragmatisme yang memandu melayani kepentingan sendiri atau kelompok secara sempit.
Dalam demokrasi yang sehat, politisi dan partai semacam itu sesungguhnya tak punya masa depan. Mereka hanya sanggup mengais-ngais remah kenikmatan politik dalam jangka pendek. Merekalah para pelaku politik dagang sapi itu.
Maka, jika KPU tak tergerak membuat regulasi yang memaksakan transparansi yang terpapar di atas, harapan kita pindahkan kepada para politikus dan partai yang memiliki keberanian berpolitik dengan cara baru (out of the box). Tanpa dipaksa oleh regulasi, mereka bisa mengambil inisi atif untuk mengumumkan janji-janji kampanye yang hendak mereka tawarkan kepada para pemilih sekaligus membeberkan kesepakatan-kesepakatan politik yang terbangun di antara para peserta koalisi.
Saya duga, politisi dan partai yang melakukan ini akan diganjar para pemilih dengan simpati dan potensi dukungan. Merekalah yang bisa kita sebut `politisi baru'. Selain itu, `Indonesia baru' membutuhkan `politisi baru' semacam itu.
Bagaimana dengan dagang sapi dalam pembentukan pemerintah pascapilpres?
Pertanyaan ini lebih mudah dijawab. Pembentukan pemerintahan--berupa penunjukan para menteri--adalah hak prerogatif presiden. Jika dalam Pemilu 2014 ini kita berhasil memilih presiden (dan wakil presiden) dari spesies `politisi baru', jalan bagi minimalisasi politik dagang sapi akan terbuka.
`Politisi baru' akan lebih mudah kita tuntut untuk meluruskan dua kaprah koalisi yang berjalan selama ini. Bahwa memenangi pilpres tak harus dimulai dengan `membeli' sebanyak mungkin partai politik. Bahwa menjaga dan menyelamatkan pemerintahan tidak perlu dengan membangun koalisi tambun yang di dalamnya sang presiden sibuk beradaptasi.
`Politisi baru' akan lebih mudah kita tuntut untuk berlaku di luar kelaziman lapuk yang terbukti memancing banyak persoalan itu. Bersama-sama dengan `politisi baru' kita perangi politik dagang sapi. []
MEDIA INDONESIA, 21 April 2014
Eep Saefulloh Fatah ; Pendiri dan CEO Polmark Indonesia Inc. Pusat Riset Dan Konsultasi Political Marketing