nasional - Kamis, 17 April 2014 | 05:14 WIB
Catatan Politik Sekitar Peran CSIS
www.inilah.com
INILAH.COM, Jakarta - Politisi Golkar, David Napitupulu (almarhum), pernah berceritera kepada sahabatnya. Temanya, seputar aksi dan agenda politik di era Orde Baru yang tidak terlihat oleh mata telanjang publik.
Kendati begitu agenda itu menimbulkan persoalan politik tersendiri yang berdampak pada kehidupan publik dan elit yang berkuasa. Ceritera itu mengungkap segala kemunafikan intelektual dan politik yang menghancurkan semangat berdemokrasi.
Secara subyektif David Napitupulu merujuk pada pengalaman dirinya. David merupakan salah seorang Eksponen 66 yang membantu menurunkan Soekarno dari kedudukan Presiden RI di 1966. David Napitupulu dan kawan-kawan, pada saat yang bersamaan sekaligus mendorong naiknya Soeharto ke kursi RI-1.
Walaupun begitu, di era Soeharto, David tidak pernah diberi peran politik yang berarti. Hal inilah yang membuatnya tidak bisa diam tanpa bicara. Yang menjadi kekecewaannya, keputusan Soeharto tentang dirinya antara lain katanya berdasarkan pertimbangan lembaga pemikir CSIS. Ia tercatat sebagai Eksponen atau Angkatan 66 bersama Cosmas Batubara, Mar'ie Muhamad, Abdul Gafur dan Soerjadi.
"Coba anda analisa, mengapa Orde Baru, Pak Harto tidak pernah memberi kepercayaan kepada saya. Apa kurang peran politik saya? Saya yang menyelamatkan Pemuda Pancasila dan membawanya dekat dengan kekuasaan. Saya yang mendirikan AMPI sayap pemuda Golkar. Saya ikut membidani KNPI. Tapi saya akhirnya hanya menjadi Dubes RI di Meksiko, jauh dari Tanah Air. Itupun di saat semangat berjuang saya, tidak lagi seperti di usia 40-an tahun. Jadi sepadankah itu dengan peran saya?" ujar penganut protestan itu sambil bertanya saat bermain golf di Padang Golf Pondok Indah, Jakarta, beberapa tahun silam.
Saat itu David Napitupulu baru menyelesaikan tugasnya sebagai Dubes RI Meksiko dan peran CSIS seperti sedang tiarap. Setiba di Jakarta, ia merasa tidak nyaman. Tiga tahun berada di luar negeri, membuat dirinya seperti terputus dengan politik dan kekuasaan. Padahal politik dan kekuasaan ibarat darah dan jantung, yang telah membesarkan dirinya.
Ia menjadi orang asing, tak tahu harus mengerjakan apa. Sehingga satu-satunya kegiatan yang bisa dilakukannya, mengisi hari-hari yang begitu kosong, bermain golf, sambil berceritera tentang visi ataupun masa lalu kepada sesama pegolf.
Sahabatnya tidak bisa memberi analisa. Sehingga David Napitupulu sendiri yang memberi uraian sekaligus jawaban. "Selama Presiden Soeharto masih mempercayai CSIS, selama itu orang seperti saya, tidak akan pernah mendapat posisi. Yang mendapat rekomendasi pasti tokoh seperti Bung Cosmas Batubara atau sekalian yang beragama Islam tetapi dianggap tidak menjadi ancaman," tuturnya dengan wajah serius.
Penggalan ceritera ini merupakan salah satu cuplikan bagaimana lembaga pemikir (think tank) CSIS secara diam-diam dikritisi oleh politisi papan atas yang tahu banyak isi perut Orde Baru.
Ceritera berkaitan dengan CSIS ini, mengemuka secara tiba-tiba, bersamaan dengan munculnya CSIS yang disebut-sebut sebagai 'operator politik' yang ingin kembali mengulang suksesnya.
David Napitupulu mengkritisi CSIS, sebab yang dia anggap tidak wajar adalah sikap lembaga ini dalam mempromosikan kebhinekaan atau keanekaragaman. David menilai CSIS seperti halnya Amerika Serikat, menerapkan kebijakan yang disebut standar ganda.
Dalam setiap kesempatan CSIS atau anggota-anggotanya selalu mempromosikan pemikiran intelektual tentang pentingnya Indonesia mengadopsi paham kebhinekaan atau keanekaragaman. Tetapi dalam praktek tertutup atau secara diam-diam, lembaga pemikir ini lebih memberi ruang kepada tokoh-tokoh yang berasal dari satu golongan (minoritas).
Lembaga ini sangat aktif mendorong terbentuknya hubungan yang harmonis antara komunitas pribumi dan non-pribumi. Tetapi dalam implementasinya, terkadang atau justru lebih mempromosikan kelompok pemikir dari salah satu etnis atau kepercayaan tertentu. Di dunia bisnis dan usaha pun, konsepnya kurang lebih sama.
Ceritera yang memiliki kesamaan diungkap oleh Taufiq Kiemas (almarhum), suami Megawati Soekarnoputri. Politisi asal Palembang, Sumatera Selatan itu, hanya terdiam, tidak bersemangat berbicara, ketika dalam satu diskusi terbatas, tersembul nama Soerjadi. Tokoh yang dimaksud, Ketua Umum PDI Soerjadi yang berseberangan dengan isterinya.
Selidik punya selidik, Taufiq ketika itu merasa Soerjadi merupakan orang yang diselundupkan CSIS ke jantung PDI. Soerjadi sebagai Ketua Umum, sementara Sekjennya Nico Daryanto. Nico (Katolik) mengisi posisi yang biasanya diberikan kepada Parkindo (Protestan).
Dalam pandangan Taufiq Kiemas, tugas pengurus PDIP itu untuk menjinakkan PNI (Partai Nasionalis Indonesia) yang masih sangat fanatis pada Proklamator dan Presiden Pertama RI, Soekarno (almarhum). Agenda yang mau diciptakan, paham Soekarno tidak boleh mengental di masyarakat Indonesia.
Tapi yang paling mendasar di era Soeharto, di masa CSIS menjadi pemikir kepercayaan Orde Baru, Soekarno tidak pernah diakui sebagai penemu ataupun penggali Pancasila. Soekarno atau Bung Karno bukanlah negarawan yang memiliki visi begitu luas dan tak terbatas. Soekarno tidak punya legacy.
Sekalipun tidak menuduh secara langsung, tetapi Taufiq cukup kecewa dengan sikap CSIS yang tidak berusaha merestorasi nama baik Soekarno selama pemerintahan Orde Baru. Padahal kekuatan dan kesempatan itu, dimiliki oleh CSIS.
Dengan Soerjadi yang sama-sama aktif di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia), Taufiq tidak melihat keberpihakan sahabatnya itu kepada Soekarno. Taufiq kemudian menyinggung soal peran tersembunyi CSIS dalam membesarkan PDI lewat Soerjadi. Pokoknya PDI boleh eksis tetapi cukup menjadi hiasan demokrasi saja.
Ibarat tanaman hias, PDI oleh Soerjadi melalui konsep CSIS cukup dijadikan seperti pohon bonsai. Enak dipajang sebagai hiasan di sudut manapun dalam rumah, tapi pasti tidak akan menganggu apalagi membahayakan. PDI di era Soeharto hanya dijadikan simbol demokrasi sekaligus oposisi macan kertas.
Untuk bertugas dalam segala kegiatan politik itu, Soerjadi selaku Ketua Umum PDI kemudian diberi kepercayaan Wanandi Bersaudara (Jusuf dan Sofyan Wanandi) memimpin perusahaan afiliasi mereka PT Aica Aibon. Di perusahaan itu, Soerjadi memegang posisi (rangkap) Presiden Direktur.
Pesan moral dari ceritera dua tokoh yang sudah berpulang ini, cukup jelas. Cermati segala usaha "come back"nya CSIS. PDI Perjuangan atau Megawati harus lebih berhati-hati.
Usaha itu mulai terlihat dari peran orangnya yang ada di dunia bisnis, untuk mempertemukan Megawati dan Jokowi dengan para Dubes negara sahabat. Peran CSIS, dulunya disalurkan melalui Golkar. Tapi karena kepemimpinan Golkar tidak cukup kuat dan situasi politik nasional tidak kondusif, CSIS bisa mengalihkan dukungannya kepada PDI Perjuangan.
Peran CSIS dalam dunia politik di Indonesia, pernah begitu dominan dan menyentuh sendi-sendi kehidupan bangsa yang sensitif. Paradigma CSIS, bagaimana mengatur dunia politik dan kekuasaan di Indonesia lewat pemikiran-pemikiran yang dibangun oleh para intelektual di lembaga nirlaba itu.
Dari segi pemikiran dan kontribusi itu, hal tersebut sangat positif dan produktif bagi masyarakat luas. Tetapi pengalaman menunjukkan lembaga ini bukanlah lembaga tempat dimana orang-orang suci berkumpul. Sehingga kepentingan mereka pun tidak bisa dianggap sebagai yang paling mulia.
Cermati. Lembaga ini sudah pernah membenturkan bangsa sehingga Indonesia nyaris terkotak-kotak. Demokrasi Indonesia tidak membutuhkan mediator-mediator politik seperti yang mau diperankan oleh CSIS lewat Jakob Soetoyo.
Megawati sebaiknya jangan menyerahkan mandat - sekalipun terbatas sifatnya kepada kelompok yang disebut berkali-kali di atas. Kalau butuh konsep dan pemikiran, besarkanlah Mega Center atau hidupkan Taufiq Kiemas Institute. Itu jaub lebih terhormat dan monumental.
Lewat dua lembaga ini, besok pun atau kapan saja Megawati bisa menghadirkan penyeimbang kekuatan dunia seperti Dubes Rusia, India, Afrika Selatan atau Brasil. [*]
http://nasional.inilah.com/read/detail/2092724/catatan-politik-sekitar-peran-csis#.U08K6Fd5XIU
Catatan Politik Sekitar Peran CSIS
www.inilah.com
INILAH.COM, Jakarta - Politisi Golkar, David Napitupulu (almarhum), pernah berceritera kepada sahabatnya. Temanya, seputar aksi dan agenda politik di era Orde Baru yang tidak terlihat oleh mata telanjang publik.
Kendati begitu agenda itu menimbulkan persoalan politik tersendiri yang berdampak pada kehidupan publik dan elit yang berkuasa. Ceritera itu mengungkap segala kemunafikan intelektual dan politik yang menghancurkan semangat berdemokrasi.
Secara subyektif David Napitupulu merujuk pada pengalaman dirinya. David merupakan salah seorang Eksponen 66 yang membantu menurunkan Soekarno dari kedudukan Presiden RI di 1966. David Napitupulu dan kawan-kawan, pada saat yang bersamaan sekaligus mendorong naiknya Soeharto ke kursi RI-1.
Walaupun begitu, di era Soeharto, David tidak pernah diberi peran politik yang berarti. Hal inilah yang membuatnya tidak bisa diam tanpa bicara. Yang menjadi kekecewaannya, keputusan Soeharto tentang dirinya antara lain katanya berdasarkan pertimbangan lembaga pemikir CSIS. Ia tercatat sebagai Eksponen atau Angkatan 66 bersama Cosmas Batubara, Mar'ie Muhamad, Abdul Gafur dan Soerjadi.
"Coba anda analisa, mengapa Orde Baru, Pak Harto tidak pernah memberi kepercayaan kepada saya. Apa kurang peran politik saya? Saya yang menyelamatkan Pemuda Pancasila dan membawanya dekat dengan kekuasaan. Saya yang mendirikan AMPI sayap pemuda Golkar. Saya ikut membidani KNPI. Tapi saya akhirnya hanya menjadi Dubes RI di Meksiko, jauh dari Tanah Air. Itupun di saat semangat berjuang saya, tidak lagi seperti di usia 40-an tahun. Jadi sepadankah itu dengan peran saya?" ujar penganut protestan itu sambil bertanya saat bermain golf di Padang Golf Pondok Indah, Jakarta, beberapa tahun silam.
Saat itu David Napitupulu baru menyelesaikan tugasnya sebagai Dubes RI Meksiko dan peran CSIS seperti sedang tiarap. Setiba di Jakarta, ia merasa tidak nyaman. Tiga tahun berada di luar negeri, membuat dirinya seperti terputus dengan politik dan kekuasaan. Padahal politik dan kekuasaan ibarat darah dan jantung, yang telah membesarkan dirinya.
Ia menjadi orang asing, tak tahu harus mengerjakan apa. Sehingga satu-satunya kegiatan yang bisa dilakukannya, mengisi hari-hari yang begitu kosong, bermain golf, sambil berceritera tentang visi ataupun masa lalu kepada sesama pegolf.
Sahabatnya tidak bisa memberi analisa. Sehingga David Napitupulu sendiri yang memberi uraian sekaligus jawaban. "Selama Presiden Soeharto masih mempercayai CSIS, selama itu orang seperti saya, tidak akan pernah mendapat posisi. Yang mendapat rekomendasi pasti tokoh seperti Bung Cosmas Batubara atau sekalian yang beragama Islam tetapi dianggap tidak menjadi ancaman," tuturnya dengan wajah serius.
Penggalan ceritera ini merupakan salah satu cuplikan bagaimana lembaga pemikir (think tank) CSIS secara diam-diam dikritisi oleh politisi papan atas yang tahu banyak isi perut Orde Baru.
Ceritera berkaitan dengan CSIS ini, mengemuka secara tiba-tiba, bersamaan dengan munculnya CSIS yang disebut-sebut sebagai 'operator politik' yang ingin kembali mengulang suksesnya.
David Napitupulu mengkritisi CSIS, sebab yang dia anggap tidak wajar adalah sikap lembaga ini dalam mempromosikan kebhinekaan atau keanekaragaman. David menilai CSIS seperti halnya Amerika Serikat, menerapkan kebijakan yang disebut standar ganda.
Dalam setiap kesempatan CSIS atau anggota-anggotanya selalu mempromosikan pemikiran intelektual tentang pentingnya Indonesia mengadopsi paham kebhinekaan atau keanekaragaman. Tetapi dalam praktek tertutup atau secara diam-diam, lembaga pemikir ini lebih memberi ruang kepada tokoh-tokoh yang berasal dari satu golongan (minoritas).
Lembaga ini sangat aktif mendorong terbentuknya hubungan yang harmonis antara komunitas pribumi dan non-pribumi. Tetapi dalam implementasinya, terkadang atau justru lebih mempromosikan kelompok pemikir dari salah satu etnis atau kepercayaan tertentu. Di dunia bisnis dan usaha pun, konsepnya kurang lebih sama.
Ceritera yang memiliki kesamaan diungkap oleh Taufiq Kiemas (almarhum), suami Megawati Soekarnoputri. Politisi asal Palembang, Sumatera Selatan itu, hanya terdiam, tidak bersemangat berbicara, ketika dalam satu diskusi terbatas, tersembul nama Soerjadi. Tokoh yang dimaksud, Ketua Umum PDI Soerjadi yang berseberangan dengan isterinya.
Selidik punya selidik, Taufiq ketika itu merasa Soerjadi merupakan orang yang diselundupkan CSIS ke jantung PDI. Soerjadi sebagai Ketua Umum, sementara Sekjennya Nico Daryanto. Nico (Katolik) mengisi posisi yang biasanya diberikan kepada Parkindo (Protestan).
Dalam pandangan Taufiq Kiemas, tugas pengurus PDIP itu untuk menjinakkan PNI (Partai Nasionalis Indonesia) yang masih sangat fanatis pada Proklamator dan Presiden Pertama RI, Soekarno (almarhum). Agenda yang mau diciptakan, paham Soekarno tidak boleh mengental di masyarakat Indonesia.
Tapi yang paling mendasar di era Soeharto, di masa CSIS menjadi pemikir kepercayaan Orde Baru, Soekarno tidak pernah diakui sebagai penemu ataupun penggali Pancasila. Soekarno atau Bung Karno bukanlah negarawan yang memiliki visi begitu luas dan tak terbatas. Soekarno tidak punya legacy.
Sekalipun tidak menuduh secara langsung, tetapi Taufiq cukup kecewa dengan sikap CSIS yang tidak berusaha merestorasi nama baik Soekarno selama pemerintahan Orde Baru. Padahal kekuatan dan kesempatan itu, dimiliki oleh CSIS.
Dengan Soerjadi yang sama-sama aktif di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia), Taufiq tidak melihat keberpihakan sahabatnya itu kepada Soekarno. Taufiq kemudian menyinggung soal peran tersembunyi CSIS dalam membesarkan PDI lewat Soerjadi. Pokoknya PDI boleh eksis tetapi cukup menjadi hiasan demokrasi saja.
Ibarat tanaman hias, PDI oleh Soerjadi melalui konsep CSIS cukup dijadikan seperti pohon bonsai. Enak dipajang sebagai hiasan di sudut manapun dalam rumah, tapi pasti tidak akan menganggu apalagi membahayakan. PDI di era Soeharto hanya dijadikan simbol demokrasi sekaligus oposisi macan kertas.
Untuk bertugas dalam segala kegiatan politik itu, Soerjadi selaku Ketua Umum PDI kemudian diberi kepercayaan Wanandi Bersaudara (Jusuf dan Sofyan Wanandi) memimpin perusahaan afiliasi mereka PT Aica Aibon. Di perusahaan itu, Soerjadi memegang posisi (rangkap) Presiden Direktur.
Pesan moral dari ceritera dua tokoh yang sudah berpulang ini, cukup jelas. Cermati segala usaha "come back"nya CSIS. PDI Perjuangan atau Megawati harus lebih berhati-hati.
Usaha itu mulai terlihat dari peran orangnya yang ada di dunia bisnis, untuk mempertemukan Megawati dan Jokowi dengan para Dubes negara sahabat. Peran CSIS, dulunya disalurkan melalui Golkar. Tapi karena kepemimpinan Golkar tidak cukup kuat dan situasi politik nasional tidak kondusif, CSIS bisa mengalihkan dukungannya kepada PDI Perjuangan.
Peran CSIS dalam dunia politik di Indonesia, pernah begitu dominan dan menyentuh sendi-sendi kehidupan bangsa yang sensitif. Paradigma CSIS, bagaimana mengatur dunia politik dan kekuasaan di Indonesia lewat pemikiran-pemikiran yang dibangun oleh para intelektual di lembaga nirlaba itu.
Dari segi pemikiran dan kontribusi itu, hal tersebut sangat positif dan produktif bagi masyarakat luas. Tetapi pengalaman menunjukkan lembaga ini bukanlah lembaga tempat dimana orang-orang suci berkumpul. Sehingga kepentingan mereka pun tidak bisa dianggap sebagai yang paling mulia.
Cermati. Lembaga ini sudah pernah membenturkan bangsa sehingga Indonesia nyaris terkotak-kotak. Demokrasi Indonesia tidak membutuhkan mediator-mediator politik seperti yang mau diperankan oleh CSIS lewat Jakob Soetoyo.
Megawati sebaiknya jangan menyerahkan mandat - sekalipun terbatas sifatnya kepada kelompok yang disebut berkali-kali di atas. Kalau butuh konsep dan pemikiran, besarkanlah Mega Center atau hidupkan Taufiq Kiemas Institute. Itu jaub lebih terhormat dan monumental.
Lewat dua lembaga ini, besok pun atau kapan saja Megawati bisa menghadirkan penyeimbang kekuatan dunia seperti Dubes Rusia, India, Afrika Selatan atau Brasil. [*]
http://nasional.inilah.com/read/detail/2092724/catatan-politik-sekitar-peran-csis#.U08K6Fd5XIU
http://tamanhaikumiryanti.blogspot.com/
List of books, click: http://sastrapembebasan.wordpress.com/
List of books, click: http://sastrapembebasan.wordpress.com/
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
.
__,_._,___
0 comments:
Post a Comment