Advertising

Friday 2 July 2010

[wanita-muslimah] IBRAHIIM ISA – Berbagi Cerita - KEMANA KITA PERGI BELAJAR ISLAM-INDONESIA? -- Jawabnya: – – – LEIDEN, Holland.

*IBRAHIIM ISA – Berbagi Cerita*
<http://www.thejakartapost.com/news/2010/06/25/where-we-go-study-indonesian-islam.html>

*Jum´at, 2 Juli 2010*
<http://www.thejakartapost.com/news/2010/06/25/where-we-go-study-indonesian-islam.html>

*-------------------------------------------*
<http://www.thejakartapost.com/news/2010/06/25/where-we-go-study-indonesian-islam.html>


*KEMANA KITA PERGI BELAJAR ISLAM-INDONESIA? **--** **Jawabnya: – – –
**LEIDEN, Holland.*


Dua hal yang ingin di-berbagi-ceritakan kali ini.


*DISKUSI ´BLASPHEMY LAW DI KITLV´*


Satu ceerita, mengenai diskusi yang digelar KITLV di Leiden pada tanggal
24 Juni 2010. Satu lagi mengenai tulisan Lutfhi Assyaukanie di 'The
Jakarta Post', berjudul "WHERE WE GO TO STUDY INDONESIAN ISLAM?".
Terjemahan bebas --- dalam bahasa Indonesia: "KEMANA KITA PERGI BELAJAR
ISLAM-INDONESIA?"


Pertanyaan ini diajukan oleh Lutfhi Assyaukanie, dan sekaligus telah
dijawabnya sendiri, dalam artikelnya yang dimuat di 'The Jakarta Post
Online', 25 Juni 2010.


Lutfhi adalah sorang sarjana generasi muda (PhD), Lahir 27 Agustus 1967.
Pernah belajar di University of Jordan - spesialisasi Hukum Islam dan
Falsafah. Memperoleh master-degreenya di International Islamic
University of Malayasia, dan meraih PhDnya dalam Islamic Sudies di
University of Melbourne. Bersama Ulil Abshar ia mendirikan Jaringan
Islam Liberal (2001). Lutfhi memberikan kuliah di Universitas
Paramadina. Sekian dulu tentang siapa Lutfhi Assyaukanie.


* * *


Aku belum lama bersalam-kenal dengan Lutfhi (di KITLV, Leiden, 24 Juni
2010). Sayang kami tak sempat cakap-cakap. Ketika itu kami kebetulan
duduk sebelah-menyebelah dalam suatu pertemuan atas undangan KITLV.
Acaranya ketika itu: "Talks on the Blasphemy Law – Human Rights vs.
Mainstream Islam". Kami menyaksikan film dokumenter produksi Lexi
Rambadetta Junior. Film dokumenter itu, adalah cuplikan dari dokumenter
sepanjang 50 jam yang dibuat Lexi Rambadetta Jr mengenai peristiwa
sekitar sidang Mahkamah Konstitusi Indonesia. Kongkritnya suatu sidang
'judicial review' bersangkutan dengan undang-undang anti-pencemaran
agama – Islam <Blasphemy Law – >. Sidang berlangsung di Jakarta dari
Februari sampai April 2010.


<<Catatan: Menurut suatu penjelasan, --- yang dalam bahasa Inggris
disebut -- 'Blasphemy Law' di Indonesia itu, maksudnya ialah Pasal
156(a) KUHP. Berasal dari UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Pasal 1 UU ini berbunyi: yang
a.l menyatakan:

"Barangsiapa di muka umum menyatakan permusuhan, kebencian atau
penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa penduduk negara Indonesia
dihukum penjara selama-lamanya 5 tahun."

Pasal 156(a) KUHP tersebut berasal dari UU No. 1/PNPS/1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Pasal 1 UU ini
a.l berbunyi:

"Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,
menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan
penafsiran tentang sesuatu agama yang utama di Indonesia atau
melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai
kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang
dari pokok-pokok ajaran dari agama itu." –


Sementara pendapat beranggap bahwa Pasal mengenai penistaan agama
tsb paling tidak kontroversial. Dikatakan bahwa uu itu seringkali
digunakan untuk memberangus kepercayaan agama lain yg dinilai telah
menghina kepercayaannya (Islam). Anggapan ini diajukan dengan
mengambil contoh, adanya upaya menghancurkan Ahmadiyah, yang dinilai
telah menghina Islam, karena Ahmadiyah mempercayai adanya nabi baru
setelah Muhammad. >>

* * *

Masih kuteruskan sedikit sekitar DISKUSI mengenai Blasphemy Law –
Hak Azasi versus Mainstream Islam di Indonesia yang digelar oleh
KITLV pada tanggal 24 Juni 2010 di KITLV, Kamar 138, Reuvenplaats 2,
2311, BE Leiden.

Dijelaskan dalam undangan KITLV itu: Film dokumenter ini
mempertunjukkan kejadian di Mahkamah Konstitusi Indonesia, ketika
diadakan sidang 'judicial review' mengenai Blasphemy Law 1965, mulai
Februari sampai April 2010. Pada pertengahan 2009, grup-grup Hak-Hak
Manusia terdiri dari perorangan (pluralis), kaum Muslim moderat dan
kaum minoritas, mengajukan sebuah petisi terhadap undang-undang tsb.
Salah seorang dari yang mengajukan petisi tsb adalah Gus Dur, mantan
Presiden yang meninggal pada akhir 2009.

Selama sidang Mahkamah Konstitusi, pemerintah dan grup-grup
religius, mealkukan perlawanan kuat.

Pembuat film mendokumentasi setiap diskusi dalam proses sidang
(lebih dari 50 jam). Lalu menciptakan sebuah dokumentasi selama satu
jam. Itu akan dipertunjukkan untuk pertama kalinya di Leiden, Nederland.

Ini adalah dokumenter 'work-in-progress' dan akan dirampungkan dalam
bulan November 2010. Para pembuat film mengharapkan memperoleh
masukan dan dukungan. Pada pementasan film, Lexi Rambadetta Junior
dari OFFSTREAM akan hadir untuk ambil bagian dalam diskusi dengan
hadirin.

Seperti diketahui Mahkamah Konstitusi menolak petisi. Dengan
demikian mempertahankan UU Anti-Pencemaran Agama – Pasal 156 (a).
Banyak kalangan di dalam maupun di luar negeri beranggapan bahwa UU
Pasal 156(a) tsb bertentangan dengan UU Dasar Republik Indonesia,
bertentangan dengan hak setiap warganegara menganut agama dan
keyakinan kepercayaan masing-masing.

* * *


*KEMANA KITA PERGI BELAJAR ISLAM-INDONSIA?*


Masalah ini – KEMANA KITA PERGI BELAJAR ISLAM-INDONSIA?--- sudah lama
juga 'terpecahkan' dalam praktek kehidupan itu sendiri. Sekitar dua
tahun yang lalu, aku jumpa dan cakap-cakap dengan belasan mahasiswi dan
mahasiwa post-graduates dari Indonesia yang datang belajar ke Leiden,
Belanda. Pertemuan berlangsung di Open-housenya Mintardjo,
Korenbloemlaan 59, Oestgeest. Menjawab pertanyaanku, salah seorang
mahasiswa menjawab bahwa mereka, berjumlah belasan, datang ke Leiden
dalam rangka melaksanakan proyek studi Islamic Studies di Belanda.
Mereka dikirim oleh beberapa perguran tinggi Islam di Indonesia.


Ya, ya ! Jauh-jauh datang dari Indonesia dengan tujuan belajar Islamic
Studies di Belanda. Mereka bukan ke Cairo, atau negeri Arab lainnya,
tetapi ke LEIDEN, BELANDA.


Dari situasi ini menjadi jelas bahwa dunia pendidikan Islam di Indonesia
berpandangan yang cukup luas dan lapang dada. Mereka besedia mengirimkan
mahasiswa/mahasiswi mereka ke perguruan tinggi di Belanda untuk Islamic
Studies.

* * *


Kita soroti sedikit isi tulisan Lutfhi yang ditulisnya dalam bahasa
Inggris:

Menjelaskan pendapatnya mengapa ia menganggap bahwa untuk Islamic
Studies paling baik pergi belajar ke universitas-universitas Barat:


"Agama sebagai pengetahuan tidak termasuk milik lembaga religius, tetapi
lebih bnyak termasuk perguruan tinggi sekular. Dan bila kita bicara
tentang lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang 'beneran' ((qualified),
universitas-universitas Barat merupakan yang paling kompetatif.


Selanjutnya Lutfhi:


"Jadi, bila Anda hendak studi Islam, teristimewa Islam Indonesia,
janganlah belajar di UIN atau lembaga-lembaga Timur Tengah, tetapi,
sebaiknya di universitas-universitras seperti di Nederland, Amerika
Serikat, atau Australia. Saya jelaskan apa sebabnya. Seperti halnya
banyak cabang matapelajaran lainnya, Islam telah menjadi suatu bentuk
pengetahuan, bahkan sebuah industry. Untuk sebagian orang ia bukan saja
suatu agama, tetapi juga merupaka ssuatu karir. Di waktu yang lalu,
pusat-pusat studi Islam ditujukan untuk menghasilkan imam-imam atau
pemimpin agama, tetapi juga menghasilkan profesional-profesional untuk
mengisi jabatan-jabatan birokrasi, bisa di lembaga yang dimiliki
pemerintah (seperti halnya Kementerian Agama) atau di sektor swasta
(biro hukum, think tanks, dan pusat-pusat studi.


Selanjutnya Lutfhi mengajukan pendapatnya yang tajam, sbb:


*--- Ide bahwa pusat/pusat pengajaran Islam merupakan satu/satunya
tempat untuk menghasilkan imam atau penceramah agama, tidak lagi bisa
dipertahankan. Pusast/pusat pengajaran Islam tidak lagi bisa
berkompetisi dengan munculnya imam/imam dan penceramah agama, seperti
jamur di musim hujan. Mereka-mereka itu begitu saja muncul tak tahu dari
mana. Di Indonesia sudah jelas bahwa untuk menjadi imam atau penceramah
agama, -- sayang sekali --, samasekali tak ada hubungannya dengan
pengetahuan. *

*Sekian dulu kutipan artikel Lutfhi yang diterjemahkan secara bebas.*


*Ada baiknya pembaca menelusurinya sendiri di artikel asli berbahasa
Inggris , seperti terlampir di bawah ini±*


** * **

*LAMPIRAN±*


*Where we go to study Indonesian Islam?*

**Luthfi Assyaukanie, Leiden | Fri, 06/25/2010 **

*For many, to study Islam means going to an Islamic institution. That's
why some Indonesian students go to the Middle East or to local Islamic
higher learning institutions such as the State Islamic University (UIN)
in Jakarta or Yogyakarta. *

*This idea is partly justified if your understanding of the word "study"
is to convert to a certain understanding of Islam. But it's certainly
incorrect if by "study" you mean to explore knowledge. *


*Religion as a knowledge does not belong to religious institutions, but
rather to secular higher learning colleges. And if we speak about
qualified higher learning institutions, Western universities are the
most competitive ones. *


*Thus, if you want to study Islam, particularly Indonesian Islam, it
should not be at UIN or a Middle Eastern institution, but rather at such
universities as in the Netherlands, the United States, or Australia. Let
me explain why. *

*Like many other branches of disciplines, Islam has become a form of
knowledge, even an industry. For some, it is not only a religion but
also a career. *

*In the past, centers of Islamic studies were designed to produce imams
or religious leaders, but also to produce professionals to fill
bureaucratic posts, either in government owned institutions (such as the
Religious Affairs Ministry) or in the private sector (law firms, think
tanks, and research centers). *


*In other words, studying Islam is not merely studying its doctrinal
aspects, but also exploring many aspects of related disciplines. Thus,
apart from studying theology at centers of Islamic studies, students are
also required to study sociology, anthropology, psychology and political
science. *

*It is quite unfortunate that the traditional Islamic learning
institutions in the Muslim world fail to understand this change. The
world has changed and the way people perceive reality has also changed. *


*The idea that Islamic learning centers are the sole place to produce
imams or religious preachers is no longer valid. Islamic learning
centers cannot compete with the mushrooming imams and religious
preachers who seem to come out of nowhere. *

*In Indonesia it is clear that to become an imam or religious preacher
unfortunately has nothing much to do with knowledge. *


*It is more about oratorical skill and how smart someone in using
religious rhetoric. People who have no background in Islamic studies
could be imams or successful evangelists had they been able to attract
audiences to listen to their speeches. *

*As a matter of fact, many of them have poor religious knowledge. But by
citing one or two verses of the Koran and putting on Arabic garb they
claim to have the authority of the religion. And naively, the public
often listen to them. *


*Meanwhile, students who really studied Islam could rarely do that. Of
course, some of them could manage it, but the number is still lower
compared to the number of graduates the Islamic centers produce. After
all, Islamic centers were not designed to produce religious celebrities
or televangelists. *


*In the Western world, centers of Islamic studies are designed to
produce scholars and experts. Whether in the future students will become
imams or religious teachers is entirely up to them. Centers of Islamic
studies are part of universities, and the role of universities is to
inculcate science and knowledge to their students. No more, no less. *

*It is no wonder if then universities treat these centers in a highly
professional manner. The University of Melbourne from which I
gra-duated, for example, would promote its program of Islamic Studies
like the department of International Studies or Anthropology or Media
Studies. *


*The students of Islamic Studies, as its ads say, could go on to a
career in areas such as "foreign affairs, international trade,
immigration, ethnic affairs, journalism, social work or teaching." *


*What is fascinating and important about Islamic learning centers in the
West is not only their treat-ment of the discipline, but also the way
they handle the knowledge resources. *


*Nowadays, if you want to study Islam, it is not in Mecca or Cairo, but
in Boston, Chicago or Oxford, where you can find the best resources
(books, articles, audio-video materials, etc). Similarly, if you want to
study Indonesian Islam, it is not in Jakarta or in Yogyakarta, but in
Leiden, Manoa, Melbourne or Canberra. *


*Based on my recent findings, the best institution in terms of the size
of its collection on Indonesian Islam is KITLV (Royal Netherlands
Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) at Leiden
University. It has more than 10,000 books on Indonesian Islam in various
languages and no less than 8,000 books written in Indonesian. *


*The library outnumbered the collection of the Library of Congress in
the United States, whose collection on Indonesian Islam has now reached
4,928 titles of which 3,885 are in Indonesian (see table). *


*The United States remains a country whose universities have good
collections of books on Indonesia. Cornell University used to be the
Mecca for Indonesian studies. *

*Despite the fact that this role has been replaced by several Australian
universities (particularly ANU, Melbourne and Monash), Cornell's library
contains the best collection in the world on Indonesian Islam. *


*The Australian National University has also been recognized for having
a large collection on Indonesian studies. It is widely regarded as the
best university in Australia for studies on Indonesia and Southeast Asia. *


*So, anytime you are considering studying Islam, especially Indonesian
Islam, you know where to go. *

/The writer is a Research Fellow at the KITLV, Leiden, and a senior
lecturer at Paramadina University, /


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
wanita-muslimah-digest@yahoogroups.com
wanita-muslimah-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

0 comments:

Post a Comment