Refleksi : Tradisi tidak mengenal, tetapi waktu memperkenalkan. hehehe
http://www.sinarharapan.co.id/berita/content/read/tradisi-tionghoa-tidak-mengenal-kawin-kontrak/
Senin 01. of November 2010 13:10
Tradisi Tionghoa Tidak Mengenal Kawin Kontrak
OLEH: AJU
Singkawang - Pemerintah Kota Singkawang, Provinsi Kalimantan Barat mengaku risih dengan pemberitaan di media massa tentang praktik kawin kontrak antara perempuan Tionghoa asal Singkawang, Sambas, Sungai Pinyuh, dan Pontianak dengan lelaki asing dari Taiwan, Hong Kong, dan Jepang."
Istilah kawin kontrak ditujukan bagi warga Tionghoa dengan lelaki asing menunjukkan sebagian masyarakat kurang memahami tradisi Tionghoa. Padahal dalam tradisi Tionghoa sama sekali tidak dikenal yang namanya kawin kontrak," ujar Hasan Karman alias Bong Sau Fan, Wali Kota Singkawang, kepada SH, Jumat (29/10) lalu.
Menurut Hasan, jika penilaian ini dibiarkan berlarut-larut maka bisa merusak citra Kalimantan Barat yang berimplikasi pada praktik pelecehan terhadap perempuan Tionghoa. Sementara itu, lelaki asing dari Taiwan, Hong Kong, dan Jepang lebih menyukai wanita Tionghoa di Kalimantan Barat, karena sama-sama berasal dari suku Hakka, yang lebih mudah bersosialisasi, budayanya mirip, dan patuh pada suami. Tidak ada yang salah dari praktik perkawinan beda kewarganegaraan antara perempuan Tionghoa dengan lelaki asing. Terkait saling tukar foto sebelum perempuan Tionghoa diboyong ke negara asal calon mempelai laki-laki, itu merupakan bagian ritual perkawinan menurut tradisi Tionghoa.
Kalaupun ada di antara warga Tionghoa yang kemudian merasa ditipu, kasusnya pada dasarnya sama dengan tenaga kerja wanita Indonesia yang kemudian diperdaya menjadi wanita penghibur, baik di Malaysia maupun di Singapura. "Tapi jumlahnya tidak banyak. Umumnya perkawinan berlangsung selalu sesuai tradisi Tionghoa. Berdasarkan data dari Kantor Perwakilan Kamar Dagang dan Industri Taiwan di Jakarta, lebih dari 30.000 orang perempuan Tionghoa telah melangsungkan pernikahan secara tradisi Tionghoa dengan lelaki berkebangsaan Taiwan sejak tahun 1970-2010," ujar Hasan.
Kalaupun perkawinan kesannya itu mengindahkan mekanisme administrasi negara, implikasinya perempuan Tionghoa asal Indonesia akan kehilangan kewarganegaraannya setelah menikah di negara asal laki-laki.
Hasan mengungkapkan, hasil pengecekan yang dilakukan belum lama ini melalui Kantor Kadin Taiwan di Jakarta, umumnya lelaki Taiwan yang menyukai perempuan Tionghoa asal Kalimantan Barat adalah pensiunan tentara maupun polisi. Mereka mesti memiliki keturunan, karena jika setelah meninggal dunia terbukti tidak menikah atau tidak memiliki keturunan, maka harta warisannya akan diambil alih negara. Pilihannya sudah barang tentu perempuan Tionghoa asal Kalimantan Barat yang dikenal patuh dan tidak banyak tuntutan pada suami.
Bagi Xaverius Fuad Asali, salah satu pemuka warga Tionghoa di Pontianak, pernikahan dalam tradisi Tionghoa merupakan hal yang sakral, sama seperti anggapan tradisi suku lainnya. Mulai tradisi melamar (khui fun), unangan (ten fun), batal ganti dua kali lipat, perkawinan (kiet fun), dan ihwal malam pertama. Di dalam tradisi Tao dan Konghucu, pertunangan merupakan hal yang mutlak. Melalui acara pertunangan, kedua pasangan saling mengenal. Dalam pertunangan biasanya dihadirkan mak comblang (Mei Jen). Ia merupakan utusan resmi mewakili keluarga laki-laki untuk melamar pihak perempuan. Biasanya, Mei Jen adalah wanita paruh baya yang datang ke rumah perempuan, memperkenalkan diri, dan melakukan lamaran.
Peran Mei Jen
Sebelumnya dilakukan survei oleh Mei Jen, untuk menyakinkan bahwa perempuan itu masih belum memiliki ikatan dengan laki-laki lain. Survei dilanjutkan dengan menanyakan biodata lengkap calon mempelai perempuan. Data-data itu dibawa ke Sin Sang untuk melihat kecocokan mereka. Jangan sampai shio kedua pasangan bertolak belakang.
Asali mengatakan, Mei Jen bertugas menyampaikan persyaratan yang diinginkan mempelai wanita, seperti hantaran untuk kakek dan nenek mempelai wanita. Ia yang menentukan hari dan tanggal pertunangan. Juga, jumlah cha liaw (gula-gula) yang dibutuhkan untuk hantaran. "Tempat resepsi, jumlah undangan, dan maskawin juga telah disepakati sebelumnya. Biasanya saat bertunangan, langsung ditentukan kesepakatan resepsi pernikahannya," ujar Asali.
Tionghoa (dialek Hokkien, berarti Bangsa Tengah, dalam Bahasa Mandarin ejaan Pinyin dibaca zhonghua) merupakan sebutan lain untuk orang-orang dari suku atau ras Tiongkok di Indonesia.
Kata ini dalam bahasa Indonesia sering dipakai untuk menggantikan kata China yang kini memiliki konotasi negatif, karena sering digunakan dalam nada merendahkan. Kata ini juga dapat merujuk pada orang-orang keturunan China yang tinggal di luar Republik Rakyat Cina (RRC) seperti di Indonesia, Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan.
Wacana Tionghoa (zhonghua atau cung hwa) setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasti dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Kata ini pertama kali diperkenalkan secara luas oleh Dr Sun Yat Sen, yang merupakan Bapak Revolusi RRC, dengan mendirikan Republik Cgina (Zhonghua Minguo) pada tahun 1911, setelah menggulingkan Dinasti Qing. Kemenangan Revolusi China memberi inspirasi terhadap perjuangan dan Kebangkitan Nasional di Indonesia.
Mao Zedong meneruskan penggunaan kata Zhonghua untuk negara Republik Rakyat Cina (Honghua Renmin Gongheguo) yang diproklamasikan pada tahun 1949. Pembicaraan mengenai Tionghoa di Indonesia biasanya meliputi keterlibatan orang-orang Tionghoa dalam politik, sosial, dan budaya di Indonesia. Kebudayaan Tionghoa merupakan salah satu pembentuk dan bagian integral yang tak terpisahkan dari kebudayaan nasional Indonesia sekarang ini. Kebudayaan Tionghoa di Indonesia walau berakar dari budaya leluhur, telah sangat bersifat lokal dan mengalami proses asimilasi dengan kebudayaan lokal lainnya.
Akibat tekanan rezim Orde Baru, banyak dari antara orang Tionghoa telah menanggalkan nama aslinya dan menggunakan nama-nama lokal, meskipun secara diam-diam masih memakainya untuk kegiatan di kalangan mereka. Namun, dengan terjadinya Reformasi, tanpa rasa takut mereka kembali menggunakan nama Tionghoa mereka, meskipun masih banyak yang enggan memakainya kembali
[Non-text portions of this message have been removed]
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment