---------- Forwarded message ----------
From: Institut Perempuan <institut_perempuan@yahoo.com>
Date: 2011/3/18
Subject: [cfbe] Pidato Kebudayaan Women's International Day: R. Valentina
Sagala, "Rasa CINTA (dan Pikir CINTA)"
Sorry for double posting.
FYI,
Regards,
Ellin Rozana.
Mengapa setelah 100 tahun lamanya, kita masih perlu ber-ada bersama disini?
Ada
70 persen dari total jumlah orang miskin negeri ini bernama perempuan. Ada
kasus
korupsi besar-besaran di pemerintah dan parlemen, sementara balita busung
lapar
dan angka kematian ibu meningkat. Ada pejabat jalan-jalan ke luar negeri,
membeli laptop jutaan rupiah, bahkan dalam waktu dekat berencana merenovasi
gedungnya dengan fasilitas mewah, sementara para ibu dan anak tak sanggup
membeli sembako dan susu, serta anak-anak bunuh diri tak mampu melunasi
pungutan
sekolah. Ada mafia peradilan yang menggembungkan perut para penegak
keadilan,
mafia pajak yang meruntuhkan rasa keadilan dan kecerdasan berpikir kita;
sementara para perempuan dan korban kekerasan menjerit menuntut keadilan dan
pemulihan. Dan masih banyak belenggu ketidakadilan lainnya......
Lebih lengkap, berikut kami bagikan naskah Pidato Kebudayaan R.Valentina
Sagala
untuk Peringatan Hari Perempuan Internasional (Women's International
Day/WID)
2011, berjudul: "Rasa C.i.n.t.a. (dan Pikir C.i.n.t.a.)".
Pidato ini telah dibacakan pada "Peringatan Hari Perempuan Internasional
2011",
10 Maret 2011, di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, yang
diselenggarakan oleh Kalyanamitra, OXFAM, dan Raising Her Voice (RHV). Telah
dibacakan pula pada Peringatan Hari Perempuan Internasional"Women Poetry &
Music
Afternoon Gathering: Women and Diversity", 12 Maret 2011, di Vivi Yip Art
Room,
Jakarta, yang diselenggarakan oleh Klub Penulis Perempuan Urban.
Selamat 100 tahun Hari Perempuan Internasional!
Terima kasih,
Ellin Rozana (Direktur Eksekutif)
"Rasa C.i.n.t.a. (dan Pikir C.i.n.t.a.)"[i]
R. Valentina Sagala[ii]
I. Saya yang Perempuan
Nama saya Rotua Valentina. Panggil saja saya, Valent. Atau: perempuan
Valent. Di
usia 17 tahun, Ibu membantu saya mengurus sebuah kartu bernama "Kartu Tanda
Penduduk Republik Indonesia" atau biasa disingkat "KTP". Kata Ibu saya,
kartu
ini harus saya simpan baik-baik di dalam dompet. Setiap kali bepergian
keluar
rumah, saya harus membawanya. Kata Ibu saya pula, kartu kecil ini adalah
kartu
identitas saya.
Maka samar-samar, belajarlah saya tentang identitas saya. Siapakah saya?
Menurut
KTP, nama saya "sudah terlanjur": Rotua Valentina. KTP tidak menampilkan
"nama
panggilan". Sehingga boleh dibilang, saya cukup senang mengatakan, "Panggil
saya: Valent", meski ini pun tidak terlalu mudah, karena sejak saya bayi,
kecil,
remaja, bahkan hingga kini, hampir semua anggota keluarga memanggil saya:
"Rotua". Selain nama, pada KTP saya juga tertulis: "Tempat/Tgl lahir; Jenis
Kelamin: Perempuan; Agama; Pekerjaan; Kewarganegaraan: WNI". Juga ada
alamat
rumah Ibu dan Bapak saya disitu.
Sejak punya KTP, hampir untuk segala hal dalam kehidupan bermasyarakat, saya
sering diminta memperlihatkan kartu kecil bernama KTP. Rasanya hanya kalau
mau
buang air kecil di WC umum, saya tidak diminta memperlihatkan KTP.
Tapi apakah saya sebenarnya? Apakah yang bisa direpresentasikan selembar KTP
untuk sebuah nyawa bernama perempuan? Seorang perempuan beragama Kristen?
Seorang perempuan beragama Islam? Seorang perempuan kelahiran Jakarta?
Seorang
perempuan kelahiran Papua? Seorang perempuan kelahiran Aceh? Seorang
perempuan
bernusa, berbangsa, dan berbahasa Indonesia?
Apakah makna keber-ada-an saya sebagai perempuan? Dengan payudara yang
tumbuh
dengan potensi menyusui, namun sering menjadi sasaran kekerasan seksual?
Dengan
vagina yang demikian indah namun selalu disebut "kemaluan"? Dengan rahim
saya
yang tidak pernah boleh merdeka?
II. R.a.s.a Keadilan
Pertanyaan mendasar dunia hukum sesungguhnya adalah: apakah itu manusia?
Adalah
keliru jika sudut pandang orang terhadap hukum digerakkan oleh "takut"
terhadap
perundang-undangan atau bahkan sanksi. Pergulatan hukum sebenarnya adalah
pada
rasa keadilan.
Maka apakah itu hukum Indonesia, adalah apakah itu manusia Indonesia? Apakah
itu
hukum Indonesia, adalah apakah itu saya (yang perempuan)? Disini ada dialog
antara tubuh, pikir, dan rasa. Dialog itu merumuskan keadilan. Dibutuhkan
pengalaman dalam bertubuh, diperlukan kecerdasan dalam berpikir, dan
dibutuhkan
nurani dalam merasa. Ini mengapa keadilan kerap dilekatkan dengan "rasa"
(rasa
keadilan) ketimbang "pikir" (pikir keadilan). Nurani diharapkan dapat kita
gunakan untuk mengolah pengalaman dan kecerdasan. Dan oleh karenanya,
demikian
penting kecerdasan ber-pikir senantiasa diiringi nurani me-rasa dan
pengalaman
ber-tubuh. Membunuh salah satunya tentu sangat mengerikan bagi keber-ada-an
manusia. Misalnya, bagaimanakah kita hendak bahagia atas penyiksaan dan
kekerasan seksual yang dirasakan, dipikirkan, dan dialami
perempuan-perempuan di
wilayah konflik negeri ini, seperti Aceh dan Papua? Bagaimanakah kita hendak
tersenyum manis tatkala kecerdasan, pengalaman, dan nurani kita dilecehkan
oleh
represi negara pada perempuan lewat perundang-undangan yang diskriminatif,
mulai
dari pemberlakuan UU Pornografi, hingga tumbuh suburnya kebijakan daerah
yang
diskriminatif pada perempuan? Bagaimanakah kita hendak baik-baik saja
terhadap
pemiskinan (bukan kemiskinan) perempuan, tak sanggupnya perempuan mengecap
pendidikan dan pelayanan kesehatan berkualitas, serta betapa minimnya akses
dan
kontrol perempuan dalam politik, perencanaan, pelaksanaan, hingga kontrol
makhluk bernama "pembangunan"? Bagaimanakah kita hendak oke-oke saja ketika
rasa, pikir, dan tubuh perempuan diserang terus dan terus oleh aparat
keamanan
dan kelompok masyarakat berwatak patriarkis yang menyerang atas nama agama.
Maka jika masih benar bahwa negara saya, negara kita ini, adalah negara
hukum,
pertanyaan mendasar negara (bernama Indonesia) ini sesungguhnya adalah:
apakah
itu manusia (Indonesia)? Apakah itu saya (yang perempuan)? Apakah Anda (yang
perempuan)?
Mungkin:
saya adalah perempuan yang tak diinginkan sejak saya masih di rahim ibuku;
Mungkin:
saya adalah perempuan yang sejak kecil harus berjalan berkilo-kilo meter
membantu Ibu mengangkut air, berkebun, menggendong, merawat, dan menjaga
adik;
Mungkin:
saya adalah perempuan yang dijual Bapak ketika Bapak terlilit hutang
rentenir di
kampung, dan tergiur janji manis seorang calo tenaga kerja ke luar negeri;
Mungkin:
saya adalah perempuan yang karena kemiskinan yang menjerat, harus bermigrasi
dan
mengais-ngais rejeki ke kota, berakhir menjadi budak dengan sebutan
"pembantu
rumah tangga" tanpa pernah diakui sebagai "pekerja";
Mungkin:
saya adalah perempuan pekerja rumah tangga migran, yang setelah bertubi-tubi
mengalami penyiksaan, diperkosa, disetrika, tak makan berhari-hari, diancam
hukuman mati, cuma bermakna mencoreng citra bangsa;
Mungkin:
saya adalah perempuan yang diserahkan orang tua menjadi istri ketiga dari
seorang laki-laki tua di dusun, karena orang tua terjerat hutang sejak tak
lagi
punya tanah;
Mungkin:
saya adalah perempuan dengan kondisi kesehatan buruk, tak berpendidikan,
yang
dinikahi ketika ketika saya bahkan belum mengenal menstruasi, sehingga saya
menjadi janda dua kali saat usia baru menginjak 15 tahun;
Mungkin:
saya adalah perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga,
tertular HIV/AIDS dari suami, dan sepanjang akhir hidup menghadapi
stigmatisasi
demi stigmatisasi;
Mungkin:
saya adalah perempuan yang diserang dan diperkosa berkali-kali oleh beberapa
laki-laki yang tidak saya kenal, dibuang dari keluarga, dikucilkan
masyarakat;
Mungkin:
saya adalah perempuan yang diharuskan berpakaian seperti yang tidak saya
sukai
dan maui;
Mungkin:
saya adalah perempuan yang dilarang mempertanyakan orientasi seksual saya,
sebaliknya dikucilkan dan didiskriminasi atas nama tidak bermoral dan tidak
agamais;
Mungkin:
saya adalah perempuan janda yang dipandang setengah mata oleh masyarakat,
harus
bekerja hingga malam hari dan ditangkap Satpol PP ketika hendak pulang ke
rumah
sehabis bekerja;
Mungkin:
saya adalah perempuan pelacur yang harus pura-pura suka ditiduri laki-laki
hidung belang, entah dia para koruptor, entah dia para suami yang mahir
bicara
moral dan agama, atau bahkan para penyair yang senang bicara keadilan;
Mungkin:
saya adalah perempuan aktivis yang jatuh cinta dengan tulus dan sepenuhnya,
mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki, dari laki-laki yang dengan
bangga
berteriak tentang hak anak dan "selamatkan anak" (Save the Children) namun
sekejap lari dari tanggungjawab dan bersembunyi di balik persekongkolan para
patriarkat;
Mungkin:
saya adalah....;
Mungkin:
saya adalah....;
Mungkin:
Saya adalah perempuan korban kekerasan berlapis, dengan seorang anak berumur
tiga bulan, yang ditangkap dan diperkosa oleh tentara pada tahun 1980an.
Hampir
dua puluh tahun kemudian, suami saya meninggalkan saya, dengan alasan
kekerasan
saya alami: "Saya...disuruh jalan ke hutan untuk mencari suami
saya...diikuti
enam orang tentara. Setelah itu saya dibawa ke pos... dipukul dan diperkosa
oleh
tentara-dua orang Papua, tiga orang pendatang. Setelah dua hari, saya dibawa
ke
rumah sakit karena kemaluan saya...berdarah dan harus dijahit. Setelah
diperiksa
di laksus (intel)...(saya pulang)... Akhirnya, suami saya kawin lagi tahun
2005... Saya rasa tidak adil sekali karena apa yang saya alami adalah untuk
selamatkan suami".[iii]
Semua tentang saya tidak akan cukup direpresentasikan oleh secarik kertas
kecil
bernama "KTP Republik Indonesia". Maka sekali lagi, wahai saudara-saudaraku,
pergulatan hukum sebenarnya adalah pada rasa keadilan. Itulah mengapa, kita
lebih mengenal "rasa keadilan", dan bukan "pikir keadilan".
III. H.a.t.i. Nurani
Perkenalan pertama saya pada peringatan Hari Perempuan Internasional
(International Women's Day) bermula beberapa tahun lalu seiring dengan
bertumbuhnya organisasi-organisasi perempuan, atau sebut saja: organisasi
feminis, di Indonesia. Mungkin sebagian dari kita punya pengalaman serupa
dengan
saya. Kita mungkin lebih akrab dengan "Hari Kartini" lengkap dengan konde,
kebaya, atau perlombaan memasak. Atau dengan "Hari Ibu" yang meski dalam
sejarahnya penuh dengan gerak nyawa perjuangan perempuan, namun oleh Orde
Baru
berhasil dipadamkan sebagai hari membahagiakan para ibu dalam sehari atau
sekali
lagi berkonde, berkebaya, berlomba masak, dst, dst.
Peringatan Hari Perempuan Internasional lekat dengan aksi demontrasi besar
para
perempuan dari berbagai kelas sosial, yang digelar bersamaan di berbagai
penjuru
dunia, pada 8 Maret 1911, menyuarakan (baca: melawan) ketidakadilan yang
dialami
perempuan, serta tuntutan berupa hak ikut serta dalam pemilu dan pengambilan
keputusan di pemerintahan, hak bekerja, hak atas pendidikan, dan
penghapusan
diskriminasi. Sejarah mencatat, bahwa meski pada era Soekarno, organisasi
perempuan progresif telah mengenal Hari Perempuan Internasional, ketika Orde
Baru berkuasa, peringatannya setiap 8 Maret sengaja dipaksalupakan.
Kita lantas patut bertanya, mengapa setelah seratus tahun lamanya, kita
masih
perlu ber-ada bersama disini? Ada 70 persen dari total jumlah orang miskin
negeri ini bernama perempuan. Ada kasus korupsi besar-besaran di pemerintah
dan
parlemen, sementara balita busung lapar dan angka kematian ibu meningkat.
Ada
pejabat jalan-jalan ke luar negeri, membeli laptop jutaan rupiah, bahkan
dalam
waktu dekat berencana merenovasi gedungnya dengan fasilitas mewah, sementara
para ibu dan anak tak sanggup membeli sembako dan susu, serta anak-anak
bunuh
diri tak mampu melunasi pungutan sekolah. Ada mafia peradilan yang
menggembungkan perut para penegak keadilan, mafia pajak yang meruntuhkan
rasa
keadilan dan kecerdasan berpikir kita; sementara para perempuan dan korban
kekerasan menjerit menuntut keadilan dan pemulihan. Dan masih banyak
belenggu
ketidakadilan lainnya.
Undangan keber-ada-an kita hari ini adalah untuk me-rasa-kan belenggu
ketidakadilan tersebut, untuk kemudian menyatukan seluruh keber-ada-an kita:
memperjuangkan kemerdekaan dan kesetaraan perempuan.
Negara bernama Indonesia ini adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945).
Sistem hukum yang hendak diwujudkan adalah di bawah sistem konstitusi (UUD
1945)
yang berfungsi sebagai acuan dasar penyelenggaraan negara dan kehidupan
nasional
sehari-hari. Sistem hukum ini meliputi isi hukum(yaitu uraian dari suatu
kebijakan yang tertuang dalam bentuk peraturan perundang-undangan); tatanan
hukum (yaitu semua perangkat kelembagaan dan pelaksana dari isi hukum yang
berlaku, mencakup lembaga hukum dan pelaksananya); serta budaya hukum (yaitu
pemahaman, sikap penerimaan, praktek pelaksanaan terhadap isi dan tatanan
hukum).
Maka pertama, bersuaralah. Senantiasalah bersuara dan bertanya dengan
kritis,
dimanakah pengalaman perempuanku (aku yang perempuan) dalam sistem hukum
yang
ada; dimanakah keber-ada-anku dalam sistem hukum dan pembangunan yang
berlangsung. Senantiasalah bertanya dengan merdeka. Kedua, bergeraklah.
Senantiasalah bergerak dengan jujur. Sebab kejujuran berasal dari hati
nurani
yang jernih, tempat kita dapat bercermin. Hati nurani tak hendak bicara
tentang
moral, sebuah urusan tentang "akhirat" dan bukan "kekinian".
Hati nurani adalah cahaya bagi keadilan. Semacam ada sesak yang mengganggu
di
sekitar dada saya ketika peristiwa ketidakadilan terjadi. Seperti jantung
berhenti berdetak seketika ketika ada kebijakan yang merobek rasa keadilan,
bahkan ketika mengatasnamakan agama atau moralitas semu. Coba ingat-ingat,
pernahkah kita merasakannya?
Saya pikir-pikir dan rasa-rasa, itu seperti yang dinamakan C.I.N.T.A.
Rasanya
campur aduk, namun juga bisa kita paparkan dengan logis dan cerdas, serta
bisa
kita nikmati indah atau sakitnya pada tubuh. Mungkin, itu mengapa nurani
disebut
"hati" nurani, bukan "otak" nurani. Itu mengapa juga, cinta lebih sering
disebut
"rasa" cinta, daripada "pikir" cinta. Hati-hatilah, rasa cinta ini bisa
menggerakkan segalanya. Dengannya, gerakan kita melawan belenggu
ketidakadilan,
demikian melekat pada diri kita, hingga akhir hayat menjemput.
Keadilan mensyaratkan kemerdekaan berhati nurani, bukan ketundukan pada teks
kitab suci, bukan kekuatan super jumlah atau angka bernama mayoritas, bukan
kepuasan menindas sesama manusia. Keadilan mensyaratkan hati yang jujur,
bicara
apa adanya, mengakui, melawan, hati yang mencinta, hati yang merdeka. Maka
marilah kita belajar merdeka, seperti hari-hari yang telah kita lalui dan
hari
ini ketika kita merasa pikiran, rasa, dan tubuh kita tengah dibelenggu
kebohongan dan kebobrokan penguasa negeri dan dunia yang semakin tanpa batas
ini. Marilah kita satukan segenap keber-ada-an kita lengkap dengan
kemajemukan
"manusia-manusia perempuan" kita.
Selamat Hari Perempuan Internasional 2011.
Jakarta, 10 Maret 2011
________________________________
[i]Pidato Kebudayaan, dibacakan pada "Peringatan Hari Perempuan
Internasional
2011", 10 Maret 2011, di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta,
diselenggarakan oleh Kalyanamitra, OXFAM, dan Raising Her Voice (RHV).
Pidato
Kebudayaan ini kemudian dibacakan pula pada "Women Poetry & Music Afternoon
Gathering: Women and Diversity", 12 Maret 2011, di Vivi Yip Art Room,
Jakarta,
Klub Penulis Perempuan Urban (Poetry reading by: Vivi Yip, Sasha
Poeticpicture,
Nenden NF, Susi Ivaty , Inayah Wahid, Ayu Utami, etc).
[ii]Adalah aktivis feminis, pegiat HAM dan hukum berperspektif feminis,
pendiri
Institut Perempuan. Email; val77ina@yahoo.com, institut_perempuan@yahoo.com.
Penulis Buku "TENTANG CINTA: Kumpulan Tulisan tentang Perempuan dan Anak"
(2011); "Pelacur vs His First Lady?" (2004); "Percakapan tentang Feminisme
versus Neoliberalisme" (bersama Arimbi Heroepoetri, 2004); "Memberantas
Trafiking Perempuan dan Anak" (bersama Ellin Rozana, 2007); "Pergulatan
Feminisme dan Hak Asasi Manusia" (bersama Ellin Rozana, 2007); "Perlindungan
Pekerja Rumah Tangga/Anak di Indonesia: Peta Arah Hukum"(2008).
[iii]Stop Sudah! Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran
HAM
1963-2009, Hasil Pendokumentasian Bersama Kelompok Kerja Pendokumentasian
Kekerasan&Pelanggaran HAM Perempuan Papua, 2009-2010
Demi Keadilan, Kesetaraan, dan Kemanusiaan,
For Justice, Equality, and Humanity,
INSTITUT PEREMPUAN - WOMEN'S INSTITUTE
Jl. Dago Pojok No. 85, Rt.007/Rw.03, Coblong, Bandung 40135
Jawa Barat, INDONESIA
Tel./Fax. +62.22.2516378; Email: institut_perempuan@yahoo.com
Website: www.institutperempuan.or.id, www.institutperempuan.blogspot.com
(
http://www.thejakartapost.com/news/2008/12/22/personal-political-valentina-sagala.html
)
Dapatkan BUKU TERBARU dari Institut Perempuan/New Book from Women's
Institute
(coming soon: english version): "TENTANG CINTA: Kumpulan Tulisan tentang
Perempuan dan Anak" (Penulis: R. Valentina Sagala, Pengantar: Prof.Dr.
Meutia
Farida Hatta Swasono). Penerbitan ini bersifat non profit. Manfaatnya
digunakan
untuk Program Institut Perempuan. Hubungi Toko Buku Terdekat atau Institut
Perempuan: 022-2516378/ Tini 087821781727.
"Seluruh perasaan, pikiran, tindakan, dan tubuhku. Mencari kebenaran, tak
lain
dan tak bukan hanyalah kebenaran. Inilah mati dan hidupku. (Untuk yang
Tercinta:
Dimas Putra B. E.)"
[Non-text portions of this message have been removed]
[Non-text portions of this message have been removed]
------------------------------------
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.Yahoo! Groups Links
<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/
<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional
<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
(Yahoo! ID required)
<*> To change settings via email:
wanita-muslimah-digest@yahoogroups.com
wanita-muslimah-fullfeatured@yahoogroups.com
<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
0 comments:
Post a Comment