Jailolo di Maluku Utara menyuguh kan keindahan alam yang sangat eksotis di setiap jengkal daratan dan perairannya.
Akhirnya pesawat yang meA nerbangkan saya dari Ja karta selama sekitar lima jam mendarat di Bandar Udara Sultan Babullah, Ternate, Maluku Utara. Pagi hari pada pengujung Maret lalu, cuaca Ternate yang bersahabat menyambut saya dan rombongan. Langit begitu cerah. Nun di kejauhan, Gunung Gamalama menjulang anggun.Puncaknya masih berkabut tipis.
Sesuai dengan rencana, saya dan rombongan hanya singgah sebentar di Kota Ternate. Selanjutnya kami menuju Jailolo. Kami bertolak dari dermaga Gamalama dengan menumpang kapal cepat bertarif Rp 50 ribu per orang. Pelayaran sekitar satu jam menuju Jailolo terasa lama karena badan saya lelah akibat penerbangan Jakarta-Ternate.
Kami bertandang ke Jailolo untuk menikmati wisata alam di kota kecamatan di Halmahera Barat, yang rencananya bakal menggelar hajatan tahunan Festival Teluk Jailolo pada 16-19 Mei mendatang.Tapi hari itu kami tak langsung berwisata menyusuri Jailolo. Selain hari sudah siang, badan kami semuanya letih.
Kami pun memilih menuju penginapan untuk beristirahat. Penginapan Ibu Fauziah, tempat kami bermalam, lebih mirip sebuah rumah. Selain beberapa kamar yang disewakan buat para tamu, keluarga Ibu Fauziah tinggal di sana. Mereka begitu ramah menyambut kami layaknya saudara jauh.
Di teras belakang penginapan sekaligus rumah Ibu Fauziah, sederet makanan tersaji rapi di atas meja makan. Ada bubur sagu atau papeda, kuah kuning ikan tongkol, ikan asap tuna, dan ikan bubara ruo cabai iris. Seluruhnya adalah makanan sehari-hari penduduk setempat, yang memang disajikan buat para tamu yang menginap di sana. Dengan merogoh kocek Rp 150 ribu, para tamu bisa menginap plus mendapat makan pagi, siang, dan malam.
****** Jailolo atau Gilolo adalah sebutan penduduk setempat untuk Pulau Halmahera di Maluku Utara. Sejak dulu, Jailolo terkenal sebagai daerah penghasil utama rempah-rempah di Nusantara dan menjadi daya tarik para pedagang Eropa, seperti Portugis dan Belanda. Mereka ingin menguasai cengkeh, kayu manis, pa la, dan rempah lainnya di Halmahera--yang menjadi komoditas primadona di barat.
Sejak 2003, Jailolo telah berkembang menjadi ibu kota Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara. Kini Jailolo tak hanya kaya rempah-rempah, tapi juga memiliki panorama alam yang indah dan eksotis pada setiap jengkal daratan serta perairannya.
Makanya saya begitu antusias ketika saya dan rombongan meluncur di atas kapal sewaan menuju Loloda. Rencananya, di wilayah kecamatan itu, kami akan memancing dan menyelam seraya menikmati pemandangan laut.
Berbeda dengan jalur TernateJailolo, yang gelombangnya tenang, kali ini hantaman angin membuat air laut bergejolak. Berkali-kali kapal terangkat dan terempas keras.
Rasanya lebih seram daripada naik wahana Kora-kora di Dunia Fantasi, Ancol, Jakarta. Dan kami rasakan itu selama 60 menit dari total perjalanan 2,5 jam.
Sesampai di Loloda, saya kemudian ikut perahu nelayan menuju lokasi pemancingan. Saya duduk di antara nelayan di dek belakang kapal. Joran yang saya gunakan bukan alat pancing modern, melainkan bambu sepanjang 4 meter. Di ujung huhate--sebutan joran bambu--terikat tali nilon berkail besi.
"Oho...!" teriak seorang nelayan seraya melemparkan ratusan ikan teri dari tengah badan kapal ke laut. Di perairan, mulut sekawanan ikan cakalang tampak menganga, siap melahap ikan puri--sebutan dari masyarakat setempat untuk teri. Kata "oho", yang berarti makan, memang mengajak sekawanan cakalang untuk bersantap.
Satu, dua, tiga detik, tali nilon pun tiba-tiba menegang. Cakalang termakan tipuan. Bukan ikan teri yang dilahap, melainkan mata kail huhate milik saya. Itu artinya pergulatan antara saya dan ikan dimulai. Cakalang, yang berbobot sekitar 3 kilogram, terus meronta, berusaha melepaskan bibirnya dari tusukan kail.
Memancing bergaya tradisional seperti itu memang seru, memberi sensasi yang berbeda. Yang membuat bangga, meski tanpa keahlian khusus, saya berhasil mengail 13 ikan cakalang dalam satu jam.
Sungguh sebuah prestasi tersendiri buat saya.
Menjelang sore, kami pergi ke lokasi penyelaman. Di Loloda, ada 10 titik penyelaman: Sosota Reef, Sunset, Panic Point, Kampung Kahatola, Long Rock, Echas Garden, Paniki, Rodeo Rock, Marble Reef, dan Irama Rock. Karena masih pemula, saya didampingi instruktur selam Paul Batuna. Kami menyelam di Echas Garden hingga kedalaman sekitar 10 meter.
Sayang, pemandangan laut di Echas Garden tidak sebagus yang saya bayangkan. Banyak terumbu karang yang hancur. Menurut Paul, para pemula memang dibawa ke dasar laut yang tidak terlalu bagus. Karena belum mahir, mereka kerap menendang dan menginjak karang. "Kalau diajak ke tempat bagus, nanti karangnya terinjak dan rusak. Sayang, dong,"tuturnya.
Toh, di Echas Garden saya masih bisa bertemu dengan ikan badut atau clown fish, bintang laut bermahkota duri, ikan fusiliers yang berwarna biru dan kuning menyala, serta ikan anthias berwarna jingga. "Sisi dalam Echas Garden jauh lebih berwarna, banyak terumbu karang, serta hewan laut,"Paul menjelaskan.
Sebetulnya, ada satu lokasi penyelaman yang sangat eksotis di Jailolo: Tanjung Goahuku atau Tanjung Menyala. Saat malam tiba, permukaan laut di bawah gua itu memancarkan warna merah menyala yang menggeliat. Dari kejauhan tampak seperti api. Itu membuat warga sekitar takut mendatanginya."Penduduk menganggap Goahuku itu keramat. Mereka bilang warna merah menyala itu api setan,"kata Paul.
Karena lokasi Tanjung Goahuku berhadapan langsung dengan Samudra Pasifik, dan arus lautnya tergolong sangat kuat, maka tidak dibuka untuk umum. Hanya penyelam berlisensi mahir yang boleh ke sana.
******* Setelah menginap semalam di Loloda, kami kembali ke Jailolo untuk bermain bambu gila bersama penduduk di Pantai Susupu, Kecamatan Sahu Timur. Dari Jailolo ke Sahu Timur ditempuh dengan mobil sekitar satu jam. Sebetulnya jarak kedua kecamatan tidak begitu jauh, tapi jalanan yang rusak memaksa laju mobil melambat.
Sepanjang perjalanan, deretan pohon pala, enau atau aren, kelapa, dan durian memagari kanankiri jalan. Di sebuah tempat, kami berpapasan dengan sekawanan sapi yang tengah asyik melenggang di pinggir jalan.
Sesampai di Pantai Susupu, perlengkapan untuk permainan bambu gila telah tersedia. Ada deretan serat kulit kelapa, korek api, dan bambu hijau sepanjang lima ruas atau sekitar 3 meter. Bersama enam teman, saya mengangkat bambu dan memeluknya dengan dua tangan. Bambu melintang di hadapan dada.
Seorang pawang, Syarif Alif, menyulut api ke serat kelapa. Saat serabut mengeluarkan asap, Syarif mulai berkomat-kamit merapalkan mantra. "Wala yatalattaf wayus fir'aun...."Beberapa saat kemudian Syarif berteriak, "Bara masuen (bambu gila)!" Para pemeluk bambu, termasuk saya, menjawab, "Dadi gogo (benar-benar jadi)."
Tiba-tiba bambu mulai terasa berat, seperti menarik dan mendorong kami. Bambu hijau menggila, memaksa kami mengeluarkan tenaga ekstra untuk melawannya.
Anehnya, kekuatan bambu seperti tidak mau diam di satu titik. Dia terus berpindah tempat. Akhirnya kami harus mengakui kekuatan bambu tersebut. Syarif pun kembali menjampi. Ketika kekuatan bambu menghilang, kami pun kelelahan.
Menurut Syarif, di masa Kesultanan Ternate, penduduk menggunakannya untuk mendorong perahu kora-kora dari daratan ke laut.
Sekelompok orang berjumlah ganjil mengapit bambu di lengan dan berdiri di belakang kapal. Dengan mantra pawang dan asap, bambu memiliki kekuatan mendorong kora-kora. Asap itu juga yang mempengaruhi pergerakan kekuatan pada bambu. "Mantranya campuran bahasa daerah dan doa, bisa dari Al-Quran atau Injil," kata Syarif.
Di Halmahera Barat, Syarif menambahkan, berkembang Islam dan Kristen. Penduduk yang beragama Kristen tinggal di pedalaman. Mereka dipengaruhi kedatangan pelaut Portugis, D'Albuquerque, pada 1512. Adapun pemeluk Islam menetap di pesisir. Mereka memeluk Islam karena pengaruh Timur Tengah yang dibawa oleh Kesultanan Ternate pada 1521. Karena itu, jampi-jampi permainan bambu gila menggunakan doa dari kedua agama itu.
Kini bambu gila menjadi permainan rakyat menjelang Ramadan atau setelah Idul Fitri. Filosofinya adalah mengasah kerja sama dan kekompakan masyarakat untuk mencapai suatu tujuan.
Begitulah. Sebelum meninggalkan Jailolo, masyarakat mengun dang kami ke acara makan adat: Horom Toma Sasadu. Nama itu berasal dari kata "horom" (makan),"toma"(di), dan "sasadu"(rumah adat). Dalam setahun, acara adat itu digelar dua kali. Pertama, pada Maret, yang disebut Sa'ai Ma Ngowa, syukuran kecil setelah ritual tanam padi. Kedua, pada Juli, bernama Sa'ai Lamo atau syukuran besar setelah panen.
Pelbagai makanan khas Halmahera tersedia dalam hajatan itu.
Seperti nasi kembar yang mirip lontong, sayur sop, ikan somasi (ikan air tawar berbumbu manis pedas), balado ikan teri kacang, serta tumis kerang. Tak ketinggalan Cap Tikus, tuak hasil penyulingan air buah enau yang mengandung alkohol hingga 40 persen.
"Horom Toma Sasadu paling lama dilakukan sembilan hari sembilan malam,"kata Thomas Salasa, kepala adat suku Sahu."Meski tidak berhenti makan-minum, tak ada warga yang mabuk atau kenyang." CORNILA DESYANA
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment