Rabu, 12 Februari
Karena kafilah kami merencanakan baru akan melempar jumrah pada kedua ini: Ula, Wustha dan Aqabah sehabis isya, dari pagi sampai sore hari sebagian besar jemaah hanya beristirahat saja di dalam kemah.
Yang mulai berbelanja juga ada. Ya berbelanja. Seperti di Makkah, selama musim haji di Mina pun banyak PKL berbagai bangsa yang menjual berbagai macam barang, dan rata-rata dapat berbahasa Indonesia, paling tidak guna menyebut sejumlah bilangan. Transaksi di Tanah Suci nyaris tidak memerlukan kosakata yang banyak. Anda pegang barang, tanya “berapa?” penjual akan menyebutkan bilangan dua, lima, sepuluh riyal dan seterusnya. Lalu Anda tawar dengan menyebutkan bilangan pula, kalau perlu dibantu dengan mengacung-acungkan jari tangan 1). Apabila setuju dia akan bilang “halal”, kalau tidak dia akan bilang “haram”. Dan hari itu handbag sebagian anggota kafilah kami sudah ada yang mulai “gemuk”.
Suasana terasa tenang dan ceria. Selain kemah dilengkapi AC, pada beberapa titik di sejumlah gang juga ada keran air panas yang memungkinkan jemaah menyeduh kopi, teh dan susu bubuk yang disediakan Maktab dan mi instan. Makanan dari Maktab cukup “berlimpah” dari nasi boks, buah, jus dalam kotak dan…..superminya PT Indofood. Sayangnya bagi saya nasi boksnya tidak menerbitkan selera karena …….sama sekali tidak pedas, maklum cabe bagi kebanyakan orang Minang merupakan “makanan pokok”. Mana ludah terasa agak pahit karena badan kurang sehat .
Kalau melihat wajah cerah sebagian besar jemaah sepanjang hari ini, seakan-akan pada hari kemarin “tidak terjadi apa-apa”, atau jalan kaki terengah-engah di bawah sengatan terik matahari tersebut sudah menjadi sebuah “kenangan indah” dalam arti yang sesungguhnya. Suara tertawa sewaktu-waktu terdengar di kemah bagian depan, tempat sejumlah jemaah laki-laki duduk beriung. Pemancingnya adalah dua bersaudara yang wajahnya mirip sehingga dikira kembar, Surya yang masih lajang karyawan sebuah perusahan swasta dan Muhrom seorang anggota Polri.
Tetapi “bintang lapangan” siang ini adalah pak Selamat alias pak Kumis, kepala keamanan sebuah kompleks pertokoan di kawasan Glodok. Melihat posturnya yang pendek gempal dengan wajah yang dihiasi sepasang bibir tebal yang ramah dan kumis ala Hitler, orang sudah tersenyum melihatnya. Dan alaamaaak….menjelang dzuhur dia kembali ke kemah dengan gagahnya sembari mengenakan topi laken seperti yang banyak dipakai para ambtenar di zaman kolonial, jas panjang serta tongkat yang mirip pedang, pak Selamat siang ini benar-benar mirip seorang serdadu resimen Afrika dari pasukan Jenderal Rommel waktu Perang Dunia II. Entah di mana “benda-benda ajaib” tersebut dibelinya di Mina.
Setelah duduk dan melepas pakaian “kebesarannya”, pak Selamat memamerkan foto-fotonya ketika di Arafah, termasuk ketika dia beraksi di atas onta.
“Mana yang orang mana yang onta nich?” ujar Surya, mengomentari foto pak Slamet yang duduk dengan gagah di atas punggung onta, yang disambut dengan geerrr oleh semua yang sedang duduk beriung di sana, sementara yang diledek “cuek bebek” saja.
Suasana demikian berlanjut sampai mendekati waktu maghrib. Sehabis shalat magrib yang dijamak dengan isya dan makan malam, kafilah kami bersiap-siap berangkat melempar jumrah.
Melempar jumrah boleh diakukan tiga hari berturut, bagi yang memilih “nafar awal” atau empat hari bagi yang memilih, “nafar tsani”. Yang memilih “nafar awal” melempar jumrah Aqabah di hari pertama yang bertepatan dengan tanggal 10 Zulhijjah, setelah itu bertahallul awal, memotong rambut sedikit dan mengganti pakaian ihram yang dikenakan sejak hendak berangkat untuk berwukuf di Arafah dengan pakaian biasa, lalu berturut turut melempar tiga jumrah Ula, Wustha dan Aqabah di hari kedua dan ketiga. Yang memilih “nafar tsani” menambah pelemparan tiga jumrah di hari ke-empat. Karena setiap pelemparan jumrah dilakukan sebanyak tujuh kali, maka jemaah yang memilih “nafar awal” harus menyiapkan kerikil minimum sebanyak 7+2x3 x7=49, sedangkan yang memilih “nafar tsani” harus harus menyiapkan kerikil minimum sebanyak 7+3x3 x7=70. Kerikil-kerikil tersebut tidak harus sebagian atau seluruhnya diambil di Muzdalifah, tetapi juga boleh seluruhnya dipungut di Mina. Waktu afdhal bagi pelemparan adalah setelah tergelincir matahari.
Diperbolehkan juga setelah melempar jumrah hari pertama langsung ke Makkah guna melakukan thawaf ifadlah dan sa’i haji, bertahallul awal, lalu kembali ke Mina guna melakukan pelemparan hari-hari berikutnya dan bertahallul kubra setelah seluruh pelemparan jumrah selesai.
Melempar jumrah hanya merupakan wajib dan bukan rukun haji, artinya boleh diwakilkan kepada orang lain atau ditinggalkan dengan membayar dam. Tetapi hampir tidak ada jemaah yang kalau tidak terpaksa sekali yang tidak ingin melakukan sendiri kegiatan ibadah yang paling berisiko tersebut: risiko kena timpuk oleh “tetangga” di belakang yang terlalu “bersemangat” dan/atau menggunakan benda-benda yang sebenarnya dilarang oleh syariah (sepatu, sendal, payung dan benda-benda berbahaya lainnya), risiko jatuh dan terinjak-injak ketika akan, sedang atau setelah melempar jumrah dan resiko tersesat di tengah jemaah yang pada waktu-waktu afdhal bisa berjumlah ratusan ribu. Bahkan saya yang ketika itu tidak begitu sehat, terpikirpun tidak untuk mewakilnya kepada orang lain.
Mengapa para jemaah ingin melakukan sendiri? Saya tidak tahu persis jawabannya. Hanya perkiraan saya, kesediaan mengambil risiko mungkin merupakan salah satu fitrah atau sifat dasar kejadian manusia. Banyak penafsiran yang diberikan kepada kegiatan ini. Namun kalau direnung-renungkan, melempar jumrah yang kalau disimbolkan sebagai perjuangan melawan iblis, beramar makruf nahi mungkar, adalah perjuangan yang sulit, yang kalau tidak dilakukan dengan hati-hati dan bijaksana, atau “mendudu” saja kata orang Minang, bisa mencelakakan diri sendiri dan orang lain yang tidak bersalah
Seperti yang kami saksikan dalam pelemparan jumrah Aqabah tadi malam, terlihat jelas kesiapan petugas keamanan dan kesehatan Arab Saudi berikut peralatan pendukung seperti ambulans yang disiapkan di sejumlah tempat strategis guna mengantisipasi kemungkinan terjadinya kecelakaan.
Terowongan Mina yang luas dan sangat kokoh yang sudah menjadi ganda sejak terjadinya tragedi Mina dalam tahun—kalau tidak salah—1990, mempertebal rasa aman. Dari kejauhan sudah terdengar raungan bunyi alat penyejuk udara yang tergantung di langit-langit terowongan yang suara dan bentuknya seperti mesin pesawat jet tersebut. Alat pendingin yang digerakkan dengan mesin turbo itu tidak hanya berfungsi sebagai pendingin tetapi juga sebagai pengatur sirkulasi udara di dalam terowongan, sehingga sepadat apapun massa yang melewati terowongan yang panjangnya lebih dari 500 meter itu, mereka tidak mungkin akan kekurangan udara segar.
Melempar jumrah sendiri sebenarnya cukup aman, asal dilakukan dengan tenang, disiplin, (tetap dalam barisan, sebaiknya satu baris dua atau tiga orang), sedikit merunduk, menggunakan batu yang besarnya sedang (besar sedikit dari biji kacang tanah) dan melakukan pelemparan setelah dekat sekali ke tiang jumrah, lalu berbalik dengan tenang selesai melempar. Pokoknya emosi harus terkendali. Saya sempat khawatir melihat cara isteri saya Kur dalam melempar. Saking “bersemangat” dia keluar dari barisan, tanpa menyadari bahwa dia bisa tertabrak jemaah yang sudah selesai melempar dan berbalik.
Malam itu kami kembali berbaris rapih berangkat ke tiga jumrah. Pak Selamat berada di barisan paling depan membawa bendera kafilah didampingi Muhrom dan pak Ustadz. Saya wanti-wanti bilang kepada Kur, bahwa dia harus tetap di samping saya sebelum, sedang dan sesudah melempar jumrah.
Sewaktu melempar jumrah wustha, saya mengalami kembali sesuatu yang “aneh” yang mirip “peristiwa lorong” yang membawa kami ke dinding Ka’bah pada waktu umrah haji. Sewaktu akan melempar, saya merasa terlepas dari ruang dan waktu, rasanya yang berada di sana hanya saya sendiri dan tiang jumrah yang tepat di depan saya, sehingga saya bisa melakukan pelemparan dengan mudah.
Ketika kami berkumpul kembali, ternyata kami kekurangan satu orang anggota rombongan. Setelah menunggu setengah jam baru yang bersangkutan berhasil menemukan rombongan kami. Susah juga, semua bendera kafilah Indonesia berwarna dasar hijau muda sehingga susah membedakannya dari jauh. Akhirnya atas gagasan seorang jaamah bendera kafilah kami dilampiri slayer seragam jemaah perempuan kafilah kami, bola-bola putih berlatar biru.
Kamis, 13 Februari
Kafilah kami milih nafar awal, jadi kami hanya melempar jumrah tiga hari berturut-turut. Dan hari ini adalah pelemparan jumrah hari terakhir. Kafilah kami melakukannya sebelum waktu dzuhur.
Sewaktu melakukan pelemparan jumrah terakhir ini saya nyaris celaka. Sabuk khusus yang biasa digunakan untuk pakaian ihram—yang juga saya pakai pagi tadi walaupun saya tidak lagi memakai pakaian ihram, melainkan stelan Pakistan yang lebih tipis dan licin— melorot hingga ke mata kaki dan kemudian menyerimpet kaki saya yang sedang melangkah, yang menyebabkan saya hampir jatuh tersandung dan terinjak oleh teman yang di belakang saya.
Sebenarnya tidak sukar bagi saya melepaskan sabuk itu dari kedua pergelangan kaki saya, tetapi sabuk tersebut pasti hilang, padahal di dalam salah satu kantungnya saya menyimpan uang lebih dari 200 riyal. Dalam bilangan detik saya berjongkok dan sambil berdiri kembali, saya menarik sabuk tersebut ke atas hingga ke tengkuk dan membiarkannya tetap tergantung di sana. Setelah itu saya terus maju dan melakukan pelemparan.
Sekitar jam dua siang setelah selesai makan siang dan shalat dzuhur yang diqasar dan dijamak dengan ashar, kafilah kami berangkat kembali ke Makkah guna melaksanakan rukun haji yang terakhir yaitu thawaf ifadlah dan sa’i haji. Dalam perjalanan pulang kafilah kami mampir di tempat pemotongan hewan kurban dan dam. Sesampainya di Makkah, sebagian jemaah, yaitu yang tergabung dalam kelompok II dan III langsung melaksanakan thawaf ifadlah dan sa’i haji pada malam ini juga sesudah waktu isya, sedangkan kelompok kami yang diketuai pak Ustadz baru akan melakukannya besok pagi sekitar waktu shubuh.
Malam ini badan saya terasa letih sekali, tetapi bisa tidur nyenyak dan mengalami beberapa mimpi yang menyenangkan. Salah satu di antaranya, saya ditunggu orang banyak di sebuah ruangan berkarpet merah yang indah. Pada mimpi yang lain saya melihat Kur berpakaian seperti putri raja dan tampak cantik sekali.
(bersambung)
---------------
1) Departemen Agama ada menerbitkan buku kecil berisi berapa istilah Bahasa Arab praktis yang paling sering digunakan. Tetapi saya percaya, tidak banyak jemaah yang berusaha untuk menghapalnya.
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment