Advertising

Wednesday, 3 October 2012

[wanita-muslimah] Bartahallul Kubra, Memungut Rambut Di Lantai Masjid

 

Jumat 14 Februari, menjelang Shubuh

Hari ini adalah hari kesepuluh kami berada di Tanah Suci sejak kami berihram dan melafazkan niat umrah haji pada hari pertama begitu tiba di Bandara King Abdul Azis yang kami jadikan miqat dan melaksanakan hari itu juga bagian pertama dari ritual haji tersebut--- lalu bertahallul---atau hari keenam sejak kami berihram di pemondokan, melafazkan niat haji, berangkat untuk berwukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, mabit dan melempar tiga jumrah di Mina.

Dan pagi ini kami akan menjalani fase terakhir: thawaf ifadlah dan sa’i haji, lalu bertahallul qubra. Secara fisik tugas kami melaksanakan seluruh ritual haji akan segara berakhir.

Dalam sepuluh hari itu sudah banyak yang kami lakukan dan kami alami baik secara bersama maupun secara individual. Sebagian tidak jelas, apakah itu mimpi, apakah itu realitas. Tidak jarang pula kegiatan tersebut kami lakukan dengan berurai air mata.

Secara fisik saya tidak sesegar seperti hari pertama tiba dari Tanah Air. Serangan Asma yang cukup berat yang datang menyerang secara tidak terduga, menyebabkan saya nyaris melakukan wukuf di Arafah di atas mobil ambulans. Tetapi dengan pertolongan dan kasih sayang Allah SWT, sejauh ini, hal itu tidak menghalangi saya melaksanakan amalan-amalan haji yang harus dilakukan sebaik dan selengkap apa yang dilakukan jemaah lainnya. Namun secara fisik sakit itu tetap menguras stamina dari tubuh saya yang hanya terbuat dari daging, darah dan tulang ini.

Hari ini langkah saya agak goyah, muka saya agak pucat, namun secara rohaniah, Alhamdulillah,  saya tidak kurang suatu apapun.

Ada perasaan yang tidak sepenuhnya saya mengerti dan dapat diuraikan terhadap bangunan suci Masjidil Haram dengan Ka’bah, kubus kosong terbuat dari batu yang terletak di tengahnya, perasaan cinta yang aneh. Akan tetapi, seperti dikemukakan intelektual Iran Dr. Ali Shariati, bangunan-bangunan tersebut hanyalah “penunjuk jalan”, sebagai “benchmark”.

“Dan Allah adalah tujuan perjalanan” (Al-Qur’an, S 24:42).

Pagi ini sebelum shubuh kami bersama pak Ustadz sudah berada di pelataran thawaf Masjidil Haram, menjalani fase terakhir, melakukan thawaf ifadlah dan sa’i haji. Hari ini kami tidak lagi memakai pakaian ihram, tetapi secara prinsip kami masih berihram. Sebentar lagi secara fisik status ihram tersebut akan berakhir.

Secara fisik saya tidak sesegar di hari pertama kali kami datang dan melaksanakan thawaf umrah haji. Pagi ini langkah saya agak goyah dan wajah saya agak pucat. Karena itu pada saat berthawaf saya mendapat perhatian dan keprihatinan yang agak berlebihan dari isteri saya Kur dan rekan-rekan sesama jemaah.

Pak Chaidir, lelaki asal Maninjau yang santun itu berthawaf di sebelah kiri saya dan sebentar-bentar menoleh kepada saya. “Ente jangan melihat ke luar, tetapi ke dalam (maksudnya ke arah Ka’bah) ,” tegur pak Ustadz.

Kur berthawaf dengan tangan yang satu memegang kencang-kencang baju seorang jemaah, sedangkan tangannya yang lain memegang tangan saya dan sebentar-sebentar mengawasi saya.

“Ibu kok keder banget sih!” tegur pak Ustadz melihat cara Kur berthawaf yang agak “aneh” tersebut.

Dengan perlahan saya tarik tangan Kur, dan kami kembali berthawaf sembari berpegangan tangan. Guna menghemat tenaga, saya berusaha melangkah seringan mungkin dan bergerak ke depan dengan memanfatkan dorongan dari jemaah yang berthawaf  di belakang.

Setelah berthawaf beberapa putaran, kami mendengar azan shubuh. Kami berhenti berthawaf, dan kemudian membentuk saf dengan ruang yang sangat sempit sehingga waktu sujud kami harus melakukannya dengan menyurukkan kepala kami di sela-sela badan jemaah satu dengan jemaah yang lain yang ada di depan kami.

Selesai shalat kami meneruskan thawaf kembali sembari berpegangan tangan sampai selesai.

Alhamdulillah, sekalipun awalnya langkah saya agak goyah, ternyata akhirnya saya dapat menyelesaikan thawaf sebanyak tujuh putaran itu dengan tetap tegak dan tegar.

Ketika berkumpul kembali dengan rombongan dan siap-siap untuk bersa’i, pak Ustadz bertanya kepada seorang jemaah yang terlihat masih segar bugar: ”Sudah thawaf belum?”

“Belum ‘stad,” jawabnya anteng. Saya lihat pak Ustadz terkejut dan bertanya: “Lho, kok belum?”

“Kan belum ada instruksi,” jawabnya lagi dengan enteng. Saya dengar pak Ustadz beristigfar lalu mengajak  jemaah tersebut membaurkan diri kepada jemaah yang sedang berthawaf.

Begitulah kondisinya, beberapa jemaah sangat tergantung kepada ustadz pembimbing. Sesutu hal yang sangat tidak semestinya terjadi.

Setelah beristihat sejenak, kami melanjutkannya dengan sa’i, yang  juga dapat kami laksanakan dengan lancar dan mengakhirinya dengan lengkap di Marwah.

Dan tibalah saat bertahallul qubra, mengakhiri secara lahiriah semua rukun dan wajib haji sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW,  yang ditandai dengan pemotongan rambut.

Tibalah saatnya, kalau kami suka, untuk menambah “Haji” dan “Hajah” di depan nama kami. Tetapi jelas, bukan itu tujuan utama kami menempuh jarak ribuan kilometer meninggalkan keluarga dan pekerjaan berhari-hari.

Dengan bertahallul qubra, maka gugurlah semua larangan ihram, yaitu: mencukur rambut, memotong kuku, memakai wangi-wangian, memakai pakaian biasa, membunuh binatang buruan (semuanya gugur setelah bertahallual awal) dan melakukan hubungan suami-isteri.

Karena tidak melihat seorangpun jemaah dari kafilah kami, saya mendekati seorang jemaah haji Indonesia yang juga baru selesai bersa’i dan minta tolong dia memotongkan rambut saya sedikit—sebelum menemukan tukang cukur—lalu dia pun minta tolong saya memotong rambutnya. Kemudian saya memotong pula rambut Kur sedikit. Kami tidak sadar bahwa kami masih berada di salah satu bagian Masjid. Seorang petugas menghampiri dan menegur kami dengan gusar, lalu menyuruh saya memunguti rambut yang berserakan di lantai, yang segera saya kerjakan dan kemudian membuangnya ke tempat sampah.

Setelah itu kami berjalan keluar masjid untuk mencari tukang cukur “amatir”, yang konon banyak berkeliaran di sekitar Marwah untuk mencukur habis rambut saya seperti yang saya niatkan dari semula. Tetapi yang saya temukan adalah sejumlah kios-kios cukur orang India. Kami lalu menuju ke sana.

Ada cerita-cerita lucu berkenaan dengan tukang-tukang cukur “amatir” ini. Karena salah komunikasi, tidak jarang maksud hati hendak bercukur pendek, eh sang tukang cukur langsung mulai main babat habis. Mau diteruskan awak tak suka, mau dihentikan ditengah jalan, masak mau jadi haji “punk?”. Tetapi ada juga haji “punk terpaksa”. Soalnya ketika sedang asyik bercukur, tiba-tiba pak tukang cukur membenahi peralatannya, termasuk kursi lipat yang sedang digunakan ‘klien’-nya, lalu kabur. Rupanya dia melihat ada askar yang akan mengusirnya mendekat, karena kegiatan tukang cukur PKL tersebut merupakan kegiatan “illegal”. Tinggallah wak haji kita terbengong-bengong dengan kepala gundul sebelah.

Di kios cukur India tersebut kami bertemu dengan mas Andi yang juga berniat mencukur habis rambutnya. Tarif cukur di Kios Cukur India itu 5 riyal untuk cukur pendek dan 10 riyal untuk cukur habis. Tarif yang tidak terlalu murah untuk ukuran Indonesia. Tetapi karena saat itu “demand” lebih besar daripada “supply” suka-tak suka, konsumen harus rela membayar tarif yang ditetapkan penjual.

Selesai bercukur mas Andi sengaja mengantar kami pulang ke pemondokan. Ketika itu kami belum tahu tempat menunggu “angkot” yang rutenya ke arah pemondokan kami di Hafair, sehingga kami pulang dengan berjalan kaki. Mula-mula ikut bersama kami pak Tutu dan isterinya bu Komara. Tetapi di tengah jalan pak Tutu dan isteri memisahkan diri karena ingin membeli sesuatu. Selesai mengantar kami, mas Andi kembali ke Masjidil Haram guna menjemput mbak Dewi isterinya yang masih berada di Masjid untuk melakukan shalat dhuha.

Mas Andi, laki-laki asal Soppeng yang tampan itu terlihat sangat serasi dengan mbak Dewi isterinya yang berdarah Jawa-Sunda itu. Serasi dalam rupa, serasi dalam ketaatan dan kerajinan beribadah dan serasi dalam kesantunan terhadap sesama jemaah.

Siang harinya saya Jumatan dengan pak Tukiman dan mas Juliansyah di Masjid yang terletak sekitar 200 meter dari pemondokan kami.

Petangnya di pemondokan kami terdapat kesibukan yang agak luar biasa. Jemaah haji Indonesia dari salah satu kloter awal terlihat sedang berkemas-kemas untuk pulang ke Tanah Air. Besok petang setelah melakukan thawaf wada atau thawaf perpisahan, mereka akan masuk “madinatul hujjaj”, asrama debarkasi haji Indonesia di Jeddah dan lusa akan terbang kembali  ke Indonesia.

Sedangkan kafilah kami sebagai jemaah yang termasuk kloter terakhir, dijadwalkan baru akan kembali ke Tanah Air tanggal 15 Maret, artinya 28 hari lagi sejak hari ini. Sebanyak sembilan hari di antaranya akan digunakan untuk berziarah dan melakukan arbain, shalat wajib 40 waktu berurutan di Masjid Nabawi di Madinah al-Munawarah, saat yang sangat ditunggu-tunggu oleh semua jemaah, termasuk kami tentunya.

Di Masjid Nabawi pula terdapat makam Al-Mustafa Muhammad Rasulullah Sang Junjungan, Salallahu ‘Alaihi Wassalam….

(bersambung) 

 

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment