Advertising

Friday, 28 October 2011

Re: [wanita-muslimah] TED - Mengapa hanya sedikit pemimpin perempuan?

Pak DWS, bisa tolong di copy paste bhs inggrisnya? Kok kayaknya ada yg sulit kungertiin di terjemahannya. Tks
Salam
Mia
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

-----Original Message-----
From: Dwi Soegardi <soegardi@gmail.com>
Sender: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Date: Fri, 28 Oct 2011 12:44:12
To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
Reply-To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Subject: [wanita-muslimah] TED - Mengapa hanya sedikit pemimpin perempuan?

Dari TED Talks Desember 2010 oleh Sheryl Sandberg, COO of Facebook.
Simak tiga pesan Sandberg bagaimana perempuan dapat meraih posisi pemimpin.

http://www.ted.com/talks/lang/eng/sheryl_sandberg_why_we_have_too_few_women_leaders.html
(lengkap dengan video, audio, dan transkrip dalam berbagai bahasa)

Kita yang berada di ruangan ini hari ini, mari mengakui kalau kita ini
beruntung. Kita tidak hidup di dunia yang sama dengan dunia ibu kita,
nenek kita, di mana pilihan karir untuk wanita terbatas. Dan kalau
Anda berada di sini hari ini, kebanyakan dari kita tumbuh di dunia di
mana kita mempunyai hak asasi. Hebatnya, kita masih tinggal di dunia
di mana sementara wanita tidak memilikinya. Tapi di luar itu, kita
masih menghadapi masalah, dan ini masalah nyata. Masalahnya begini:
para wanita tidak mencapai posisi puncak dalam profesinya di mana pun
di dunia. Data memaparkan hal ini dengan jelas. Dari 190 kepala
negara, sembilan yang wanita. Dari semua anggota parlemen di dunia, 13
persen adalah wanita. Di sektor swasta, wanita di posisi puncak,
posisi eksekutif, komisaris, paling tinggi 15, 16 persen. Angka ini
tidak berubah sejak 2002 dan bergerak ke arah yang salah. Bahkan di
dunia nirlaba, yang sering kita lihat sebagai bidang yang dipimpin
lebih banyak wanita, wanita di posisi puncak: 20 persen.

Kita juga menghadapi masalah lain, bahwa wanita menghadapi pilihan
yang lebih sulit antara sukses profesional dan kepuasan pribadi. Studi
di Amerika baru-baru ini menunjukkan bahwa dari manajer senior yang
menikah, dua-pertiga dari pria menikah memiliki anak tapi hanya
sepertiga dari wanita menikah memiliki anak. Dua tahun lalu, sewaktu
saya di New York, sedang mengusung suatu transaksi, saya tiba di
kantor mewah perusahaan ekuitas di New York. Anda bisa bayangkan. Saya
mengikuti rapat yang dijadwalkan untuk 3 jam. Setelah dua jam ada
kebutuhan untuk jeda biologis, jadi semua orang berdiri. Lalu partner
yang memimpin rapat mulai terlihat sangat malu. Akhirnya saya sadari
bahwa ia tidak tahu di mana toilet wanita di kantornya. Jadi saya
mulai mencari-cari kotak bekas pindahan, siapa tahu mereka baru
pindah, tapi tak ada apa-apa. Saya tanya, "Apakah Anda baru pindah ke
kantor ini?" Beliau menjawab, "Tidak, kami di sini sudah setahun."
Kata saya, "Apakah maksud Anda saya ini satu-satunya wanita yang
datang mengusung transaksi di sini dalam setahun ini?" Lalu beliau
menatap saya dan menjawab, "Ya. Atau mungkin Anda satu-satunya yang
butuh ke kamar mandi."

(Tawa)

Jadi pertanyaannya adalah, bagaimana kita akan menyelesaikan masalah
ini? Bagaimana kita mengubah angka di pucuk pimpinan? Bagaimana kita
membuat perbedaan? Saya ingin menegaskan, bahwa saya berbicara soal
ini -- soal bagaimana wanita bisa tetap bekerja -- karena saya
berpikir inilah jawabannya. Di antara pegawai berpenghasilan tinggi,
mereka yang mencapai puncak -- 500 eksekutif edisi majalah Fortune,
atau yang setara di industri lain -- saya yakin masalahnya adalah
karena wanita berhenti bekerja. Hal ini sudah banyak dibicarakan, soal
waktu kerja fleksibel, mentoring dan pelatihan untuk wanita. Saya
tidak akan berbicara mengenainya, walaupun itu semua penting. Saya
ingin menyoroti apa yang bisa kita lakukan sebagai perorangan. Pesan
apa yang perlu kita sampaikan pada diri sendiri? Pesan apa yang kita
sampaikan pada wanita yang bekerja? Pesan apa yang kita sampaikan pada
anak perempuan kita?

Dari awal ini, saya ingin meluruskan bahwa pidato ini tidak bermaksud
menghakimi. Saya tidak punya jawaban yang benar; bahkan tidak untuk
diri saya sendiri. Saya meninggalkan San Francisco, tempat tinggal
saya, hari Senin. Saya bersiap mengejar pesawat untuk konferensi ini.
Lalu anak perempuan saya, tiga tahun, waktu saya antar ke taman
bermain, tiba-tiba memeluk kaki saya sambil menangis, "Ibu, jangan
naik pesawat." Ini sulit. Terkadang saya merasa bersalah. Saya tidak
kenal satu pun wanita, apakah mereka di rumah ataupun bekerja, yang
tidak pernah merasa begitu sesekali. Jadi saya bukan berkata bahwa
tetap bekerja adalah tepat bagi semua orang.

Bicara saya hari ini lebih mengenai apa pesannya jika Anda ingin tetap
bekerja. Dan saya kira ada tiga pesan. Pertama, ikut duduk di meja.
Kedua, jadikan partner Anda partner sungguhan. Dan ketiga, jangan
pergi sampai Anda benar-benar pergi. Nomor satu: ikut duduk di meja.
Dua minggu lalu di Facebook, kami kedatangan pejabat pemerintahan
senior. Beliau datang untuk menemui eksekutif dari Silicon Valley
[pusat industri teknologi informasi]. Semua orang duduk di meja. Lalu
ada dua wanita yang turut dalam rombongan, yang cukup senior
jabatannya. Saya katakan pada mereka, "Mari ikut duduk di meja."
Kemudian mereka duduk di sisi ruangan. Waktu saya masih di universitas
tahun terakhir, saya mengambil mata kuliah Sejarah Intelektual Eropa.
Tidakkah Anda suka hal-hal begitu di universitas. Seandainya saya
masih di sana. Saya mengambil matakuliah itu dengan teman kos saya,
Carrie, yang sangat pandai dalam studi literatur dan akhirnya menjadi
pakar literatur cemerlang. Dan saudara lelaki saya -- orangnya pandai,
pemain polo air dan calon mahasiswa kedokteran, mahasiswa tahun kedua.

Kami bertiga mengambil kelas ini. Carrie membaca semua buku dalam
bahasa asli Yunani dan Latin dan menghadiri semua kuliah. Saya membaca
semua buku berbahasa Inggris dan menghadiri sebagian besar kuliah.
Saudara lelaki saya sibuk; dia membaca satu buku dari 12, menghadiri
dua kuliah, lalu datang ke kamar kami dua hari sebelum ujian, mencari
bimbingan belajar. Kami bertiga pergi ujian bersama-sama. Kami ikut
ujian selama 3 jam dengan buku catatan biru. Keluar ujian, kami saling
berpandangan dan bertanya, "Bagaimana ujiannya tadi?" Carrie bilang,
"Sepertinya saya tidak menarik kesimpulan utama dari dialektika
Hegel." Dan saya bilang, "Coba saya tadi menghubungkan teori
kepemilikan John Locke dengan filsuf lain setelahnya." Lalu saudara
saya berkata, "Aku dapat angka teratas di kelas." "Kamu dapat angka
teratas di kelas? Kamu tak tahu apa-apa."

Masalah dalam cerita ini adalah bahwa ia menunjukkan apa kata data:
wanita secara sistematis menganggap rendah kemampuan mereka sendiri.
Kalau Anda menguji laki-laki dan perempuan, lalu Anda tanyakan
pertanyaan obyektif seperti nilai IP, yang laki-laki cenderung
menjawab lebih tinggi, yang wanita cenderung menjawab lebih rendah.
Wanita tidak bernegosiasi untuk mereka sendiri. Penelitian dalam dua
tahun terakhir di antara mereka yang baru masuk kerja setelah lulus
universitas menunjukkan bahwa 57 persen dari anak-anak lelaki, atau
para pria, maksud saya -- menegosiasikan gaji pertama mereka, dan
hanya 7 persen wanita yang bernegosiasi. Dan yang terpenting,
laki-laki menganggap sukses itu berkat mereka sendiri, sementara
wanita menganggap sukses itu berkat faktor luar. Kalau Anda tanya para
pria mengapa mereka berhasil, mereka akan bilang, "Saya hebat.
Jelas-jelas. Kenapa Anda pakai bertanya?" Kalau Anda tanya para wanita
mengapa mereka berhasil, mereka akan bilang mereka dapat bantuan,
mereka beruntung, mereka bekerja keras. Mengapa hal ini penting? Wah,
ini penting sekali karena tak seorang pun mencapai posisi tinggi
dengan duduk di samping, tidak di meja. Tidak ada yang mendapat
promosi kalau mereka tidak merasa pantas mendapat sukses, atau kalau
mereka tidak memahami kesuksesan sendiri.

Andai jawabannya mudah. Andai saya bisa katakan pada semua wanita
muda, semua wanita luar biasa ini, "Percayalah pada diri sendiri, dan
bernegosiasilah. Miliki keberhasilan Anda." Andai saya bisa bilang itu
pada anak perempuan saya. Tapi tidak sesederhana itu. Karena data
menunjukkan, di atas semuanya ada satu hal, bahwa sukses dan disukai
orang banyak berkorelasi positif dengan laki-laki dan berkorelasi
negatif dengan perempuan. Dan semua orang mengangguk, karena kita tahu
ini benar.

Ada penelitian bagus yang menunjukkan hal ini. Ada studi terkenal dari
Harvard Business School tentang wanita bernama Heidi Roizen. Ia
seorang operator di perusahaan di Silicon Valley. Dia memanfaatkan
kenalannya untuk menjadi penanam modal yang sukses. Tahun 2002 --
belum begitu lama berselang -- seorang profesor di Universitas
Columbia menamai studi kasus itu Heidi Roizen. Profesor ini membagikan
studi kasus tadi ke dua kelompok mahasiswa. Beliau mengubah hanya satu
kata: Heidi (wanita) menjadi Howard (pria). Tapi satu kata itu yang
membuat perbedaan besar. Profesor ini lantas mensurvei mahasiswanya.
Kabar baiknya adalah para mahasiswa, baik pria maupun wanita,
menganggap Heidi dan Howard sama-sama kompeten, dan itu bagus. Kabar
buruknya adalah, semua orang menyukai Howard. Orangnya asyik, kami
ingin bekerja untuknya, kami ingin ikut memancing dengannya. Tapi
Heidi? Tidak begitu yakin. Ia sedikit egois. Agak politis. Kami tidak
yakin ingin bekerja untuknya. Di sinilah keruwetannya. Kita harus
bilang pada anak perempuan dan kolega kita, kita harus bilang pada
diri sendiri, untuk percaya kita dapat nilai A, untuk meraih promosi,
untuk duduk di meja. Dan kita harus melakukannya di dunia di mana dari
mereka akan harus ada pengorbanan meskipun tidak demikian bagi saudara
lelaki mereka.

Yang paling menyedihkan adalah bahwa hal ini sulit untuk diingat. Saya
akan berbagi satu cerita, yang sungguh memalukan. Tapi saya kira ini
penting. Baru-baru ini di Facebook saya berbicara di hadapan sekitar
seratus pegawai. Tak lama setelah itu ada wanita muda yang bekerja di
sana duduk dekat meja saya, ingin berbicara dengan saya. Baiklah, kata
saya. Lalu ia duduk dan kami mengobrol. Wanita ini berkata, "Saya
belajar sesuatu hari ini. Saya belajar bahwa saya perlu mengangkat
tangan." "Bagaimana maksudmu?" tanya saya. Ia berkata lagi, "Waktu Ibu
sedang berbicara, Ibu mengatakan Ibu akan menjawab dua pertanyaan
lagi. Saya mengangkat tangan, seperti orang lain, lalu Ibu menjawab
dua pertanyaan. Lalu saya menurunkan tangan, dan saya perhatikan
wanita lain berbuat sama. Tapi Ibu terus menanggapi pertanyaan baru,
hanya dari yang laki-laki." Saya jadi berpikir, wah, kalau saya saja
-- yang peduli akan hal ini, tentunya -- berbicara soal ini -- kalau
selama pembicaraan ini, saya tidak melihat tangan para pria masih
terangkat, dan tangan para wanita juga masih terangkat, seberapa
baikkah kami sebagai manajer di perusahaan dan organisasi dalam
memperhatikan bahwa pria menggapai kesempatan lebih daripada wanita?
Kita harus mendorong wanita untuk duduk di meja.

(Tepuk tangan)

Pesan nomor dua: jadikan partner Anda partner sungguhan. Saya yakin
kita sudah lebih maju soal ini di lingkungan kerja dibandingkan di
rumah. Data menunjukkan hal ini dengan jelas. Kalau wanita dan pria
bekerja purna waktu dan mempunyai anak, wanita mengerjakan dua kali
lebih banyak pekerjaan rumah dibanding pria. Dan wanita mengerjakan
tiga kali lebih banyak pekerjaan mengurus anak dibanding pria. Jadi
wanita punya tiga, atau dua pekerjaan, sementara pria punya satu. Anda
pikir siapa yang berhenti bekerja ketika harus ada yang lebih banyak
di rumah. Penyebabnya sangat rumit, dan saya tak punya waktu untuk
membahasnya. Menurut saya, nonton bola hari Minggu dan kemalasan
bukanlah penyebabnya.

Saya rasa penyebabnya lebih rumit. Saya rasa sebagai masyarakat kita
lebih mendorong anak lelaki untuk sukses dibanding kita mendorong anak
perempuan. Saya kenal beberapa pria yang tinggal di rumah dan
melakukan pekerjaan rumah untuk menyokong istri berkarir. Dan itu
sulit. Waktu saya mengikuti acara untuk ibu dan anak saya melihat
seorang ayah. Saya perhatikan ibu-ibu lain tidak bermain dengan si
ayah. Dan itu suatu masalah, karena kita harus membuat pekerjaan rumah
ini sama penting. karena ini pekerjaan paling sulit di dunia --
bekerja di rumah bagi laki-laki dan wanita bila kita ingin
menyetarakan posisi supaya wanita bisa tetap bekerja. (Tepuk tangan)
Menurut penelitian, rumah tangga dengan pendapatan setara dan tanggung
jawab setara menurunkan angka perceraian hingga separuh. Dan kalau itu
masih belum juga memotivasi Anda semua, masih ada kelebihan lain --
bagaimana cara saya mengutarakannya? -- mereka juga "mengenal satu
sama lain" dalam arti seperti di kitab suci.

(Riuh rendah)

Pesan nomor tiga: jangan pergi sebelum Anda benar-benar pergi. Saya
rasa ada ironi mendalam di sini bahwa tindakan yang diambil wanita --
dan saya sering lihat ini terjadi -- meskipun tujuannya adalah tetap
bekerja, justru berakhir dengan meninggalkan pekerjaan. Begini
terjadinya: kita semua sibuk; semua orang sibuk; si wanita sibuk. Lalu
ia mulai berpikir soal punya anak. Sejak dia mulai berpikir soal
mempunyai anak, ia mulai berpikir untuk menyediakan ruang bagi anak
itu. "Bagaimana saya bisa menyempatkan ini di tengah kesibukan lain?"
Dan sejak saat itu, ia tidak lagi mengangkat tangan, ia tidak lagi
mencari promosi, tidak lagi mengambil proyek baru, ia tidak lagi
berkata, "Saya ingin mengerjakan itu." Ia mulai menjauh. Masalahnya
adalah -- katakanlah pada hari itu ia mengandung -- sembilan bulan
kehamilan, tiga bulan cuti hamil, enam bulan menarik napas. Loncat ke
depan dua tahun. Lebih seringnya, seperti yang saya lihat, wanita
mulai memikirkan ini jauh lebih awal -- waktu mereka bertunangan,
waktu mereka menikah, waktu mereka mulai berpikir ingin punya anak,
yang sebenarnya bisa makan waktu lama. Seseorang datang menemui saya
tentang hal ini. Saya perhatikan, wanita ini tampak masih muda. Saya
bertanya, "Jadi kamu dan suami berpikir ingin punya bayi?" Jawabnya,
"Oh tidak, saya belum menikah." Dia bahkan tidak punya pacar. Saya
katakan, "Kamu berpikir soal ini jauh terlalu awal."

Tapi intinya adalah, apa yang terjadi begitu kita mulai menjauh
diam-diam? Semua orang yang pernah mengalaminya -- saya bisa bilang,
begitu kita punya anak di rumah, sebaiknya kita punya pekerjaan bagus
untuk kembali, karena meninggalkan anak di rumah itu sulit. Pekerjaan
kita harus menantang, harus mendatangkan kepuasan. Kita harus merasa
kita membuat perbedaan. Kalau dua tahun lalu Anda tidak mengambil
promosi dan pria sebelah yang mengambilnya. Kalau tiga tahun lalu Anda
berhenti mencari kesempatan baru, Anda akan bosan. Karena Anda
seharusnya tetap menginjak pedal gas. Jangan pergi sebelum Anda pergi.
Tinggallah. Injakkan kaki Anda pada pedal gas, sampai hari di mana
Anda harus pergi untuk mengambil jeda demi anak -- lalu barulah Anda
buat keputusan. Jangan membuat keputusan terlalu dini, terutama
keputusan yang Anda pun tidak sadar membuatnya.

Generasi saya, sayangnya, tidak akan mengubah angka di posisi puncak.
Tidak ada perubahan. Kita tidak akan sampai ke titik di mana 50 persen
-- Di generasi saya, tidak akan sampai ada 50 persen (wanita) di
posisi puncak di industri manapun. Tapi saya harap generasi mendatang
bisa. Saya rasa sebuah dunia yang setengah negaranya dan setengah
perusahaannya dipimpin wanita, akan menjadi dunia yang lebih baik. Dan
bukan hanya karena orang akan tahu di mana letak toilet wanita,
walaupun hal itu sangat membantu. Saya rasa dunia seperti itu akan
lebih baik. Saya punya dua anak. Anak laki-laki umur lima tahun dan
anak perempuan umur dua tahun. Saya ingin anak laki-laki saya punya
pilihan untuk bekerja purna waktu atau di rumah. Dan saya ingin anak
perempuan saya punya pilihan untuk tidak hanya berhasil, tapi juga
disukai karena keberhasilannya.

Terima kasih.

(Tepuk tangan)


[Non-text portions of this message have been removed]

------------------------------------

=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
(Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
wanita-muslimah-digest@yahoogroups.com
wanita-muslimah-fullfeatured@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/

0 comments:

Post a Comment