Advertising

Sunday, 4 March 2012

Re: [wanita-muslimah] Tesis Islam Lunak Lebih Laku

 

BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM
 
WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
973 Sejuk dan Keras yang Seimbang
 
Syari'at Islam ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, yaitu sejuk dan keras yang seimbang. Allah SWT adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dalam konteks ini ayat-ayat Al Quran bernada sejuk. Allah SWT adalah Al Qahhar, Maha Gagah Perkasa. Dalam konteks ini ayat-ayat Al Quran bernada keras, seperti contoh ayat yang berikut
:
-- QATLWHM Y'ADZBHM ALLH BAYDYKM WYKHZHM (S. ALTWBT, 9:14), dibaca: qaatiluuhum yu'adzdzibhumuLlaahu biaydiikum wayukhzihim (S. At-taubah), artinya:
-- Perangilah mereka itu niscaya Allah menyiksa mereka dengan tanganmu, dan menghinakan mereka.
Ayat ini ditujukan kepada para agressor yang memerangi ummat Islam.
 
S. At-Taubah adalah satu-satunya Surah dalam Al-Quran yang tidak dibuka dengan Basmalah. Namun ini ditebus oleh S. An-Naml yang mengandung dua Basmalah, satu pada pembukaan Surah dan satu pada ayat 30, sehingga jumlah Basmalah tetap = jumlah Surah, yaitu 114 = 6 x 19. Hubungan S. At-Taubah bernomor 9 dengan S. An-Naml bernomor 27 juga unik yaitu dikontrol oleh angka keterkaitan matematis bilangan 19. Apabila nomor masing-masing Surah dari Surah ke-9 s/d ke-27 disusun secara Deret Hitung: (9+10+11+12+...+24+25+26+27) maka hasilnya adalah 342 = 18 x 19.
 
S. At-Taubah yang tidak dibuka dengan Basmalah, merupakan ciri khas yaitu petunjuk bagaimana bersikap dalam keadaan perang. Bagaimanapun juga Negara Islam Madinah oleh kenyataan sejarah pernah dalam situasi perang yang bersifat defensif, sehingga Allah SWT perlu menurunkan pedoman bersikap dan bertindak dalam situsasi perang. Maka ayat-ayat dalam S. At-Taubah yang menyangkut tentang perang, harus dimaknai dalam konteks situasi dan dalam wilayah perang (Dar al-Harb).
 
Islamic anger at the West is a product of Western oppression of Muslims. Time magazine proclaims that "terrorism is the bitter howl of the victimized." (kemarahan ummat Islam kepada Barat adalah produk tindasan kezaliman Barat atas ummat Islam. Time magazine menyatakan: "terorrisme adalah teriakan pahit dari para korban)
http://frontpagemag.com/Articles/ReadArticle.asp?ID=7966
 
Kita sekarang akrab dengan sebuah lembaga baru yang bernama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Mengapa kita katakan akrab, karena para petingginya sering muncul di layar kaca menjadi "artis". BNPT dibentuk melalui kepres No. 46 tahun 2010, resmi di teken Presiden tanggal 16 Juli 2010. Dan sejak itu menyangkut isu-isu terkait "terorisme" orang-orang BNPT sering tampil di muka media. Ketua BNPT, Ansyad Mbai laksana seorang orator politik, banyak membangun opini dan propaganda yang tendensius dengan sejumlah kepentingan politiknya ketimbang bicara fakta. Sejauh ini belum terbuka di hadapan publik tentang mekanisme kontrol terhadap kerja lembaga BNPT.
 
Hal yang menarik dari BNPT, keseriusannya melakukan langkah "lembut" dibawah payung strategi yang bernama "deradikalisasi". Sebuah strategi bagian dari proyek "kontra-terorisme". Selama ini pendekatan secara keras oleh Densus88 dianggap belum bisa mereduksi dan menghabisi seluruh potensi yang mengarah kepada tindakan "terorisme". Bahkan dianggap belum efektif menyentuh akar persoalan terorisme secara komprehensif. Fasalnya setelah terpidana menjalani hukuman, keluar penjara ada yang tetap radikal, lalu menjadi "teroris" lagi.
 
Strategi yang ditempuh, obyek sasaran jangka panjangnya BNPT yaitu kelompok yang dianggap mengusung ideologi radikal atau fundamentalis. Terkait dengan ini ditempuhlah pendekatan formal, yaitu langkah BNPT menggandeng MUI di akhir 2010 dengan membuat program Halaqah Nasional Penanggulangan Terorisme dan Radikalisme. Acara ini diselenggarakan di enam kota besar Indonesia, meliputi Jakarta (11 Nopember), Solo (21 Nopember), Surabaya (28 Nopember), Palu (12 Desember) dan terakhir di Medan (30 Desember) tahun lalu.
 
BNPT menggandeng MUI, maksudnya ini adalah Proyek BNPT, namun dikesankan kepada publik bahwa penggagas acara ini diatas namakan MUI Pusat dan Forum Komunikasi Praktisi Media Nasional (FKPMN) yang di ketuai oleh Wahyu Muryadi (Pimred Majalah Tempo). Ketika agenda ini berlangsung, fakta berbicara lain, hampir disemua tempat mendapatkan resistensi dari kalangan ulama dan tokoh masyarakat yang cukup kritis, karena melihat banyak kesenjangan dan kejanggalan antara "niat baik" BNPT dengan fakta dilapangan yang membuat umat Islam merasa terzalimi.
 
Sebenarnya strategi "deradikalisasi" BNPT yang diarahkan kepada kelompok yang dianggap mengusung ideologi radikal atau fundamentalis, itu ibarat lain yang gatal, lain yang digaruk. Mengapa? Karena seperti dikemukakan di atas bahwa Syari'at Islam ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, yaitu sejuk dan keras yang seimbang. Sehingga jika salah satu dari keduanya diredam akan terjadi kepincangan. Kalau yang sejuk diredam, maka ummat Islam akan menjadi agresif, sebaliknya jika yang keras diredam maka ummat Islam akan jadi loyo. 
 
Jadi strateginya bukan "deradikalisasi" melainkan:
 
Pertama diberikan pemahaman kepada para "teroris" itu bahwa Indonesia ini bukan Dar al-Harb. Dan ulama yang cocok untuk memberikan pengertian kepada mereka bahwa Indonesia ini bukan Dar al-Harb, adalah ulama semacam al-Ustadz KH Abu Bakar Ba'asyir. Sayangnya beliau itu dimusuhi dikriminalisasi.
 
Yang kedua seperti dikutip dari => http://frontpagemag.com/Articles/ReadArticle.asp?ID=7966 di atas: kemarahan ummat Islam kepada Barat adalah produk tindasan kezaliman Barat atas ummat Islam: "terorrisme adalah teriakan pahit dari para korban." Maka kebijakan politik luar negeri Eksekutif janganlah "bermesrahan" dengan Barat. Janganlah pakai pradigama ucapan legendaris: "I love the United States, with all its faults. I consider it my second country," yaitu jawaban SBY sewaktu ditanyai
oleh the International Herald Tribune. WaLlahu a'lamu bishshawab.
 
*** Makassar, 8 Mei 2011
  [H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/2011/05/973-sejuk-dan-keras-yang-seimbang.html
 
 
 
 
----- Original Message -----
From: Sunny
Sent: Monday, March 05, 2012 1:56 AM
Subject: [wanita-muslimah] Tesis Islam Lunak Lebih Laku

 

Refl: Ada benarnya, karena secara umum orang tidak mau memakai nama Allah yang dianggap Maha Berkasih Sayang untuk membenarkan perbuatan mereka yang merugikan sesama manusia mahluk ciptaanNya. Bagaimana pendapat Anda?
 
 
 
 
Tesis Islam Lunak Lebih Laku
 
 
Novriantoni Kahar, PENGAMAT SOSIAL-KEAGAMAAN, DOSEN UNIVERSITAS PARAMADINA Menurut Greg Fealy, sekalipun banyak ekspresi Islam yang garang dan galak-galak, Islam yang lebih lunak tetaplah yang paling laku di Indonesia. "Soft Islam sales," katanya.
Bagi generasi tua yang sudah melihat dinamika IsB lam sejak era Orde Baru, mungkin tak sulit mem buktikan bahwa Islam Indonesia dalam satu dekade terakhir sudah jauh berubah. Tidak perlu menggunakan mikroskop, perubahan itu secara kasatmata dapat dilihat dengan mudah. Secara umum, umat Islam Indonesia kini tampak lebih religius. Pengajianpengajian keagamaan tampak semarak di mana-mana.
Program-program keagamaan di televisi ataupun radio seperti bukan lagi pelengkap-penderita, melainkan telah mampu menarik iklan miliaran rupiah. Produkproduk keagamaan, seperti buku agama, pakaian, obat-obatan, bahkan jasa perbankan, laris juga di pasar. Pendek kata, Islam tampak makin merasuki dan membentuk kehidupan sehari-hari orang Indonesia. Namun perkembangan itu juga disertai beberapa kegalauan dan kekhawatiran. Terutama soal gelombang pasang konservatisme dan ekstremismenya. Dalam satu dekade terakhir, beberapa ketegangan dan bahkan konflik bernuansa agama juga menjadi pemandangan Indonesia. Kebebasan sipil pelan-pelan makin dibatasi lewat berbagai cara. Preman, yang di masa Orba bertindak dengan motif sekuler belaka, kini lihai menggunakan motif agama. Syiar-syiar kebencian dan mobilisasi massa kebencian dan mobilisasi massa untuk pengganyangan atas nama agama ramai juga.
Jangan pula lupa, terorisme pun ikut menarik minat anak-anak bangsa. Perda bernuansa agama, alamak..., dia pun tak ingin ketinggalan kereta.
Akibatnya, potret Islam Indonesia yang tersenyum (smiling Islam) kini pun tampak berubah dan berulah.
Ini memicu antropolog Amerika, Robert Hefner, untuk menulis soal uncivil Islam,"Islam yang tidak berkebudayaan", setelah sebelumnya melukiskan indahnya civil Islam. Impian Sukarno tentang "ketuhanan yang berkebudayaan"pelan-pelan menjadi "ketuhanan yang bermusuhan dengan kebudayaan". Kekhususan Islam Indonesia, yang konon mengalami pribumisasi dengan kultur lokal, kini semakin ke Timur Tengah. Di dalam negeri, aparatur negara, seperti Menteri Agama, tampak tak mempunyai visi tentang toleransi beragama.
Di luar negeri, Islam Indonesia mengisi bab studi terorisme dan keamanan negara. Semakin kentara aspek lahiriah Islam, seperti makin dangkal pula aspek batinnya.
Kabar baik dari Fealy Kesan di atas dapat dimaklumi mengingat sedikitnya studi yang menyeluruh dan mendalam tentang potret Islam Indonesia dari berbagai aspeknya. Namun kini, suatu upaya untuk memotret Islam Indonesia secara utuh mulai dirintis beberapa sarjana. Di antaranya lewat buku yang disunting Greg Fealy dan Sally White, Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (2008). Dalam peluncuran edisi Indonesia buku itu, di Freedom Institute, Kamis (16 Februari) lalu, Fealy--Indonesianis asal Australia--itu membawa kabar baik. Menurut dia, sekalipun banyak ekspresi Islam yang garang dan galak-galak, Islam yang lebih lunak tetaplah yang paling laku di Indonesia."Soft Islam sales,"katanya.
Tesis Fealy itu didasarkan pada studi beberapa sarjana yang menyumbang dalam buku yang disuntingnya itu. Di dalamnya, beragam eksepsi Islam Indonesia, mulai upaya untuk menunjukkan kesalehan personal sampai ekspresi sosial, politik, dan hukum agama, dievaluasi menyeluruh. Tidak ketinggalan pula soal perkembangan ekonomi Islam, layanan jasa keuangan mikro-Islam, dan upaya komodifikasi Islam secara luas. Intinya, Fealy dan kawan-kawan ingin menunjukkan bahwa Islam Indonesia, sekalipun mengalami fasefase ketegangan, kekerasan, konflik, dan terorisme, tak bisa direduksi hanya sekadar itu saja.
Ada bentuk-bentuk ekspresi keislaman yang lebih lunak--seperti dakwah-tainment, ziarah kubur, sufisme perkotaan, semarak wacana gender, maraknya pencarian fatwa syekh Google--yang jauh lebih laku di pasar Islam Indonesia. Dalam proses memperdagangkan dan memasarkan berbagai bentuk ekspresi Islam di atas, kaidah yang berlaku tetaplah hukum pasar pada galibnya. Para agen-agen agama mau tak mau harus melunakkan dan memoles produk yang mereka tawarkan agar memikat di hati konsumen. Saking sengitnya persaingan pemasaran di sektor ini, aspek kemasan tampak menjadi sangat penting, bahkan lebih penting dari isinya. Karena itu, tidak mengherankan jika para dai televisi berorasi seperti penjual obat jalan an, tiada lebih. Bahkan sebagian, ya, mirip pelawak dengan nilai tambah kutipan ayat, hadis, atau hikmah-hikmah kehidupan.
Dalam pandangan yang kritis, gejala ini menyerupai proses banalisasi dan pendangkalan agama. Namun, dalam kompetisi ini, yang berkuasa sesungguhnya bukanlah agenagen agama itu, melainkan jemaah dan pemirsa mereka.
Dan jika berpegang pada tesis Fealy, kita terpaksa mafhum belaka. Fenomena komodifi belaka. Fenomena komodifikasi agama umumnya, Islam khususnya, tak hanya berhasil menjadikan religiositas sebagai bagian dari budaya popular, tapi juga ikut menyukseskan upaya pelunakan agama. Konversi seorang ustad--umpamanya dari aktivis Islam keras menjadi selebritas yang aduhai lunak--dalam konteks ini harus disyukuri, tinimbang hijrahnya seorang selebritas ke ranah sokongan premanisme berjubah agama.
Arus balik Selain "tesis Islam lunak itu lebih laku", kabar baik potret Islam Indonesia lainnya yang digambarkan Fealy dan kawan-kawan adalah wujudnya semacam "proses normalisasi"kehidupan beragama yang juga terjadi dalam masyarakat Indonesia. Ini tampak jelas di dalam studi Robin Bush tentang perkembangan perda-perda bernuansa agama yang sempat naik pamor dan menjamur dalam sepuluh tahun terakhir. Kabar baiknya, fenomena ini kini mungkin telah mencapai puncaknya, karena dalam lima tahun terakhir sudah tak ada lagi inovasi dan produksi baru yang disebut perda syariah itu.
Studi Bush dalam hal ini menunjukkan bahwa, di banyak tempat, terbitnya perda-perda keagamaan lebih didorong kepentingan politik, upaya menutupi korupsi, dan performa pemerintahan yang buruk. Kini, masyarakat yang mungkin sudah melewati masa pubertas beragamanya mulai tercerahkan. Mereka sadar, jauh lebih sulit bagi pemerintah daerah untuk mengeluarkan perda larangan keluar malam tanpa mahram bagi perempuan, ketimbang mencarikan solusi sosialekonomi bagi munculnya pelacuran. Demikianlah tesis Fealy dan kawan-kawan.
Meski demikian, validitas tesis ini mungkin masih harus diverifikasi dengan tiga hal ini. Pertama, efektifnya proses deradikalisasi para jihadis Indonesia. Kedua, semakin berkurangnya syiar kebencian dan mobilisasi massa yang memicu ketegangan antar dan intraagama. Ketiga, semakin sempitnya ruang ekspresi dan ekspansi industri kekerasan yang digerakkan premanisme berbensin agama.
Jika ketiga hal di atas tunai dalam waktu dekat ini, kita baru dapat mengatakan bahwa Fealy telah kafah dan sempurna dengan tesisnya. Selagi itu masih jauh, "tesis Islam lunak"sepertinya baru mewakili dua pertiga, atau malah setengah saja, dari potret Islam Indonesia.

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment