Advertising

Thursday 1 March 2012

[wanita-muslimah] Judicial Review Pasal 43 (1) UU No. 1/1974: Laksana Pisau Bermata Dua Bagi Kaum

 

Judicial Review Pasal 43 (1) UU No. 1/1974: Laksana Pisau Bermata Dua Bagi Kaum Wanita Oleh : Rahmawaty

Prolog: Tulisan ini merupakan tulisan seorang sahabat baik saya sebagai tanggapan atas tulisan saya yang berjudul "Halalnya 'Anak Haram'." yang saya posted pada 22 Februari 2012 yang lalu. Tulisan saya tersebut mendapat berbagai tanggapan dari beberapa sahabat-sahabat yang tersebar di penjuru tanah air maupun di luar negeri. Tidak hanya tanggapan yang diberikan melalui komentar facebook ini saja, tetapi ada juga yang mengirimkan tanggapannya secara pribadi melalui BlackBerry message dan juga melalui inbox. Salah satu tanggapan yang di sampaikan melalui inbox adalah tulisan yang siap anda baca saat ini. Setelah kami diskusi beberapa saat ternyata saranku untuk dituliskan secara lebih utuh pendapatnya dapat diterima. Untuk menghidupkan budaya menulis dan menyampaikan pendapat serta saling menghargai maka tulisan saya ini saya postingkan di sini. Tentunya sudah atas persetujuan yang bersangkutan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan kita semua. Mohon saran dan kritiknya dari sahabat tercinta. Selamat membaca. [Akung Krisna]

***Tergelitik dengan tulisan dari salah seorang teman di dunia maya, saya ingin menuliskan beberapa hal tentang judcial review tersebut yaitu sebuah terobosan baru yang telah dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Keberadaan anak di luar nikah kini diakui oleh hukum, terutama terkait hubungan perdata dengan ayah biologis mereka dengan catatan apabila dapat dibuktikan secara teknologi yang berkembang saat ini seperti tes DNA.

Saya sebenarnya bahagia dan senang dengan keluarnya terobosan tersebut, tetapi yang menggelitik di benak saya adalah bagaimana perlindungan bagi wanita lain yang berstatus "istri sah". Apabila kedua orang tua dari anak tersebut menikah secara agama, tentu sah menurut hukum agama, tetapi belum sah menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia (Pasal 2 : (2) UU no. 1/1974), "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Dalam hal ini yang dimaksud adalah dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) / Catatan Sipil. Kemudian KUA akan menerbitkan buku nikah/akta nikah. Atas dasar inilah berlaku hubungan perdata antara suami, istri dan anak-anak yang terlahir dari perkawinan tersebut.

Menurut pasal 3 UU no.1/1974 : "Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami." (1) Dan pengadilan mengizinkan suami menikah lagi, dalam hal :

1. Apabila istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri,

2. Istri cacat badan / penyakit yang tidak dapat disembuhkan,

3. Istri tidak dapat memberikan keturunan.

Ataupun istri memberikan ijin tertulis untuk suaminya menikah lagi, tetapi wanita mana yang mau `dimadu' dengan ikhlas akan memberikan izin kepada suaminya untuk menikah lagi. Sedangkan sang istri tidak mempunyai kelemahan terhadap tiga syarat yang mengijinkan suami dapat memiliki istri lebih dari satu tersebut.

Kalau dirunut-runut, menurut pendapat pribadi saya mengapa bisa terjadi pernikahan siri, so tentu karena istri sebelumnya tidak mengijinkan sang suami menikah lagi. Dan dilaluilah cara dengan menikah siri. Nah..., dibatas inilah negara memberikan perlindungan bagi kaum wanita yang bernama istri sah dengan kekuatan hukum pasal 43 (1) tersebut, bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dengan demikian sang anak tidak diakui secara perdata oleh negara. Bukankah hal ini negara memberi perlindungan kepada istri sah dan anak-anak yang terlahir dari sebuah perkawinan yang sah menurut hukum positif?

Esensi daripada UU No.1/1974 adalah memberikan perlindungan bagi sebuah perkawinan dan perlindungan bagi seorang istri yang sah dimata hukum.Apabila hanya atas dasar sang anak ingin mempunyai sebuah akta kelahiran saja maka solusinya adalah cukup membuat akta kelahiran hanya dengan mencantumkan nama sang ibu. Jalan lainnya adalah pemerintah menyatakan bahwa "Surat Kenal Lahir" yang dikeluarkan oleh rumah sakit, bidan atau sebagainya mempunyai kedudukan yang sama dengan akta kelahiran.

"Pisau bermata dua" yang dimaksud disini adalah bagi sebagian wanita yang menjadi istri siri seorang lelaki maka dengan pembuktian secara test DNA, anak yang merupakan buah pernikahannya dengan lelaki tersebut mempunyai hubungan perdata dengan sang ayah biologisnya. Walaupun kenyataannya perkawinan tersebut tidak diakui secara sah oleh negara.

Dengan demikian si anak dapat menambahkan nama sang ayah dibelakang namanya. Boleh mencantumkan nama sang ayah di akta kelahirannya, serta mendapatkan hak-haknya sebagai seorang anak sesuai dengan ketentuan hukum perdata. Sedangkan bagi wanita yang bernama istri sah, hal ini membuat luka yang menyakitkan karena si istri sah harus mengakui keberadaan anak yang terlahir dari perkawinan yang tidak dia kehendaki atau tidak dia setujui.

Hilang sudah kebanggaannya terhadap sebuah buku kecil yang bernama "Buku Nikah." Karena keberadaan buku tersebut tidak lagi menjamin haknya sebagai satu-satunya istri dalam arti yang sebenernya. Kalau tidak ada revisi terhadap pasal 43 (1) UU No. 1/1974, maka para istri siri akan gigit jari terhadap hak anak-anaknya dari perkawinan sirinya, sedangkan para istri sah merasa terlindungi hak-haknya secara hukum perdata. Sedangkan bila direvisi, maka para istri siri akan merasa bahagia karena anak-anak dari perkawinan sirinya akan mempunyai hubungan perdata dengan sang ayah (Baca: Terutama masalah hak waris). Sementara para istri sah dipaksa mengakui keberadaan anak hasil pernikahan siri, perzinahan, perselingkuhan suaminya dengan wanita lain. Sungguh menyakitkan!

Dengan adanya judicial review tersebut, menimbulkan beberapa pernyataan dalam hati kecil saya, antara lain :

1. Perlukah seorang suami meminta ijin dari istri atau pengadilan utk menikah lagi?

2. Akankah semakin muncul lebih banyak calon-calon istri siri> (Toh tidak dibutuhkan ijin dari si istri sah lagi karena anaknya akan diakui secara perdata hubungan oleh ayahnya).

3. Akankah lebih banyak lagi terlahir anak-anak hasil perselingkuhan, perzinahan atau anak diluar nikah?

4. Betapa bersedihnya wanita yang bernama istri sah karena diluar ijinnya, diluar kehendaknya, diluar dari kemampuannya, dia juga harus mengakui keberadaan anak yang terlahir dari hubungan suaminya dengan wanita lain yang tidak dikehendaki kehadirannya.

5. Apakah artinya sebuah lembaga negara yang bernama KUA/ Catatan Sipil?

6. Apakah pentingnya sebuah buku nikah/akta nikah kalau itu tidak lagi membuat wanita yang bernama istri sah, bangga akan adanya dokumen tersebut.

Nah, bila anda sebagai seorang wanita berada di posisi manakah anda ???!!

Banda Aceh, 24 Februari 2012.

[copas dari FB Akung Krisna]

__._,_.___
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment