Tahiku Demi Kemerdekaan — Seribu Perempuan (1)
Oleh: Noviyanto Aji | Jumat, 13 Agustus 2010 | 15:02
"Bangun!" Seorang lelaki berbadan tegap, berkulit putih, berambut pirang,
berhidung mancung, dan berlogat patah-patah tiba-tiba berdiri di hadapan
Soendari dengan sepatu bootnya yang berat.
"Bangun!" Teriak lelaki tersebut lantang sembari menyepak kaki Soendari.
Soendari bangun. Matanya diusap-usap untuk memastikan apakah yang dilihatnya
benar nyata atau sekedar mimpi.
"Mana suamimu?" Tiga serdadu Belanda mengelilingi Soendari dengan mengarahkan
senjatanya, sementara yang lain mulai memasuki rumah.
Para serdadu tersebut lalu menggeledah seisi rumah. Mereka merusak,
mengobrak-abrik, membanting, menendang, membuang semua barang. Tapi, mereka tak
menemukan barang yang dicari, kecuali peralatan dapur dan pakaian bekas. Apa
yang sebenarnya dicari?
Dugaan Soendari: serdadu-serdadu Belanda sedang mencari bukti keterlibatan
suaminya sebagai tentara gerilya. Dan bukti itu atau surat sah yang menyebutkan
suami Soendari tergabung dengan pasukan gerilya Indonesia sudah
dilipat-lipatnya menjadi kecil lalu dimasukkan ke dalam tempat bedak. Dijamin
tak seorang pun yang bakal mengetahui keberadaan surat tersebut kecuali
Soendari dan suaminya.
Mendengar suara gaduh, dua anak Soendari terjaga. Soekarno yang terlebih dahulu
bangun, diikuti Soehadi. Soehadi kecil segera lari ke pelukan ibunya karena
takut. Lalu, menangislah ia. Soendari berusaha menenangkan dengan meletakkan
kepala anaknya di dadanya.
"Cup, cup, cup, kamu ndak usah nangis!" Belai Soendari.
Serdadu-serdadu bengis itu belum juga usai menunjukkan kegarangannya, malah kian
menjadi-jadi.
Semua isi rumah diporak-porandakan. Soekarno yang saat itu masih berumur lima
tahun hanya bisa berdiri di pojok ruangan. Ia menatap serdadu-serdadu Belanda
dengan pandangan penuh dendam.
Sorot matanya tajam menatap bagai elang yang siap menerkam mangsa. Sayang,
keberanian Soekarno tak cukup besar untuk membuktikan betapa bencinya ia
terhadap kaum penjajah.
Soekarno kecil hanya diam tanpa sanggup melakukan perlawanan. Ia dihadapkan
pada pemandangan yang miris dimana ibunya diperlakukan semena-mena. Mungkin
sepuluh tahun mendatang, barulah Soekarno bisa melawan kekejian tersebut, tapi
itu terlalu lama. Sebab peristiwanya terjadi pada hari itu.
Untuk menunggu sepuluh tahun rasanya tak mungkin. Jangankan sepuluh tahun, pada
saat itu saja Soekarno tidak yakin dirinya bakal selamat dari kepungan serdadu
Belanda. Soekarno sadar seandainya ia memaksakan untuk melawan, hidupnya tak
bakal lama; ia bisa mati tertembak atau terhunus mata sangkur. Sekali tusuk,
matilah ia. Matilah badan kecil kerempeng tak berdaya itu.
Akhirnya, untuk melawan semua itu Soekarno mulai meneteskan airmata tanpa
disertai suara.
Soendari sendiri sempat tergopoh-gopoh dengan kedatangan para serdadu Belanda.
Ia tak sempat bangun. Untuk memudahkannya bangun, ia mencoba menyandarkan
tubuhnya di pojok tembok.
Sementara keringat dingin mulai bercucuran, meskipun hatinya seperti
terpanggang di atas bara panas. Tak habis-habisnya Soendari mendapat ancaman
serta hujatan bertubi-tubi.
"Kamu seorang ekstremis ya. Mana suamimu?" Para serdadu langsung mengambil
Seohadi dari pangkuan ibunya dan kemudian melemparkannya sejauh satu meter.
Soehadi kecil terpental. Menangislah anak kecil tersebut.
Soendari berusaha menolong. Ia merangkak mendekat, namun serdadu-serdadu itu
terlalu cepat dan licik. Usai melempar anak kecil, sang ibu yang kini menjadi
bulan-bulanan kekejiannya.
Saat berusaha menolong, kedua telapak tangan Soendari diinjak dengan sepatu
boot. Soendari berhenti. Ia merasakan sakit yang perih. Jemarinya seperti
ngilu. Bagian bawah sepatu boot yang bergerigi menyebabkan tangan Soendari tak
bisa bergerak leluasa. Tangan-tangan itu hanya berhenti dengan rasa sakit tiada
tara.
"Ampun, Tuan. Jangan sakiti kami," Soendari mengiba, "apa salah kami. Kami cuma
wanita dan anak-anak."
Tangisan Soehadi tiada berhenti. Seorang serdadu lantas berteriak lantang.
"Berhenti menangis!" Bentaknya.
Tapi Soehadi kecil masih terlalu muda untuk mengerti teriakan serdadu-serdadu
tersebut. Melihat hal itu, Soekarno berinisiatif mendekat untuk mengambil
adiknya. Ia lari menerjang pagar betis serdadu.
Sempat ia dihalang-halangi serdadu dengan senjata laras panjang. Bahkan seorang
serdadu yang kaget dan merasa adanya perlawanan sempat mengarahkan moncong
senjata ke arah Soekarno. Dia nyaris menarik pelatuk, beruntung kesadaran
serdadu itu sudah kembali. Tak urung dia pun menarik senjatanya dan
mengangkatnya ke langit-langit.
"Adik…adik…!" Kata Soekarno menggigil ketakutan sembari menangkap adiknya.
Tanpa takut ditembak, Soekarno segera mengambil adiknya, menggendongnya, lalu
kembali ke tempatnya semula untuk kemudian menenangkannya.
"Cup…cup…cup…dik!" Ia mengikuti kata-kata ibunya yang tadi diucapkan kepada
Soehadi.
Drama penyanderaan tersebut membuat suasana menjadi tegang. Waktu seolah-olah
berhenti; bumi berhenti berputar. Semua tegang. Para serdadu seolah berdiri
mematung dengan sikap siaga dimana moncong senjata siap meletus kapan saja.
Soendari pun diam mematung dalam posisi merangkak, tampak matanya berkaca-kaca.
Berkali-kali ia menghela nafas panjang, berusaha antara menenangkan diri dan
menahan sakit dari jeratan-jeratan kondisi yang sangat luar biasa.
Perempuan itu benar-benar merasakan sebuah siksaan lahir maupun batin. Dua anak
kecil di pojok dinding, saking takutnya, mereka tak sanggup melihat siksaan
yang dialami ibunya. Mereka diam, merengek dan saling berpelukan tanpa
menghiraukan keadaan sekitarnya. Keduanya seperti berada dalam dunianya
sendiri. Tak banyak gerakan di dalam ruangan sempit itu, kecuali gerakan mulut
serdadu-serdadu Belanda saat berusaha mengorek informasi dari Soendari.
"Aku tahu kamu isteri seorang pejuang. Nah, sekarang katakan dimana suamimu.
Jangan bohong, jika kamu tidak mau merasakan siksaan yang lebih pedih!"
Serdadu-serdadu itu kembali menyiksanya.
"Suami saya cuma pedagang kecil, Tuan. Sekarang dia sedang berada di Tanjung
Perak!" Kata Soendari.
"Kamu berani membohongi kami. Apa kamu mau mati!" Teriak komandan pleton.
"Tidak Tuan," kepala perempuan langsung disodori moncong senjata, "saya cuma
perempuan desa, Tuan. Jangan bunuh saya!" Soendari mengiba bukan karena takut
dibunuh, justru ia sudah siap mati.
Sebagai isteri pejuang kemerdekaan, Soendari memang sudah terdidik mengatasi
segala bentuk rintangan termasuk ketika Indonesia tengah gencar-gencarnya
melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Ia tahu resiko yang bakal
dihadapi saat memutuskan menikahi Donowongso.
Dan, momen-momen itu kini sudah di hadapan. Namun, ada sesuatu yang mengganjal
pikirannya. Ketakutan itu disebabkan oleh sesuatu, dan sesuatu itu tak lain
janin yang berada di perutnya. Yah, Soendari tengah mengandung 7 bulan saat
tentara Belanda menyiksanya.
"Saat itu Januari 1949 dimana terjadi agresi Belanda II. Belanda masuk ke
Indonesia dengan membonceng tentara sekutu. Saya ingat waktu itu sedang
mengandung 7 bulan. Saya takut terjadi apa-apa dengan jabang bayi saya. Tapi
saya sudah siap bila sewaktu-waktu serdadu-serdadu Belanda hendak membunuh saya
dan anak-anak. Yang jelas saya tidak akan berkhianat terhadap suami saya.
Apapun perlakuan mereka terhadap saya dan keluarga, apapun siksaan yang mereka
berikan terhadap saya, saya tetap tak mau berkhianat terhadap bangsa sendiri.
Lebih baik mati ketimbang berkhianat." (bersambung)
NB: Kisah ini diambil berdasarkan kisah nyata seorang isteri pejuang
kemerdekaan.
http://lomba.kompasiana.com/group/blog-kemerdekaan/2010/08/13/tahiku-demi-kemerdekaan-seribu-perempuan-1/
***
Tahiku Demi Kemerdekaan — Seribu Perempuan (2)
Oleh: Noviyanto Aji | Jumat, 13 Agustus 2010 | 19:02
Soendari bisa mendengar suara mereka dengan kesabaran yang tiada
habis-habisnya. Ia bahkan sanggup mencatat setiap nama-nama orang dan kejadian.
Ia memperhitungkan, mendengar, dan tak satu pun dari serdadu-serdadu itu yang
memiliki hati nurani. Mereka semua kejam dan bengis, bahkan perlakuan terhadap
kedua anaknya tak patut untuk dimaafkan.
"Itulah Belanda. Dari jaman nenek moyang, Belanda memang tidak punya
perikemanusiaan. Mereka kejam!"
Ketika mereka mulai menyadari kegigihan Soendari membela kehormatan suami dan
bangsa yang dicintainya, seorang dari serdadu mulai melunak. Mereka yakin, jika
orang-orang seperti Soendari semakin dipaksa, mereka akan tetap bungkam.
Kegigihan-kegigihan semacam itulah yang membuat semangat Arek-arek Suroboyo
berkobar-kobar. Dengan semangat rawe-rawe rantas malang-malang tuntas rasanya
pantas jika mereka berhasil memenangkan pertempuran 10 November 1945.
Komandan Pleton kemudian menghampiri Soendari. Dia berjongkok di hadapan
perempuan yang sedang rapuh tersebut.
"Lepaskan!" Perintahnya kepada anak buahnya.
Seketika tangan Soendari dilepaskan. Tapi rasa ngilu masih terasa di sekujur
tubuhnya. Soendari menarik kedua telapak tangannya, memegangnya,
menggesek-gesekkannya untuk menghilangkan rasa sakit.
Bekas-bekas gerigi sepatu boot masih menempel di punggung kedua telapak tangan.
Tubuh Soendari dalam keadaan bersimpuh di atas lantai tanah. Pakaiannya nampak
kumal. Rambutnya yang panjang yang sebelumnya digelung kini terurai tidak
beraturan. Di wajahnya menempel kotoran-kotoran tanah, dan itu didapatnya
ketika serdadu Belanda menjungkalkan wajah Soendari ke tanah.
Nyawa Soendari di ujung tanduk. Sewaktu-waktu mereka dapat menembaknya.
Sementara Soendari hanya bisa menunduk tanpa berani menatap wajah-wajah serdadu
yang mengelilinginya.
"Kamu sepertinya sudah biasa mengalami siksaan. Kamu tidak takut mati ya!"
"Ampun, Tuan. Saya tidak mau mati!"
"Kalau begitu katakan dimana suamimu?"
"Suami saya sedang berdagang di Tanjung Perak. Tiga hari sekali dia pulang ke
sini." Soendari berbohong, padahal saat itu suaminya sedang bergabung dengan
pasukan Bung Tomo.
"Kamu berbohong, ayo jangan bohong, kami bisa tahu kamu berbohong pada kami.
Kamu tahu apa akibatnya jika berbohong?" Kata Komandan Pleton.
Soendari diam. Ia tak menggubris ancaman serdadu Belanda tersebut.
"Katakan saja dimana suamimu, aku jamin kamu dan anak-anakmu tidak akan kami
sakiti!"
"Saya benar-benar tidak tahu, Tuan!" Soendari tetap pada pendiriannya.
Rupanya kesabaran Komandan Pleton sudah habis. Tiba-tiba mendaratlah sebuah
pukulan di wajah Soendari. Sebelum berdiri, Komandan Pleton sempat melayangkan
tendangan tepat di perut Soendari.
"Akh…ampun, Tuan!" Soendari berteriak kesakitan sambil memegangi perutnya.
Pada saat itulah seorang serdadu mengetahui kehamilan Soendari. Dan dia segera
membisikkan hal itu kepada komandannya.
"Oh, jadi kamu sedang hamil ya. Berapa bulan?" Tanya Komandan Pleton.
"Tujuh bulan, Tuan!" Rintih Soendari menahan sakit.
"Kalau begitu kamu pasti tidak ingin keguguran, bukan?"
"Ampun, Tuan!" Soendari hanya bisa merintih dan mengiba.
"Kalau begitu katakan saja dimana suamimu?"
"Saya tidak tahu suami saya dimana."
"Dasar wanita sundel!"
Untuk kedua kalinya perut Soendari ditendang. Peristiwa ini lalu disambut tawa
seluruh serdadu di ruangan. Sebaliknya, perempuan itu mulai dibanjiri kesakitan
yang luar biasa. Bermacam-macam perasaan campur aduk.
Soendari bahkan tak sanggup untuk berdiri. Ia jatuh tertelungkup ke tanah sambil
memegangi perutnya.
Soekarno dan Soehadi tak sanggup melihat penderitaan ibunya. Mereka hanya
menangis. Maklum usia mereka masih terlalu muda. Satu serdadu belum tentu
sanggup dihadapi, apalagi sembilan serdadu.
"Saya selalu ingat kejadian itu, betapa tak berdayanya saya. Saya seperti
sedang menunggu maut. Saat maut datang dari tempat yang jauh, saya pun
menyambutnya dengan senyum. Pada akhirnya saya berangsur-angsur mengalami
kesembuhan dari siksaan yang panjang itu. Saya bisa melihat semua orang yang
tiada tampak itu mulai masuk ke ruangan. Mereka tampak bersahaja dengan
senyum-senyum kecil di bibir, mereka telah siap untuk mencabut nyawa saya."
Kelelahan demi kelelahan memang tengah dialami perempuan malang tersebut. Waktu
baginya seolah padam. Ia tak bisa lagi membedakan mana yang nyata maupun
khayalan. Bahkan, seorang dari mereka sempat menghunuskan mata sangkurnya ke
perut Soendari.
"Sekali lagi dimana katakan suamimu!" Soendari dipaksa membuka mulut. Perut
yang hamil nyaris menjadi korban mata sangkur. Semakin lama kata-kata mereka
kian kencang. Keras. Lantang. Penuh emosi. Dan, tanpa peduli sangkurnya
mengenai perut Soendari. Jaraknya semakin dekat. Sekian centimeter saja bisa
dipastikan isi di dalamnya bakal ambrol. Janin pun akan keluar bersamaan dengan
usus-ususnya. Matilah ia.
"Saya tidak tahu dimana suami saya, Tuan!" Rintihnya lagi.
"Jangan bohong, aku tahu suamimu adalah pejuang."
"Tapi saya benar-benar tidak tahu, Tuan."
"En, kamu juga seorang mata-mata ya!"
"Tidak, Tuan. Saya cuma perempuan desa."
"Kalau begitu tunjukkan suamimu!"
"Suami saya sedang tidak ada di rumah. Dia sedang mencari makan di luar kota."
"Kamu bohong. Suamimu pasti sekarang sedang bertempur."
"Tidak, Tuan!"
Soendari tetap diam dalam kebohongannya. Kegigihannya sebagai isteri Donowongso
memang tak diragukan. Apapun siksaan yang dialami, Soendari keukeuh bungkam
walau nyawa taruhannya.
Lalu tanpa ampun Soendari diseret dan dilemparkan dalam bak mobil. Soendari tak
sanggup meronta, ia hanya merintih menahan sakit, matanya berkaca-kaca
menyiratkan kepedihan yang sangat dalam.
Sebelum meninggalkan rumah, Soendari tak habis-habisnya melemparkan senyuman
kepedihan terhadap kedua darah dagingnya. Senyuman itu disambut lambaian tangan
mengiba-iba. Merengek sesenggukan tapi tak bisa berbuat banyak ketika tubuh
rapuh yang telah melahirkan mereka berdua dibawa pergi menggunakan mobil.
Isak tangis tiada henti ketika mengiringkan kepergian Soendari. Bahkan ketika
mobil melaju meninggalkan tempat tersebut, dari kejauhan tampak Soekarno
berlari keluar sambil menggendong Soehadi. Mereka tak tahu apa yang bakal
terjadi pada ibunya. Hari ini disiksa, besok mungkin sudah menjadi mayat.
Sebenarnya Soendari juga pejuang. Sewaktu belum hamil, Soendari kerap mendapat
tugas sebagai mata-mata. Saat itu ia sering hilir mudik di depan markas Belanda
sebagai penjual makanan keliling.
Sebelum Soendari dan teman-teman seperjuangannya berangkat, ia selalu dibekali
pengarahan oleh komandannya mengingat tugas yang diembannya beresiko besar.
Kemungkinan tertangkap sangat besar, resikonya ditembak mati di tempat.
Bersama Soendari ada pula isteri-isteri pejuang lainnya. Rata-rata mereka
adalah perempuan yang berani mati di medan laga. Dan karena keberanian itulah
mereka tewas terkena berondongan peluru saat memata-matai markas Belanda.
Ceritanya, pada pagi buta mereka melintas di markas Belanda, tiba-tiba seorang
dari mereka dihentikan serdadu Belanda dengan membawa senjata yang sudah
dikokang. Karena kaget mereka berhamburan pergi.
Tampak badan-badan kekar berpakaian doreng dengan topi khas itu berusaha
mengejar. Masing-masing serdadu menenteng senjata. Wajah-wajah berparas bule
dan berkulit putih itu terlihat beringas.
Mereka tidak pandang bulu. Beberapa pedagang yang tak sanggup kabur,
dagangannya dijatuhkan secara paksa, kemudian dipukuli, ditendang, dan disiksa
di tempat. Yang kabur langsung ditembak tanpa diberi peringatan. Dorr! Mereka
mati. Punggung-punggung kuat dan perkasa yang setiap hari membawa sepikulan
keranjang itu tertembus peluru.
Sejak kejadian itu Soendari mulai berhati-hati menjalankan tugasnya. Kendati
belum pernah tertangkap, ia tetap waspada.
Beruntung, setelah masa tugasnya berakhir atau bisa dibilang cuti karena hamil,
Soendari belum pernah tertangkap, hingga akhirnya peristiwa tragis siang itu
yang terjadi di rumahnya Jalan Kranggan.(bersambung)
NB: Kisah ini diambil berdasarkan kisah nyata seorang isteri pejuang
kemerdekaan.
http://lomba.kompasiana.com/group/blog-kemerdekaan/2010/08/13/tahiku-demi-kemerdekaan-%E2%80%94-seribu-perempuan-2/
***
Tahiku Demi Kemerdekaan — Seribu Perempuan (3)
Oleh: Noviyanto Aji | Sabtu, 14 Agustus 2010 | 13:48
Tanpa peduli rintihan Soendari, serdadu-serdadu itu menyeretnya ke dalam sel
tahanan. Dalam perjalanan menuju sel, Soendari menjadi bulan-bulanan para
serdadu. Setiba di markas tubuh perempuan itu disorong kesana kemari layaknya
bola. Soendari diam. Akh…hanya menangis yang ia bisa. Linangan air mata-lah
yang sanggup melawan kekejaman serdadu-serdadu tak kenal ampun tersebut.
Yang ada dalam pikiran Soendari waktu itu bagaimana seandainya jabang bayi yang
tengah dikandungnya mati? Dapatkah jabang bayi itu lahir dalam keadaan sehat di
sel tahanan bila melihat betapa berat siksaan yang dialami? Ah, betapa malang
nasib perempuan itu. Dalam keadaan tidak menentu Soendari berharap semoga sang
suami akan membebaskannya.
"Sewaktu di tahanan, Belanda terus menyiksa saya. Saya tak punya pilihan.
Beberapa kali kandungan saya dijadikan mainan oleh mereka. Empat mata sangkur
diletakkan di perut saya; satu di depan, satu di belakang, dua di samping
pinggang. Kemudian saya disuruh menari dan berputar-putar. Beberapa kali bagian
tubuh saya menyerempet mata sangkur, dan rasanya sakit bukan main, tapi saya
berusaha untuk bertahan. Kalau tidak begitu, perut saya akan ditusuk sangkur."
Selain siksaan yang perih, Soendari juga mendapat perlakuan tidak senonoh. Ia
disuruh telanjang di depan serdadu-serdadu bengis itu. Semula ia menolak, namun
para serdadu itu geram. Mereka lantas menarik kain jarik yang dikenakan
Soendari. Pakaian perempuan itu dikoyak-koyak hingga robek. Pada saat itulah
Soendari benar-benar mengalami ujian paling berat selama hidupnya.
Ketika ia telanjang dan menari-nari di depan serdadu, ada kalanya Soendari
merasakan perutnya ikut menari-nari. Rupanya sang jabang bayi tidak mau
ketinggalan mengikuti gerakan ibunya. Ataukah si jabang bayi hendak berontak
saat melihat ibunya disiksa.
Seandainya sanggup diperdengarkan kemungkinan si jabang bayi akan berkata
demikian: Hai, kalian, para penjajah, berani sekali kalian menyiksa ibuku.
Awas! Aku akan keluar dan menyepak kalian. Ini rasakan dentuman yang kubuat
dari dalam perut ibuku…
"Aduh, sakit…sakit…Tuan, mohon hentikan!" Soendari merintih menahan sakit.
Serdadu-serdadu itu keukeuh. Mereka terus tertawa, bernyanyi dan akan marah
bila keinginannya tidak terpenuhi. Dalam otak mereka tersimpan sebongkah batu
karang yang besar. Yang mereka pikirkan cuma menyiksa dan menyiksa. Yang ada
dalam penyiksaan itu cuma kepuasan para penyiksanya dan penderitaan orang yang
disiksa.
"Jika kamu katakan dimana suamimu, semua ini akan kami hentikan. Ayo terus
menyanyi!"
Suasana semakin meriah ketika tubuh telanjang yang tengah hamil itu ditodong
mata sangkur.
"Ayo menari, lebih cepat, yah begitu!"
"Iya, ayo menari, dasar sundel!"
Para serdadu yang lain bergembira menikmati hiburan tersebut, sebab jarang
mereka dapat tontonan gratis semacam itu. Selama ini yang mereka tahu hanya
berperang dan mengangkat senjata. Hal inilah yang kemudian menghilangkan rasa
perikemanusiaan mereka dan akhirnya menghasilkan prilaku-prilaku sadisme
menyerupai binatang. Bahkan binatang pun takkan sekeji itu terhadap mangsanya.
"Bagi mereka itu adalah tontonan yang menghibur. Saya seperti boneka. Kadang
setiap malam saya dibangunkan dan diguyur air. Setelah itu saya disuruh
telanjang dan menari-nari di hadapan orang banyak. Saya benar-benar malu.
Pilihannya: saya meladeni mereka atau mati. Jika saya menolak, saya akan
mendapat siksaan yang lebih perih. Saat itu saya pernah menolak karena capek,
dan tiba-tiba saja kedua tangan saja digantung dengan tali yang sudah
disediakan di atas atap. Setelah itu seharian penuh tubuh saya dibiarkan
menggelantung. Rasanya capek, sakit, perih karena harus berdiri menggelantung
seharian. Saat itu yang saya pikirkan cuma si jabang bayi. Karena si kecil
itulah saya sanggup bertahan."
Sulit bagi Soendari untuk menolak keinginan mereka kecuali satu, yah, pada saat
itu muncullah ide brilian. Untuk menghindari siksaan dari serdadu-serdadu
Belanda, Soendari harus berpura-pura menjadi gila. Ini adalah satu-satunya cara
dimana ia akan sanggup melepaskan diri dari siksaan serdadu-serdadu tersebut.
Tapi bagaimana caranya? (bersambung)
NB: Kisah ini diambil berdasarkan kisah nyata seorang isteri pejuang
kemerdekaan.
http://lomba.kompasiana.com/group/blog-kemerdekaan/2010/08/14/tahiku-demi-kemerdekaan-%E2%80%94-seribu-perempuan-3/
***
Tahiku Demi Kemerdekaan — Seribu Perempuan (4)
Oleh: Noviyanto Aji | Sabtu, 14 Agustus 2010 | 15:37
Soendari tidak kehabisan akal, kendati kondisi di dalam sel pengap dan kotor,
justru itulah yang membuatnya dapat berpikir jernih.
Di dalam sel Soendari tidak sendirian. Ia bersama wanita lain yang juga
bernasib sama. Namanya Soelastri. Wanita itu dituduh menyembunyikan gerilyawan
suaminya. Namun nasib Soelastri masih lebih baik. Saat itu kondisinya masih
bugar saat ditawan. Ia tidak hamil.
Sudah dua bulan Soelastri mendekam dalam sel. Tak beda dengan Soendari Ia kerap
mendapat perlakuan keji dari para serdadu.
Bersama Soelastri, Soendari merencanakan sebuah ide gila. Yah, untuk membohongi
para serdadu, keduanya akan berlagak seperti orang gila. Dengan kotoran mereka
sendiri, mereka akan menempelkannya pada sekujur tubuh.
"Ini adalah serangan balik," kata Soelastri, "ide yang bagus!"
Tidak bisa dibayangkan betapa bau menyengat itu akan memenuhi tubuh keduanya.
Tangan, kaki, punggung, dada, perut, kepala, wajah, semua diolesi kotoran.
Mereka bangga melakukannya. Sebab itu merupakan upaya melepaskan diri dari
kekejaman serdadu.
Soendari maupun Soelastri yakin cara tersebut akan berhasil. Bahkan tak
tanggung-tanggung, kepada Soendari, Soelastri berkata akan memakan kotorannya
sendiri jika ada serdadu yang berani berbuat macam-macam terhadapnya.
"Aku janji, Dik Ndari, jika ada seorang serdadu yang mendekat, aku akan
melempar mereka dengan tahi. Di hadapan mereka aku akan memakan kotoranku
sendiri!"
"Aku mendukungmu Mbakyu!"
"Iya, dik, semua ini harus kita lakukan demi menjaga harga diri kita sebagai
kaum perempuan. Demi bangsa ini. Demi perjuangan teman-teman kita. Demi
orang-orang yang kita cintai!"
Soendari tidak menyangka Soelastri adalah seorang yang berjiwa besar. Semula ia
mengira Soelastri hanya perempuan desa yang lugu, tapi setelah sebulan
berkumpul dalam satu sel, ia mulai merasakan jiwa-jiwa nelangsa itu telah
berubah menjadi sesuatu yang besar, sesuatu yang tak bisa diganti atau dibeli
dengan apapun, sesuatu yang patriotik.
Semenjak mengenal Soelastri, semangat Soendari yang tadinya surut kembali
menyala-nyala. Ia seolah bangkit dari kematian panjang. Jiwanya menyeruak
melayang ke langit-langit, lalu menukik tajam dan seperti bola api yang siap
menjebol dinding-dinding sel.
Soendari kini tak sendiri, ia telah memiliki teman yang senasib dan
seperjuangan. Kalau mau jujur, sebenarnya Soelastri juga pejuang. Semenjak
orang tuanya terbunuh dalam peperangan, Soelastri mulai angkat senjata.
Perempuan itu mendadak menjadi butir-butiran peluru yang siap melesat menghantam
musuh-musuhnya.
Kini, tidak ada yang perlu ditakuti. Bagi Soendari hidup bukan untuk disesali.
Berani hidup berarti berani mati. Berani mati berarti harus berani melakukan
sesuatu yang membanggakan demi orang lain dan bangsanya.
"Sewaktu bersama Soelastri, saya seperti mendapatkan jiwa saya yang hilang.
Soelastri seperti penyemangat. Hati saya seperti terpanggil untuk melawan
Belanda, meski saat itu kami hanya perempuan-perempuan rapuh dalam tahanan,
tapi kami yakin perlawanan kami akan sanggup menggetarkan penjajah. Di dalam
sel saya dan Soelastri bertekad akan berjuang hingga tetes darah terakhir. Saya
sudah tidak mempedulikan keadaan si jabang bayi. Kalau memang Tuhan masih
memberi keselamatan pada kami, pada anak saya, saya pasti akan hidup.
Sebaliknya, jika Tuhan telah menggariskan hidup kami berakhir pada hari itu,
maka, kami siap mati." (bersambung)
NB: Kisah ini diambil berdasarkan kisah nyata seorang isteri pejuang
kemerdekaan.
http://lomba.kompasiana.com/group/blog-kemerdekaan/2010/08/14/tahiku-demi-kemerdekaan-%E2%80%94-seribu-perempuan-4/
***
Tahiku Demi Kemerdekaan — Seribu Perempuan (5)
Oleh: Noviyanto Aji | Minggu, 15 Agustus 2010 | 16:17
Saat yang ditunggu tiba. Dari dalam sel terdengar suara pintu terbuka. Derap
langkah sepatu boot menunjukkan betapa dekat suaranya. Soendari dan Soelastri
bersembunyi di pojok dinding yang gelap dan pengap. Nyaris tubuh mereka tak
terlihat karena gelap.
Mereka sudah siap. Seluruh dinding yang dipenuhi kotoran akan menjadi saksi
perlawanan perempuan-perempuan tersebut. Tubuh-tubuh yang dilumuri kotoran itu
juga sudah siap menerkam keberingasan serdadu-serdadu tak kenal ampun itu.
Mereka siap memberi perlawanan.
Ketika gembok sel dibuka, seorang serdadu tiba-tiba mencium bau yang menyengat.
Lima orang serdadu mundur dua langkah sembari menutupi lubang hidungnya.
"Bau apa ini, seperti kotoran manusia!" Seorang serdadu mengumpat, sedang yang
lain mengibas-ngibaskan tangannya menangkis serangan bau yang mulai
menusuk-nusuk hidung mereka.
"Hei, para tahanan, ayo keluar. Apa yang kalian lakukan di sana. Ayo keluar!"
Perintah mereka.
Soendari yang pertama muncul dari kegelapan. Ia berjalan dengan
mengendap-ngendap. Tubuh itu lambat laun mulai terlihat oleh penerangan lampu
di ujung gang sel. Tubuh perempuan itu dipenuhi kotoran manusia. Bau ruangan
semakin menusuk-nusuk hidung. Sambil membawa kotorannya sendiri, Soendari
berujar: "Tuan, apa yang harus kami lakukan sekarang!" Soendari menantang.
Melihat itu, serdadu yang membukakan pintu langsung mundur beberapa langkah
diiukuti yang lainnya.
"Kamu crazy!"
"Tuan, tolong jangan sakiti kami!" Soendari menyodorkan kotoran yang
dipegangnya. Para serdadu serempak mundur. Lalu Soendari mengoleskan kotoran
itu pada wajahnya.
"Kamu crazy! Crazy! Itu shit (kotoran)!" Serdadu-serdadu itu kompak menutup
lubang hidungnya.
Mereka melihat ulah Soendari sambil memicingkan mata. Soendari dianggap sudah
kelewat batas.
Tak lama, Soelastri keluar dari kegelapan dengan tertatih-tatih.
"Tuan!" Seru Soelastri.
"Kalian crazy!"
"Tuan, kami tidak melakukan apa-apa. Kenapa kami harus ditahan di sini? Apa
salah kami? Apa karena kami sudah makan ini!" Soelastri menunjukkan kotoran
dalam genggamannya kemudian memakannya.
"Gila!" Seru serdadu.
Diantara mereka bahkan ada yang muntah-muntah karena jijik.
Mereka yang tidak kuat langsung berlalu begitu saja, diikuti yang lain. Serdadu
yang membawa gembok sel buru-buru menutup selnya. Tapi Soendari dan Soelastri
sempat menyentuh serdadu itu. Saking jijiknya, serdadu tersebut mengunci sel
sambil berteriak jijik. Sesekali ia membuang mukanya dan memejamkan mata untuk
menghindari kontak mata dengan kedua perempuan yang berpura-pura gila tersebut.
"Tuan, tolong keluarkan kami! Jangan kurung kami di sini!"
"Akh…kalian crazy, pergi dari saya!"
Serdadu terakhir yang mengunci pintu sel berteriak lantang saking jijiknya:
"Pergi kalian, menjauh dari saya!" Segera setelah sel terkunci, serdadu itu
pergi dengan bersungut-sungut.
Setelah kejadian itu Soendari dan Soelastri saling berpandang-pandangan. Mereka
tidak percaya rencana yang mereka susun berhasil. Keduanya saling berpelukan.
"Kita berhasil Mbakyu. Mereka mengira kita sudah gila."
"Iya, Dik. Aku yakin mereka tidak bakal menganggu kita lagi."
"Akhirnya kita berhasil melawan mereka Mbakyu!" Soendari memeluk teman
seperjuangannya itu dengan erat.
"Iya, akhirnya Tuhan memberi perlindungan pada hambaNya yang lemah ini!" Sambut
Soelastri bangga.
Keduanya merasa bangga karena berhasil memukul mundur serdadu-serdadu Belanda.
Mereka tak peduli dengan kotoran-kotoran yang menempel pada tubuhnya. Bagi
mereka justru kotoran itulah yang menyelamatkan kehormatan mereka sebagai kaum
perempuan, kaum lemah, kaum yang seharusnya dilindungi.
"Biarlah kita seperti ini, dik, biarlah mereka ingat bahwa kita tidak takut
dengan mereka!"
"Iya, Mbakyu. Aku lebih suka seperti ini. Karena dengan begini kita akan sanggup
mengusir mereka!"
"Selama di dalam sel kami tidak mandi. Kami memang sengaja membuat badan kami
kotor supaya Belanda tidak mendekat atau menyiksa kami. Mereka menganggap kami
sudah gila. Saya dan Soelastri merayakan kemenangan itu dengan bersujud syukur
kehadirat Allah. Karena Dia-lah kami berhasil menjaga kehormatan kami. Kendati
demikian, masih ada satu hal yang menghambat perjuangan saya. Jabang bayi dalam
janin saya sudah semakin membesar. Tinggal sebulan lagi bayi tersebut akan
lahir. Saya khawatir dia akan lahir di penjara. Soelastri juga khawatir dengan
kondisi saya. Makanya, dia tak henti-hentinya memberi semangat agar saya tidak
patah arang. Alhamdulillah, selama sebulan di dalam sel Soelastri tetap setia
menemani saya dan si jabang bayi."(bersambung)
http://lomba.kompasiana.com/group/blog-kemerdekaan/2010/08/15/tahiku-demi-kemerdekaan-%E2%80%94-seribu-perempuan-5/
***
Tahiku Demi Kemerdekaan — Seribu Perempuan (6-habis)
Oleh: Noviyanto Aji | Senin, 16 Agustus 2010 | 13:48
Perang pecah. Suara peluru berdesingan. Bom-bom meledak. Korban berjatuhan. Yang
paling banyak dari pihak gerilyawan.
Sementara jauh di dalam sel dua perempuan hebat tengah dilanda cemas. Kali ini
mereka berharap ada seseorang yang akan menyelamatkannya. Doa Soendari: semoga
suami dan teman-teman suaminya berhasil memukul mundur Belanda.
Selama beberapa jam perang terus berkecamuk. Tak ada tanda-tanda perang akan
usai. Dua perempuan itu tak henti-hentinya berdoa, berharap kemenangan akan
memihak tentara gerilyawan.
Selang tiga jam, suara seorang lelaki memanggil-manggil nama Soendari.
"Soendari! Soendari! Soendari!"
Suara itu semakin mendekat. Soendari segera berdiri menyambut suara tersebut.
Soendari mengenal betul suara itu. Ia mengeluarkan tangannya dari cela-cela
sel, kemudian melambai agar dilihat suaminya.
"Kang, aku di sini!" Teriaknya.
Lalu ia menoleh ke Soelastri:
"Mbakyu, itu suamiku. Kita akan keluar dari sini!" Pekiknya. Soelastri
menyambut kata-kata Soendari. Tak terbayangkan betapa senang hati Soendari
bertemu suaminya.
Donowongso tidak sendirian. Ia bersama teman-teman seperjuangan. Mereka
ditugaskan untuk membebaskan para tawanan perang. Tak hanya Soendari dan
Soelastri, saat itu banyak tawanan perang di dalam sana. Rata-rata mereka
adalah perempuan dan isteri-isteri pejuang. Soendari dan Soelastri adalah satu
dari sekian tawanan perang yang mendapat perlakuan sadis. Namun demikian, hanya
mereka satu-satunya yang berhasil melawan Belanda.
Melihat kedatangan Donowongso, baik Soendari dan Sulastri tak bisa
menyembunyikan perasaan bahagianya. Bahkan, nyaris saja Donowongso tak
mengenali istrinya sebab di sekujur tubuhnya dipenuhi kotoran. Tapi setelah
diberitahu dan tentu saja dengan mengenal suaranya, akhirnya lelaki tersebut
mengetahui bahwa perempuan yang di hadapannya memang benar isterinya.
"Kamu memang benar Soendari. Nyaris aku tak mengenalimu. Dan kamu, yah, kamu
pasti Soelastri. Suamimu yang menyuruhku kemari."
Pembebasan itu tidak memakan waktu lama. Setelah sel pintu dibuka paksa, mereka
segera meninggalkan tempat terkutuk tersebut.
"Apa semua orang sudah keluar?" Teriak Donowongso kepada teman-temannya.
"Sudah!" Jawab mereka.
"Saat keluar nanti kalian di belakangku saja. Ingat jangan jauh-jauh dari aku.
Sebab keadaan di luar sana sangat berbahaya!" Nasehat Donowongso terhadap
isterinya dan Sulastri.
Laki-laki itu, meski badannya kecil, tapi semangat juangnya sangat tinggi.
Selama berhari-hari rencana pembebasan itu sudah disiapkan dengan matang.
Saat keluar dari markas Belanda, suasana benar-benar mencekam. Surabaya kala
itu seperti neraka. Semua luluh lantak tak menyisakan apa-apa. Sementara
pemberani-pemberani itu mengendap-ngendap keluar dari markas diikuti puluhan
tawanan. Beruntung saat itu Belanda berhasil dipukul mundur.
Markas Belanda yang berada di tengah kota ditinggalkan begitu saja. Kendati
demikian, mereka tetap harus hati-hati dan waspada, sebab sewaktu-waktu Belanda
dapat kembali kapan saja dengan membawa bala bantuan. Karenanya mereka harus
segera meninggalkan tempat tersebut.
Aksi pembebasan itu membuahkan hasil. Semua tawanan perang berhasil
diselamatkan. Mereka kemudian digiring menuju tempat pengungsian di Lawang,
Malang. Namun sebelumnya, baik Soendari dan Soelastri sempat dibawa ke markas
pejuang di Wonokromo untuk kemudian dimandikan dan dirawat hingga keadaannya
pulih.
Setelah itu mereka digiring menuju ke tempat pengungsian, dimana tak satu pun
alat transportasi mengiringi langkah mereka. Untuk sampai di pengungsian semua
pengungsi harus berjalan kaki dari Surabaya menuju Lawang. Saat itu keadaan
Surabaya sedang genting-gentingnya. Surabaya untuk sementara tidak aman bagi
para wanita dan anak-anak.
Namun perjalanan yang jauh itu tentu tidak mudah. Soendari berkali-kali
merasakan kedua kakinya lemas. Belum lagi perut Soendari semakin besar dan
mendekati kelahiran. Dan sewaktu menginjak Sidoarjo, tiba-tiba ketuban Soendari
pecah. Semua orang panik termasuk Donowongso.
"Kang, dimana anak-anak sekarang?" Soendari meraih tangan suaminya.
"Kamu tenang saja, anak-anak di belakang sana bersama teman-teman. Kamu jangan
memikirkan yang macam-macam. Sekarang pikirkan dulu jabang bayi yang ada dalam
kandunganmu!"
"Aku sudah tidak kuat lagi, Kang!"
"Kita jalan saja dulu. Sebentar lagi juga sampai di markas kita di Sidoarjo. Di
sana nanti kamu bisa beristirahat!"
"Tapi aku sudah tidak kuat berjalan, Kang!"
"Benar, Kang. Sebaiknya Soendari kita bawa dengan gerobak. Sebab kondisinya
sudah tidak memungkinkan lagi!" Seru Sulastri yang juga khawatir dengan kondisi
temannya tersebut.
Donowongso tidak kehabisan akal, dia melihat beberapa pengungsi membawa barang
di atas sepeda ontel. Dengan sepeda itulah Soendari kemudian dibawa menuju
Sidoarjo. Sesampai di Sidoarjo, Soendari sudah siap-siap melahirkan.
Beruntung di sana ada perawat yang membantu proses kelahiran Soendari. Soendari
pun melahirkan anak dengan selamat. Bayi Soendari sehat. Kemudian bayi
laki-laki itu dinamai Sungkowo yang berarti kesedihan atau penderitaan. Karena
pada waktu itu tidak ada selimut atau keranjang bayi, Sungkowo kecil kemudian
diletakkan ke dalam koper dan koper itu dibiarkan terbuka. Dalam perjalanan
menuju Lawang, Soendari dan bayi dalam koper dibawa dengan menggunakan gerobak.
Kebahagiaan itu tak hanya dirasakan Donowongso, Soelastri sebagai teman
seperjuangannya juga merasakan hal yang sama. Menurut mereka perjuangan
Soendari layak disebut perjuangan yang sesungguhnya.
Meski hamil, tapi semangat Soendari tak pernah surut. Ia adalah perempuan
hebat. Kehebatan dan ketegarannya melebihi seribu perempuan biasa. Bahkan dalam
kondisi yang payah itu, ia rela mengorbankan jiwa serta raganya demi bangsa dan
negara.
"Perempuan sehebat itu jarang kutemui. Ia rela dijebloskan penjara, rela
menderita, disiksa, dan siap mati di tangan musuh demi melindungi suami dan
teman-teman seperjuangannya," kata Soelastri kepada Donowongso.
"Semua mencatat perjuangan manusia 1949 sangat luar biasa, mereka pantang
menyerah. Saya, suami, Soelastri, dan seluruh bangsa Indonesia mengalami suatu
masa dimana kita dihadapkan pada satu pilihan yang kita sendiri tidak sanggup
untuk memilihnya. Perjalanan kami menuju pengungsian bersama Sungkowo dalam
koper memang tidak mudah. Beberapa kali kami disambut hujan dan panas. Dalam
perjalanan panjang itu, tak terasa kami telah berjalan kaki selama satu bulan.
Sebab kami harus keluar masuk hutan dan perkampungan. Dan hal itu sangat berat,
namun kami tetap melakukannya untuk dapat bertahan hidup. Syukurlah setelah
sebulan berjalan, akhirnya kami tiba di tempat pengungsian!" (tamat)
http://lomba.kompasiana.com/group/blog-kemerdekaan/2010/08/16/tahiku-demi-kemerdekaan-%E2%80%94-seribu-perempuan-5-habis/
http://sastrapembebasan.wordpress.com/
http://tamanhaikumiryanti.blogspot.com/
Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/
[Non-text portions of this message have been removed]
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment