Sumber: http://www.pacific.net.id/pakar/sj/korupsi_masalah_pokok_kkn.html
KORUPSI MASALAH POKOK KKN: SUATU CATATAN
By : J. Soedradjad Djiwandono
Gurubesar tetap Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia
PENDAHULUAN
Dalam tulisan sebelumnya saya melihat masalah KKN sebagai suatu implikasi dari
sikap hidup lebih besar pasak dari tiang, yang nampaknya menghinggapi masyarakat
Indonesia baik secara nasional, dalam pembangunan nasional maupun yang lebih
mikro lagi, dalam kegiatan perusahaan dan kegiatan perorangan. Masyarakat
Indonesia baru harus dapat keluar dari sikap ini dengan membuang KKN dalam
membangun masyarakat Indonesia secara lebih menyeluruh, lebih terbuka, lebih
demokratis, dan lebih mandiri.
Dalam tulisan ini saya ingin memusatkan perhatian pada penaggulangan masalah KKN
dengan mengusulkan perlunya kejelasan konsep atau kriteria dari masing-masing
tindakan dalam KKN dan memusatkan penanganannya pada masalah yang lebih jelas,
dan lebih pokok, yaitu korupsi. Dengan cara ini diharapkan program penanganan
masalah KKN akan lebih terarah dan memberikan hasil yang setahap demi setahap
dapat dipergunakan untuk dijadikan basis bagi penaganan seterusnya sampai
tuntas.
MEMBUAT BATASAN ARTI KKN.
Saya mengamati bahwa apa yang dimaksud dengan korupsi, kolusi dan nepotisme atau
KKN itu bisa berbeda bagi orang yang satu dengan yang lain. Karena itu
pembahasan di suatu diskusi atau polemik dan pemberitaan di media mengenai hal
ini sering menjadi simpang siur. Mungkin pengertian untuk masing-masing kata;
korupsi, kolusi dan nepotisme memang tidak sama bagi orang yang berbeda, apalagi
kalau sudah digabungkan menjadi satu.
Dalam hubungan ini perlu disadari bahwa di dalam masyarakat kita memang sering
digunakan istilah yang dianggap dimengerti semua orang, padahal kalau dibahas
sedikit lebih mendalam ternyata terdapat perbedaan pendapat ataupun nuansa yang
bisa besar antara satu dengan yang lain. Ini kemudian menimbulkan keadaan dimana
masalah yang dibahas menjadi menggantung dan solusinya tidak ditemukan.
Ada pernyataan 'the devil is in the detail'. Tanpa adanya batasan dan rincian
yang akurat suatu istilah atau konsep dapat menjadi kabur, demikian pula masalah
yang berkaitan dengan istilah tersebut. Dan kalau konsepnya saja tidak jelas
atau tidak akurat bagaimana dapat dihasilkan suatu penyelesaian dari masalah
yang berkitan dengan istilah tersebut ?
Dalam masalah KKN, memang pada umumnya benar bahwa ketiganya menjadi satu,
ketiganya merupakan masalah, karena itu harus diselesaikan. Tetapi apakah
penyelesaian dengan menggabungkan ketiga masalah ini menjadi satu itu realistis?
Saya takut bahwa menggabungkan ketiga tindak kejahatan ini menjadi satu lebih
banyak menimbulkan perbedaan pendapat, tidak membantu penyelesaiannya, bahkan
mungkin malahan menghambat.
Saya melihat bahwa dalam kenyataannya penggabungan ketiga tindak kejahatan ini
menjadi satu justru membatasi kemajuan proses penanganannya. Sebagai suatu
pernyataan politis memang enak kedengarannya, pemberantasan KKN secara tuntas.
Semua setuju, semua mendukung. Akan tetapi kalau ingin disusun suatu strategi
penanganan masalah ini, langsung ditemukan halangan untuk dapat ditemukan jalan
keluarnya secara tuntas. Untuk membuat suatu program yang bisa dilaksanakan
perlu ditentukan mana yang sebenarnya menjadi akar masalah, mana yang menjadi
akibat, mana yang merupakan dampak sampingan, bagimana ukuran besar kecilnya
masalah, ketentuan mana yang dilanggar, dsb.
Kalau ingin menghilangkan secara tuntas masalah KKN, pengertian ini harus jelas;
apa yang dimaksud dengan masing-masing, mana yang bergandengan, mana yang
akhirmya merugikan, dst. Sering batasan yang terlalu rinci juga bikin bingung.
Ingat skandal Gedung Putih bagaimana mendefinisikan hubungan sex menurut
ketentuan hukum yang memang menuntut definisi yang jelas mengenai apa yang
dimaksud dengan suatu istilah. Akan tetapi saya yakin bahwa untuk masalah KKN
definisi yang jelas harus ada, agar tidak membuat masalahnya menjadi rancu dan
jalan keluarnya tidak kunjung nampak.
Tanpa kejelasan konsep atau definisi apa yang dimaksud dengan masing-masing
unsur dari ketiganya, saya takut pemberantasan KKN akan tetap menjadi slogan,
semua setuju, semua mendukung, tetapi tidak dicapai kemajuan. Penanganan masalah
KKN sampai sekarang nampak terlalu politis, hanya untuk memberi kesan bahwa
Pemerintah menangani masalahnya secara sungguh-sungguh. Itupun tidak selalu
meyakinkan, seperti mengirim dua pejabat tinggi negara untuk mengusut sinyalemen
majalah Time guna memperoleh jawaban dari pemerintah Austria yang sebenarnya
telah diketahui tanpa mengirimkan misi tersebut. Dilain pihak penanganan juga
nampak terlalu yuridis menghadapi masalah yang bernuansa politis.
Kasus KKN sangat banyak, akan tetapi tidak diberikan penjelasan terbuka mengenai
kasus mana yang ditangani dan mana yang tidak, mana yang didahulukan dan mana
yang dikemudiankan, dan mengapa demikian.
@ Visiting Scholar, Harvard Institute for International Development (HIID),
Cambridge, MA and former Governor of Bank Indonesia. (sdjiwand@hiid.harvard.edu
or djiwandono@aol.com).
ARTI KKN
Kalau kita amati apa yang berlangsung sekarang, orang menggabungkan ketiga
tindak pidana atau pelanggaran ketentuan ini menjadi satu istilah, KKN. Dalam
penggunaanya ketiga hal ini seolah-oleh telah menjadi satu kata. Saya takut
malah sudah menjadi suatu slogan. Akan tetapi sebagai akibatnya pembahasan
mengenai masalahnya sendiri menjadi tidak fokus, sebagai konsep mengambang, dan
secara operasional menyulitkan. Kalau seseorang dituduh melakukan tindakan KKN,
mana sebenarnya yang dituduhkan, korupsi, kolusi atau nepotisme atau
ketiga-tiganya atau dua. Ini tidak jelas. Sebagai suatu tuduhan politis atau
sosial saya kira tidak menjadi masalah, ketiganya merupakan tindakan tercela
yang ingin kita berantas.
Istilah KKN dianggap dimengerti semua orang, tetapi begitu dibahas lebih
mendalam, ternyata orang mempunyai konsep atau definisi yang berbeda satu dengan
yang lain. Tentu diskusi atas dasar konsep yang dikira mempunyai satu arti,
padahal tidak, ini dapat menjadi simpang siur. Ini hampir menjadi jaminan akan
tidak adanya program atau tindakan yang nyata untuk menghilangkannya.
Kecenderungan sekarang, nampaknya yang dimaksud masalah KKN adalah masalah
korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh pak Harto dan keluarga serta
kroninya. Ini selain tidak lengkap juga rancu secara operasionalnya. Misalnya
jawaban terhadap pertanyaan siapa itu keluarga dan kroni pak Harto? Keluarga
mungkin jelas, tergantung kepada seberapa jauh akan di tarik hubungan darahnya.
Akan tetapi bagaimana dengan kroninya? Bagaimana kita membuat batas mana yang
termasuk kroni dan mana yang bukan? Apakah seperti kepemilikan saham perusahaan,
kalau kedekatannya sekian persen dianggap kroni yang kurang dari itu bukan. Ini
tidak gampang. Yang jelas, karena caci makian terus ke pada pak Harto dan
keluarganya, maka semua yang semula getol menunjukkan kedekatannya sekarang
sibuk menunjukkan kejauhannya. Yang berhasil menunjukkan kejauhannya dianggap
bukan kroninya, sedangkan yang tidak, atau karena tidak dipercaya atau karena
tidak ikut bicara, dimasukkan sebagai kroninya.
Selain itu juga terdapat masalah, bagaimana memulai proses peanganannya sehingga
masyarakat yakin bahwa seluruh masalah KKN akan diselesaikan secara tuntas.
Misalnya dimulai dengan mantan Presiden dan keluarganya, seperti sekarang
terkesan demikian. Ini baik. Akan tetapi perlu ada kejelasan bagi masyarakat,
bagaimana program penanganan ini secara keseluruhan, apakah ini tahap permulaan
yang akan diikuti dengan yang lain, bagaimana strategi pendekatannya, ini semua
perlu kejelasan, sehingga masyarakat mengetahui kesungguhan dari usaha ini. Saya
yakin masyarakat menghendaki hal ini. Penanganannya harus tuntas, terbuka dan
adil. Karena masalahnya rumit dan penanganannya memakan waktu, maka kejelasan
strategi penanganan secara keseluruhan perlu diumumkan agar masyarakat
mengetahui dan dengan demikian memahami sampai dimana dan mengapa demikian.
Keterbukaan ini juga perlu agar penganganan masalah KKN yang didasarkan atas
tuntuan keadilan ini jangan sampai menimbulkan ketidak adilan baru.
Selain itu, jelas tidak benar kalau masalah KKN itu hanya menyangkut pak Harto
dengan keluarga dan kroninya. Setiap tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme oleh
siapapun harus dikategorikan sebagai masalah KKN. Kalau sudah ada kejelasan
mengenai apa yang dimaksud dengan KKN dengan definisi yang operasional dengan
perincian kriterianya, maka pelaksanaan ketentuan ini akan menjadi lebih jelas.
Kejelasan konsep atau definisi ini sangat penting, akan tetapi baru merupakan
langkah yang sangat awal untuk menentukan langkah berikutnya. Memang tanpa
kejelasan ini gerakan menghapus KKN hanya mendasarkan diri atas emosi bagi yang
menuntut dan politik bagi yang menangani . Penaggulangan masalah KKN sampai
sekarang nampaknya dilakukan atas dasar kedekatan atau kejauhan seseorang dengan
penguasa. Ini tidak menyelesaikan masalah atau membuat masalah baru. Tindakan
untuk meminta pertanggung jawaban pelaku pelanggaran ketentuan KKN dengan
menyeret seseorang ke Kejaksaan Agung untuk diperiksa atas dasar laporan yang
tidak jelas dan menggunakan dasar yang tidak jelas hanya sekedar memenuhi
tuntutan masyarakat saja, lebih untuk kepentingan kehumasan. Selain itu tindakan
ini dapat menumbuhkan ketidak adilan baru seperti melepas yang sebenarnya
bersalah atau menindak yang sebenarnya tidak bersalah.
Argumentasi perlunya suatu badan yang independen untuk menangani masalah KKN
adalah agar terjadi penanganan yang adil dan efektif dari masalah ini. Dalam
keadaan normal, sebenarnya penanganan oleh instansi penegak hukum yang ada -
kejaksaan, kepolisian dan kehakiman - telah akan menjamin independensi lembaga
yang bertugas menangani masalah ini dari campur tangan pemerintahan. Akan tetapi
dalam keadaan rendahnya kredibilitas dari lembaga-lembaga ini di mata
masyarakat, maka ini menjadi suatu masalah tersendiri. Ketidak jelasan arti KKN
serta rendahnya kredibilitas lembaga-lembaga penegak hukum menambah komplikasi
upaya pemberantasan KKN betapapun nyaringnya tuntutan masyarakat dan janji
Pemerintah untuk memperhatikan tuntutan tersebut.
Tanpa adanya kejelasan arti atau definisi dari masing-masing unsur KKN, tanpa
adanya program menyeluruh apa yang akan dilakukan, tindakan yang sporadis hanya
menumbuhkan kecurigaan-kecurigaan yang mungkin tidak perlu. Karena itu, dalam
keadaan masih belum kokohnya kredibilitas aparat penegakan hukum, penanganan KKN
harus didasarkan atas konsep yang jelas didefinisikan dengan kriteria atau
batasan-batasannya, strategi pendekatannya secara menyeluruh dengan
pentahapannya, Semua menyadari bahwa masalah ini sangat kompleks dan pelik,
karena itu tidak akan selesai secara cepat. Akan tetapi justru karena itu maka
kejelasan semua ini dengan pengumuman terbuka oleh Pemerintah mengenai hal-hal
tadi harus dilakukan.
8 Seperti diketahui, yang sering dilakukan pengusaha di Indonesia hanya menjual
barang atau jasa yang dihasilkannya dengan harga yang dikaitkan dengan dollar,
meskipun mereka mengetahui bahwa pembelinya adalah pembeli domestik dengan
pendapatan yang berbasis rupiah. Di Jakarta dan kota besar lainbanyak transaksi
yang menggunakan basis dollar; tidak hanya tarip hotel, tetapi sewa bangunana
atau apartement atau berbagai jasa lain. Argumentasinya, kan sistim devisa
Indonesia bebas, jadi sama saja apakah transaksi itu dalam mata uang asing atau
rupiah. Sebenarnya ini selain menyalahi ketentuan penggunaan rupiah sebagai mata
uang pembayaran nasiaoanl, juga menunjukkan 'moral hazard' dari pihak yang
bertransaksi bahwa sistim nilai tukar kita itu, menurut persepsi mereka ini,
pada dasarnya tetap. Sinisme kita akan mengatakan bahwa ini lindung nilai
(hedging) a la pengusaha kita.
MEMUSATKAN PENANGANAN MASALAH KKN PADA KORUPSI
Kalau basis untuk menentukan kesalahan ini adalah kerugian negara atau
masyarakat dari tindakan yang dilakukan pejabat dan yang terkait, maka yang
paling penting dari ketiga unsur dalam KKN adalah perbuatan korupsi. Ketiganya
memang dapat bergandengan, sering yang satu menyebabkan yang lain atau
memperburuk yang lain. Akan tetapi kalau yang menjadi dasar kesalahan adalah
terjadinya kerugian negara, maka pusat perhatian harus pada tindakan atau
perbuatan korupsi tersebut, untuk menentukan siapa yang malakukannya dan apa
sanksi yang harus dibebankan terhadap kesalahan tersebut.
Kalau masalah korupsi ini dipisahkan dulu dari yang lain, maka kita mungkin
terhindar dari sloganisasi. Tuntutan akan lebih jelas dan penyidikan masalahnya
akan lebih fokus, karena itu Pemerintah lebih sukar untuk mengobral janji saja.
Dalam Undang-undang tentang tindak pidana ekonomi, tindakan korupsi telah
didefinisikan secara cukup eksplisit. Pada dasarnya unsur-unsurnya adalah adanya
perbuatan yang melawan hukum, untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok, yang
merugikan negara. Ini mungkin bisa dibuat lebih eksplisit, tetapi minimal telah
ada basisnya.
Saya kira kalau kita memusatkan perhatian pada pemberantasan korupsi, maka
masalahnya akan lebih jelas dan operasionalisasinya dapat menjadi lebih nyata.
Apakah hal ini bergandengan dengan kolusi dan nepotisme, bisa diteliti lebih
lanjut. Bahkan kalau korupsi ini terjadi dalam rangka suatu kolusi dan
nepotisme, maka pembuktiaan siapa yang teribat dalam korupsi akan menyangkut
jaringan kolusi dan nepotismenya dan penyidikannya dapat langsung menjaring
mereka ini semua. Tetapi yang menjadi fokus jelas, tindakan korupsi, tindakan
melanggar hukum yang merugikan negara menurut suatu definisi yang pasti.
Pada dasarnya adanya hubungan keluarga antara pejabat satu dengan yang lain atau
antara pejabat dan pengusaha, tidak secara otomatis menunjukkan adanya kolusi
atau nepotisme yang ingin kita hilangkan itu. Nepotisme dan kolusi ini tidak
hanya harus terbukti ada, akan tetapi untuk dikategorikan dalam tindakan yang
tidak dikehendaki hal tersebut harus juga diukur dengan kriteria adanya
pelanggaran ketentuan hukum, misalnya perbuatan tersebut telah merugikan negara
atau masyarakat, sebagaimana dalam kasus korupsi.
Dalam kebanyakan masyarakat pemberian suatu surat referensi sebagai suatu
'jaminan' mengenai kualifikasi seseorang untuk menempati suatu posisi adalah
diterima secara umum. Yang diharapkan tidak terjadi adalah penyalah gunaan surat
referensi tersebut. Jangan sampai surat ini aspal, jangan sampai referensi ini
tidak sesuai dengan kenyataannya. Ini yang tidak boleh disalah gunakan. Istilah
'katabelece' adalah untuk penyalah gunaan kebiasaan adanya referensi ini. Yang
jelas agar ada kepastian ketentuannya harus jelas, mana yang boleh mana yang
tidak, untuk menentukan apakah terjadi suatu pelanggaran terhadap ketentuan oleh
seseorang dan apakah sanksi terhadap pelanggaran tersebut. Dalam hal adanya
tidakan korupsi ketentuannya telah jelas. Bagaimana dengan kolusi dan nepotisme?
Sekuat keinginan kita menghilangkan kolusi dan nepotisme, kita perlu secara
realistis melihat, apakah ketentuan-ketentuan mengenai hal ini telah jelas? Saya
takut belum. Dan ini salah satu sebab mengapa penghapusan masalah ini nampak
begitu susahnya di masyarakat kita.
Mengingat kenyataan tersebut, yang harus dilakukan adalah menyusun ketentuan
untuk melarang adanya kolusi dan nepotisme. Akan tetapi ini hanya menyangkut
ketentuan untuk masa depan yang harus diperhatikan. Sedangkan kita juga melihat
bahwa praktek kolusi dan nepotisme dalam era Orde Baru ini memang sangat
mencolok. Karena itu emosi masyarakat meluap untuk menghabiskan praktek-praktek
ini dan menindak para pelakunya. Ini adalah perasaan semua orang, kecuali mereka
yang mempraktekkan.
Untuk masa depan nampaknya tidak sulit memikirkan, ketentuan-ketentuan
kepegawaian yang masih dirasa ganjil harus benar-benar ditelusuri, demikian pula
mengenai tender,kontrak, dsb. Untuk menghindarkan diri dari meluasnya nepotisme
dan kolusi ini. Dulu pernah ada ketentuan tentang larangan berusaha bagi pejabat
atau isteri pejabat. Tapi pelaksanaannya tidak pernah dicek. Ketentuannya hanya
bersifat politis, untuk sekedar menunjukkan bahwa ada kepedulian tentang masalah
ini dan enforcementnya tidak ada. Sama dengan gerakan hidup sederhana, membuat
ketentuan yang membatasi jumlah tamu pesta pejabat, dst. Semuanya hanya dalam
slogan tetapi tidak ada enforcement. Kerapkalai peraturan ini hanya
diperuntukkan bagi orang lain diluar pembuat ketentuan dan kelompoknya, karena
itu menimbulkan ketidak adilan dan semakin banyak terjadi pelanggaran tanpa ada
sanksinya. Karena itu berbagai ketentuan kepegawaian harus ditinjau kembali
untuk mengatasi masalah nepotisme dan kolusi ini. Misalnya dalam perbankan ada
ketentuan bahwa suami isteri tidak boleh bekerja dalam instansi yang sama. Akan
tetapi bagimana dengan bapak dan anak, bagaimana dengan ibu dan anak dan
keluarga lain. Ini juga harus jelas. Kalau antara suami dan isteri tidak boleh
bekerja dalam satu instansi karena hubungan keluarga ( ada nepotisme),
sebenarnya tidak masuk akal bahwa antara bapak dan anak tidak ada larangannya.
Ini harus ditentukan definisinya secara rinci, apa yang dimaksud dengan kolusi,
apa yang dimaksud dengan nepotisme, dan mana yang dianggap melanggar ketentukan
dan apa sanksi terhadap pelanggarannya. Yang ingin dihindarkan adalah
kemungkinan timbulnya pertentangan kepentingan. Ini yang harus menjadi pegangan.
Coba kita amati betapa banyaknya praktek ini di masyarakat kita, hubungan
keluarga atau kroni yang bekerja dalam satu instansi. Bagaimana masalah hubungan
pejabat dari suatu instansi dengan swasta? Coba kita lihat begaimana praktek
pejabat tinggi di Indonesia; hubungan suami (pejabat) dan isteri (pengusaha
rekanan) dan bapak (pejabat) dengan anak (pengusaha dan rekanan). Mungkin perlu
terlebih dahulu disusun daftar kekayaan dan hubungan kekeluargaan atau kroni
dari pejabat tinggi dan mantan pejabat tinggi, seperti 'self assessment' dalam
perpajakan. Sebenarnya dari dulu ada laporan daftar kekayaan pejabat tinggi, ini
tentunya dapat digunakan sebagai permulaan. Daftar ini nantinya harus dicocokan
dengan daftar yang disusun oleh instansi atau suatu komisi yang independent.
Kalau hal ini dilakukan kita akan mempunyai daftar yang menarik. Siapa pejabat
yang isteri, anak dan keluarga dekatnya bekerja dalam instansi yang sama, siapa
keluarga dekat yang menjadi pengusaha rekanan dari instansi yang bersangkutan,
dst. Daftar ini akan mempermudah bagaimana menelusuri masalah kolusi dan
nepotisme. Instansi yang menangani penyidikan harus menggunakan daftar ini
secara profesional, untuk maksud penyidikan, bukan untuk maksud lain yang juga
merupakan tindakan pelanggaran hukum. Azas praduga tidak bersalah harus
dihormati, bukan asal main tuduh kemudian dilakukan ancaman pembekuan rekening
bank atau penyitaan aset tanpa diketahui ujung pangkalnya, selain akhirnya
hilang.
Tambahan lagi orang kemudian tidak dapat seenaknya menuduh seorang pejabat atau
mantan pejabat melakukan tindakan kolusi atau nepotisme. Sebanyak apapun hal ini
telah terbukti, akan tetapi tidak boleh ada sikap apriori bahwa seseorang itu
dianggap pelaku korupsi atau kolusi atau nepotisme hanya karena dia pejabat.
Dalam ketidak jelasan sekarang, sering sebagai suatu sarana politik untuk
mencemarkan nama seseorang dilontarkan saja tuduhan si A itu KKN. Permainanya
hanya siapa yang lebih berani teriak dan dapat mempengaruhi media akan dianggap
benar, sedangkan yang tidak cukup keras teriaknya atau bersikap diam langsung
dianggap melakukan tindakan tidak terpuji ini. Jadi cara ini akan membantu
penelusuran masalah KKN dan sekaligus melindungi orang yang memang tidak
bersalah, dengan demikian membantu menegakkan keadilan yang sebenarnya..
Memang memprihatinkan bahwa kalau mereka ini diingatkan, apalagi kalau dituduh
salah, maka jawabannya sudah tersedia, " kan bukan hanya saya yang melakukan"
atau " ah, si A atau si B lebih dari saya (korupnya atau nepotismenya)" Padahal,
bahkan seandainya orang lain melakukan, emangnya seseorang terus berhak untuk
juga melakukannya? Orang yang percaya terhadap 'jangka Djajabaja' hanya jawab, '
kan ini memang jaman edan, kalau enggak ikut kan berabe'. Jelas percayanya pada
ramalan ini hanya untuk enaknya sendiri. Kenapa menginterpretasikan Jangka
Djajabaja tidak secara utuh?. (hanya 'sing ora edan ora komanan' dan 'mboya
keduman milik, kaliren wekasanipun' artinya yang tidak gila tidak memperoleh
bagian dan kalau tidak ikut akan kelaparan) Harusnya ambil seluruh ajaran ini
yang akhirnya mengatakan " bekja bejaning sing lali, isih beja kang eling lawan
waspada" artinya, seberuntung orang yang lupa diri masih lebih beruntung orang
yang ingat dan waspada. Tetapi kita memang biasa ambil yang enak saja dari suatu
ajaran, apapun bentuknya. Juga dalam hal 'panutan'. Ditengah benarnya kritik
terhadap pemimpin yang tidak bener, tidak bisa jadi panutan, saya melihat bahwa
panutan itu lebih gampang untuk hal yang gampang dan enak, kalau untuk yang
sukar dan tidak enak, susah terlaksana. Artinya kalau 'bossnya nggak bener' maka
sangat gampang para anak buah mengatakan 'habis boss nggak bener masa saya harus
bener' sebagai alasan untuk ikut nggak bener. Tetapi kalau boss bener, jujur,
emangnya anak buah otomatis akan ikut? Nampaknya tidak otomatis. Saya akan
kembali mengenai hal ini di lain kesempatan.
1 Hal-hal ini harus dirinci lebih lanjut. Di sini dikemukakan hanya sebagai
suatu gambaran.
CATATAN SEMENTARA
Mungkin kalau kita tidak terlalu ambisius menghilangkan seluruh KKN sekaligus
tetapi secara sistimatis dalam suatu program, memusatkan pada masalah korupsi
dulu, maka program pemberantasan KKN akan lebih jalan. Ketentuan mengenai pidana
ekonomi, mengenai korupsi telah cukup jelas dan dapat dilaksanakan untuk
menyidik dan memberi sanksi ke pada mereka yang melanggarnya. Dalam proses ini
sebagian dari masalah kolusi dan nepotisme juga akan terungkap dan bisa
dilaksanakan penindakan terhadap pelanggarnya. Akan tetapi berkaitan dengan
masalah kolusi dan nepotisme yang tidak berkaitan dengan korupsi, yang dilanggar
mungkin ketentuan kepegawaian atau masalah etik. Yang jelas adalah untuk ke
depan, bagaimana memasukkan rambu-rambu menghalangi tumbuhnya kolusi dan
nepotisme ini dalam peraturan kepegawaian dan ketentuan mengenai tender,
kontrak, serta ketentuan mengenai 'governance' pada umumnya. Mengenai langkah ke
depan menghilangkan masalah KKN saya menekankan pada sikap untuk menjauhi
kebiasaan hidup lebih besar pasak dari tiang pada tulisan lain.
Cambridge, MA June 1999.
2 Baca tulisan saya, Hidup Lebih Besar Pasak Dari Tiang Sebagai Penyebab KKN :
Tantangan Bersama Masyarakat Indonesia.
[Non-text portions of this message have been removed]
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com
Milis ini tidak menerima attachment.
0 comments:
Post a Comment