Advertising

Sunday 29 September 2013

[wanita-muslimah] 48 Tahun G30S, Menolak Lupa

 

Konflik 1965 adalah sejarah yang emosional yang bisa diselesaikan lewat rasa, bukan hanya logika.

Mari kita berbincang / Melepaskan segala kisah segetir apapun untuk merajut hari besok /
Ketahuilah aku dan kami mengharamkan dendam terhadap seseorang / melainkan mendendam pada sistim penindasan / dan kuingin kita berjumpa untuk bertemu / Kecuali jika tubuhmu dan jiwamu tanpa roh / Enyahlah, duniaku berjarak dengan alammu! / Untuk apa berjumpa kalau tidak bertemu / membedah diri!.

Nukilan puisi ini karya penyair Toga Tambunan, dibuat tahun 2004, berjudul Perjumpaan. Ini mengingatkan perlunya sebuah pertemuan, tetapi pertemuan antara korban tragedi G30S 1965 dengan nonkorban. Pertemuan diharap melahirkan rekonsiliasi.

"Saya ingin masalah ini diselesaikan tanpa membangkitkan persoalan lama, tapi saling memahami bahwa ini adalah takdir sejarah. Saya sejak awal sudah memaafkan orang yang memukuli dan mencambuk saya," tutur Toga.

Toga adalah mantan Lembaga Kebudayaan Rakjat (Lekra) -- organisasi kebudayaan yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) -- serta mantan pengelola ruang Indonesia Muda di koran Bintang Timur dan penulis di Harian Rakjat. Ia pernah dibui selama 14 tahun di Kalimantan Selatan.

Jalur budaya memang bisa jadi jembatan penyelesaian konflik. Inilah yang digarap Goethe Institut lewat Pekan Budaya dengan tema "Budaya dan Konflik". Memperingati Tragedi 1965 tanggal 30 September, Goethe Institut juga akan meluncurkan buku 1965 Indonesia and The World yang ditulis Bernd Schäfer, pakar dari Woodrow Wilson International Center, Washington DC, AS.

Franz Xaver Augustin Direktur Goethe-Institut Indonesien, pada kata pengantar di buku 1965 Indonesia and The World menyebutkan, banyak orang bertanya apa hubungan tema politis ini dengan budaya. Tentu saja tidak ada maksud untuk mencampuri urusan domestik negara tuan rumah kami (Indonesia-red). Penekanannya terletak pada keterlibatan dalam arti luas, juga tanggung jawab politik internasional atas apa yang terjadi di Indonesia tahun 1965-1966.

Merenungkan keterkaitan itu, mengupayakan interpretasi yang seimbang terhadap peristiwa di masa lalu, terutama jika melibatkan pengalaman yang kejam dan menyakitkan. Kemudian, membuka jalan penyelesaian konflik dan rekonsiliasi di antara kubu yang bermusuhan merupakan prasyarat bagi kehidupan bersama yang adil dan beradab. Ini merupakan tugas dan kepentingan yang tercakup dalam ranah kebudayaan dalam pengertian luas.

Pekan Budaya digelar 29 September-6 Oktober 2013, dengan acara diskusi, pameran seni, pemutaran film, pertunjukan tari, teater boneka dan seminar. Acara ini kelanjutan dari konferensi internasional 1965 tahun 2011.

Menurut Kepala Regional bagian Program Budaya Goethe Institut, Katrin Sohns, Goethe punya perhatian terhadap isu kekerasan di Indonesia, mengingat Jerman juga memiliki sejarah kelam yang mirip dengan Indonesia, yaitu pembantaian terhadap warga Yahudi yang dilakukan Nazi.

Belajar dari masa lalu, sebagaimana Jerman yang tak ingin peristiwa Nazi terulang, Goethe pun mencoba mengangkat konflik-konflik di Indonesia, termasuk Tragedi 1965 sebagai bahan diskusi. Namun Katrin menegaskan, diskusi itu bukan untuk mencari kesalahan atau memojokkan pihak tertentu, melainkan untuk membuka perspektif baru.

"Kami mencoba untuk membuka perspektif yang lebih luas, tidak sekadar melihat Tragedi 1965, tetapi melihat dari mana terjadinya dan akar kekerasan, untuk menjawab pertanyaan mendasar siapa korban dan siapa pelaku kekerasan itu," ujar Katrin ketika ditemui SH di Goethe Institut, Jakarta, Rabu (25/9).

Katrin berharap acara ini bisa meningkatkan kesadaran publik Indonesia, terutama generasi muda seputar kekerasan di masa lalu. Memang dibutuhkan waktu yang panjang untuk menuntaskan konflik masa lalu, sama seperti Jerman yang butuh waktu berpuluh tahun atau satu generasi untuk mengungkap dan membawa para pelaku pembunuhan warga Yahudi ke pengadilan yang masih berlangsung hingga saat ini sehingga di Jerman muncul kalimat, "Jangan melupakan, jangan mengulangi."

Jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya, Indonesia sudah mengalami banyak kemajuan dalam hal melihat konflik di masa lalu.

"Memang sampai saat ini masih ada perdebatan, tetapi sudah ada kesadaran untuk membicarakan persoalan ini, terbukti sudah ada film seperti The Act of Killing, ada buku Pulang, dan Ambar. Semua ini merupakan produk kesenian yang bertujuan meningkatkan kesadaran publik," tutur Katrin seraya mengatakan pers juga banyak berperan untuk mengangkat masalah ini. Goethe tidak akan berhenti untuk terus memperjuangkan kebebasan berpikir dan berbicara melalui acara budaya.

Pada acara ini, Goethe mengundang sejarawan Bernd Schäfer, Franz Magnis-Suseno SJ, dan Melani Budianta, serta bekerja sama dengan sejumlah institusi terkait seperti Komnas Perempuan, Insitut Ungu dan Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK). Goethe juga mengundang Wali Kota Palu Rusdy Mastura, yang tahun lalu menyampaikan permohonan maaf kepada para korban pelanggaran HAM berat masa lalu, khususnya yang ada di Palu, Sulawesi Tengah.

Uchikowati, anak mantan Bupati Cilacap, juga memandang jalur budaya efektif untuk mencairkan kebekuan di masyarakat. Ketika korban dan pendampingnya melakukan penuntutan lewat jalur hukum seperti class action mentok tak ada jalan keluar lagi, ternyata lewat jalur sosial dan budaya lebih efektif. Ini karena kebudayaan lebih soft atau lunak.

"Dengan kesenian, masyarakat di luar korban akan merasa nyaman dan di sanalah tempat pertemuan antara korban dan orang di luar korban," kata Uchikowati. "Karena saya anak korban, ketika membentuk kelompok paduan suara dan kegiatan pemberdayaan ekonomi, dimata-matai sampai sekarang, misalnya ketika melatih petani bikin pupuk organik, ada pria yang nongkrongin. Di Boyolali yang saya tahu juga gitu, walaupun itu melatih bikin kue kering atau kue dari pisang dan singkong," ujarnya.

Apa yang disasar lewat budaya adalah pertemuan antara korban dan nonkorban. Komunitas di luar korban terutama kaum muda mulai memahami bahwa di Indonesia pernah terjadi peristiwa pembunuhan brutal. Ini karena penjelasan sejarah bangsa diberikan secara halus lewat pemutaran film, buku, puisi, tarian, yang caranya tak terlampau galak sehingga mampu mengubah pendapat dan persepsi.

Tak Hanya Logika

Sutradara Teater Boneka Papermoon, Maria Tri Sulistyani, memilih membangkitkan rasa dan sensitivitas dengan kesadaran bahwa logika penting, tetapi kalau tak ada rasa dan sensitivitas maka tak ada keseimbangan. "Orang di bumi ini sudah lupa rasa, cuma pakai logika!" tutur Maria.

Papermoon menyajikan pertunjukan nonverbal untuk mengungkapkan imaji dan harapannya. Lebih menonjolkan tata cahaya, tata panggung, gerak, dan boneka supaya jadi emosional. Maksudnya untuk lebih menyentuh orang lewat hati, bukan otak.

"Karena ini menyangkut sejarah yang emosional di mana orang bisa sangat sedih, trauma, kecewa, sakit hati, atau merasa berkuasa. Rasa itu penting!" ujar Maria. Yang dimaksudnya adalah pertunjukan Papermoon "Secangkir Kopi dari Playa" yang diadakan Goethe Institut pada 30 September dan 1 Oktober.

Ia telah memproduksi dua karya dengan tema dasar yang terinspirasi tragedi 30 September 1965. Namun, tidak dengan data seperti film dokumenter atau buku tekstual. Apalagi, fungsi seni untuk menyampaikan sesuatu dengan lebih indah. Ia melakukan lewat teater boneka. "Namun, dengan cara itu orang bisa bilang, 'Gila ada nih ya, ada kejadian seperti itu di Indonesia'" kata Maria.

Maria bersikeras bahwa generasi muda kelahiran 1980-an dan 1990-an ke atas banyak yang tidak tahu dan kritis terhadap G30S. Padahal, kalau mereka tidak tahu maka kejadian kelam tersebut bisa saja terjadi lagi. "Maka saya selalu mengatakan ke anak muda 'Ayo yang bisa bikin film ya bikin film, yang bisa tari ya tari, yang puisi ya berpuisi, sedangkan kami lewat teater boneka'", ujar Maria.

Pentasnya 30 September dan 1 Oktober pukul 18.00 WIB akan dilakukan di tempat tertutup di sekitar Menteng. Jumlah penonton pun terbatas maksimal 30 orang. Tujuannya hanya supaya penonton mengalami perjalanan yang berbeda. 
Konsepnya sangat intim, bukan di gedung teater. Menurut Maria, fungsi seni memang menyampaikan sesuatu dengan lebih indah. Yang lebih penting lagi, cara ini efektif untuk mengajarkan generasi muda supaya tidak lagi mengulang konflik di masa lalu.

"Sulawesi Bersaksi"

Penulis sekaligus penyair Putu Oka Sukanta yang juga salah satu penyintas Tragedi 1965-1966 dan mantan anggota Lekra, akan meluncurkan buku terbarunya "Sulawesi Bersaksi" yang mengungkapkan kesaksian para anak penyintas dari beberapa wilayah di Sulawesi seperti Palu, Manado, Wajo, Kendari, Makassar dan Bau Bau.
"Kebanyakan mereka (korban-red) melakukan kerja paksa di Palu. Bisa dibilang kota Palu itu dibangun mereka, seperti bendungan, rumah, dan tower RRI," ujar Putu Oka ketika dihubungi SH di Jakarta, Rabu.

Peluncuran buku pada 3 September itu akan dihadiri Wali Kota Palu Rusdy Mastura, yang secara pribadi dan atas nama Pemerintah Kota Palu telah meminta maaf pada para korban pelanggaran berat HAM di Palu. Ketika terjadi Tragedi 1965, Rusdy masih remaja dan menjadi anggota Pramuka, bahkan pernah diperintahkan tentara untuk menjaga para tahanan.

Meski hingga kini pemerintah belum menyatakan permintaan maaf secara resmi kepada korban Tragedi 1965-1966, Putu menyatakan para penyintas akan selalu mencari jalan agar pemerintah mau mengakui bahwa negeri ini pernah melakukan kekerasan pada 1965-1966.

Terlebih dampak rekayasa terhadap anggota Gerwani -- ormas perempuan yang berafiliasi dengan PKI -- yang disebut menyilet-nyilet kemaluan para jenderal yang diculik, hingga kini masih tertanam dalam-dalam di benak orang Indonesia.

"Kebencian di wilayah grass root masih terjadi sampai sekarang seperti bom waktu. Konflik tetangga membunuh kakek, saudara membunuh ipar, dan lain-lain masih terus terjadi. Sampai sekarang di tingkat grass root masih terjadi konflik tersembunyi yang terjadi turun-temurun membias ke segala aspek kehidupan orang itu, kenapa pemerintah membiarkan?" tutur Putu Oka yang sudah menulis sejumlah kumpulan sajak dan novel, di antaranya Istana Jiwa, Rindu Terluka, Tembok, dan Matahari Berlin.

Ia mengatakan, para pelaku Tragedi 30 September yang menculik dan membunuh para jenderal sudah diadili dan dieksekusi, tetapi mereka yang membunuh 3 juta rakyat, seperti diakui komandan pasukan khusus tentara RPKAD Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, justru dibiarkan.

Oleh karena itu, Putu berharap melalui acara budaya masyarakat luas menjadi lebih paham dan berani mengutarakan bahwa konflik ada dalam diri mereka juga. "Korban Tragedi 1965-1966 adalah semua orang yang merasa teragitasi emosinya ketika diajak bicara atau mencari penyelesaian Tragedi 1965-1966. Dalam hal ini, DPR dan Presiden juga menjadi korban karena takut untuk membahasnya," katanya.

Sebenarnya sudah ada upaya untuk meluruskan sejarah seputar Tragedi 1965-1966 ketika Lipi berusaha merevisi buku pelajaran sejarah. Namun, masih terjadi silang pendapat, seperti pemakaian istilah Gerakan 30 September 1965 (G30S) tanpa menyebut PKI. Tahun 2007, Kejaksaan Negeri Depok membakar 1.247 buku sejarah yang tidak mencantumkan kata PKI. Pembakaran buku sejarah juga terjadi di Semarang, Bogor, Indramayu, Kendari, dan Pontianak.

Langkah ini dilakukan sesuai keputusan Jaksa Agung Abdurrahman Saleh pada Maret 2007 yang melarang peredaran buku-buku yang tidak mencantumkan kata PKI ketika menerangkan G30S. Namun, Putu merasa senang karena tahun ini ia mulai melihat diskusi mengenai Tragedi 1965-1966 lebih sporadis, mulai dari LBH hingga mahasiswa.

"Ini yang kita harapkan, tragedi ini dibahas dari sudut pandang apa saja, tidak hanya hitam dan putih. Ini adalah masalah bangsa yang harus dilihat secara jernih," ujarnya.

Penulis cerpen dan novel yang juga mantan anggota Lekra, Martin Aleida mengakui pula bahwa kebudayaan efektif untuk penyadaran publik. "Kekuasaan tanpa budaya itu sangat berbahaya. Untuk itu, demokrasi dan pelaksanaan hukum yang benar adalah paling penting dan ini bagian dari budaya manusia," ujar Martin.

Membangkitkan Trauma

Pandangan berbeda dikemukakan budayawan dan kurator teater, Halim HD. Baginya, keterkaitan antara peristiwa 1965 dengan peristiwa kebudayaan sekarang, bukanlah semata menghapus trauma para penyintas dan melawan lupa. Kesenian dapat membuat trauma menjadi semakin mendalam dan orang akan semakin mengingat peristiwa sejarah itu.

Seperti apa kejadian itu dan bagaimana terjadinya, tak bisa sepenuhnya digantungkan pada kesenian atau kebudayaan. Bagi Halim, ada banyak hal untuk mengobati trauma. "Masalahnya, peristiwa itu menjadi semacam benih yang terus-menerus ditanamkan bagi anak yang lahir tahun 1970-an, 1980-an, dan 1990-an. Kalau tidak mengetahui perspektif sejarah, tentu mereka akan repot untuk memahaminya," katanya.

Sedikit sekali karya seni atau sastra yang menjadikan Tragedi 1965 sebagai latar kisah. "Mungkin karena Orde Baru berhasil menciptakan stigma dan trauma bagi mereka (seniman)," tutur Halim.

Bagi perupa Dolorosa Sinaga, kalangan intelektual dan akademisi, jurnalis dan seniman, efektif bila membuat perlawanan. Ketiganya bahkan dapat memengaruhi kekuasaan atau pun menjatuhkan kekuasaan. "Dalam konteks moral, di sanalah perlawanan paling hebat dapat dimunculkan (oleh seniman)," katanya.

Setiap bangsa punya pekerjaan rumah untuk menyelesaikan luka sejarahnya. Namun, Tragedi 1965 tak pernah dapat diselesaikan negara karena resistensi itu terus dibangun. Ini bukan semata soal politik, tetapi kekuasaan negara.

Sejarah pembantaian terhadap rakyat pernah terjadi di masa silam. Di sinilah fungsi sosial dan seni yang paling dominan, yaitu menunjukkan dan membuat yang belum terlihat menjadi terungkap. Seniman lewat karya puisinya, seni rupa, seni musik, dan seni lainnya, perlu bersinergi dan bereksistensi melawan kekuasaan, Dolorosa menambahkan. 

(Wahyu Dramastuti/Sihar Ramses Simatupang)
Sumber : Sinar Harapan

http://www.shnews.co/detile-25630-48-tahun-g30s-menolak-lupa.html
 
http://herilatief.wordpress.com/
http://akarrumputliar.wordpress.com/
http://sastrapembebasan.wordpress.com/
Twitter: @herilatief

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscribe@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.
.

__,_._,___

0 comments:

Post a Comment